Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mey Sugijanto
Abstrak :
Penelitian komunikasi antarbudaya dan antarpribadi ini mengambil responden 7 (tujuh) pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya antara etnis Jawa dengan etnis Minangkabau. Dengan alasan bahwa kedua budaya tersebut, secara tata cara adat maupun sistem kekerabatan atau kekeluargaannya tentulah berbeda, pada budaya Jawa lebih bersifat patrilineal sedangkan di budaya Minangkabau bersifat matrilineal. Meskipun kedua budaya berbeda, tetapi dalam keseharian pada kehidupan bermasyarakat, kedua budaya ini secara relatif tidak mempunyai konflik. Secara mikro, angka perkawinan pasangan suami-isteri yang berbudaya Jawa dengan Minangkabau pastilah banyak, meskipun secara pasti penulis tidak mengetahuinya. Pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya ini secara teoritis sangatlah dekat dengan aspek-aspek budaya, sehingga terjadi proses asimilasi budaya. Meskipun kedua budaya ini termasuk ke dalam rumpun budaya high contextnya Edward T. Halt (1977), tetapi menurut M. Budyatna (1993) dalam high context itu sendiri terdapat high-high context, high-medium context dan high-low context. Pada budaya Jawa lebih kental dengan high-high context, sedangkan budaya Minangkabau dekat dengan high-medium context. Meskipun terdapat perbedaan dalam tataran budaya keduanya, kebanyakan pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya tidak terjadi kerenggangan. Pendekatan dalam penelitian dipergunakan teori Penetrasi Sosial (Altman and Taylor, 1973) dengan tahapan-tahapannya, yaitu Orientasi, Exploratory Affective Exchange, Dyad Members dan Stable Exchange. Pada tahapan-tahapan tersebut, masing-masing individu pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya ini, melakukan pengungkapan diri (self disclosure). Karena semakin akrab seseorang dengan orang lain, maka semakin terbukalah ia dengan pasangannya (Gudykunst and Kim; 1997 : 323-324). Penelitian ini mempergunakan metode kualitatif, menurut Miles and Huberman (1993: 15), "penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif". Sedangkan menurut Bogdan and Taylor (1975 : 5), bahwa, "penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri". Adapun hasil-hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa pasangan menikah atau suami-isteri melalui tahapan-tahapan dalam teori Penetrasi Sosial dengan rentang waktu yang bervariatif, meskipun pada pasangan ketiga tidak melalui tahap orientasi. Dalam masing-masing tahapan tersebut, terjadi pengungkapan diri (self disclosure) atau pertukaran informasi/keintiman hubungan maupun yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pertukaran hubungan atau ukuran kedalaman dan keluasan kepribadian, seperti karakteristik personal, hasil pertukaran hubungan dan konteks situasional. Sebagai kesimpulan dari penelitian pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya ini, ketujuh pasangan sebagai responden atau informan penelitian ini masing-masing mengikuti tahapan dalam teori Penetrasi Sosial dan hasilnya masih relevan jika dibandingkan asal dari teori ini.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7153
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarsisius Florentinus Sio Sewa
Abstrak :
Interaksi antaretnis dan antarbudaya adalah realitas sosial yang tidak dapat dihindari terlebih di era globalisasi dewasa ini. Interaksi yang tidak dikelola secara baik dapat menimbulkan konflik dan ketidakseimbangan relasi. Interaksi yang tidak sehat dapat saja terjadi oleh karena stereotype, prejudice dan sikap etnosentrisme. Padahal interaksi yang baik menuntut adanya saling keterbukaan, saling pengertian dan upaya untuk masuk dan beradaptasi dengan budaya lain. Hal yang sama dapat saja terjadi dalam interaksi antara etnis Ende dan Lio dengan etnis Cina dan Padang di Kota Ende, yang menjadi subyek penelitian Tesis ini. Dengan menggunakan paradigma konstruktivis dan pendekatan komunikasi antarbudaya, penulis menjelajahi realitas "communicative-style" ke-empat kelompok etnis yang saling berinteraksi, termasuk latarbelakang sosio-budaya, sosio-ekonomi dan sosio-religius yang mempengaruhinya. Untuk memahami pola komunikasi dari mereka yang berinteraksi, penelitian tersebut secara khusus menyoroti enam ( 6 ) elemen Communicative-style Barnlund yang relevant 1) tema pembicaraan, 2) bentuk interaksi, 3) tatacara berkomunikasi, 4) cara merespons, 5) penyingkapan diri, dan 6) emphaty. Etnis Ende, dengan karakter ekstrovert: banyak berbicara, bicara dengan suara keras dan emosi yang kadang tak terkendali, tidak sulit berinteraksi terutama dengan etnis Padang dan Lio. Mereka cenderung lebih dekat dengan etnis Padang karena kesamaan agama dan etnis Lio karena hubungan darah dan adat serta bahasa dan budaya yang relatif hampir sama. Berhadapan dengan Etnis Lio dan Padang, mereka dapat berbicara apa saja, mulai dari obrolan santai, obrolan serius, penyingkapan diri dan bahkan dengan etnis Lio sampai kepada tingkat emphaty. Sementara itu, interaksinya dengan etnis Cina masih sebatas tegur-sapa dan transaksi jual-beli. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh medan interaksi yang terbatas antara keduanya. Dengan karakter yang relatif lebih tenang, santun, ramah dan terbuka, etnis Lio dengan mudah dapat berinteraksi dengan etnis Padang, Cina dan Ende. Dalam interaksi di antara mereka, tampak bahwa etnis Cina cenderung lebih dekat dengan etnis Lio karena kesamaan agama dan karena medan interaksi yang cukup luas. Walaupun jarang ada emphaty dan penyingkapan diri; namun tegur-sapa, basa-basi, obrolan santai dan kadangkala obrolan serius, sering menjadi bagian dari komunikasi dan interaksi di antara mereka. Meminjam istilah Norton dengan sembilan (9) "Communication characteristic"-nya, etnis Ende lebih banyak memperlihatkan perilaku: dominant, dramatic, contentious dan animated; dibandingkan dengan etnis Lio yang cenderung bersikap: relaxed, attentive, open dan Friendly. Sementara itu, etnis Cina cenderung berperilaku: Relaxed, Friendly, attentive khusus dengan etnis Lio dan dramatic, khusus dalam mempromosi barang dagangannya. Sedangkan etnis Padang sering menunjukkan perilaku yang Relaxed, Friendly dan kadangkala attentive khusus dalam interaksinya dengan etnis Ende. Pemahaman yang baik tentang communicative-style akan membantu mereka yang berinteraksi untuk dapat "menempatkan diri" sebagai subyek yang trampil dan kompeten dalam berkomunikasi antarbudaya. Dengan demikian, keanekaan budaya yang tampak dalam keanekaan cara orang berkomunikasi, tidak menjadi halangan bagi terciptanya iklim komunikasi yang baik; tetapi sebaliknya, menyadarkan orang menerima perbedaan yang ada sebagai "kondisi terberi" guna saling melengkapi dan menyempurnakan demi "bonum commune" (kebaikan bersama). Karena kebaikan bersama adalah impian semua manusia, siapapun dia dan dari mana asalnya!
Interethnic and intercultural interaction is a social reality which can not be avoided, especially at the era of globalization, nowadays. Unmanaged interaction will bring conflict and unbalanced relation. Unhealthy interaction would be caused by stereotype, prejudice and ethnocentrism among communication participants. It could be concluded that a pleasant interethnic and intercultural interaction required openness, a deep insight and require effort to put our self in the other culture and also to adapt with that culture. The same assumption may apply in communication and interaction between Endenese, Lionese and Chinese, Padangnesse in Ende, which is the subject of this Thesis research. By using Constructivism paradigm and intercultural communication approach, the researcher try to explore "communicative-style" of those four ethnics in their interaction including the influence of social-cultural, social-economic and social-religious background. To understand the behavior of the communication participants, this research reflects six (6) elements of Barnlund's Communicative-Style: The Topics people prefer to discuss, their favorite forms of interaction ritual, repartee, self disclosure and the depth of involvement they demand of each other. Endenese with their extrovert characters: speaks frequently, interrupts and un-controls conversations, speaks in a loud voice, have no difficulties to interact with the Padangnese and Lionese. They tend go closer with the Padangnese because of similarities in social-religious factor; and with the Lionese because of family and customary relationships, resembling in similar language and culture. With them, Endenese can cover various topics of conversation, beginning with a short conversation, serious-talk, self-disclosure and than empathy. Their interaction with the Chinese still restricted to small-talks and subjects related to trading. This fact is influenced by their restricted interactions-setting. Lionese with their relaxed character: calm, simple, modest, friendly and open, can interact with Padangnese, Chinese and Endenese, easily. The Chinese tends go closer with the Lionese because of similarities in social religious factors and their interactions-setting is broad enough. Although, in daily interaction they seldom display empathy and self disclosure; but small-talks, a short conversation and serious-talk occasionally, often can be a part of their communication and interaction. Based on Nortons technical-term and his nine (9) communication-characteristics, Endenese much more display these communication traits: dominant, dramatic, contentious and animated; comparing with Lionese which is relaxed, attentive, open and friendly. The Chinese tend to be relaxed, friendly, attentive, especially with the Lionese and dramatic especially in promoting their trading goods. Padangnese often are relaxed, friendly and sometimes attentive, especially with the Endenese. A good understanding about communicative-style and its influencing factors would help the communication participants: Endenese, Lionese, Chinese and Padangnese, to "put themselves" as "competent-subject" in intercultural communication and interaction. Therefore, the variety of cultures that appear on the diversity communicative-styles, should not become a constraint to develop a good communication-climate; but on the other hand should make someone more aware of the importance of accepting differences with honesty and sincerity, to reach "bonumcommune". Because "bonum-commune" is a vision of all mankind, whoever and wherever they come!
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7073
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avianta
Abstrak :
Dalam suatu organisasi bisnis, komunikasi yang efektif sangat diperlukan guna mendukung berjalannya aktivitas kerja antar karyawan dan atasan. Efektif tidaknya suatu komunikasi akan sangat tergantung pada penerimaan pesan yang disampaikan. Penerimaan pesan masing-masing orang berbeda satu sama lain. Perbedaan ini akan semakin nyata jika pihak yang terlibat dalam komunikasi berasal dari lingkungan budaya yang berbeda. Bekerja dengan orang yang berasal dari budaya yang sama sekali berbeda sudah pasti akan menimbulkan banyak masalah. Beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan cara mengkomunikasikan pesan merupakan salah satu diantara banyak persoalan yang dihadapi oleh Expatriate di lingkungan kerjanya. Dalam memahami permasalahan komunikasi antar-budaya di atas, peneliti melihatnya dari sisi penerimaan pesan dengan cara mengukurnya melalui elemen-elemen Message Reception berupa (1} Selection (2) Interpretation (3) Memory (4) Awareness serta (5) Kemampuan berbahasa serta (6) Pemahaman terhadap perbedaan persepsi tentang budaya kerja dan hubungan kerja. Hasil wawancara dan observasi langsung ke lapangan menunjukkan bahwa efektif tidaknya komunikasi antar-budaya di lingkungan, lebih banyak dipengaruhi oleh perbedaan persepsi tentang hubungan kerja dan budaya kerja antara Expatriate dan Tenaga Kerja Lokal dibandingkan dengan elemen-elemen pengukur penerimaan pecan (Message Reception). Dari sisi Tenaga Kerja Lokal, diantara hambatan-hambatan yang dihadapi dalam menjalankan proses komunikasi dengan Expatriate, yang paling menonjol adalah kurangnya rasa percaya diri jika harus berhadapan dengan Expatriate walaupun yang bersangkutan sudah memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang cukup baik, sehingga terkesan Tenaga Kerja Lokal sangat menjaga jarak dengan Expatriate. Sedangkan Tenaga Kerja Acing lebih melihat permasalahan yang timbul dalam berkomunikasi diakibatkan oleh adanya kesenjangan dalam cara mengungkapkan diri dalam berkomunikasi. Dalam hal ini, Expatriate lebih mengharapkan komunikasi yang terbuka (direct), sementara Tenaga Kerja lokal bersikap sebaliknya. Hal ini terjadi karena budaya Indonesia lebih mementingkan kesopanan daripada keterbukaan dan kebiasaan untuk berkomunikasi secara tidak konfrontatif.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12381
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aviana Mayudrasari Suhargo Arif
Abstrak :
Salah satu tujuan pendidikan di KWJ adalah agar ilmu yang diperoleh dapat digunakan untuk mempererat hubungan antara Jepang dan Indonesia, dalam segala bidang. Sebagai pendidik di lingkungan industri manufaktur, penulis berkesempatan berkeliling ke berbagai perusahaan di Indonesia, mulai dari perusahaan besar, menengah dan kecil (IKMl/ndustri Kecil dan Menengah). Baik perusahaan PMDN (Penanarnan Modal Dalam Negeri), maupun PMA (Penanaman Modal Asing) dari Jepang, Korea, Amerika, Taiwan dan Singapura. Dalam pelaksanaan kerja, ketika melakukan konsultasi untuk suatu perusahaan, yang digunakan juga sebagai bahan penelitian, maka masalah yang paling sering muncul adalah mengenai komunikasi internal di dalam perusahaan itu sendiri. Hal menarik yang ditemukan dalam pelaksanaan konsultasi dan penelitan yang dilakukan kemudian adalah bahwa ada perbedaan cars berkomunikasi di antara mereka (baik orang Indonesia yang berbicara kepada orang Jepang, maupun sebaliknya). Salah satu faktor utamanya adalah bahasa dan budaya.. Untuk itu, dalam thesis ini, penulis mengambil topik "Perbedaan Cara Berkomunikasi Antara Pekerja Jepang dan Pekerja Indonesia dalam Penerapan Horenso (Studi Kasus pada perusahaan Jepang di Indonesia)". Penelitian dilakukan selama 2 tahun terakhir dengan fokus pads perusahaan Jepang di Indonesia, karena faktor kemudahan akses untuk mengetahui tentang aktivitis perusahaan Jepang di Indonesia. Lebih dari 70% pelanggan dari Matsushita Gabel Institute adalah perusahaan yang memiliki afliasi dengan perusahaan di Jepang.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T17577
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devita Eka Santi
Abstrak :
Perusahaan multinasional sangat erat kaitannya dengan adanya komunikasi antarbudaya dan pertemuan antarbudaya. Setiap budaya memiliki dimensi budaya nasional masing-masing. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam melalui interpretative phenomenological analysis yang bertujuan untuk mengungkapkan pemaknaan pengalaman secara eksploratif bagaimana budaya kerja perusahaan yang dibentuk dalam Hofstede's cultural dimensions yang diimplementasikan oleh jajaran manajemen Jepang dan manajemen lokal di dalam PT. Hanwa Indonesia. Serta untuk mengungkapkan bentuk-bentuk pertemuan antarbudaya Indonesia dan Jepang di dalam PT. Hanwa Indonesia khususnya culture shock, akulturasi, dan komunikasi verbal dan nonverbal yang terikat budaya. Dalam studi ini ditemukan bahwa dimensi yang terbentuk dengan menggunakan Hofstede's cultural dimensions di dalam PT. Hanwa Indonesia yaitu large power distance, strong uncertainty avoidance, femininity, individualism, dan short term orientation. Pertemuan antarbudaya yang terjadi di dalam PT. Hanwa Indonesia yang dialami oleh para manajemen baik manajemen Jepang dan manajemen lokal yaitu culture shock, kemudian setelah melalui masa culture shock terdapat proses akulturasi di dalam perusahaan ini, terakhir adanya proses komunikasi verbal dan nonverbal antar kedua pihak baik manajemen Jepang maupun manajemen lokal. Dengan adanya manajer lokal di dalam PT. Hanwa Indonesia, memiliki fungsi sebagai penghubung antara budaya kerja Jepang dan budaya kerja Indonesia.
In multinational company it is closely related with intercultural communication and intercultural encounters. Each culture has its own national cultural dimension. This study method was conducted qualitatively with in-depth interviews uses interpretative phenomenological analysis which aims to reveal the exploratory meaning of experience of how the work culture of the company formed through Hofstede's cultural dimensions implemented by Japanese management and local management within PT. Hanwa Indonesia. Also to reveal the forms of Indonesian and Japanese intercultural encounters in PT. Hanwa Indonesia especially culture shock, acculturation, and verbal and nonverbal communication. The study showed that Hofstede's cultural dimensions in PT. Hanwa Indonesia are large power distance, strong uncertainty avoidance, femininity, individualism, and short term orientation. Intercultural encounters that occurred in PT. Hanwa Indonesia experienced by both of Japanese management and local management from culture shock, then acculturation process, finally there was verbal and nonverbal communication process between Japanese management and local management. With the presence of local managers, it has a function as a bridge between Japanese work culture and Indonesia work culture.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Scollon, Ronald
Oxforf: Blackwell Publishing, 2001
306.44 SCO i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009
302.2 KOM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kabagarama, Daisy
Boston: Allyn and Bacon, 1993
303.482 KAB b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Martin, Judith N.
Boston: McGraw-Hill, 2008
303.4 MAR e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Martin, Judith N.
Boston: McGraw-Hill, 2001
303.482 MAR e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>