Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bayu Setiawan
Abstrak :
Teknik induksi yang optimal tanpa pelumpuh otot untuk pemasangan sungkup laring (LMA) diharapkan dapat menjamin kondisi insersi yang baik dengan tetap menjaga stabilitas kardiovaskular. Penelitian ini membandingkan kemudahan pemasangan LMA dan kestabilan hemodinamik kombinasi fentanil 2 u/kgbb IV dengan etomidat dosis 0.2, 0.3, dan 0.4 mg/kgbb IV. Penelitian ini dilakukan dengan acak tersamar ganda terhadap 98 pasien ASA 1-2, usia 18-65 tahun. Setiap pasien mendapat premedikasi fentanil 2u/kgbb IV 3 menit sebelum induksi. Pasien dibagi menjadi 3 kelompok : kelompok pertarna (n=33) mendapat induksi etomidat 0.2 mg/kgbb IV, kelompok kedua (n=32) mendapat induksi etomidat 03 mg/kgbb IV, dan kelompok terakhir (n=33) mendapat induksi etomidat 0.4 mg/kgbb IV. Setelah itu dilakukan pemasangan LMA. Parameter hemodinamik pasien (tekanan darah sistolik, diastolik. MAP. dan laju nadi) dicatat 3 menit setelah premedikasi, segera setelah induksi, 1 menit dan 3 menit setelah pemasangan LMA. Kondisi insersi LMA digradasikan sebagai baik, sedang, dan buruk. Kondisi insersi terbaik didapat pada kelompok yang mendapat etomidat 0.4 mg/kgbb IV. Kondisi insersi terbaik didapat pada kelompok yang mendapat etomidat 0.2 mg/kgbb IV. Profil hemodinamik ketiga kelompok tidak berbeda bermakna. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa kombinasi premedikasi fentanil u/kgbb IV dengan induksi etomidat 0.4 mg/kgbb IV paling optimal untuk insersi LMA, dari segi kondisi insersi serta kestabilan hemodinamik.
Optimum induction technique without muscle relaxant for LMA insertion is expected to guarantee good insertion condition, while maintaining stable haemodynamics. This study was to compare Li1L1 insertion condition and haemodynamics stability under combination of fentanyl 2u/kgbw IV and etonidate 0.4 mg/kgbw IV. Included in this study were 98 patients ASA 1-2, ages 18-65 years old, pretreated in randomized double blind fashion. Each patient was premedicated with fentanyl 2u/kgbw IV 3 minutes before induction. These patients were allocated into 3 groups. Patients hr the first group (n=33), second (n=32), and third (n=33) were induced with etomidate 0.2, 0.3, and 0,4 mg/kgbw IV respectively. Then the LMA was inserted by standard technique. The patient's systolic and diastolic blood pressures, MAP and heart rate were noted 3 minutes after premedication, immediately after induction, 1 and 3 minutes after LAM insertion. Insertion condition was graded as good fair, and poor. The best insertion condition was found in patients receiving etomidate 0.4 mg/kgbw The worst insertion condition was found in patients receiving etomidate 0.2 mg/kgbw IV Haemodynamics profile in the 3 groups didn't differ significantly. Based on this study, we concluded that combination fentanyl 2u/kgwi IV premedication with etomidate 0.4 mg/kgbw IV for induction is the optimum combination for LMA insertion, in terms of insertion condition and Haemodynamics stability.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delta Fermikuri Akbar
Abstrak :
Leukemia mieloblastik akut (LMA) merupakan kelainan sel punca hematopoetik yang dikarakterisasi oleh ekspansi progenitor mieloid yang tidak terdiferensiasi. Mutasi NPM1 ekson 12 merupakan perubahan genetik yang paling sering diketahui pada pasien LMA dengan kariotipe normal. Saat ini belum ada penelitian tentang mutasi ekson 12 gen NPM1 tipe A pada populasi Indonesia, sehingga belum ada data dan laporan mengenai mutasi ekson 12 gen NPM1 tipe A pada populasi orang Indonesia. Penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu mengetahui karakteristik mutasi ekson 12 gen NPM1 pada pasien LMA dewasa di RSCM dan RSKD dan tujuan khusus yaitu mengetahui frekuensi kejadian mutasi tipe A pada ekson 12 gen NPM1 dan mengetahui benar atau tidaknya bahwa mutasi tersebut ditemukan pada pasien LMA dewasa di RSCM dan RSKD dengan kariotipe normal. Penelitian bersifat deskriptif dengan desain potong lintang. Sampel diperiksa dengan teknik ASO-RT-PCR dan hasil negatif dilanjutkan dengan seminested-ASO-RT-PCR. Hasil penelitian memperlihatkan 8 sampel (24,24%) dari total 33 sampel terdeteksi positif mengalami mutasi tipe A dan mutasi tersebut lebih banyak ditemukan pada pasien LMA dewasa di RSCM dan RSKD dengan kariotipe abnormal. Saran dari penelitian ini yaitu perlu dilakukan studi dengan jumlah sampel lebih banyak dan perlu dilakukan sequencing untuk mengetahui tipe mutasi lain dari ekson 12 gen NPM1. ...... Acute Myeloid Leukemia (AML) is a hematopoietic stem cell disorders characterized by expansion of myeloid progenitors that are not differentiated. Exon 12 NPM1 mutations are the most frequent genetic alterations detected in AML patients with normal karyotype. Currently there is no study on type A exon 12 NPM1 gene mutation in Indonesian population. The general objective of this study was to determine the characteristic of exon 12 NPM1 gene mutation in adult AML patients at RSCM and RSKD. While the specific objectives were to determine the frequency of type A exon 12 NPM1 gene mutation and to observe if this mutation was found on adult AML patients with normal karyotype. This research was designed as a cross sectional descriptive study. Samples were examined for type A mutation in exon 12 NPM1 gene using ASO-RT-PCR technique followed by seminested-ASO-RT-PCR for samples showing negative result. From this study, we found that 8 samples (24.24%) from a total of 33 samples were positively detected for type A mutation. In addition, we also found that this mutation was more frequent in adult AML patients with abnormal karyotype. Further study with larger number of samples and analysis by DNA sequencing is needed to better characterize this type A mutation and to find other type of mutation in exon 12 NPM1 gene respectively.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Dewi Kumala
Abstrak :
Latar BeJakang: Laryngeal Mask Airway (LMA) telah diterima secara umum sebagai alat jalan napas. Pada praktik klinis, insersi LMA pada percobaan pertama dengan waktu sesingkat mungkin merupakan kondisi yang diharapkan sehingga efek samping agen anestesi minimal tanpa menimbulkan komplikasi demi keselamatan pasien. Dosis kecil atrakurium sebelum induksi dipilih untuk operasi dengan durasi singkat, agar tidak menunda pemulihan akibat pelumpuh otot namun perlu diperhatikan efek samping gejala kelemahan. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian atrakurium sebelum induksi dosis 75 dan 150 rncglkgBB terhadap keberhasilan percobaan pertama dan waktu insersi sehingga dapat menjadi standar dosis atrakurium untuk insersi LMA. Metode: Penelitian uji klinis acak tersamar ganda ini mengelompokkan 150 pasien dewasa yang mendapat layanan anestesia di ruang operasi RSCM rnenjadi 2 kelompok. Setelah koinduksi midazolam dan fentanyl, pasien kelompok eksperimen diberikan atrakurium dosis 75 mcglkgBB, sedangkan kontrol 150 mcglkgBB. Setelah 1 menit, diamati gejala keJernahan, yaitu ptosis, diplopia, dan sesak napas sebelurn induksi propofol. Insersi LMA dilakukan setelah pasien tidak respon terhadap jaw thrust setelah 90 detik pemberian propofol. Diambil data keberhasilan percobaan pertama dan waktu insersi, selain itu dicatat nilai rasio TOF sebelurn insersi, respon hernodinamik, dan komplikasi pascainsersi. Hasil: Keberhasilan insersi pertama kedua kelornpok tidak berbeda signifikan, yaitu 90,7% pada kelompok eksperimen dibandingkan 93,3% kontrol (p=0,547). Begitu pula waktu insersi 36,05±16,98 detik dan 33,75±13,55 detik untuk dosis 75 dan 150 mcglkgBB berurutan (p=0,359). Kornplikasi insersi pada kelompok ekspersimen 90,7% dan 93,3% kelompok kontrol. Gejala kelemahan ditemukan harnpir 2 kali lipat di kelompok kontrol dengan nilai rasio TOF yang juga lebih rendah. Respon hemodinamik setelah insersi LMA mirip di kedua kelompok. Simpulan: Penggunaan atrakurium dosis 75 mcglkgBB sama baiknya dibandingkan 150 mcglkgBB dalam memudahkan insersi LMA. ......Background: In clinical practice, success on first attempt of LMA insertion with the shortest times is aimed to achieve minimal adverse eventfrom. Small dose of atracurium given beJore induction is chosen Jor brieJ duration procedure therefore has minimal or no effect to recovery from neuromuscular blocking agent, but the consequences of partial paralysis before induction should be a concern. This study aims to compare the success onfirst attempt and insertion time oJLMA between 75 and 150 mcglkgBWatracurium, given beJore propofol induction in search for standard dose of atracurium to ease LMA insertion. Methotl: This double-blind randomized clinical trial divided 150 adult patients who received anesthesia procedllre in Cipto Mangunkusumo General Hospital operating theatres into two groups. After coinduction with midazolam and Jentanyl, patients in the study group received 75 mcglkgBWalracurium, meanwhilefor the control group was 150 mcglkgB W After 1 minute all the samples were evaluated for paralysis symptoms of ptosis, diplopia and shortness oj breath before propofol induction. LMA insertion then attempted after no response to jaw thrust manuever evaluated after 90 seconds from propoJol injection. Success on first attempt and time of insertion were the main outcomes evaluated, beside TOF ratio, hemodynamic responses and complications. Result: Success on first attempt rate was not significally worse, which was 90.7% for experiment group compare to 93.3% in .control (p=0,547). Insertion time was 36.05±I6,98 and 33,75±i3,55 second Jor respective group (p=0.359). Postinsertion complication in experiment group were higher but the paralysis symptoms were lower. Conclusion: Low dose oJ 75 mcglkgBW atracurium is equal compared to 150 mcglkgBW 10 ease LMA insertion.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57635
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Evy Sjahrijati
Abstrak :
Tujuan : Membandingkan angka keberhasilan pemasangan LMP antara teknik klasik modifikasi dengan teknik introduser. Metode :Uji klinik tersamar ganda. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM pada bulan Maret sampai dengan April 2004, pada 118 pasien dewasa yang menjalani operasi berencana dengan anesthesia umum. Pasien dibagi secara acak menjadi 2 kelompok; 59 pasein mendapat perlakuan teknik klasik modifikasi dan 59 pasien lainnya dengan teknik introduser. Apabila berhasil dilanjutkan dengan pemasangan OCT. Selama penelitian dilakukan pengamatan frekuensi upaya pemasangan, perubahan hemodinamik serta komplikasi yang timbul. Analisa statistik dilakukan dengan uji t untuk data numerik, uji x-kuadrat untuk data nominal, dengan tingkat kemaknaan p<0,05. Hasil : Angka keberhasilan pemasangan LMP pada upaya pertama (96% vs 88,1%, p<0,05) lebih tinggi dengan teknik klasik modifikasi, tetapi angka keberhasilan setelah upaya ketiga adalah sama (98,3%) pada kedua kelompok. Angka Keberhasilan pemasangan OGT lebih tinggi pada kelompok teknik klasik modifikasi (86,2% vs 81,1%, p<0,05). Terdapat penurunan hemodinamik yang bermakna pada 1 menit setelah pemasangan LMP. Angka penurunan MAP (6,16% vs 10,25%) dan laju denyut jantung (1,5% vs. 6,83%) lebih kecil pada kelompok teknik klasik modifikasi daripada kelompok teknik introduser. Kamplikasi yang timbul pada penelitian ini adalah ditemukannya darah pada kaf ketika dilakukan ekstubasi (9,32%). Kesimpulan : Teknik klasik modifikasi mempunyai angka keberhasilan pemasangan LMP yang sama dengan teknik introduser.
Background: The ProSeal laryngeal mask airway (PLMA) is a new laryngeal mask device with a modified cuff to improve seal and drainage tube to provide a channel for regurgitated fluid and gastric tube placement. In this present double blind, randomized, clinical study, we tested the hypothesis that the rate of successful) PLMA insertion using modified classical technique is higher than introducer technique. Method : A hundred and eighteen adult patients that underwent elective surgery with general anesthesia were randomly allocated to modified classical technique and introducer technique groups. We compared the rate of successful PLMA insertion technique. Oro gastric tube insertion was attempted if there was no gas leak. We assessed hemodynamic responses and complications of insertion. Result : First-attempt insertion successful rate (96% vs. 88,1%, p<0,05) was higher for the modified classical technique, but after the third attempt successful rate were similar (98,3%). Oro gastric tube placement was more successful with modified classical technique (86,2% vs 81,1%, p<0,05). There was a significant decrease in hemodynamic measurement at 1 minute after insertion of the PLMA. There was a smaller decrease in mean arterial pressure (6,16% vs 10,25%) and heart rate (1,5% vs. 6,83%) after insertion with modified classical technique compare with introducer technique. The only complication was the presence of blood on the device following removal (9,32%). Conclusion : Modified classical technique has a similar ALMA insertion successfulf rate with introducer technique.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Iwan Kusuma
Abstrak :
Latar Belakang: Angka POST pascainsersi LMA masih tetap tinggi. Pemberian lidokain secara inhalasi akan memberikan efek analgetik dan mengurangi respon inflamasi terutama pada saluran napas dan dapat menjadi alternatif baru untuk menurunkan kekerapan POST pascainsersi LMA. Sebagai kelompok kontrol digunakan deksametason intravena. Tujuan : Membandingkan kekerapan POST pascainsersi LMA pada pemberian inhalasi lidokain 1,5 mg/kgbb dengan deksametason 10 mg intravena sebelum pemasangan LMA. Metode : Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar tunggal. Seratus dua puluh delapan pasien yang akan menjalani operasi mata dengan anestesia umum dan insersi LMA dibagi kedalam dua kelompok perlakuan yaitu kelompok inhalasi lidokain dan kelompok deksametason intravena. Kriteria penerimaan adalah usia 18-65 tahun, ASA 1 atau 2, mallampati class I atau II, tidak terdapat nyeri tenggorokan sebelum operasi, posisi operasi terlentang, Bersedia menjadi peserta penelitian dan menandatangani informed consent. Inhalasi lidokain atau deksametason intravena diberikan 10 menit sebelum insersi LMA. Insersi LMA dengan cara baku, dan penilaian POST dilakukan 2 jam pascaoperasi. Data yang terkumpul akan diverifikasi dan diolah menggunakan program SPSS dengan uji analisis komparatif kategorik 2 kelompok tidak berpasangan. Hasil : Uji analisis komparatif kategorik 2 kelompok tidak berpasangan dengan chi-square, kelompok inhalasi lidokain didapatkan 10,9 pasien mengalami POST pasca insersi LMA sedangkan pada kelompok deksametason intravena didapatkan 9,4 pasien mengalami POST p>0,05 . Skala nyeri kelompok inhalasi lidokain dengan nilai median 0 0-1 dan deksametason intravena dengan nilai median 0 0-3 juga tidak berbeda bermakna. Penelitian ini tidak mendapatkan adanya efek samping pada kedua kelompok. Simpulan : Pemberian inhalasi lidokain sebanding dengan pemberian deksametason 10 mg intravena dalam mengurangi kekerapan POST pascainsersi LMA
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library