Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agustin Indrawati
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian : Adanya imunoglobulin M (IgM) pada serum merupakan salah satu tanda terjadinya suatu infeksi awal, sehingga dengan ditemukannya suatu bahanl metode yang bisa mendeteksi adanya IgM secara tepat dan cepat, penyakit dapat segera terdeteksi. Pada penelitian ini ,dicoba membuat antibodi monoklonal terhadap IgM manusia dengan cara memfusikan sel splenosit mencit imun dengan sel mieloma NS1 yang dibantu dengan fusogen Poly Ethylene Glycol 4000,50%. Hasil fusi kemudian didistribusikan kedalam pelat mikrotiter dan sel hibrid diseleksi dengan mengunakan medium Hypoxantine, Aminopterine , Tymidine. Setelah terbentuk koloni sel hibrid kemudian dilakukan penapisan antibodi dengan cara ELISA dengan IgM manusia sebagai antigen. Sel hibrid dengan nilai optical density tinggi dilakukan kloning dan subkloning. Hasil dari subkloning dengan nilai OD tinggi dilakukan uji reaksi silang dengan imunoglobulin lain yaitu IgG, IgA dan serum minus IgG, IgM dan IgA. Untuk menguji ada tidaknya reaksi silang dengan imunoglobulin lain pembuktian adanya reaksi silang dilakukan uji kompetitif dan uji dengan menggunakan berbagai konsentrasi dari IgG,IgM dan IgA. Uji lain yang dilakukan adalah uji untuk menentukan klas dan subklas dari antibodi monoklonal yang dihasilkan. Hasil : Sel splenosit yang digunakan untuk fusi adalah 1,2x108 clan 3x107 sel mieloma dengan perbandingan 1 : 4. Dari 576 sumur pelat milcrotiter didapatkan pada 333 sumur tumbuh koloni set hibrid, 93 sumur tidak terdapat koloni dan 150 sumur kontaminasi. Setelah dilakukan penapisan antibodi, koloni sel hibrid dengan nilai OD tinggi disubkloning dan diambil 5 untuk disubkloning kembali. Dan 5 klon awal tersebut diambil 8 klon dengan nilai OD tinggi untuk uji reaksi silang. Dui kedelapan klon tersebut setelah diuji reaksi silang masih mengenali IgG clan IgA, kemudian diuji dengan uji kompetitif dan uji dengan berbagai konsentrasi. Dari kedua uji tersebut, kedelapan klon menunjukkan tidak adanya reaksi silang dengan imunoglobulin lain yaitu IgG, IgA dan serum minus. Pada uji penentuan klas dan subklas diperoleh basil 6 klon merupakan klas dan subklas IgG2a dan 2 klon tidak diidentifikasi. Kesimpulan : Diperoleh 8 klon yang spesifik terhadap imunoglobulin M manusia. Dan kedelapan klon tersebut 6 klon merupakan klas dan subklas IgG2a dan 2 klon tidak diidentifikasi. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan perlu dilakukan pengujian terhadap rantai ringan dari 1gM dan dilakukan tahap produksi dan pemurnian.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusman
Abstrak :
ELISA merupakan metode alternatif untuk mendeteksi residu tetrasiklin pada produk hewan. Síntesis imunogen tetrasiklin dan produksi antibodi anti tetrasiklin merupakan dua tahapan penting yang harus dilakukan jika ingin melakukan analisis residu tetrasiklin dengan metode ELISA. Metode tolidin dan metode NCS dapat digunakan untuk mensintesis imunogen tetrasiklin. Imunogen TC-Tolidin-BSA berwarna ungu dan menyerap pada dua λ maks yaitu 277 nm dan 491 nm, sedangkan imunogen TC-NCS-BSA berwarna kuning kecoklatan dan menyerap pada dua λ maks yaitu 278 nm dan 322 nm. Hasil KLT dan HPLC menunjukan bahwa kedua imunogen yang dihasilkan cukup murni. Dari hasil SDS-PAGE dapat diperkirakan BM dari TC-Tolidin-BSA adalah sebesar 71.219 Da sedangkan BM TC-NCS-BSA sebesar 70.501 Da. Nilai BM dari kedua imunogen tetrasiklin lebih besar dibandingkan BM dari BSA (berbanding terbalik dengan Rf), hal ini menunjukkan bahwa imunogen sudah terbentuk. Produksi antibodi anti tetrasiklin dilakukan dengan cara imunisasi imunogen TC-Tolidin-BSA dan TC-NCS-BSA pada perbandingan 1:75 terhadap kelinci white New Zealand berkelamin jantan. Purifikasi antibodi dilakukan dengan protein A sepharose yang spesifik mengikat IgG. Konsentrasi IgG tertinggi dari kedua imunogen terdapat pada fraksi 1, yaitu sebesar 10.93 mg/mL untuk imunogen TC-Tolidin-BSA dan 10.61 mg/ mLuntuk TC-NCS-BSA. Hasil SDS-PAGE terhadap antibodi menunjukkan bahwa IgG terurai menjadi 2 pita (rantai ringan dan rantai berat).
ELISA is an alternative method for detecting tetracycline residues in animal products. This method has been known as rapid, sensitive, specific, and cost-effective analysis. Synthesis of tetracycline immunogen and production of anti-tetracycline antibody are two important steps which must be done if we like to analysis of tetracycline residues with ELISA. Tolidine and NCS methods applicable to synthesis of tetracycline immunogens. Tolidine method produce a purple immunogen (TC-Tolidine-BSA) and absorb at two maximum wavelength (277 nm and 491 nm), while NCS method produce a yellowish-brown immunogen (TC-NCS-BSA) and absorb at two maximum wavelength (278 nm and 322 nm). TLC and HPLC result show that both of immunogens have good purity because have not contain free tetracycline and residue of reagent. From result of SDS-PAGE can be estimated molecular weight (MW) of TC-TOLIDINBSA equal to 71.219 Da while MW of TC-NCS-BSA equal to 70.501 Da. The value of MW from both of immunogens is higher than BSA (smaller Rf), this fact indicate that immunogen have been formed. Anti-tetracycline antibody produced by immunizing of immunogens at comparison of the same concentration BSA and Tetrasiklin ( 1:75) to male white New Zealand rabbit. The antibody purified by protein A sepharose that specific coating IgG. The highest concentration of IgG from both immunogen list on fraction 1 (10.93 mg/mL for TC-Tolidin-BSA dan 10.61 mg/ mL for TC-NCS-BSA). SDS-PAGE result show that IgG has been divided into two band (heavy chains and light chains).
2007
T40099
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rintis Noviyanti
Abstrak :
ABSTRAK


Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui daya tahan pemelihara lebah di PUSBAHNAS Perum Perhutani, Parung Panjang, Bogor-Jawa Barat. Sampel diperoleh dan 12 orang pemelihara lebah dan 11 orang bukan pemelihara lebah. Analisis kadar IqE total dan kadar IgE spesif 1k terhadap bisa lebah madu (Apis mellif era) dilakukan dengan teknik ELISA, dan analisis kadar IgG total dilakukan dengan teknik RID. Hasil uji statistik non parametrik Mann-Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata kadar IgE dan IgG pada pemelthara lebah. Rata-rata kadar IgE total pada pemelihara lebah lebih tinggi (1046,3 kU/l) dari bukan pemelihara lebah (957 kU/l). Rata-rata kadar IgG total pada pemelihara lebah lebih rendah (13,23 g/l) dari bukan pemelihara lebah (15,99 g/l). Rata-rata kadar IgE spesifik terhadap bisa lebah madu (Apis mellifera) pada pemelihara lebah lebih rendah (1,59 PRU/ml) dari bukan pemelihara lebah (1,64 PRU/ml). Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara kadar IgE total, kadar IgG total, kadar IgE spesifik dan jumlah sengatan per bulan pada pemelihara lebah.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1992
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Gatot Dwiyono
Abstrak :
Latar Belakang: Kanker Nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang sering di Indonesia. Molekul terkait imun yang banyak diteliti adalah Programmed Death-1 (PD-1)/Programmed Death-Ligand 1 (PD-L1). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil PD-L1 dari spesimen KNF di Indonesia. Metode: Spesimen biopsi massa nasofaring diambil untuk pemeriksaan konsentrasi protein PD-L1 dengan metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Pada spesimen yang terbukti secara histologis KNF dilakukan pemeriksaan Imunohistokimia (IHK) untuk mengetahui ekspresi PD-L1. Hasil: Lima puluh empat spesimen biopsi nasofaring diperoleh. Tiga puluh lima dari 54 spesimen dikonfirmasi secara histologis KNF yang tidak berdiferensiasi dengan usia rerata 51 tahun. Selebihnya, 19 spesimen lainnya secara histologis bukan KNF dengan usia rerata 37 tahun. Pada pemeriksaan ELISA, median konsentrasi PD-L1 dari spesimen KNF adalah 2100,73 ± 3689,52 pg/mg protein, dan spesimen bukan KNF adalah 1010,88 ± 1082,37 pg/mg protein. Pada pemeriksaan IHK 30 sampel KNF untuk pemeriksaan ekspresi PD-L1, semuanya mengekspresikan PD-L1 positif, dengan rincian; skor 1 sebanyak 7%, skor 2 sebanyak 30%, dan skor 3 sebanyak 63%. Kesimpulan: Protein PD-L1 dari spesimen KNF dengan pemeriksaan ELISA signifikan meningkat dibandingkan dengan bukan KNF. Semua spesimen KNF dengan pemeriksaan IHK mengeskspresikan PD-L1 positif dengan mayoritas skor 3. ...... Background: Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) is a common malignancy in Indonesia. Immune-related molecules that have been studied are Programmed Death-1 (PD-1)/Programmed Death-Ligand 1 (PD-L1). This study aims to determine the profile of PD-L1 from NPC specimens in Indonesia. Method: A nasopharyngeal biopsy specimen was taken to examine the concentration of PD-L1 protein by the Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Immunohistochemistry (IHC) examinations were conducted to determine the PD-L1 expression. Results: Fifty-four nasopharyngeal biopsy specimens were obtained. Thirty-five of 54 specimens were confirmed histologically for undifferentiated NPC with an average age of 51 years. The rest, 19 other specimens are histologically non NPC with an average age of 37 years. On ELISA examination, the median PD-L1 concentration of the NPC specimen was 2100.73 ± 3689.52 pg/mg protein, and the non-KNF specimen was 1010.88 ± 1082.37 pg/mg protein. At the IHC examination of 30 NPC samples for PD-L1 expression examination, all of them expressed PD-L1 positive, with details; score 1 is 7%, score 2 is 30%, and score 3 is 63%. Conclusion: PD-L1 protein from NPC specimens by ELISA examination was significantly increased compared to non-NPC. All NPC specimens with IHC examination expressed PD-L1 positive with a majority score of 3.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deka Larasati
Abstrak :
Penggunaan antibodi poliklonal dalam sis tern pondeteksi antigen P24 HIV- 1 layak untuk dipertimbangkan mengingat variasi susunan epitop P24 pada berbagai subtipe HIV -I berpotensi mengaldbatksn kegagalan pengenalan epitop oleh antibndi monoklonal. Antibodi poliklonal yang dipero!eh melalui induksi dengan antigen rekombinan berpotensi bereaksi seeara non spesifik terhadap protein kontaminan yang terdapat dalam sediaan antigen rekombinan sehingga dapat berpengaruh pada spesifisitas sistem pendeteksi antigen. Pada penelitian sebelumnya diperoleh informasi mengenai reaksi non spesifik serum anti P24 HIV -I poliklonal yang dihasilkan melalui imunisasi kelinci, khnsusnya terhadap antigen E.coli dan Bovine Serum Albumin (BSA). Oleh ksrena penelitian ini, maka diteliti efek purifikssi dengan kromatografi afinitas dalam menghilangkan reaktivitas non spesifik antara serum anti P24 dengan E.coli dan BSA. Dampak ini dinilai dengan menggunakan teknik sandwich Enzyme Linked Immunoassay (ELISA). Purifikasi dilaknkan dengan menggunakan dua kolom kromatografi afinitas dengan ligan E.coli pada kolom pertama dan ligan P24 rekombinan HIV-1 pada kolom kedua CnBr -.sepharose digunakan sebagai matriks. Proses elusi menggunakan glycine HCI, pH 2,7. Eluen basil purifikasi dikonfirmasi dengan teknik SDS PAGE, western blot dan sandwich ELISA pendeteksi antigen P24 HIV -I. Pada SDS PAGE terbentuk pita an tara berat molekul 45-116 kDa yang menunjukkan pita antibodi. Pada uji western blot terdapat pita spesifik protein P24 rekombinan H!V -! dan tidak muncul pita non spesiflk terhadnp E.ooli. Sedangkan pada uji sandwich ELISA, eluen menunjukkan nilai abwrbansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol negatif, dan terdapat penurunan nilai absorbansi dibandingkan dengan sistem laripa antibodi yang dipurifikasi. Nilai absorbansi cluen juga tidak menunjukkan hasil yang berbeda dengan kontrol negatif jika direaksikan dengan antigen E.coli. Namun reaktifitas non spesiflk e]uen dengan BSA pacta sistem sandwich ELISA tidak berbeda dengan reaktifitas serum prepuriflkasi. Pada uji western blot dan sandwich ELISA diperoleh pula informasi yang menunjukkan adanya reaksi non spesifik antara antibedi anti-kelinci yang digunakan dengan protein E.eo!L Puriflkasi antibedi dengan menggunakan metode kromatografi afmitas telah berhasil dilaknkan dengan kondisi optimal pemurnian dan telah diperoleh eluen yang mengandung antibodi terhadap P24 rekombinan HIV -1 yang tidak bereaksi dengan protein E.coli Reagensia yang digunakan dalam sistem pendeteksi berpotensi menimbulkan ikatan non spesiflk yang dapat mengganggu nilai absorbansi sehingga sebelum digunakan harus dinilai kelayakannya untuk digunakan dalam sistem diagnostik tertentu.
Polyclonal antibody may be important to be considered in sandwich ELISA which detected HIV-1 P24 due tO the existing variations in P24 epitope structure. Variations in epitope structure has the potential to produce false negative result in serologic diagnostic system that utilize monoclonal antibody. Polyclonal antibody induced by recombinant antigen could exhibit non specific reaction due to the presence of coniaminanl in antigen preparation that originates from the host used for expression of the recombinant antigen. In the previous research, we have already known that our polycional antibody in P24 H!V recombinant immunized rabbit serum had non specific reaction with E. coli protein and Bovine Serum Albumin (BSA) in sandwich ELISA system for detecting HIV-1 P24 recombinant protein. This was the ma}or reason to purifY the antibody with affinity chromatography. Our goal war to reduce the non specific reaction. We used sandwich Enzyme Linked Immunoassay (ELISA) to see the effect of purification. We used two columns affinity chromatography with different ligand in each column and CnBr sepharose as solid support. The first column utilized E.coli protein as ligand and the second one used HIV-1 P24 recombinant protein. We used glycine HCI, pH 2, 7 to elute antibody from qfflnity chromatography column. Eluen from the second column was coNfirmed with SDS PAGE, western blot and sandwich ELISA. SDS PAGE followed by comassie blue staining showed specific bands between 45-116 kDa molecular weight, which were interpreted as heavy and light chain fragments of antibody. Purified antibody in the second eluen was shown to be reactive with HIV-1 P24 recombinant protein but not E. coli protein by western blot analysis. There was a decline in the absorbance when eluen was used as detection antibody in sandwich ELISA system, compared with the system that utilized pre purified antibody. We also observed there was non specific reaction between the components in sandwich ELISA for detection of H/V-1 P24 recombinant antigen, in that we found the antibody against anti- rabbit JgG which was used in sandwich ELISA system had non specific reaction with E,cali protein. We concluded that we gained optimal condition in polyclonal antibody purification to reduce non specific reaction between polyclonal antibody to HW-1 P24 recombinant antigen with E.coli protein. Reagents which used in our sandwich ELISA system potentially Caused non specific reaction so we have to consider their application.
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T32808
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zalika Julaika Maulidina
Abstrak :
PCSK9 (Proprotein Convertase Substisilin Kexin 9) diketahui berfungsi dalam memetabolisme lipid dalam mendegradasi LDLR (Low Density Lipoprotein Receptor). Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan model hewan tinggi PCSK9 karena terbatasnya model in vivo PCSK9 yang menggambarkan fisiologis manusia. Pada pankreas diketahui memiliki PCSK9, yang berfungsi dapat mempengaruhi sekresi insulin. Insulin merupakan hormon yang diproduksi di beta sel yang terdapat di pankreas dan berfungsi dalam meregulasi gula darah. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi efek pemberian HFD (High-Fructose Diet) terhadap peningkatan kadar PCSK9 pada plasma dan pankreas, menggunakan metode uji ELISA dan Western Blot, Kadar PCSK9 pada plasma tikus Wistar (Rattus Novergicus) jantan pada durasi induksi 3 minggu dan 4 minggu terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,005), sedangkan kadar PCSK9 pada pankreas berkorelasi positif antara durasi induksi fruktosa dan kadar PCSK9, dimana terjadi peningkatan bersamaan dengan lamanya pemberian HFD berdasarkan analisis statistik peningkatan tersebut tidak signifikan, dengan kadar rata-rata tertinggi pada plasma sebesar 1195,01 ng/ml pada durasi 4 minggu dan pada pankreas memiliki kadar 1029,88 ng/ml pada durasi 5 minggu setelah pemberian HFD. Hasil western blot yang dilakukan pada sampel pankreas tidak dapat dilakukan metode kuantifikasi lebih lanjut, meskipun demikian hasil kualifikasi β-actin memberikan hasil dengan absorbansi tertinggi pada HFD 1 (A= 433,45). ......PCSK9 (Proprotein Convertase Substicilin Kexin 9) is known to function in lipid metabolism in degrading LDLR (Low Density Lipoprotein Receptor). This research was conducted to develop a tall animal model for PCSK9 due to the limited in vivo PCSK9 model that describes human physiology. The pancreas is known to have PCSK9, which functions to affect insulin secretion. Insulin is a hormone produced in beta cells in the pancreas and functions to regulate blood sugar. In this study, we evaluated the effect of HFD (High-Fructose Diet) administration on increasing PCSK9 levels in plasma and pancreas, using the ELISA and Western Blot test methods. PCSK9 levels in plasma of male Wistar rats (Rattus novergicus) at induction duration of 3 weeks and 4 weeks showed a significant difference (p>0.005), while PCSK9 levels in the pancreas positively correlated between the duration of fructose induction and PCSK9 levels, where there was an increase along with the duration of HFD administration based on statistical analysis the increase was not significant, with the highest average plasma level of 1195.01 ng/ml for 4 weeks duration and in the pancreas having levels of 1029, 88 ng/ml for a duration of 5 weeks after HFD administration. The results of the western blot performed on the pancreas sample could not be carried out by further quantification methods, even though the results of the qualification of β-actin gave the result with the highest absorbance in HFD 1 (A = 433.45).
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joshua Moses
Abstrak :
Latar belakang: Indonesia memiliki beban tuberkulosis yang tinggi. Kerusakan paru yang ditimbulkan mendasari terjadinya aspergillosis paru kronik (APK). Salah satu kriteria diagnosis APK ialah bukti keterlibatan Aspergillus. Mempertimbangkan keterbatasan kultur, deteksi antibodi ELISA menjadi modalitas alternatif. Penelitian ini bertujuan membandingkan performa diagnostik pemeriksaan IgG spesifik Aspergillus ELISA manual dan otomatis pada pasien riwayat TB paru. Metode: Penelitian potong lintang ini membandingkan pemeriksaan IgG spesifik Aspergillus ELISA manual Bordier dan ELISA otomatis Immulite menggunakan serum pasien dengan riwayat TB. Performa diagnostik dibandingkan dalam bentuk proporsi hasil positif, sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif. Hasil: Terdapat total 68 subjek, dengan median usia 34,5 tahun, proporsi lansia 11,76% dan proporsi laki-laki 42,65%. Proporsi hasil positif pemeriksaan IgG spesifik Aspergillus ELISA manual dan ELISA otomatis masing-masing 13,24% dan 48,53%. Pemeriksaan IgG spesifik Aspergillus ELISA manual memiliki sensitivitas 20,83%, spesifisitas 90,91%, nilai duga positif 55,56%, dan nilai duga negatif 67,80%. Pemeriksaan IgG spesifik Aspergillus ELISA otomatis menunjukkan sensitivitas 91,67%, spesifisitas 75%, nilai duga positif 66,67%, dan nilai duga negatif 94,29%. Kesimpulan: Performa diagnostik dan teknis pemeriksaan IgG spesifik Aspergillus ELISA otomatis lebih baik dibandingkan ELISA manual, tetapi pemilihan modalitas diagnosis perlu mempertimbangkan faktor keterjangkauan, aksesibilitas, dan akurasi sesuai kebutuhan dan ketersediaan sumber daya. ......Introduction: Indonesia has high tuberculosis (TB) burden. The resulting lung damage underlies chronic pulmonary aspergillosis (CPA) development. CPA is diagnosed in patients with evidence of Aspergillus involvement as one of its criteria. Taking into account the limitations of culture, ELISA antibody detection becomes alternative modality. This study aims to compare diagnostic performance between manual and automated ELISA for Aspergillus-specific IgG in patients with treated TB. Method: This cross-sectional study compares Aspergillus-specific IgG test using Bordier manual ELISA and Immulite automated ELISA on sera from patients with treated TB. Diagnostic performance was compared in positive test proportion, sensitivity, specificity, positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV). Result: There are 68 subjects, with median age of 34,5 years, elderly subjects proportion of 11,76%, male proportion of 42,65%. Positive results proportion from Aspergillus-specific IgG manual and automated ELISA are 13,24% and 48,53%, respectively. Manual ELISA shows 20,83% sensitivity, 90,91% specificity, 55,56% PPV, 67,80% NPV. Automated ELISA shows 91,67% sensitivity, 75% specificity, 66,67% PPV, 94,29% NPV. Conclusion: Technical and diagnostic performance of automated ELISA Aspergillus-specific IgG test is better than manual ELISA, but choosing diagnostic modality needs consideration on factors such as affordability, accessibility, and accuracy according to the needs and available resources.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winanda Annisa Maulitasari
Abstrak :
Latar Belakang: Early Childhood Caries (ECC) merupakan salah satu penyakit kronis multifaktorial yang sering terjadi pada anak usia pra sekolah. Data penelitian mengatakan sebanyak 65% anak usia 3-5 tahun mengalami ECC dan pada sebuah penelitian di Jakarta tahun 2016 menunjukkan indeks def-t sebesar 7,5 pada anak usia 5 tahun sedangkan pada penelitian yang dilakukan di Bandung pada tahun 2017 didapatkan indeks def-t sebesar 7,04. Berdasarkan RISKESDAS tahun 2018, sebanyak 81,5% anak mengalami karies dengan indeks def-t sebesar 6,2 pada anak usia 3-4 tahun dan indeks def-t sebesar 8,1 pada anak usia 5 tahun. Dalam terjadinya ECC, salah satu faktor yang berperan dalam proteksi dari terjadinya karies gigi adalah saliva yang di dalamnya terkandung protein saliva seperti lysozyme yang berperan dalam mekanisme proteksi rongga mulut dari bakteri Gram-positif. Pada beberapa penelitian, kadar lysozyme saliva berhubungan dengan skor def-t. Tujuan: Menganalisis perbedaan kadar lysozyme saliva pada anak ECC dan bebas karies usia 3-5 tahun serta berdasarkan tingkat karies. Metode Penelitian: Penelitian merupakan potong lintang analitik secara laboratorik. Subjek penelitian adalah 14 anak ECC dan 14 anak bebas karies usia 3-5 tahun yang memenuhi kriteria inklusi. Sampel whole saliva tanpa stimulasi dikumpulkan dari subjek penelitian kemudian dilakukan pengukuran kadar lysozyme dengan uji ELISA teknik sandwich. Hasil: Kadar lysozyme saliva pada anak ECC lebih tinggi daripada kelompok anak bebas karies serta kadar lysozyme saliva pada anak dengan tingkat karies tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok anak dengan tingkat karies rendah, secara statistik dinyatakan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara kadar lysozyme saliva anak ECC dan bebas karies usia 3-5 tahun (p < 0,05). Kesimpulan: Kadar lysozyme saliva lebih tinggi pada anak ECC dibandingkan dengan bebas karies usia 3-5 tahun dan peningkatan kadar lysozyme saliva terjadi pada anak dengan tingkat karies tinggi. ......Background: Early Childhood Caries (ECC) is one of common chronic multifactorial diseases affecting preschool children. Previous study showed 65% of children aged 3-5 years experience ECC and a research in Jakarta in 2016 showed def-t index of children aged 5 years was 7.5. According to research in Bandung in 2017 showed def-t index was 7.04. Based on Basic Health Research in Indonesia (RISKESDAS) in 2018, 81.5% of children experienced caries with def-t index 6.2 in children aged 3-4 years and 8.1 in children aged 5 years. In the occurrence of ECC, one of the factors that play role in the protection of dental caries is saliva, which contains salivary protein such as lysozyme that play a role in the mechanism of protecting oral cavity from Gram-positive bacteria. In several studies, salivary lysozyme levels were associated with def-t score. Objective: To analyze differences in salivary lysozyme levels in ECC and caries-free children aged 3-5 years and based on caries levels. Methods: This study is a laboratory analytical cross-sectional study. Subjects were 14 ECC children and 14 caries-free children aged 3-5 years that in line with the inclusion criteria. Unstimulated whole saliva were collected from subjects. Salivary lysozyme levels were measured by ELISA sandwich method. Results: Salivary lysozyme levels in ECC children was higher than in cariesfree and salivary lysozyme levels in children with high caries level higher than in children with low caries level, it was statistically stated that there was a significant differences between the levels of lysozyme in children with ECC and caries-free children aged 3-5 years (p < 0.05). Conclusion: Salivary lysozyme levels were higher in ECC children compared to caries-free children aged 3-5 years and increased levels of salivary lysozyme occurred in children with high caries level.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Regina TC. Tandelilin
Abstrak :
ABSTRAK
Based on the content of the galangal's essential oil which can be used as antimicroorganism, analgesic, and antiseptic characterized with inhibiting and destructing microorganism life process, it is predicted that there is a possibility of essential oil can be used for anti-inflammatory agent. Nitric-oxide (NO) is an unstable gas produced by cell such as macrophage and has the function as antimicroorganism. The aim of this study was to investigate whether essential oil of galangal components has an effect to the macrophage NO production, which stimulated by LPS E. coli. The both curative and preventive analysis using ANOVA showed that the NO productions differences were significant (p< 0,01). This study showed that the NO levels produced by murine macrophages induced by LPS E. coli were suppressed by essential oil in a dose dependent fashion, suggesting anti-inflammatory activities. Curatively, increased doses of the essential oil resulted in increased its anti-inflammatory functions. Five micro liter of the essential oil was preventively the most concentration as anti inflammation.
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1995
610.7 TEK t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>