Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Meeker, Meg
Jakarta: Opus Press, 2012
306.874 2 MEE s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Isna Nur Hayatinnisa
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap keterlibatan ayah dalam domain afektif dan domain perilaku dengan penerapan self-regulated learning pada mahasiswa. Variabel keterlibatan ayah diukur dengan menggunakan The Father Involvement and Nurturant Fathering Scales: Retrospective Measures for Adolescent and Adult Children yang dikembangkan oleh Finley dan Schwartz (2004), sedangkan variabel self-regulated learning diukur menggunakan alat ukur Self-Regulated Learning yang disusun oleh Hariseno (2012). Penelitian melibatkan 283 mahasiswa tahun pertama berusia 18 hingga 21 tahun yang berasal dari berbagai perguruan tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan antara persepsi terhadap keterlibatan ayah dalam domain afektif dan domain perilaku dengan penerapan SRL pada mahasiswa (r = 0.193, p<0.01, two-tailed; r = 0.247, p<0.01, two-tailed). Hasil tersebut menunjukkan bahwa peran ayah dalam pengasuhan perlu diperhatikan karena berhubungan dengan perkembangan anak dalam aspek akademik.
This study examined the relationship between perception of father involvement, consists of father nurturance and reported father involvement, and implementation of self-regulated learning on university students. Father involvement was measured using The Father Involvement and Nurturant Fathering Scales: Retrospective Measures for Adolescent and Adult Children by Finley and Schwartz (2004) and self-regulated learning was measured using Self-Regulated Learning scale by Hariseno (2012). This study involved 283 first-year students aged 18 to 21 years old from various universities. The result indicated that there is a positively significant relationship between both domains of father involvement (father nurturance and reported father involvement) with implementation of self-regulated learning on university students (r=0.193, p<0.01, two-tailed; r=0.247, p<0.01, two-tailed). This result showed that father involvement should get more attention because it has a correlation with children?s development on academic aspect.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S59135
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shitami Ambarsari
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara Keterlibatan Ayah dan Kompetensi Sosial pada remaja madya (15-17 tahun). Pengukuran keterlibatan ayah dilakukan menggunakan Nurturant Fathering Scale (NFS) dan Father Involvement Scale (FIS) (Finley & Schwartz, 2004), sedangkan kompetensi sosial menggunakan Interpersonal Competence Questionnaire (ICQ, Buhrmester, 2002). Sampel dalam penelitian ini berjumlah 121 orang dengan karakteristik berasal dari keluarga utuh dan status sosial-ekonomi menengah ke atas. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keterlibatan ayah dan kompetensi sosial (r = 0,143, p>0,05; r = 0,109, p>0,05; r = -0,07, p>0,05; r = 0,03, p>0,05). Namun keterlibatan ayah ditemukan berhubungan secara signifikan dengan salah satu dimensi dari kompetensi sosial, yaitu kemampuan membangun hubungan baru. Berdasarkan domain keterlibatan, domain afektif memiliki nilai korelasi yang paling besar dengan kompetensi sosial (r = 0,143).
This research was conducted to examine the relationship between father involvement and social competence in middle adolescence (15-17 years old). Researcher used Nurturant Fathering Scale (NFS) and Father Involvement Scale developed by Finley and Schwartz (2004) to measure father involvement. Whereas social competence was measured by Interpersonal Competence Questionnaire-Revised developed by Buhrmester (2002). The participants of this research are 121 high school students from intact families and middle to high social class (SES). The results showed no significant relationship between father involvement and social competence (r = 0,143, p>0,05; r = 0,109, p>0,05; r = -0,07, p>0,05; r = 0,03, p>0,05). However, father involvement was found to have a significant correlation with one dimension of social competence, that is initiating relationship. Based on domain of father involvement, affective domain has the biggest coefficient of correlation with social competence (r=0,143).
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46847
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Colfer, Eoin
Abstrak :
When Artemis learns that his father has been kidnapped by the Russian mob, he races to the Arctic Circle to make a daring rescue, where he finds an old acquaintance, Captain Holly Short, who is investigating a plot of the goblin mob.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018
823 COL a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Adelia
Abstrak :
ABSTRACT
Setelah Perang Dunia II, masyarakat Jepang menganut maskulinitas hegemonik sarariiman, di mana laki-laki dewasa diekspektasikan untuk menjadi pencari nafkah dengan cara menjadi pekerja kantoran berkerah putih. Namun, setelah resesi ekonomi di era 1990an, ketidaktertarikan dari pemuda Jepang untuk bekerja kantoran mulai terlihat dan maskulinitas-maskulinitas baru pun mulai muncul. Salah satunya adalah maskulinitas alternatif bapak rumah tangga. Manga Gokushufudo bercerita tentang seorang mantan yakuza bernama Tatsu yang beralih profesi menjadi bapak rumah tangga. Dengan metode deskriptif analisis, penelitian ini menganalisis bagaimana representasi maskulinitas alternatif tersebut ditampilkan secara positif di dalam manga untuk memberikan sugesti kepada pembaca bahwa maskulinitas alternatif merupakan sesuatu yang dapat diterima oleh masyarakat Jepang.
ABSTRACT
After World War II, Japanese society embraced the sarariiman hegemonic masculinity, in which adult men are expected to become breadwinners by becoming white-collar office workers. However, after the economic recession in the 1990s, the Japanese youths interest to become office workers has begun to decline, and new masculinities began to emerge. One of those masculinities is the alternative masculinity of househusband. Manga Gokushufudo tells the story of a former Yakuza named Tatsu who became a househusband. Using the descriptive analysis method, this study analyzes how the representation of alternative masculinity is shown positively in the manga to suggest that the alternative masculinity of househusband is something that can be accepted in the Japanese society.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risma Alifa
Abstrak :
Setiap orang menginginkan kebahagiaan untuk memudahkan mereka dalam mencapai tujuan hidup. Diener (2002) menyebutkan kebahagiaan juga disebut sebagai subjective well-being. Oleh karena itu, subjective well-being penting untuk semua orang terutama remaja yang berada pada fase krisis karena kehilangan ibu yang meninggal, bercerai, atau ibu sebagai buruh migran. Kondisi ini membuat anak terpaksa tinggal hanya bersama ayah. Ayah yang biasanya dipersepsikan kurang terlibat dalam kehidupan anak, dapat memprediksi subjective well-being mereka. Hal ini membuat keterlibatan ayah sangat penting untuk remaja. Remaja yang berada pada keluarga ayah tunggal banyak terjadi di Karawang, sehingga responden penelitian ini adalah 56 remaja awal berusia 12-15 tahun yang tinggal hanya bersama ayah di Karawang. Alat ukur yang digunakan adalah The Satisfaction With Life Scale (Diener, Emmons, Larsen, & Griffin, 1985), Positive and Negative Affect Schedule (Watson, Clark, & Tellegan, 1988), dan Subjective Happiness Scale (Lyubomirsky & Lepper, 1999), Nurturant Fathering Scale dan The Father Involvement Scale (Finley & Schwartz, 2004). Teknik analisis yang digunakan adalah simple regression. Hasil penelitian menunjukkan father involvement memprediksi afek positif dan perceived father’s involvement memprediksi afek negatif. ......Everyone wants happiness to facilitate them in achieving life's goals. Diener (2002) said happiness is also referred to as subjective well-being. Therefore, subjective well-being is important for everyone especially adolescents who are in the crisis phase because of the loss of a deceased mother, divorced, or mother as a migrant worker. This condition makes the child be forced to stay with the father. Fathers who are commonly perceived as less involved in child life, can predict their subjective well-being. This makes father’s involvement very important to them. Many adolescents in a single father family was in Karawang, so the respondents of this research was 56 early adolescents aged 12-15 years who lived only with the father in Karawang. The measuring instruments used are The Satisfaction With Life Scale (Diener, Emmons, Larsen, & Griffin, 1985), Positive and Negative Affect Schedule (Watson, Clark, & Tellegan, 1988), and Subjective Happiness Scale (Lyubomirsky & Lepper, 1999), Nurturant Fathering Scale and The Father Involvement Scale (Finley & Schwartz, 2004). The analytical techniques used is simple regression. The results showed father involvement component predicted a positive affect and two component of perceived father's involvement predicted negative affect.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fachriza Putra
Abstrak :
Pada tahap dewasa madya, seorang ayah yang bekerja dihadapkan pada berbagai tanggung jawab, termasuk mencari nafkah dan terlibat aktif dalam urusan keluarga. Peran yang kompleks ini dapat mempengaruhi kepuasan pernikahannya. Dalam upaya mencapai kepuasan dalam pernikahan, komitmen menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara tingkat komitmen dengan tingkat kepuasan pernikahan pada ayah yang bekerja. Partisipan penelitian ini berjumlah 241 responden berusia antara 40 hingga 65 tahun, yang telah menikah, bekerja, memiliki anak, dan juga memiliki orang tua atau mertua yang masih menjadi tanggungan. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner yang dirancang khusus untuk mengukur tingkat komitmen menggunakan Investment Model of Commitment Scale dan tingkat kepuasan pernikahan menggunakan Couple Satisfaction Index-16 Item. Hasil analisis korelasi menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara komitmen dengan kepuasan pernikahan (r(239) = 0,376, p < 0,01, one-tailed). Para responden yang menunjukkan tingkat komitmen yang tinggi cenderung memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang tinggi. Penelitian ini menyajikan informasi yang berharga tentang pentingnya komitmen dalam mencapai kepuasan pernikahan pada ayah yang berada dalam tahap dewasa madya. Temuan ini dapat memberikan wawasan bagi para ayah yang ingin meningkatkan kualitas hubungan pernikahan mereka. ......During the middle adulthood stage, a working father faces various responsibilities, including providing for the family's financial needs and actively participating in family matters. This complex role can influence the satisfaction in his marital relationship. In the effort to achieve marital satisfaction, commitment becomes a crucial factor that needs to be considered. This research aimed to examine the relationship between the level of commitment and marital satisfaction among working fathers. The study involved 241 participants aged between 40 and 65 years, who were married, employed, had children, and also had elderly parents or in-laws as dependents. Data were collected using specially designed questionnaires to measure the level of commitment using the Investment Model of Commitment Scale and the level of marital satisfaction using the Couple Satisfaction Index-16 Item. The results of the correlation analysis showed a significant positive relationship between commitment and marital satisfaction (r(239) = 0.376, p < 0.01, one-tailed). Respondents who demonstrated higher commitment levels tended to have higher levels of marital satisfaction. This study provides valuable information about the importance of commitment in achieving marital satisfaction among fathers in the middle adulthood stage. These findings can offer insights for fathers who seek to enhance the quality of their marital relationships.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adella Christabel Faustina Setianingrum Nugroho
Abstrak :
Artikel ini membahas ikumen sebagai active fathers dalam dinamika peran gender keluarga Jepang kontemporer. Upaya penulis adalah untuk memahami peran aktif ikumen secara komprehensif, baik dalam wacana maupun praktik pengasuhan anak dalam kehidupan sehari-hari, melalui perspektif gender equal parenting. Metode yang digunakan adalah metode studi pustaka pendekatan kualitatif dengan interplanetary theory of complete and universal gender difference oleh Michael Kimmel. Hasil penelitian menunjukkan fenomena ikumen sebagai active fathers merupakan suatu bentuk perubahan sikap (attitudes) dan perilaku (behaviors) ayah dalam konteks peran pengasuhan anak yang pada gilirannya membawa dinamika tersendiri dalam peran gender di antara ayah dan ibu. Wacana dan praktik pengasuhan anak yang lahir dari media seperti Ikumen Project, majalah FQ Japan, NPO Fathering Japan, serta usaha pemerintah dengan digagasnya UU Pengasuhan Anak, turut berkontribusi terhadap peningkatan kesadaran para ayah akan pentingnya kontribusi mereka. Namun demikian, perubahan sikap dan perilaku ayah dalam pengasuhan anak melalui fenomena ikumen ini, belum dapat dikatakan merevolusi habitus bekerja dan pembagian peran gender tradisional dalam masyarakat Jepang. ......This article discusses ikumen as active fathers in the dynamics of gender roles in contemporary Japanese families. The author's effort is to understand the active role of ikumen in a comprehensive way, both in the discourse and practice of parenting in everyday life, through the perspective of gender equal parenting. The method used is a qualitative approach literature study method with interplanetary theory of complete and universal gender difference by Michael Kimmel. The results of the study show that the ikumen phenomenon as active fathers is a form of change in the attitudes and behavior of fathers in the context of the parenting role which in turn brings its own dynamics in gender roles between fathers and mothers. Discourses and practices of parenting born from media such as Ikumen Project, FQ Japan magazine, NPO Fathering Japan, as well as the government's efforts with the initiation of the Child Care Law, have contributed to increasing the awareness of fathers about the importance of their contribution. However, the changes in fathers' attitudes and behavior in parenting through this ikumen phenomenon, cannot be said to have revolutionized work habits and the division of traditional gender roles in Japanese society.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Zainuddin
Abstrak :
Perkembangan penalaran moral ditentukan oleh banyak faktor antara lain faktor lingkungan keluarga dan sekolah. Dalam lingkungan keluarga, proses pengasuhan khususnya ayah berperan dalam perkembangan penalaran moral remaja. Begitu juga dalam lingkungan sekolah, teman sebaya memiliki andil yang cukup berarti. Berkaitan dengan peran orangtua, secara tradisional pengasuhan dalam arti mendidik dan membesarkan anak lebih dibebankan kepada ibu. Peran ayah lebih dikaitkan dengan peran sehagai pendukung ekonomi yang membutuhkan keterampilan intelektual (Phares, 1996) sehingga keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak tidak mendalam. Sesuai dengan perkembangan zaman jumlah wanita yang bekerja meningkat, ayah pun mulai dituntut untuk terlibat dalam pengasuhan anak. Penelitian ini mengenai perkembangan penalaran moral remaja dikaitkan dengan peran ayah dan peran teman sebaya. Tujuan penelitian ini adalah (1) membuktikan apakah ayah berperan dalam pencapaian tahap penalaran moral remaja (2) membuktikan apakah teman sebaya berperan dalam pencapaian tahap penalaran moral remaja dan (3) membuktikan apakah ayah dan teman sebaya secara bersama-sama berperan dalam pencapaian tahap penalaran moral remaja. Sampel penelitian ini adalah 160 siswa SMA Lab. School Rawamangun Jakarta kelas II tahun ajaran 2004/2005. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner persepsi remaja terhadap peran ayah yang disusun berdasarkan dimensi pengasuhan yang dikembangkan oleh Barber. Alat ukur lain adalah kuesioner persepsi remaja terhadap peran teman sebaya berdasarkan dimensi kelekatan remaja dengan teman sebaya dari Armsden & Greensberg. Untuk mengukur tahap penalaran moral remaja digunakan Defining Issues Test (DIT) yang dikembangkan oleh Rest. Analisis data yang digunakan adalah teknik analisis korelasi dan regresi. Hasil penelitian menunjukkan ballwa peran ayah dan peran teman sebaya menunjukkan tidak ada hubungannya dengan perkembangan penalaran moral remaja. Hasil penelitian tidak sesuai dengan teori mungkin disebabkan peran ayah khususnya di Indonesia memang tidak sebesar di negara Barat, walaupun ayah ikut terlibat dalam kegiatan rumah tangga namun umumnya masih berpegang pada norma-norma mengenai pembagian kerja. Selain itu alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Meskipun demikian, orangtua terutama ayah perlu juga memperhatikan hal seperti yang dikatakan dalam berbagai tinjauan teoritis bahwa ayah yang berperan aktif dalam pengasuhan remaja akan mengurangi terjadinya ketimpangan dalam pertumbuhan remaja tersebut khususnya perkembangan penalaran moral. Saran utama yang diajukan sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perkembangan penalaran moral remaja agar didapatkan gambaran faktor-faktor lain yang ikut memberikan kontribusi. Saran juga ditujukan kepada keluarga, sekolah, dan praktisi pendidikan sehingga memiliki gambaran dalam rangka melakukan pembinanan terhadap moral remaja.
2005
T18600
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Sari Dewi
Abstrak :
Keluarga merupakan relasi pertama dan terpenting, yang berperan krusial dalam menentukan kesehatan mental individu dan kesejahteraan keluarga. Teori Struktur Keluarga meyakini bahwa keluarga utuh merupakan struktur ideal yang menunjang keberfungsian keluarga tersebut. Keberfungsian keluarga yang dapat mengakomodasi kebutuhan dasar dan coping anggotanya dalam melakukan penyesuaian dari tuntutan diri dan lingkungan merupakan indikator kesejahteraan keluarga. Namun realita menunjukkan terjadinya pergeseran tren struktur keluarga hampir di seluruh dunia dalam lima dekade terakhir akibat berkembangnya konsep orang tua tunggal, yang salah satu sebabnya adalah perceraian. Fenomena perceraian di Indonesia setiap tahun terus meningkat, yang berdampak pada peningkatan jumlah keluarga ibu tunggal. Dampak perceraian tidak hanya dirasakan oleh ibu, namun juga diyakini mempengaruhi kesejahteraan anak. Teori Sistem Keluarga memahami perceraian bukan sebagai kondisi patologis pada kehidupan keluarga, namun merupakan transisi dalam perkembangan keluarga. Argumentasi utama disertasi ini adalah bahwa kesejahteraan keluarga tetap dapat diraih oleh keluarga berstruktur tidak utuh akibat perceraian. Kekhasan penelitian ini menunjukkan sudut pandang ibu-anak sebagai unit sistem keluarga yang mengalami perubahan struktur pasca perceraian. Tujuan penelitian ini untuk memahami kesejahteraan keluarga pada keluargaibu tunggal pasca perceraian dan mengembangkan model interaksi keluarga pasca perceraian, yang membantu mereka menghadapi perubahan struktur keluarga. Studi pertama mengungkap gambaran kesejahteraan keluarga pada keluarga ibu tunggal pasca perceraian dan faktor-faktor internal yang mendukung ibu-anak dalam menghadapi tantangan pasca perceraian. Sedangkan pada studi kedua, berfokus pada dinamika interaksi keluarga, dukungan sosial, dan peran ayah pasca perceraian dalam menghadapi tantangan keluarga berstruktur tidak utuh untuk meraih kesejahteraan keluarga. Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian, yang pada studi pertama berdesain fenomenologi dengan teknik analisis tematik. Selanjutnya, studi kedua berdesain studi kasus instrumental dengan teknik analisis: categorical aggregation, pattern matching, dan explanation builiding. Partisipan penelitian ini adalah sepuluh ibu (30 – 48 tahun) dan empat anak (18 – 30 tahun). Hasil studi mengungkap kesejahteraan keluarga pada ibu tunggal pasca perceraian dipahami sebagai kebersamaan ibu-anak dalam interaksi yang hangat dan terpenuhinya kebutuhan keluarga. Tidak hanya itu, kebaharuan dari studi ini mengisi celah dalam FST dengan menjelaskan peran interaksi keluarga yang berkualitas merupakan hub antara tahap reorganisasi dan keberfungsian keluarga pasca perceraian dalam proses penyesuaian menuju kesejahteraan keluarga. Keluarga bercerai dapat memperoleh kesempatan mencapai kesejahteraannya ketika memiliki kondisi penyangga protektif berupa kemandirian finansial ibu, keterbukaan dalam interaksi dan relasi positif ayah-anak, proaktif dalam mencari dukungan sosial, serta spiritualitas positif pada ibu. Konsep maternal gatekeeping memegang peran kunci dalam kualitas interaksi keluarga pasca perceraian. Peran ayah pasca perceraian, bukan terlibat dalam co-parenting, namun menyediakan relasi positif bersama anak. Meskipun demikian, perceraian tetap membawa dampak psikologis pada anak terkait dengan makna keluarga, skema gender, perbedaan persepsi terhadap dukungan keluarga besar, dan timbulnya Adverse Childhood Experiences (ACE). ......Family is the first and most important relationship that influences individual mental health and well-being. According to Family Structure Theory, the intact family is the ideal structure that supports family functioning. Family well-being is indicated by family functioning that can accommodate the basic needs and coping while making adjustments to the demands of themselves and the environment. However, the reality shows that there has been a shift in the trend of family structure over the last five decades as a result of the development of the single parent concept, one of which is divorce. The phenomenon of divorce in Indonesia continues to increase every year, which has an impact on the increasing number of single-mother families. Family System Theory (FST) understands divorce not as a pathological condition in family life but as a transition in family development. The main argument of this dissertation is that family well-being can still be achieved by families with non-intact structures due to divorce. The strength of this study is that it shows the mother-child point of view as a unit of the family system that undergoes structural changes after divorce. The purpose of this study is to understand family well-being in single-mother families post-divorce and to reveal models of post-divorce family interactions that help them deal with changes in family structure. The first study reveals a picture of family well-being in post-divorce single- mothers’ families and the internal factors that support mothers and children in facing post-divorce challenges. The second study focuses on the dynamics of family interactions, social support, and the role of fathers after divorce in facing the challenges of a non-intact structured family to achieve family well-being. A qualitative approach was used in the research, which in the first study had a phenomenological design with thematic analysis techniques. Furthermore, the second study was designed as an instrumental case study using analytical techniques such as categorical aggregation, pattern matching, and explanation building. The participants of this study were ten mothers (30–48 years of age) and four children (18–30 years of age). According to the study's findings, family well-being in single mothers after divorce is defined as mother-child togetherness in warm interactions and the satisfaction of family needs. Furthermore, the study's novelty fills a gap in the FST by explaining the role of quality family interaction as a hub between the reorganization stage and post-divorce family functioning in the adjustment process toward family well-being. Divorced families have a better chance of achieving well-being when they have buffering conditions such as the mother's financial independence, openness in relationships and positive father-child interactions, being proactive in seeking social support, and positive spirituality in mothers. Maternal gatekeeping is an important concept in the quality of post-divorce family interactions. Fathers' roles after divorce, not co-parenting, but in providing a positive father-child relationship. Divorce, on the other hand, continues to have a psychological impact on children in terms of family meaning, gender schemes, different perceptions of extended family support, and the emergence of Adverse Childhood Experiences (ACE).
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
D-pdf;D-pdf;D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>