Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Rusmijati Marjam
Abstrak :
ABSTRAK
Golongan Karya merupakan organisasi sosial politik besar di negeri ini. Ia ditumbuhkan dari keperluan salah satu sendi kekuatan politik (militer) yang sedang bertarung dan berebut bagian-bagian kekuasaan dari suatu sistem politik yang otoriter. Dalam hubungan ini bangunan organisasi menampung berbagai aspirasi, keperluan, keinginan dan juga segala kemungkinan-kemungkinan yang masih gelap saat ia didirikan. Malah ia didirikan oleh dua kelompok yang bersentuhan (Presiden dan militer), tetapi berseteru secara latent, setelah partai-partai politik utama (Masyumi dan PSI) disingkirkan dari panggung politik dan medan pertarungan politik sudah tidak lagi di lembaga perwakilan yang dihasilkan oleh suatu pemilihan umum (September 1955) yang jujur dan demokratis.

Perkembangan waktu membawa Golkar ke dunia dimana terjadi pertentangan laten di antara unit-unit organisasinya sendiri. Makalah pola kepemimpinan yang ada dan berkembang, setelah Munas II (1978), memperlihatkan kuatnya campur tangan Dewan Pembina dalam putusan-putusan Dewan Pimpinan Pusat dan jaringan unit pelaksana organisasi dibawahnya. Akan tetapi justru disinilah letak menariknya kajian terhadap organisasi sosial politik ini.
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Syafrizal
Abstrak :
Persoalan tentang Pemilu 1971. di Indonesia merupakan pemilu pertama masa pemerintahan Orde Baru, telah banyak diteliti para. ahli seperti Ken Ward, Masashi Nishihara, R.William Liddle, dan Afan Gaffar. Studi mereka hanya memusatkan perhatian pada daerah Jawa, sehingga pengalaman luar Jawa terabaikan. Selain itu, kemenangan Golkar mereka lihat dart sudut taktik intimidasi, sehingga mengabaikan factor-faktor lainnya. Penulisan tesis ini sengaja memusatkan perhatian pada daerah Sumbar, karena persoalan tentang Pemilu 1971 di daerah itu belum pernah diteliti secara khusus. Pemilu 1971 diikuti oleh Golkar dan 9 Parpol yaitu Parmusi, Perti, PS1I, NU, Parkindo, Partai Katolik, PNI, Murba dan IPKI. Saingan berat Golkar pada Pemilu 1971 di Sumbar adalah Parmusi dan Partai Islam Perti. Pergolakan politik yang melenda masyarakat Sumbar yaitu pemberontakan PRRI dan PKI, mempengaruhi kondisi kepartaian dalam menghadapi Pemilu 1971. Parmusi yang didirikan pada tahun 1968 guna menyalurkan aspirasi politik bekas pengikut Masjumi, mempunyai kendala dalam usaha mengulangi kejayaan Masjumi sehubungan dengan akibat pemberontakan PRRI. Perti juga relatif tidak prima dalam menyongsong pemilu. Tokoh utama partai ini tersingkir dart partainya, karena dekatnya hubungan mereka dengan PKI sehingga menjadi sasaran aksi Angkatan 66. Sedangkan Golkar Sumbar sejak permulaan tahun 1970 telah giat melakukan konsolidasi organisasi, membentuk dan membina para. kader guns menjelaskan posisi dan misi Golkar ke tengah-tengah masyarakat. Pemilu 1971 di Sumbar telah mengantarkan kemenangan bagi Golkar, yang berhasil meraih suara lebih dari 63 persen. Kemenangan Golkar di Sumbar itu disebabkan oleh empat faktor, pertama dampak pemberontakan PRRI, yang telah mengakibatkan hancurnya partai Masjumi dan timbulnya keresahan di kalangan masyarakat. Golkar yang menawarkan keamanan menjadi daya tarik sebagian besar masyarakat. Faktor kedua adalah strategi Gubernur Harun Zain, yang berusaha memperbaiki citra Pemerintah di mata masyarakat terutama di pedesaan, dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Golkar yang menawarkan pembangunan secara bertahap tentu saja menjadi daya tarik bagi masyarakat Sumbar untuk meningkatkan proses pembangunan. Ketiga, konsolidasi dan taktik Golkar juga merupakan salah satu faktor yang menentukan kemenangan Golkar. DPD Golkar Sumbar berhasil merangkul kalangan ninik-mamak dan alim-ulama, dua kelompok pemimpin informal yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Keempat, adalah terdapatnya dukungan aparat pemerintahan terhadap Golkar sehingga melicinkan jalan bagi Golkar dalam usaha memenangkani Pemilu 1971.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanjung, Sjahrial
Abstrak :
Assumsi yang mendasari studi ini adalah masalah politik yang menonjol di negara berkembang, termasuk Indonesia, pads umumnya menyangkut soal hubungan lembaga birokrasi dengan proses politik. Dalam kenyataan birokrasi telah memainkan peran yang "menentukan" dalam berbagai segi kehidupan, termasuk segi kehidupan politik. Dalam beberapa hal birokrasi memang telah berhasil mengejar keterbelakangan sosial dan ekonomi, tetapi kontras dengan itu membawa akibat penting pula bagi perkembangan kehidupan politik. Karena, bersamaan dengan itu, peranan lembaga-lembaga politik di luar birokrasi semakin melemah, massa terisolir dari kehidupan politik. Dengan demikian partisipasi anggota masyarakat dalam proses pengambilan keputusan politik dalam pemerintahan cenderung terbatas sekali. Ini berarti posisi birokrasi (atau birokrat) dalam proses Penentuan kebijaksanaan politik sangat dominan sekali. Kenyataan yang terjadi demikian, sangat kontras dengan analisis Weber yang melihat birokratisasi berarti diterapkannya prinsip-prinsip legal-rasional ke dalam masyarakat modern. Bagi Weber, birokratisasi adalah berkurangnya (kalau tidak hilang) sifat-sifat hubungan personal dan ilegal dalam pemerintahan. Tetapi gagasan ideal itu, untuk melihat pada kasus birokrasi di Indonesia tidak terjadi. Perilaku birokrasi yang berkembang justru semakin menunjukkan ciri-ciri sebuah birokrasi patrimonial, yang menurut Weber merupakan potensi untuk "merong-rong" perkembangan suatu negara. Dalam mengkaji peranan birokrasi dalam politik, studi ini ingin mencari jawab seberapa jauh kebenaran anggapan bahwa birokrasi telah berpengaruh dalam menentukan kemenangan Golkar dalam pemilihan umum (pemilu). Dengan mengambil kasus Kecamatan Ciledug, Kodya Tangerang, Propinsi Jawa Barat, hasil penelitian membuktikan bahwa birokrasi mempunyai peranan yang menentukan dalam kemenangan Golkar. Peranannya yang menentukan terhadap kemenangan Golkar tersebut, dapat pula dipandang sebagai cerminan dari kuatnya proses birokratisasi politik dalam kehidupan politik. Artinya, birokrasi memiliki peranan sentral dalam mengatur jalannya negara atau pemerintah. Sebagaimana yang ditemukan juga dalam penelitian ini, pada kasus kecamatan, kemenangan Golkar itu sendiri : ternyata semakin memperkuat "kedudukan" birokrasi, terutama pejabat Pemerintahan seperti; Camat, Kepala Desa atau Lurah, dan sebaliknya melemahkan peranan Komcam Golkar dalam mengembangkan pengaruhnya di kalangan anggota masyarakat luas. Ini dapat pula diartikan bahwa birokratisasi dapat pula menghalangi kemandirian.
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santoso Teguh
Abstrak :
Kehidupan politik didalam struktur Golongan Karya sejak berbentuk Sekber Golkar hingga menjadi Golkar pada tahun 1971 selalu diwarnai dengan interaksi politik antar kelompok-kelompok di dalam struktur Golongan Karya yang tidak lain mencerminkan trik menarik pengaruh satu kelompok dengan kelompok lainnya dan intrik-intrik politik para aktor-aktor politiknya untuk mendapatkan nilai plus dari Soeharto. Ketidakmampuan Trikarya untuk tetap bertahan dalam percaturan politik setelah pemilu pertama pada tahun 1971 merupakan indikasi mulai melemahnya keberadaan di dalam Golkar. Semakin berkurangnya wewenang yang melekat pada Trikarya di dalam lingkaran kekuasaan diakibatkan peranan segelintir tokoh atau aktor politik kepercayaan Jenderal Soeharto. Golongan Karya merupakan sebuah organisasi politik yang sangat majemuk dari berbagai kelompok yang tergabung di dalamnya. Akibat dari kemajemukan tersebut diasumsikan bahwa dipastikan akan terjadi pengelompokan di dalam organisasi tersebut. Pengelompokan tersebut menimbulkan perbedaan kepentingan yang akan saling berbenturan. Keberadaan kelompok di dalam arena politik bukan saja ada melainkan sangat diperlukan. Kelompok sangat memainkan peranan melalui seperangkat tuntutan, mengekspresikan sikap-sikap dan membuat pernyataan politik. Kadang-kadang kelompok akan menaruh perhatian terhadap kepentingan yang konkrit atas kebutuhan material para anggotanya, mengekspresikan kepentingan umum di dalam issue-isue politiknya atau turut menghimbau tumbuhnya suatu kebijakan Baru. Berperannya kelompok di dalam sistem politik pada dasarnya merupakan suatu proses yang digerakan oleh nilai-nilai sosial untuk mengalokasikan kekuasaan (otoritas). Akibat dari alokasi tersebut maka diikuti dengan munculnya keputusan-keputusan yang akan mengikat masyarakat umum. Keputusan-keputusan tersebut muncul akibat adanya kegiatan politik. Karena di dalam masyarakat juga terdapat kelompok-kelompok maka keputusan yang didasari oleh berbagai kegiatan politik tersebut dipastikan bersinggungan dengan kepentingan antar kelompok-kelompok tersebut. Sehingga akan muncul pertentangan antar kelompok atau antar kepentingan yang pada akhirnya akan mempengaruhi bentuk keputusan yang akan dipilih. Kemudian lebih lanjut dalam setiap fenomena politik di dalam sistem politik - apapun corak dari sistem politik tersebut - selalu mengarah kepada bagaimana untuk mendapatkan kekuasaan dan kemudian mempertahannya. Selanjutnya untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan tersebut maka kelompok-kelompok di dalam sistem politik haruslah menguasai sumber-sumber materiil dan kewenangan sebanyak mungkin. Akibat langkanya sumber-sumber itu maka kelompok-kelompok itu menjalankan peranannya untuk mengalokasikan materi dan kewenangan tersebut. Dengan demikian suatu kelompok dikatakan menjalankan peranannya terhadap kelompok lain atau terhadap sistem politik jika kelompok tersebut dapat secara aktif memperjuangkan kepentingannya. Kelompok-kelompok itu akan saling menjalankan peranannya jika mereka berkompetisi untuk mengakumulasikan sumber-sumber materiil dan kewenangan. Menurut Marck dan Snyder, perpecahan atau konflik dapat timbul dari kelangkaan posisi dan sumber-sumber (resources), semakin sedikit posisi atau sumber yang diraih setiap anggota atau kelompok dalam organisasi, semakin tajam pula konflik dan persaingan di antara mereka untuk merebut posisi dan sumber tadi. Di dalam hierarkis sosial mana pun hanya ada sejumlah terbatas posisi kekuasaan yang nyata dan tidak lebih dari seseorang yang dapat menduduki masing-masingnya. Sama dengan itu, hanya ada beberapa contoh unit sosial dimana penyediaan keputusan begitu hebatnya sehingga semua pihak dapat memuaskan keinginannya. Dengan kata lain, jika posisi dan sumber yang tersedia tidak seimbang dengan jumlah mereka yang ingin menempati posisi dan meraih sumber itu maka kemungkinan berkembangnya suatu konflik besar sekali. Penyederhanaan jumlah unsur yang terdiri dan banyak ormas fungsional ditambah dengan militer dan birokrasi merupakan tantangan tersulit yang harus dihadapi pengurus Golongan Karya. Hal lain yang sangat mendasar adalah dikeluarkannya keputusan Ketua Umum Sekber Golkar Nomor Kep.101/VII/Golkar/1971 yang isinya para tokoh Trikarya tidak lagi di posisikan pada susunan DPP Golkar dikarenakan KING tidak lagi menjadi badan perjuangan politik. Kemudian melalui Munas I tahun 1973 yang diantara keputusannya yaitu menetapkan Munas sebagai lembaga pengambilan keputusan tertinggi juga menetapkan bahwa para tokoh Trikarya tetap pada posisi semula yaitu menjadi bagian dari keanggotaan Dewan Pembina Sehingga berdasarkan hasil Munas tersebut mengakibatkan pembatasaan dalam alokasi kekuasaan dimana kelompok tradisional seperti Trikarya dan kelompok KING bergeser oleh dominasi kelompok Hank dan kelompok Sipil yang ada di Bapilu. Perubahan tersebut di lain sisi banyak dipengaruhi oleh semangat pembaharuan politik yang melepaskan pengaruh santimen berdasarkan ikatan primodialisme sehingga mengakibatkan Trikarya benar-benar harus menghilangkan identitas kelompoknya sekaligus tidak dapat lagi menuntut porsi kekuasaan atas nama kelompok mereka.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10982
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfikri Suleman
Abstrak :
Pemilu (pemilihan umum) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan politik negara-negara modern dewasa ini. Mulai diperkenalkan pertama kali di negara-negara demokrasi Barat, pemilu dewasa ini juga merupakan bagian yang penting dari perjalanan kehidupan politik di negara-negara berkembang. Untuk Indonesia sendiri, sejak masa pemerintahan Orde Baru yang sudah berusia seperempat abad ini, telah diadakan empat kali pemilu. Dalam pemilu 1987 yang lalu, yang merupakan pemilu ke-4, Golkar bukan saja berhasil mempertahankan keunggulannya dari PPP dan PDI, tetapi juga berhasil menambah persentase perolehan suaranya, yaitu dari 64,3% dalam pemilu 1982 menjadi 74,5% dalam pemilu 1987. PPP sebagai saingan terdekat Golkar justru mengalami penurunan dalam perolehan suaranya, yaitu dari 27,8% (pemilu 1982) menjadi 15,25% (pemilu 1987). Tidak itu saja, Golkar juga berhasil menggusur PPP dari daerah-daerah pemilihan yang sebelumnya merupakan basis partai Islam ini. Penelitian ini mencoba mengungkapkan hal-hal di sekitar kemenangan Golkar untuk pertama kalinya terhadap PPP di Desa Moto Panjang, Kecamatan Kato VII, Kabupaten Sawahlunto/ Sijunjung, Propinsi Sumatera Barat. Pertanyaan pokok yang diajukan adalah: apakah ada pengaruh faktor-faktor tertentu terhadap kemenangan Golkar tersebut? Yang dimaksud dengan faktor-faktor tertentu adalah popularitas kontestan, keluarga, isyu/kampanye, pimpinan formal dan pimpinan informal. Untuk menjawab pertanyaan.ini, diadakan penelitian lapangan dalam bentuk pengumpulan data melalui pengisian daftar pertanyaan terhadap 103 responden yang dipilih secara sistematis, yang menggunakan hak pilih mereka dalam pemilu 1987 di Desa Kato Panjang. Di samping itu, pengumpulan data juga dilakukan melalui wawancara tak terstruktur dengan tokoh-tokoh masyarakat mau pun dengan anggota-anggota masyarakat biasa, serta melalui studi kepustakaan. Data yang terkumpul dianalisis melalui penyajian tabel-tabel frekuensi dan tabel silang. Analisis bersifat kualitatif. Temuan penelitian ini menunjukkan, bahwa tidaklah mudah untuk mengetahui aspirasi politik anggota-anggota masyarakat, khususnya masyarakat desa. Apalagi untuk jenis penelitian yang mengandung keterbatasan-keterbatasan tertentu seperti pemilu ini, anggota-anggota masyarakat tidak sepenuhnya bersedia memberikan keterangan-keterangan yang dapat diandalkan. Kedua, sepanjang yang dapat diungkapkan oleh hasil penelitian ini, keberhasilan Golkar mengalahkan PPP untuk pertama kalinya di Desa Koto Panjang disebabkan karena keberhasilan pimpinan formal melakukan pendekatanpendekatan yang bersifat persuasif yang disertai dengan bantuan keuangan yang bermanfaat bagi pembangunan desa. Pendekatan-pendekatan persuasif ini, yang disertai, dengan bantuan keuangan, telah mampu meningkatkan popularitas Golkar di mata masyarakat pemilih di Koto Panjang. Pada waktu yang sama popularitas PPP amat merosot di mata masyarakat, yang salah satu penyebabnya adalah karena terjadinya konflik kepentingan yang berkepanjangan dalam tubuh DPP PPP. Tapi yang juga penting adalah kenyataan, bahwa kekuatan pengaruh faktor pimpinan formal ini tidak bersifat langsung terhadap masyarakat, melainkan bekerja melalui faktor pimpinan informal. Yang dimaksud adalah, bahwa sebenarnya pimpinan informal inilah - ninik-mamak dan pemuka-pemuka agama - yang mengalami perubahan prilaku memilih, yang kemudian diikuti oleh sebagian besar anggota masyarakat. Pimpinan formal atau pemerintahan tetap belum memiliki "akses" langsung terhadap anggota-anggota masyarakat. Agaknya hasil penelitian ini menegaskan, bahwa sementara pimpinan formal merupakan faktor yang semakin penting dalam mempengaruhi prilaku politik anggota-anggota masyarakat, khususnya masyarakat desa, pimpinan informal tetap merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library