Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khafidah Kumala Sari
Abstrak :
Futterman dan Jones (1998) mengatakan bahwa banyak wanita mengeluhkan depresi tengah baya pada gaat perimenopause yang disebabkan oleh penuninan dan fluktuasi tingkat hormon dan perub^an tengah baya lainnya. Gejala-gejala perimenopause yang disebabkan adanya perubahan-perubahan dan fluktuasi tingkat hormon ovari tersebut antara lain adalah mood swings, kecemasan, irritability, mudah meneteskan air mata, menurunnya kemampuan untuk mengingat, hot flush, dll. Seorang wanita yang mengalami gejala-gejala di atas dan menganggap gejala-gejala tersebut sebagai sesuatu yang berbahaya atau mengancam serta menimbulkan perasaan terganggu dan tidak nyaman, tentunya akan termotivasi atau berbuat sesuatu untuk mengatasi efek yang ditimbulkan oleh gejala-gejala perimenopause tersebut. Hal inilah yang tercakup dalam coping. Masalah yang ingin diungkap dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran perilaku coping yang digunakan wanita untuk mengatasi stress yang ditimbulkan oleh gejala-gejala perimenopause. Penelitian ini juga ingin mengungkapkan apakah ada perbedaan dalam jenis coping yang digunakan antara wanita yang bekeija dan yang tidak bekeija untuk mengatasi stress yang ditimbulkan oleh gejala-gejala perimenopause. Wanita yang bekeija diharapkan lebih banyak menggunakan problem focused coping. Selain itu penelitian ini juga ingin mengungkapkan perilaku coping apakah yang dirasakan paling efektif baik bagi wanita yang bekeija maupun yang tidak bekeija. Alat yang digunakan untuk melihat gejala-gejala perimenopause dibuat berdasarkan hasil elisitasi dan daftar gejala oleh Futterman & Jones dan Warga. Pilihan jawaban yang tersedia adalah ya dan tidak. Sedangkan untuk mengukur tingkat stress yang ditimbulkan oleh gejala digunakan skala l-7.Alat yang digunakan untuk mengukur perilaku coping adalah COPE inventory yang dikembangkan oleh Carver dan Scheier (1989). Alat ini terdiri dari 53 item yang terdiri dari 3 dimensi, yaitu problem focused coping, emotion focused coping dan perilaku coping tidak adaptif. Pilihan jawaban yang disediakan adalah ya dan tidak. Sedangkan untuk mengukur efektifitas coping. digunakan skala 1 sampai 7. Subjek dalam penelitian ini adalah wanita bekerja dan yang tidak bekeija, yang berusia 45-55 tahun, yang sedang berada pada masa perimenopause. Jumlah subjek yang bekeija sebanyak 30 orang dan yang tidak bekerja beijumlah 32 orang. Untuk melihat gambaran perilaku coping dan efektifitas perilaku coping tersebut digunakan teknik statistik untuk mendapatkan rata-rata {mean). Sedangkan untuk melihat apakah ada perbedaan antara wanita yang bekeija dan yang tidak bekeija dalam penggunaan jenis coping digunakan rumus t-test. Uji reliabilitas dan analisis item dari alat coping menggunakan koefisien Cronbach alpha dan metode konsistensi internal dan. Dengan Koefisien Cronbach Alpha yang dihasilkan, maka dapat dikatakan reliabilitas coping ini sedang cenderung tinggi. Dari hasil perhitungan rata-rata diketahui bahwa jenis emotion focused coping adalah jenis coping yang paling banyak digunakan baik pada wanita bekeija maupun yang tidak bekeija. Jenis coping yang dirasakan paling efektif adalah emotion focused coping. Dari hasil perhitungan t-test yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada perbedaan yang secara statistik signifikan ddam skor emotion focused coping antara wanita yang bekeija dan yang tidak bekeija, yang mana wanita yang tidak bekeija memiliki skor yang lebih besar. Hal ini berarti wanita yang tidak bekeija lebih banyak menggunakan jenis emotion focused coping dibandingkan dengan yang bekeija. Dari hasil perhitungan t-test yang dilakukan juga diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang secara statistik signifikan dalam skor problem focused coping dan perilaku coping tidak adaptif antara wanita bekeija dan yanng tidak bekerja.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S2887
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erichma Azhari
Abstrak :
ABSTRAK
Kelahiran bayi BBLR, baik KMK maupun SMK mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kematian dan kesakitan perinatal, serta dapat menimbulkan gejala sisa atau handicap di kemudian harinya (WHO,19S6). Faktor penyebab kel'ahiran bayi BBLR ini sangat kompleks dan saling berkaitan serta belum diketahui dengan pasti. Hanya sepertiga kelahiran bayi BBLR dapat di prakirakan pada waktu antenatal (Galbraith dkk.,1979). Beberapa faktor predisposisi, dikenal . mempunyai kaitan dengan bayi BBLR. Faktor risiko tersebut dapat berasal dari ibu, pi as en ta ataupun dari janin sendiri £ Renfield,1975; Lin dan Evans,1984).

Bayi BBLR saat ini masih merupakan masalah penting di berbagai negara, karena prevalensinya yang masih tinggi dan penyebab utama kematian dan kesakitan pada masa perinatal, neonatal dan di masa kanak-kanak (Jones dan Roberton,1986). Dengan pengenalan dini faktor risiko di atas, dapat dilakukan intervensi dini terhadap bayi baru lahir dalam upaya menurunkan tingkat kematian dan kesakitan bayi BBLR.

Bayi berat lahir r en dan ini terdiri dari bayi- BBLR keci 1 untuk masa kehamilan,. sesuai untuk masa kehamilan dan besar untuk masa kehamilan ( BBLR-KMK, BBLR-SMK dan 3BLR-BMK). Secara keseluruhan tingkat kematian perinatal bay I KMK masih di bawah tingkat kematian bayi BBLR-SMK, namun lebih tinggi daripada tingkat kematian bayi NCB-SMK (Ren-f ield, 1975) . Jones dan Roberton (19S6) mengutip Buttler dan Bonham (1963), melaporkan bahwa dari suatu survai kematian perinatal didapat angka kematian BBLR-KHK B kali lebih sering daripada NCB-SMK. Kejadian kematian dan kesakitan bayi BBLR tictak sama pada tiap negara, dan diprakirakan lebih tinggi di negara berkembang (Nelson dkk.jlS'SS; Hutchison, 19B4; Jones dan Raberton,19B6). DI Amerika Serikat Usher (1970) menemukan pada bayi BBLR-KMK, angka lahir mati sebesar 14 '/. dan j kematian neonatal 6 .'/.. Sarwono (1977) di RS DR Sutomo Surabaya menemukan kematian neonatal bayi KMK sebesar 10,2 '/.. Kejadian bayi BBLR-KMK di negara maju di bawah 5 "/. (Renf ield,1975; Perry dkk.,1976) dan lebih kurang ^epertiga dari bayi BBLR (Lubcheirco, 1976; Lin dan Evans, 1984) . Di negara berkembang kemungkinan akan didapat perbandingan yang sebaliknya, dimana bayi BBLR tersebut =,ebagian besarnya akan terdiri dari bayi KMK. Di Indonesia kelahiran bayi KMK ini memang lebih tinggi. Sarwono (1977) melaporkan bahwa dari hasil penelitiannya hampir setengah bayi BBLR yang diselid Ikinya adalah bayi KMK. Walaupun pada dekade terakhir tingkat kematian. perinatal dan neonatal sudah dapat diturunkan, yaitu dengan adanya perbaikan perawatan antenatal, perawatan intensif neonatus (NICU), dan pelayanan obstetrik yang bertambah baik.

Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui kejadian kelahiran, kematian dan kesakitan bayi BBLR, serta mencari faktor yang mungkin mempengaruhi kejadian tersebur, dan untuk melihat perbedaan antara bayi BBLR-KMK dan BBLR-SMK.
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Gunadi
Abstrak :
Secara alamiah ditemukan bahwa semakin lama pasien menjalani hemodialisis maka semakin besar pula risiko untuk mengalami gejala gagal jantung, tetapi hal ini masih menjadi hal yang patut untuk diselidiki teutama pada pasien yang memilki komorbid Hipertensi dan/atau diabetes serta non lansia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan gejala gagal jantung pada pasien hemodialisis kurang dari 1 tahun dibanding 1 hingga 5 tahun, non-lansia dengan diabetes mellitus tipe 2 dan hipertensi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain Cross-Sectional yang melibatkan 198 pasien hemodialisis di RS Medika BSD, Tangerang Selatan. Pengumpulan data primer diambil pada Juni 2022 dari rekam medis pasien hemodialisis. Risiko gejala gagal jantung 1,37 kali pada pasien dengan lama hemodialisis kurang dari 1 tahun dibandingkan dengan pasien dengan lama hemodialisis 1 hingga 5 tahun (PR 1,37, 95% CI 1,06 – 1,76). Sedangkan pada pra-lansia menunjukkan tidak terdapat asosiasi antara gejala gagal jantung pada pasien dengan lama hemodialisis kurang dari 1 tahun dibandingkan dengan pasien dengan lama hemodialisis 1 hingga 5 tahun (PR 0,975, 95% CI 0,83 – 1,14). Penelitian selanjutnya diharapkan dapat melibatkan data Ekokardiografi hingga biomarker jantung lainnya untuk memastikan bahwa gejala gagal jantung yang muncul pada pasien hemodialisis, merupakan manifestasi klinis dari masalah kardiovaskular dan bukanlah gejala gagal ginjal pada tahap awal. ......It is naturally found that the longer the patient undergoes hemodialysis, the greater the risk for experiencing symptoms of heart failure, but this is still something that deserves to be investigated, especially in patients who have comorbid hypertension and/or diabetes and are non-elderly. This study aims to determine the difference in symptoms of heart failure in hemodialysis patients less than 1 year compared to 1 to 5 years, non-elderly with type 2 diabetes mellitus and hypertension. This study is a quantitative study with a cross-sectional design involving 198 hemodialysis patients at Medika Hospital BSD, South Tangerang. Primary data collection was taken in June 2022 from medical records of hemodialysis patients. The risk of heart failure symptoms was 1.37 times in patients with hemodialysis duration of less than 1 year compared to patients with 1 to 5 years of hemodialysis (PR 1.37, 95% CI 1.06 – 1.76). Whereas in the pre-elderly, there was no association between symptoms of heart failure in patients with hemodialysis duration of less than 1 year compared to patients with 1 to 5 years of hemodialysis (PR 0.975, 95% CI 0.83 – 1.14). Future studies are expected to involve echocardiographic data and other cardiac biomarkers to ensure that the symptoms of heart failure that appear in hemodialysis patients are clinical manifestations of cardiovascular problems and are not symptoms of kidney failure in the early stages.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Ramadhiani
Abstrak :
Prevalensi askariasis di Jawa Barat mencapai 90% dan sebagian besar terjadi pada anak. Penyakit ini mudah ditemukan pada lingkungan yang padat dan sanitasi buruk seperti pada daerah Bantargebang. Askariasis dapat menimbulkan malnutrisi pada anak sehingga menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai gejala askariasis dengan karakteristik murid SD X Bantargebang, Bekasi. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kuesioner yang berisi 5 pertanyaan tentang gejala askariasis oleh 58 responden pada tanggal 17 Desember 2011. Data dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov menggunakan program SPSS 20. Hasil penelitian menyatakan tidak terdapat murid yang memiliki tingkat pengetahuan baik, 1( 1,7%) cukup, dan 57 (98,3%) kurang. Hasil analisis data menunjukan bahwa hubungan tingkat pengetahuan mengenai gejala askariasis dengan karakteristik demografi tidak berbeda bermakna (p>0,05). Disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan murid mengenai gejala askariasis tergolong kurang dan tidak berhubungan dengan karakteristik murid SD X Bantargebang, Bekasi.
In Jawa Barat, the prevalence of ascariasis is 90% and most of them occur in children. Bantargebang is more at risk of being ascariasis because it has high population density and bad sanitation. Ascariasis changes a nutritional status into malnutrition and affect child?s growth and development. The aim of this study is to know the association between the knowledge of ascaris symptomps and the student?s demographic characteristics in SD X Bantargebang, Bekasi. This study was held on December 17th, 2011 with 58 of students who participate to answer 5 questions about ascariasis symptomps in questionnaire. The data are analyzed with Kolmogorov-smirov test using SPSS 20. The result shows that 57 stundents (98,7%) have poor knowledge, 1 student (1,72%) has fair knowledge, and none of them has a good knowledge. The analyzed data show that relationship between level of knowledge and demographic characteristics was not significant (p>0,05). In conclusion, students have poor knowledge of ascariasis symptomps and there is no association between the level of knowledge about ascariasis symptomps and the student?s demographic characteristics in SD X Bantargebang, Bekasi.
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mirta Dwi Rahmah
Abstrak :
To analyze the relationship between exposure to xylene as organic solvents and neurotoxic symptoms as affect of xylene exposure between paint manufacture workers. Fourty-five male workers completed a symptom questionnaire 18 Germany version. Fourteen workers underwent the positive neurotoxic symptoms from the questionnaire results. In chi-square tests, confounding variables for working period, smoking habits, exercise habits, duration of xylene exposure, usage of respiratory protection, and historical disease were found a not significant relation with the symptoms of neurotoxic with affect of xylene exposure. The relation between level of exposure and age factor, in both correlation and linier regression analysis were poor relation with the symptoms of neurotoxic with affect of xylene exposure. The results suggest that a symptom and some behavioral changes shows the neurotoxic effects to low levels of xylene exposure. However, no consistent pattern was observed in regard to the effects of xylene exposure on neurobehavioral dysfunction, in regards with the confounding factors that studied.
Untuk menganalisis hubungan antara pajanan xylene sebagai pelarut organik dan gejala neurotoksik yang diakibatkan pajanan xylene pada pekerja pembuatan cat di PT. X tahun 2012. Empat puluh lima pekerja laki-laki menyelesaikan kuesioner Q18 versi Jerman. Empat belas pekerja mengalami gejala neurotoksik positif dari hasil kuesioner. Dalam uji chi-square, variabel confounding untuk masa kerja, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, lama pajanan per minggu, penggunaan perlindungan pernapasan, dan riwayat penyakit ditemukan tidak berhubungan signifikan dengan gejala neurotoksik akibat pajanan xylene. Hubungan antara tingkat pajanan xylene dan faktor usia, baik lewat uji korelasi dan analisis regresi linier menunjukkan hubungan yang lemah dengan gejala neurotoksik akibat pajanan xylene. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala neurotoksik dan beberapa perubahan perilaku terjadi pada pajanan xylene tingkat rendah. Namun, tidak ada gambaran yang menunjukkan pola yang linier yang diamati sehubungan dengan efek pajanan xylene pada gangguan neurobehavioral, berkaitan dengan faktor-faktor pengganggu yang dipelajari.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T31282
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Joseph Irwanto
Abstrak :
Menurut Institute of Health Metrics and Evaluation (IHMEI) pada tahun 2017, gangguan depresi dan cemas berada di posisi paling atas dalam menyebabkan terjadinya disabilitas. Sementara itu, penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian nomor satu secara global dan di Asia Tenggara sampai saat ini. Salah satu penyakit kardiovaskular yang umum ditemukan pada layanan kesehatan adalah Sindroma Koroner Akut. Terdapat banyak faktor risiko yang dapat memperburuk Sindroma Koroner Akut, salah satunya adalah faktor psikologis yang mencakup cemas dan depresi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian yang menelaah hubungan cemas dan depresi terhadap Sindroma Koroner Akut pasca intervensi koroner perkutan untuk mewujudkan tatalaksana Sindroma Koroner Akut yang komprehensif. Penelitian dilakukan menggunakan desain penelitian analitik observasional dengan rancangan studi kohort prospektif. Penelitian menggunakan sampel sebanyak 50 subjek dengan Sindrom Koroner Akut atau Kronik yang menjalani intervensi koroner perkutan di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo serta RS Jantung Jakarta. Kondisi subjek penelitian dinilai menggunakan beberapa instrumen: HAM-D untuk pengukuran gejala depresi, HAM-A untuk pengukuran gejala cemas, skoring Canadian Cardiovascular Society untuk pengukuran derajat gejala Sindrom Koroner Akut dan Kronik, dan pengukuran TIMI Flow untuk pengukuran sumbatan pada pembuluh darah jantung. Analisis multivariat regresi logistik dilakukan untuk mengetahui kekuatan hubungan faktor demografi, psikologis, dan medik serta derajat depresi dan cemas pada kasus Sindrom Koroner Akut dan Kronik terhadap perbaikan pasca intervensi koroner perkutan. Dari 50 subjek, sebanyak 92,0% mengalami gejala cemas dan sebanyak 50,0% mengalami gejala depresi sebelum menjalani intervensi koroner perkutan. Setelah tindakan turun menjadi 18% mengalami gejala cemas dan 10% ada gejala depresi. Pada penelitian ini, tidak ditemukan hubungan bermakna antara gejala cemas dan depresi pra intervensi koroner perkutan dengan perbaikan yang dirasakan pasca intervensi koroner perkutan. Analisis multivariat menemukan tidak menikah/bercerai berperan (p = 0,012; OR = 13,449; IK = 1,753 – 103,184) sebagai faktor risiko terhadap tidak mengalami perbaikan setelah intervensi koroner perkutan pada kasus Sindrom Koroner Akut dan Kronik. ......According to the Institute of Health Metrics and Evaluation (IHMEI) in 2017, anxiety and depressive disorders were the most prominent cause of disability. On the other hand, cardiovascular diseases are the highest cause of death in global and Southeast Asia until now. One of the most common cardiovascular diseases found in healthcare services is Acute Coronary Syndrome. Numerous factors play a role in the worsening of Acute Coronary Syndrome, one of such factors is psychological factors, including anxiety and depression. Therefore, study targeting the relationship of anxiety and depressive symptoms towards Acute Coronary Syndrome post PCI is needed to establish a comprehensive treatment of Acute Coronary Syndrome. Research is done in observational analytical design with prospective cohort study design. Research data is gathered from 50 patients with Acute or Chronic Coronary Syndrome who underwent percutaneous coronary intervention in Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital and Jakarta Heart Hospital. Subjects have their conditions assessed by using several instruments: HAM-D to measure depression severity, HAM-A to measure anxiety severity, Canadian Cardiovascular Society scoring to measure severity of Acute or Chronic Coronary Syndrome and TIMI Flow measurement to examine the occlusion in coronary arteries. Logistic regression multivariate analysis was utilized to examine the implication of demographic, psychological, medical factors and depression and anxiety severity in Acute and Chronic Coronary Syndrome cases towards improvement felt post percutaneous coronary intervention. Out of 50 subjects, 92,0% had anxiety symptoms and 50,0% had depression symptoms before they had percutaneous coronary intervention. After intervention this number decreased to 18% had anxiety and 10% still had depression symptoms. No significant relationship was found between anxiety and depression symptoms pre-PCI with improvement felt post-PCI. Multivariate analysis found that being not married/divorced (p = 0,012; OR = 13,449; CI = 1,753 – 103,184) as a risk factor towards not feeling any improvement post-PCI.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Riris Himawati
Abstrak :
Latar belakang. Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis kolitis adalah enema barium kontras ganda dan kolonoskopi. Beberapa kepustakaan menyatakan enema barium dan kolonoskopi merupakan dua modalitas pemeriksaan kolon yang saling melengkapi dengan keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Dengan adanya kolonoskopi, saat ini penderita dengan kecurigaan kolitis jarang dikirim ke bagian Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo untuk pemeriksaan enema barium kontras ganda. Tujuan. Penelitian ini dilakukan untuk menilai tingkat keselarasan hasil pemeriksaan enema barium kontras ganda (EBKG) dengan kolonoskopi dan mengevaluasi apakah EBKG dapat menjadi modalitas diagnostik alternatif pada penderita dengan gejala kolitis. Bahan dan Cara kerja. Penelitian dilakukan pada kelompok penderita dengan diagnosis kecurigaan kolitis selama periode Juni 1998 sampai dengan Oktober 1998 diteruskan Februari 1999 sampai dengan April 1999. Sesuai dengan perhitungan jumlah sampel minimal didapatkan 20 penderita yang mendapat perlakuan pemeriksaan EBKG dan kolonoskopi masing-masing dibagian radiologi dan di sub bagian gastroenterologi penyakit dalam RSUPNCM. Hasil. Pada pemeriksaan EBKG didapatkan 40% penderita kolitis dan 60% bukan kolitis sedangkan dengan kolonoskopi didapatkan penderita kolitis dan bukan kolitis sama banyak. Hasil kedua pemeriksaan tersebut dibandingkan dengan menggunakan rumus Kappa, dan diperoleh nilai K 0,78. Kesimpulan. Terdapat keselarasan yang cukup baik antara EBKG dengan kolonoskopi. Sedangkan pada kasus kolitis lanjut yang lokasi kelainannya di caecum dan appendiks pemeriksaan EBKG lebih unggul.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57299
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Dwinanti Amanda
Abstrak :
Latar Belakang: Perilaku kekerasan yang berpotensi membahayakan diri sendiri dan orang lain banyak dijumpai pada orang dengan gangguan psikotik. Salah satu penyebab terjadinya perilaku kekerasan adalah gejala positif yang dialami mereka. Dengan mengetahui hubungan antara gejala positif dan perilaku kekerasan, diharapkan dapat mencegah terjadinya perilaku kekerasan dan dapat dilakukan penatalaksaan yang sesuai. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara gejala positif dengan perilaku kekerasan pada gangguan psikotik. Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik potong lintang. Pengambilan sampel dilakukan dengan simple random sampling pada warga binaan Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Cipayung, sebanyak 90 orang, yang dirawat selama periode April-Mei 2014. Pada subyek penelitian dilakukan wawancara penapisan gejala psikotik menggunakan MINI ICD 10 yang dilanjutkan dengan pemeriksaan gejala positif menggunakan PANSS skala positif dan penilaian perilaku kekerasan menggunakan OAS. Hasil: Pada hasil analisis, terdapat hubungan antara gejala positif dengan perilaku kekerasan (p<0,001; r = 0,629). Gejala positif yang memiliki hubungan sedang dengan perilaku kekerasan antara lain gaduh gelisah dan kejaran. Sedangkan waham, permusuhan dan perilaku halusinasi memiliki hubungan lemah dengan perilaku kekerasan. Gejala positif berupa kekacauan proses pikir dan waham kebesaran memiliki hubungan sangat lemah dengan perilaku kekerasan. Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara gejala positif dengan perilaku kekerasan pada gangguan psikotik.
Background: Violent behaviors which potentially harmful to self and others are found usually in people with psychotic disorder. One of the reasons for the behavior to take place is the positive symptoms experienced by these individuals. By determining the association between positive symptoms and violent behaviors, it is hoped that these behaviors can be prevented and managed appropriately. This research is conducted to find association between positive symptoms and violent behaviors in psychotic behavior disorder. Method: This is an analytical cross sectional research. Samples were taken by means of simple random sampling from residents of Bina Laras Harapan Sentosa 2 Cipayung Social Rehabilitation center, with 90 subjects cared for during the period of April to May 2014. Subjects were given screening interview for psychotic symptoms using MINI ICD 10, then proceed to positive symptoms examination using positive scale of PANSS and rating of violent behavior using OAS. Result: The coefficient correlation between positive symptoms and violent behaviors was r = 0,629 (p<0,001). Positive symptoms with moderat correlation with violents behaviors are agitation and paranoia. Meanwhile delusion, hostility and hallucinatoric behaviors have weak correlation with violent behaviors. Positive symptoms such as disorganized thought process and grandiose delusion have very weak correlation with violent behaviors. Conclusion: Significant correlation is found between positive symptoms and violent behaviors in psycotic disorder.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Owena Ardra
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan keberfungsian keluarga sebagai prediktor terhadap gejala depresi remaja. Keberfungsian keluarga menurut Teori McMaster ialah kemampuan keluarga untuk menyediakan lingkungan yang efektif bagi perkembangan, fisik maupun psikis, anggotanya. Keberfungsian keluarga diukur dengan kuesioner Family Assessment Device FAD . Gejala depresi pada penelitian ini merupakan gejala depresif inti pada ranah suasana hati dan perasaan yang diukur dengan Short Mood and Feelings Questionnaire SMFQ . Responden penelitian merupakan remaja berusia 13-21 tahun. Teknik analisis statistik yang digunakan ialah linear regression. Analisa statistik tambahan dilakukan dengan mengontrol variabel jenis kelamin dan riwayat gangguan psikologis orangtua. Hasil penelitian dengan 488 responden menunjukkan keberfungsian keluarga sebagai prediktor signifikan berkontribusi sebesar 25 terhadap gejala depresi. Beberapa dimensi yang berperan sebagai prediktor secara signifikan ialah dimensi komunikasi, dimensi respon afektif, dimensi keterlibatan afektif, dan dimensi kontrol perilaku.
ABSTRACT
This study aimed to examine the role of family functioning as predictor for depressive symptoms in adolescent. Family rsquo s major function, based on McMaster Theory, is to provide the most effective settings for the member rsquo s development. The variable of family functioning by McMaster was measured with Family Assessment Device FAD and the variable of depressive symptoms was measured with Short Mood and Feelings Questionanire SMFQ . Respondents of this study were 488 adolescents with age from 13 to 21. The statistic techniques used to process the data was linear regression. Additional analyses was conducted by controlling the variable of sex and parents rsquo history of psychological disorder. The results revealed that family functioning has a significant role as predictor and contributes 25 to depressive symptoms in adolescent. Some of the dimensions of family functioning with significant role as predictor are communication, affective responsiveness, affective involvement, and behavior control.
2017
S68379
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>