Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riesa Anandya Elfitra
Abstrak :
Keterbatasan lahan permukiman dan pertumbuhan jumlah penduduk di Provinsi DKI Jakarta mendorong adanya penyediaan rumah melalui pembangunan hunian vertikal. Pemerintah menjanjikan pembangunan rumah susun, rumah sakit, dan bus khusus untuk kaum buruh dan pekerja. Kementerian Perumahan Rakyat bekerja sama dengan PT. Kawasan Berikat Nusantara (Persero) berencana membangun rusunawa di lingkungan PT. KBN yang ditujukan khusus untuk buruh. Harga sewa yang ditetapkan nantinya diharapkan sesuai dengan kemampuan buruh selaku calon penghuni. Kemampuan dapat ditinjau dari kemampuan membayar secara rasional dalam membayar biaya sewa tempat tinggalnya selama ini (Abillity to Pay-ATP) maupun kemampuan berdasarkan persepsi kelompok sasaran penghuni rusunawa (Willingness to Pay-WTP). Penelitian ini mencoba mengestimasi nilai ATP dan WTP buruh terhadap sewa rusunawa, mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai ATP dan nilai WTP dan mengkaji faktor yang mempengaruhi kesediaan buruh untuk tinggal dan membayar sewa rusunawa. Metode yang digunakan untuk mengestimasi nilai ATP adalah menggunakan analisis statistik deskriptif, sedangkan estimasi nilai WTP dengan menggunakan Contingent Valuation Method (CVM). Untuk memperoleh faktor yang mempengaruhi besarnya nilai ATP dan WTP digunakan metode analisis regresi linier berganda. Sedangkan untuk memperoleh faktor yang mempengaruhi kesediaan buruh untuk tinggal dan membayar sewa rusunawa digunakan metode analisis regresi logit. Berdasarkan hasil perhitungan nilai ATP dan WTP buruh terhadap sewa rusunawa, diperoleh nilai ATP sebesar Rp. 335.050 per bulan dan nilai WTP sebesar Rp. 287.654 per bulan. Dengan menggunakan analisis regresi berganda, diperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai ATP buruh terhadap sewa rusunawa adalah jumlah tanggungan dan pendapatan per bulan. Faktorfaktor yang mempengaruhi kesediaan buruh untuk tinggal dan membayar sewa rusunawa adalah lama tinggal buruh di tempat tinggal saat ini. Besarnya nilai WTP buruh terhadap sewa rusunawa dipengaruhi oleh jumlah tanggungan, pendapatan per bulan, dan jarak tempat tinggal ke tempat kerja. ......Limited area settlement and population growth in DKI Jakarta Province stimulate the development of vertical housing. Government pledge to develop vertical housing (flats), hospital, and transportation particularly for workers (labor). Ministry of Housing cooperate with PT. Kawasan Berikat Nusantara (Persero) planned to develop rent vertical housing for labor in PT. KBN area. The fix rental cost is expected appropriate with worker's ability as prospective resident. Ability can be reviewed from ability to pay of current rental cost (Ability to Pay) nor ability based on perceptions of vertical housing target group (Willingness to Pay). The research is trying to estimate the ATP and WTP's value of labor to pay rental cost of vertical housing, to analyze influencing factors of ATP and WTP's value, and to analyze influencing factors of WTP's labor to pay rental cost of vertical housing. To estimate ATP and WTP's value of labor to pay rental cost of vertical housing is used descriptive statistics and Contingent Valuation Method (CVM). In analyzing influencing factors of ATP and WTP's value is used multiple regression analysis. Logit regression analysis is used to analyze influencing factors of WTP's labor to pay rental cost of vertical housing. Based on estimation of ATP and WTP's value of labor to pay rental cost of vertical housing, the value of ATP is Rp. 335.050 per month and the value of WTP is Rp. 287.654 per month. By using multiple regression analysis, it concludes that influencing factor of ATP's value of labor to pay rental cost of vertical housing a WTre number of dependents and income. Some factors influencing the willingness to pay of labor to pay rent of vertical housing are length of stay in current residence. P's value of labor to pay rental cost of vertical housing are influenced by number of dependents, income, and distance from home to workplace.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T42162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfathea Mulyadita
Abstrak :
ABSTRAK
Defisit yang dialami oleh BPJS-Kesehatan sebagai pelaksana program JKN diperkirakan mencapai Rp16.5 triliun. Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi defisit yang terjadi pada BPJS-Kesehatan, memberikan dana talangan sebesar Rp. 4.9 triliun namun upaya tersebut belum mengatasi akar penyebab dari defisit itu sendiri. Diungkapkan bahwa bahwa salah satu penyebab terjadinya defisit adalah besaran iuran belum sesuai dengan perhitungan aktuaria. Penelitian ini akan mengidentifikasi besaran ability to pay (ATP) iuran jaminan kesehatan nasional dengan menggunakan data Susenas 2017 dengan unit analisis rumah tangga di seluruh Indonesia.

Hasil didapatkan median ATP masyarakat Indonesia pada tahun 2017 adalah sebesar Rp 131.902 per rumah tangga. Dari besaran median ATP didapatkan nilai per orang per bulan adalah Rp 39.000. Apabila iuran ditetapkan sebesar Rp 42.714 per orang per bulan hanya ada 34.69% rumah tangga yang mampu membayar iuran. Hipotesis terbukti bahwa faktor sosial demografi, faktor kesehatan, faktor sumberdaya secara statistik berhubungan dengan besaran ATP dan dari keseluruhan variabel independen, variabel yang paling berpengaruh terhadap besaran ATP adalah status sosial ekonomi.
ABSTRACT
The deficit experienced by BPJS-Kesehatan as the executor of the JKN program is estimated to reach IDR 16.5 trillion. One of the government's efforts in overcoming the deficit that occurred in BPJS-Kesehatan, provided a bailout of Rp. 4.9 trillion but these efforts have not overcome the root causes of the deficit itself. It was revealed that one of the causes of the deficit was the amount of contributions not in accordance with actuarial calculations. This study will identify the ability to pay (ATP) of national health insurance contributions by using Susenas data with household analysis units throughout Indonesia.

The results obtained in the median ATP of Indonesian people in 2017 amounted to Rp 131.902 per household. From the median ATP amount, the value per person per month is Rp 39.000. If the contribution is set at Rp 42.714 per person per month, there are only 34.69% of households that are able to pay contributions. The hypothesis is proven that social demographic factors, health factors, resource factors are statistically related to the amount of ATP and from the overall independen variables, the most influential variable on ATP is socioeconomic status.
2019
T52764
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Wulandari Listiyaningsih
Abstrak :
[ABSTRAK
Salah satu permasalahan di Negara yang sedang berkembang adalah tingginya angka pertumbuhan penduduk di kota besar yang menyebabkan kebutuhan rumah tinggal meningkat. Pada sisi lain, terkendala lahan yang tersedia terbatas jumlahnya. Rusunawa adalah kebijakan pemerintah untuk dapat mengakomodasi kebutuhan rumah tinggal bagi MBR. Keterbatasan anggaran yang dihadapi pengelola menyebabkan pengelolaan rusunawa tidak optimal dan kualitas bangunan menurun. Salah satu cara menyelesaikannya adalah dengan penyesuaian tarif sewa yang merupakan sumber penerimaan rusunawa. Dalam menetapkan tarif sewa, pengelola harus tetap memperhatikan kemampuan bayar (ability to pay/ATP) dan kemauan bayar (willingness to pay/WTP) penghuni yang merupakan golongan MBR. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui nilai ATP dan WTP penghuni di Rusunawa Bekasi Jaya serta faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ATP rata-rata adalah Rp331.000 dan WTP rata-rata adalah Rp273.000. Faktor yang secara signifikan mempengaruhi WTP adalah jenis pekerjaan kepala keluarga dan persepsi terhadap rusunawa. Kenaikan tarif optimal adalah sebesar Rp40.000 dengan peningkatan kualitas layanan pengelola yang mempengaruhi persepsi penghuni, yaitu peningkatan keamanan, kebersihan, dan kenyamanan rusunawa. Kata Kunci: Rumah Susun, MBR, Tarif, Ability To Pay, Willingness To Pay.
ABSTRACT
One of the problems in developing countries is the high rate of population growth in large cities resulting increase in demand for housing. On the other hand, constrained by limited amount of available land. Multistorey public house is government policy to accommodate the needs of low-income homes. Budget constraints faced by government caused poor management and building quality decreased. Rental rate adjusment is consider as solution to increase the acceptance of multistorey public house. In pescribing rate, government must consider ability to pay (ATP) and willingness to pay (WTP) of low-income residents. This study aimed to determine the value of the ATP and WTP occupants in Bekasi Jaya Multistorey Public House and the factors that influence it. The results showed that ATP is Rp331.000 and WTP is Rp273.000. Factors that significantly influence the WTP is the type of work and the perception of public house. Optimal rate increase amounted to Rp40,000 with improvement for quality of service such as safety, cleanliness, and comfort of public house. Keywords: Public House, Low Income, Rate, Ability To Pay, Willingness To Pay.;One of the problems in developing countries is the high rate of population growth in large cities resulting increase in demand for housing. On the other hand, constrained by limited amount of available land. Multistorey public house is government policy to accommodate the needs of low-income homes. Budget constraints faced by government caused poor management and building quality decreased. Rental rate adjusment is consider as solution to increase the acceptance of multistorey public house. In pescribing rate, government must consider ability to pay (ATP) and willingness to pay (WTP) of low-income residents. This study aimed to determine the value of the ATP and WTP occupants in Bekasi Jaya Multistorey Public House and the factors that influence it. The results showed that ATP is Rp331.000 and WTP is Rp273.000. Factors that significantly influence the WTP is the type of work and the perception of public house. Optimal rate increase amounted to Rp40,000 with improvement for quality of service such as safety, cleanliness, and comfort of public house. Keywords: Public House, Low Income, Rate, Ability To Pay, Willingness To Pay., One of the problems in developing countries is the high rate of population growth in large cities resulting increase in demand for housing. On the other hand, constrained by limited amount of available land. Multistorey public house is government policy to accommodate the needs of low-income homes. Budget constraints faced by government caused poor management and building quality decreased. Rental rate adjusment is consider as solution to increase the acceptance of multistorey public house. In pescribing rate, government must consider ability to pay (ATP) and willingness to pay (WTP) of low-income residents. This study aimed to determine the value of the ATP and WTP occupants in Bekasi Jaya Multistorey Public House and the factors that influence it. The results showed that ATP is Rp331.000 and WTP is Rp273.000. Factors that significantly influence the WTP is the type of work and the perception of public house. Optimal rate increase amounted to Rp40,000 with improvement for quality of service such as safety, cleanliness, and comfort of public house. Keywords: Public House, Low Income, Rate, Ability To Pay, Willingness To Pay.]
2015
T43168
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paranai Suhasfan
Abstrak :
Pulau Tunda merupakan salah satu pulau dari gugusan pulau yang terdiri dari 17 pulau di Utara Pulau Jawa Provinsi Banten. Energi listrik di Pulau Tunda dipasok oleh 2 unit Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) non PLN yang masing-masing memiliki kapasitas terpasang 100 kVA dan 75 kVA, dengan waktu beroperasi selama 4-5 jam per hari yaitu mulai dari jam 18.00 sampai jam 22.00. Sistem kelistrikan Microgrid memiliki beberapa keuntungan, dari segi efisiensi, microgrid dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil pada pembangkit, selain itu dapat mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh sistem distribusi karena letak pembangkit microgrid yang relatif dekat dengan beban. Dari segi keandalan, sistem kelistrikan microgrid dapat mengatur secara optimal sumber energi selama 7 hari 24 jam. Selain itu, sistem kelistrikan microgrid memiliki kemampuan untuk bekerja tanpa terhubung dengan grid. Dengan penggunaan sistem kelistrikan microgrid, biaya listrik yang harus dibayar jadi lebih sedikit dan yang paling penting dapat mengurangi emisi karbon, karena pembangkit – pembangkit yang digunakan pada sistem kelistrikan microgrid umumnya menggunakan energi terbarukan. Dalam Penelitian ini dilakukan pembuatan skenario dalam menentukan nilai LCoE yang paling optimum dengan menggunakan pendekatan optimasi bantuan software homer pro. Didapatkan pola operasi untuk sistem kelistrikan Pulau Tunda yaitu beban dipikul pada siang hari oleh PLTS dan malam hari menggunakan generator yang telah di setting kontrolnya menggunakan mode force on & force off. Dari simulasi diperoleh LCoE terendah pada konfigurasi PLTS Hibrid dengan kapasitas PLTS 260 Kwp, Baterai 242 Kwh, inverter 200 Kw. Selanjutnya, berdasarkan data kuesioner kepada pengguna listrik di Pulau Tunda dan wawancara kepada pelaksana operasio PLTD, keberlanjutan dari sistem microgrid ini akan memiliki manfaat pasokan listrik yang terus menerus apabila dikelola oleh PT. PLN (Persero). Dengan melihat kemauan dan kemampuan membayar pengguna listrik di pulau Tunda, diperoleh hasil bahwa batas kemampuan membayar mereka sebesar Rp 1108,44 per kWh. ......Tunda Island is one of the islands in a group of 17 islands in the north of Java Island, Banten Province. Electrical energy in Tunda Island is supplied by 2 non-PLN Diesel Power Plants (PLTD), each with an installed capacity of 100 kVA and 75 kVA, with an operating time of 4-5 hours per day starting from 18.00 to 22.00. The microgrid electrical system has several advantages, in terms of efficiency, microgrid can reduce the use of fossil fuels in power plants, besides that it can reduce losses caused by the distribution system because the location of the microgrid generator is relatively close to the load. In terms of reliability, the microgrid electrical system can optimally manage energy sources for 7 days and 24 hours. In addition, the microgrid electrical system has the ability to work without being connected to the grid. With the use of a microgrid electricity system, the electricity costs that must be paid are less and most importantly can reduce carbon emissions, because the plants used in the microgrid electricity system generally use renewable energy. In this study, scenarios were made to determine the most optimum LCoE value using an optimization approach with the help of homer pro software. The operating pattern for the Tunda Island electricity system is obtained, namely the load is carried by PLTS during the day and at night using a generator that has been controlled using the force on & force off mode. From the simulation obtained the lowest LCoE in the PLTS Hybrid configuration with a PLTS capacity of 240 Kwp, 302.4 Kwh battery, 200 Kw inverter. Furthermore, based on questionnaire data to electricity users on Pulau Tunda and interviews with PLTD operations executives, the sustainability of this microgrid system will have the benefit of continuous electricity supply if managed by PT. PLN (Persero). By looking at the willingness and ability to pay electricity users on the island of Tunda, the result is that the limit of their ability to pay is Rp. 1108.44 per kWh.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mingke Manovia
Abstrak :
Usaha terencana untuk meningkatkan Penerimaan Negara sebagai salah satu upaya menanggulangi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yakni melalui peningkatan penerimaan dari sektor Pajak. Peningkatan penerimaan dari sektor pajak dapat dicapai melalui perluasan(tax base) secara ekstensifikasi yakni dapat ditempuh dengan memperluas obyek barang kena cukai antara lain Cukai Ban Mobil. Rencana kebijakan pemungutan Cukai Ban Mobil telah menimbulkan perdebatan dan resistensi dari pelaku bisnis maupun pejabat fiskus dan masyarakat. Namun ada pula pihak-pihak yang mendukung rencana kebijakan cukai ban mobil tersebut. Oleh karena itu, agar dapat memberikan jawaban analisis akademis, penulis mencoba mengaplikasikan teori kebijakan Pemungutan Pajak khususnya atas Cukai yang bersifat selektip, dengan hasil sebagai berikut : Model Regresi berganda sebagai model analisa pengaruh hubugan antara variasi perubahan variabel bebas (harga ban mobil, pendapatan perkapita dan indeks harga ban) terhadap variabel terikat yakni penjualan ban mobil. Besarnya perubahan dari setiap variabel bebas tergantung pada elasitasnya terhadap permintaan ban mobil. Hasil perhitungan elasitas rata rata permintaan ban terhadap harga Pendapatan perkapita : Indeks harga ban adalah : -0,2510 : 0,8272 : 0,86 artinya apabila harga ban rata-rata naik 10% maka jumlah rata-rata permintaan ban akan naik sebesar 8,272%, bila indeks harga ban naik 1% maka permintaan ban akan naik 0,86% yang berarti dapat berdampak terhadap inflasi walaupun relatif kecil karena indeks harga ban hanya 4,47% dari komponen indeks harga transportasi. Selain dukungan hasil analisis tersebut tinjauan dari segi industri ban yang mendukung prinsip-prinsip pemajakan antara lain : principle of equality and social justice, principle of economic, ability to pay, principle of flexibility, simplicity. Dengan kata lain dapat disimpulkan produk ban layak dipilih menjadi barang kena cukai dengan tarif cukai diusulkan sebesar 20% akan berdampak penurunan penjualan ban sebesar 5,02% dan menghasilkan Penerimaan Negara sebesar Rp. 707.338.055.000. Usul dan saran penulis agar Penerimaan Negara dari hasil cukai ban dipergunakan sebagai earmarking misalnya menyediakan public service dalam bentuk pengadaan transportasi umum yang bersih-aman-murah sehingga tercapailah fungsi pajak sebagai reguleren yang mengatur kebijakan dalam hal melakukan redistribusi of income agar requirement for equality and social justice terpenuhi. Selain itu perlu diadakan perubahan/reformasi Undang-undang karena Undang-undang yang ada saat ini membatasi barang yang dikenakan cukai.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4350
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Rubiani
Abstrak :
Tarif pelayanan persalinan di Puskesmas Cimanggis Kota Depok yang berlaku saat ini adalah Rp. 75.000,0. Tarif ini sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan operasional kamar bersalin di Puskesmas di mana Puskesmas harus melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai tempat pertolongan persalinan yang bermutu dengan tidak hanya selalu bergantung kepada subsidi Pemerintah. Dengan penyesuaian tarif diharapkan terwujud maksimalisasi pelayanan, karena tarif yang sesuai dengan kemampuan membayar masyarakat akan meningkatkan utilisasi. Penyesuaian tarif dilakukan melalui analisa tarif yang berdasarkan biaya satuan pelayanan persalinan ,tingkat pengembalian biaya, tingkat kemampuan (ability to pay ATP) dan kebijakan tarif dan tarif pesaing yang setara. Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan di unit kamar bersalin Puskesmas Cimanggis Kota Depok, yaitu menganalisa biaya dengan menggunakan data tahun 2000 dan menggunakan metode double distribution. Adapun untuk menilai tingkat kemampuan dan kemauan masyarakat membayar yaitu dengan mengolah data hasil survei terhadap masyarakat Kabupaten Bogor. Kemampuan masyarakat menurut ATP adalah : 92 % masyarakat mampu membayar Rp 72.000,0 ; 72% masyarakat mampu membayar Rp 270.000,0.; 50% masyarakat mampu membayar Rp.504.000,00. Dari hasil analisa biaya kamar bersalin, didapatkan biaya satuan aktual Rp.585.593,00 dan biaya satuan normative Rp.524.626,00 Tarif pertolongan persalinan yang akan disarankan adalah Rp. 270.000,0. Saran perubahan tarif tersebut disambut baik oleh kepala Dinas Kesehatan Kota Depok serta Kepala Puskesmas Cimanggis, selanjutnya akan diusulkan ke Pemda untuk diproses lebih lanjut. Daftar Pustaka : 21 (1996 - 2001)
A Case Study of Birth Delivery Rational Price Analysis at Puskesmas Cimanggis, City of Depok, 2002The current price of delivery service at Puskesmas Cimanggis City of Depok is Rp75.000,-. Considering the tasks and functions of Puskesmas as quality delivery service place that does not depend on government's support, the current price is not suitable with operational need of birth delivery room in Puskesmas. It is expected that price adjustment would maximize the service, because the appropriate price that is in line with people's ability to pay would increase utilization. The price adjustment was conducted through price analysis based on the unit cost of birth delivery service, cost recovery rate, ability to pay (ATP), price policy, and competitor's price. This study is a study case that was conducted in Birth Delivery Room Unit at Puskesmas Cimanggis City of Depok by analyzing the cost using double distribution method. The assessment of the ability to pay and the willingness to pay of the people in the District of Bogor was conducted by processing data from the survey result. The ability to pay according to ATP1 was 92% of people were able to pay as much as Rp72.000, 00; 72% of people were able to pay as much as Rp270.000,00 and 50% of people were able to pay as much as Rp504.000,00. Based on the cost analysis of birth delivery room of this study, the actual unit cost was Rp585.593, 00 and normative unit cost was Rp524.626,00. Nevertheless, the recommended price of birth delivery service is Rp270.000, 00. The recommendation of the price change is accepted by the Head of District Health Office as well as the Head of Puskesmas Cimanggis. Furthermore, the next step would be proposing this pricing to the Local Government. References: 21 (1996 - 2001)
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T10758
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luky Ariningrum
Abstrak :
Jakarta sebagai kota megapolitan, dengan beragam aktivitas dan berkembangnya mobilitas mengakibatkan permasalahan transportasi. Salah satu terobosan untuk mengatasi masalah tersebut dengan dibangunnya sistem transit cepat berskala massal atau Mass Rapid Transit (MRT). Untuk meningkatkan aksesibilitas MRT sebagai sistem utama yaitu dengan disediakannya layanan feeder. Data yang diperoleh dari website jakartamrt.co.id yaitu selama 6 bulan (bulan April- September 2019) rata-rata jumlah penumpang MRT per hari adalah 83.473 orang, sedangkan perusahaan memperkirakan akan mengangkut lebih dari 174.000 orang setiap harinya. Dalam hal ini penumpang yang diharapkan untuk menaiki MRT masih kurang dari kapasitas yang disediakan. Tarif terintegrasi dimaksudkan untuk mengurangi biaya transfer sehingga menarik bagi penumpang. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kemampuan dan kesediaan penumpang terhadap tarif terintegrasi feeder service dengan MRT. Sehingga dilakukan analisis Ability To Pay (ATP) dan Willingness to Pay (WTP), dengan faktor yang dianggap berpengaruh dalam penelitian ini adalah biaya, waktu dan kenyamanan berpindah moda. Pengolahan data hasil survey stated preference dilakukan dengan analisis Model Logit Biner. Dari hasil penelitian adalah nilai ATP diatas nilai WTP, maka masyarakat dianggap mampu untuk membayar tarif terintegrasi yang diikuti peningkatan pelayanan seperti kemudahan berpindah moda, sedangkan untuk tarif saat ini berada dibawah nilai WTP dan ATP sehingga terdapat keleluasaan dalam perhitungan/ pengajuan nilai tarif baru (Tamin et.al., 1999), untuk itu perlu dilakukan evaluasi tarif lebih lanjut ......Jakarta as a megapolitan city with a variety of activities and growing mobility has problems. One of the breakthroughs to overcome this problem is the construction of a mass-scale rapid transit system or Mass Rapid Transit (MRT). To increase the accessibility of the MRT as the main system by providing feeder services. The data obtained from the jakartamrt.co.id website is that for 6 months (April-September 2019) the average number of MRT passengers per day is 83,473 people, while the company estimates that it will carry more than 174,000 people every day. In this case the passengers expected to ride the MRT are still less than the capacity provided. Integrated fares are intended to reduce transfer costs so that they are attractive to passengers. The purpose of this research is to analyse the ability and willingness of passengers to the integrated fare of feeder service with MRT. So that analysis of Ability To Pay (ATP) and willingness To Pay (WTP) is carried out, with factors that are considered influential in this study are cost, time and convenience of changing modes. Stated preference survey data processing was performed using The Binary Logit Model analysis. From the results of the research, the ATP value is above the WTP value, so the community is considered capable of paying integrated rates which are followed by service improvements such as ease of transferring modes, while the current rates are below the WTP and ATP values so that there is flexibility in calculating / submitting new tariff rates (Tamin et.al., 1999), it is necessary to evaluate further rates.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Murnandityo
Abstrak :
Investasi salah satu pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, yaitu pembangkit listrik tenaga surya fotovoltaik PLTS PV di Indonesia menjadi salah satu alternatif penyediaan listrik untuk memaksimalkan potensi energi setempat sehingga lokasi tersebut memiliki suplai listrik yang handal. Sebuah pendekatan objektif dari sisi kemampuan dan kemauan masyarakat di lokasi studi menjadi alternatif perhitungan potensi revenue yang objektif. Penilaian kelayakan investasi yang mengikutsertakan perhitungan economic incentive juga menjadi penting bila dirasa perlu ada peran pihak pemberi insentif sehingga investasi tidak hanya memiliki kualitas dan penyediaan energi yang baik tetapi juga layak secara ekonomi sehingga investor tertarik untuk berinvestasi. Data karakteristik masyarakat lokasi studi, diolah menggunakan studi statistik dan simulasi micropower optimization untuk menghasilkan data investasi dan spesifikasi PLTS PV di lokasi penelitian tersebut. Kemudian penelitian ini mengembangkan "model EFA", sebuah model yang memudahkan penilaian kelayakan investasi dengan mengikutsertakan perhitungan economic incentive, objektif sesuai kemampuan dan kemauan masyarakat serta tidak merugikan pihak pemberi insentif. Hasil pemodelan dengan EFA, dengan berbagai skenario pemberian insentif yang dibangun untuk alternatif investasi, PLTS PV layak secara ekonomi berdasarkan kriteria Net Present Value serta tercapainya expected Internal Rate of Return dan expected Pay Back Period.
Investment of one of renewable energy based electricity generation, solar power plant, in Indonesia becomes one of the alternative electricity supply to maximize local energy potential so that the location is having a reliable power source. An objective approach in terms of ability and willingness to pay of the community on study location becomes an alternative calculation of the objective revenue potency. Assessment of investment feasibility that includes economic incentive calculation also becomes important if involving incentive giver party is necessary so that investment not only has good quality of energy supply but also economically feasible so that investors are interested to invest. Community characteristics data on study location is processed using statistical methods and micropower optimization simulation to generate PV system specification and investment at the study location. This research develops the EFA model , a model that facilitates the feasibility assessment of investments by incorporating economic incentive calculation, objective according to the ability and willingness to pay of the community, and not inflicting financial loss to the incentive giver. The results of ldquo EFA model rdquo , with various scenarios built for investment alternatives, PV investment is economically feasible based on Net Present Value criteria and achievement of expected Internal Rate of Return and expected Pay Back Period.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
T47924
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitra Anisa
Abstrak :
ABSTRAK
Penyediaan transportasi publik yang mampu menciptakan interkonektivitas antardaerah menjadi perhatian dimana pergerakan penumpang semakin meningkat, namun belum mempunyai akses yang memadai untuk mengatasi kemacetan di perkotaan. Kehadiran Bus Trans Lampung yang melayani rute Bandara Inten II-Kota Bandar Lampung dilakukan untuk memberikan alternatif bagi penumpang beralih menggunakan transportasi publik. Rendahnya pengguna jasa yang menggunakan Bus Trans Lampung diduga disebabkan oleh tarif yang diberlakukan. Oleh sebab itu, penetapan tarif yang ideal perlu melihat kemampuan membayar Ability to Pay dan kesediaan membayar Willingness to Pay pengguna jasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi besaran Ability to Pay ATP dan Willingness to Pay WTP pengguna jasa Bus Trans Lampung, serta faktor-faktor yang mempengaruhi WTP pengguna jasa Bus Trans Lampung rute Bandara Radin Inten II ndash; Kota Bandar Lampung. Metode yang digunakan adalah analisis household budget untuk mengetahui nilai ATP dan analisis contingent valuation untuk memperoleh nilai WTP. Data diperoleh melalui survey kepada penumpang di Bandara Radin Inten II. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan membayar pengguna jasa mempunyai nilai tengah ATP sebesar Rp.50.000 dan kesediaan membayar pengguna jasa mempunyai nilai tengah WTP sebesar Rp.30.000. Faktor yang mempengaruhi WTP tersebut secara signifikan yaitu kepemilikan aset rumah, intensitas perjalanan, maksud perjalanan dinas, penggunaan bus, dan layanan. Penelitian ini merekomendasikan kepada pemerintah, khususnya PT Lampung Jasa Utama, apabila menetapkan kenaikan tarif Bus Trans Lampung maka sebaiknya tarif berada diantara Rp.30.000 ndash; Rp.50.000, kemudian dengan karakteristik pengguna jasa yang mempunyai aset rumah mapan , sering melakukan perjalanan, dan menyasar kepada pengguna jasa yang melakukan perjalanan untuk dinas adalah mereka yang tidak bergantung pada tarif yang ditetapkan, sebaiknya otoritas Bus Trans Lampung dapat meningkatkan layanan pendukung, dalam hal kesopanan dan keramahan, tanggung jawab, kelengkapan sarana pendukung Wi-Fi, Charger, CCTV, LED TV, Fasilitas P3K, dan pintu darurat , kenyamanan, halte yang bersih, dan layar informasi keberangkatan dan kedatangan bus, serta PT Lampung Jasa Utama perlu melakukan kegiatan promosi di media cetak maupun elektronik, dan pemanfaatan layar informasi tentang Bus Bandara di areal Bandara Radin Inten II untuk mengenalkan secara luas kepada penumpang pesawat terkait adanya layanan Bus Trans Lampung di Bandara agar lebih banyak orang yang beralih menggunakan transportasi publik ini, sehingga target penumpang dapat tercapai.
ABSTRACT
The provision of public transport which able to create regional interconnectivity is a concern that passengers movement is increasing, however it does not have adequate access to cope with urban congestion. The presence of Bus Trans Lampung that provide Radin Inten II Airport Bandar Lampung City route is done to provide alternative for passengers switch to public transport. Bus Trans Lampung passengers are still low allegedly caused by the tariff set. Therefore, relating to the bus fare, it is necessary to know ability to pay and willingness to pay of the bus passengers. The aim of this study are to estimate ability to pay and willingness to pay passengers of Bus Trans Lampung, and to know the factors which influence WTP by Bus Trans Lampung passengers of Radin Inten II Bandar Lampung City. The methods for measuring Ability to Pay is household budget analysis, and measuring Willingness to Pay uses Contingent Valuation. Collecting data by survey to Radin Inten II airport passengers. The study finds that estimate of median value for ATP is IDR 50.000, and estimate of median value for WTP is IDR 30.000, . And, the factors which influence its WTP significantly are house assets, intensity of travel, travel destination for official duty, the use of bus, and service facility. Accordingly, this study recommend that the government, especially Lampung Jasa Utama, if the tariff of Bus Trans Lampung will increase, then the tariff should be between IDR 30.000 IDR 50.000, according the characteristics of passengers who have house assets, high intensity of travelling, and the passengers who do travelling for official duty are they who don rsquo t rely on tariff set, so the government should be able to improve service, such as decency and hospitality, responsibilities, supporting facilities Wi Fi, Charger, CCTV, LED TV, First Aid facilities, and emergency exit , comfortness, clean bus stop, and the screen information of bus departure and bus arrival.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T50261
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Kurniawan
Abstrak :
Pembiayaan kesehatan sekitar 146 (60%) penderita talasemia di Banyumas, tahun 2011 ditanggung rumah tangga dalam bentuk pembayar- an langsung (out of pocket payment). Penelitian ini bertujuan untuk meng- analisis ability to pay, willingness to pay, dan need assessment pembiayaan kesehatan penderita talasemia di Kabupaten Banyumas. Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan rancangan studi kasus. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dengan teknik pengambilan sampel simple random sampling. Jumlah sampel penelitian 30 responden yang mempunyai anggota keluarga penderita talasemia di Kabupaten Banyumas. Hasil penelitian menunjukkan keluarga penderita talasemia mempunyai kemampuan membayar ability to pay rata-rata adalah Rp34.448,8/bulan dan rata-rata willingness to pay pengobatan talasemia adalah Rp133.833,3/ bulan. Pola pembiayaan kesehatan talasemia di Kabupaten Banyumas menggunakan 93,3% Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), 3,3% biaya sendiri, dan 3,3% asuransi kese- hatan. Sebelum mendapatkan Jamkesmas, 90,0% responden membayar dengan out of pocket, berhutang, berhemat pada kebutuhan nonkesehatan, dan menjual perhiasan/sawah. Kebutuhan pelayanan kesehatan yang di- harapkan keluarga penderita talasemia adalah konsultasi talasemia dan desain khusus ruang perawatan anak. Kebutuhan pembiayaan kesehatan keluarga penderita talasemia adalah uang transportasi ke rumah sakit se- bagai bentuk biaya tidak langsung.

Health financing of majority thalassemia patients, around 146 people (60%) in Banyumas year 2011 is assured by Households in direct payments to health care providers (out-of-pocket payment). This study aimed to analyze the ability to pay, willingness to pay, and need assessment of health financing thalassemia in Banyumas. This research an analytic observation- Analisis Pembiayaan Kesehatan Keluarga Penderita Talasemia Health Financing Analysis of Thalassemia Patient Family Arif Kurniawan, Arih Diyaning Intiasari al with case study design. This research used cross sectional approach. Sampling technique used simple random sampling. Total sample of 30 respondents who had had family members suffering from thalassemia in Banyumas. The results showed thalassemia families have an average ability to pay of Rp34,448.8/month and the average willingness to pay for the treatment on thalassemia Rp133,833.3/month. Health financing patterns of thalassemia in Banyumas district uses 93.3% health security, 3.3% personal costs, and 3.3% health insurance. Before getting health se- curity, 90.0% of respondents performed out-of-pocket financing, get loan, skimped on nonmedical needs, and sold jewelry/rice fields to finance tha- lassemia?s health services. Health care needs that expected by thalassemia patient?s family is thalassemia consulting and special design of child-care room. Health financing needs of thalassemia?s patient family is transporta- tion money to hospital as indirect costs.
Universitas Jenderal Soedirman, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Jurusan Kesehatan Masyarakat, 2013
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>