Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alexander, Michael
Abstrak :
Desain selalu memegang peranan penting untuk memikat mata pelanggan. Trade Dress dan Desain Industri berbagi kronologis konsep hak kekayaan intelektual yang paralel mulai dari perlindungan hanya untuk desain dua dimensi hingga akhirnya desain tiga dimensi dapat dilindungi. Dalam persaingan perdagangan, umumnya komoditas dagang memiliki desain produk dan desain kemasan yang berbeda. Namun, tidak jarang desain produk secara simultan merupakan desain kemasan, misal : Henry Ford; Christian Louboutin; Crocs; Gibson. Apabila timbul persaingan curang, peniruan atau pemboncengan reputasi dari beberapa contoh desain di atas, maka dapat dikatakan telah terjadi tumpang-tindih pelanggaran passing off Trade Dress vis-à-vis passing off Desain Industri ......Design always plays a crucial role in captive customer’s eyes. Trade Dress and Industrial Design share the same chronological concept of intellectual property tights ranging from protection only for two-dimensional design to at last threedimensional design can also be protected. In trading competitions, trade commodities generally have distinct products design and packaging design. However, we often encounter brands whereby the product design is also the Trade Dress, for instance : Henry Ford; Christian Louboutin; Crocs; Gibson. If there is a fraudulent unfair competition, imitation or ride on the reputation of the design examples above, then it can be said that there has been a overlapping violation of passing off Trade Dress vis-à-vis passing off Industrial Design
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizkya Kinanti Nastiti
Abstrak :
Diaturnya ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Desain Industri No. 31 Tahun 2000 (“UU DI”) yang tidak mengatur ukuran jelas mengenai batasan tidak sama dari sebuah desain yang baru menyebabkan timbulnya inkonsistensi penafsiran penilaian kebaruan Desain Industri di Indonesia. Ditambah pengaturan penilaian substantif ditentukan hanya dilakukan apabila terdapatnya sanggahan sebagaimana dalam Pasal 26 ayat (5) UU DI. Kondisi tersebut akhirnya menciptakan celah terjadinya pendaftaran Desain Industri yang tidak baru dan memungkinkan terjadinya sengketa kebaruan Desain Industri. Dengan begitu penelitian ini dilakukan untuk meneliti bagaimana ketentuan penilaian kebaruan Desain Industri sebaiknya diatur agar tercipta kepastian hukum. Penelitian ini juga akan dilihat dari prespektif hukum desain Uni Eropa dan Perjanjian TRIPs sebagai perbandingan untuk mengetahui bagaimana sebaiknya ketentuan perundang-undangan Desain Industri khususnya mengenai nilai kebaruan diatur. Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan bahan pustaka seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku teks hukum serta jurnal sebagai bahan acuan dalam menganalisa permasalahan ini. Hasil dari penelitian ini didapati bahwa pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam menilai kebaruan Desain Industri di Indonesia yaitu pendekatan perbedaan signifikan. Sebab pendekatan tersebut lebih sesuai dalam menilai apakah suatu desain yang dibuat benar-benar memiliki suatu kreasi baru atau tidak. Kemudian guna mewujudkan ketentuan penilaian Desain Industri yang memberi kepastian hukum maka upaya yang perlu dilakukan diantaranya berupa merubah pengaturan pasal yang mengandung ambiguitas seperti dalam 2 ayat (2) UU DI serta mempertimbangkan untuk mengadaptasi mengenai syarat karakter individu yang terdapat dalam hukum desain Uni Eropa agar meningkatkan persyaratan pendaftaran desain. Dengan begitu suatu desain tidak hanya harus baru namun juga harus memiliki karakter khas yang membedakan dengan desain lainnya. ......The provisions of Article 2 paragraph (2) of the Industrial Design Law No. 31 of 2000 (“ID Law”) which does not set clear limits on limits not the same as a new design causes inconsistencies in the interpretation of the assessment of the novelty of Industrial Designs in Indonesia. In addition, substantive evaluation arrangements are determined to only be carried out if there is objection as stated in Article 26 paragraph (5) of the DI Law. This condition eventually creates a loophole for registration of Industrial Designs that are not new and allows for disputes over the novelty of Industrial Designs. In this way, this research was conducted to examine how the provisions for assessing the novelty of Industrial Designs should be regulated in order to create legal certainty. This research will also be seen from the perspective of European Union design law and the TRIPS Agreement as a comparison to find out how the provisions of Industrial Design legislation should be regulated, especially regarding the value of novelty. In conducting this research the authors used normative legal research methods by using library materials such as laws and regulations, legal textbooks and journals as reference materials in analyzing this problem. The results of this study found that a more appropriate approach is used in assessing the novelty of industrial design in Indonesia, namely the significant difference approach. Because this approach is more appropriate in assessing whether a design that is made really has a new creation or not. Then, in order to realize the provisions for evaluating Industrial Designs that provide legal certainty, the efforts that need to be made include changing the arrangement of articles that contain ambiguity as in 2 paragraph (2) of the ID Law and considering adapting the individual character requirements contained in European Union design law in order to improve design registration requirements. That way a design must not only be new but must also have a distinctive character that distinguishes it from other designs.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Septiani Fitrian
Abstrak :
Realita yang terjadi saat ini, iklan merupakan sarana pemasaran pemegang peranan penting, bahkan utama dalam mempromosikan suatu produk yang ditawarkan oleh sebuah Perusahaan. Jarang sekali suatu Perusahaan, terutama yang menghasilkan produk berupa barang konsumsi, tidak menggunakan sarana periklanan untuk memasarkan keberadaan produknya kepada masyarakat. Dan untuk mendukung sarana pemasaran iklan tersebut. Perusahaan memesan iklan yang mereka inginkan kepada Biro Iklan melalui suatu Perjanjian Pemesanan Iklan. Perjanjian Pemesanan Iklan ini harus dibatasi oleh asas kebebasan berkontrak dan itikad baik baik dari Perusahaan maupun Biro Iklan. Oleh karena itu, pada Perjanjian Pemesanan Iklan harus seimbang antara hak dan kewajiban para pihak dengan melindungi kepentingan Perusahaan dan Biro Iklan. Namun, pada praktek yang terjadi sekarang ini adalah Perusahaan yang membayar pembuatan iklan yang mendaftarkan iklan tersebut dengan mereka sebagai Pemegang Hak Cipta atas iklan. Sementara itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, belum tentu Perusahaan yang berhak atas Hak Cipta tersebut, ada kemungkinan justru Biro Iklanlah Pemegang Hak Cipta, sebagai pihak yang menciptakan (Pencipta). Hal ini tentunya tidak melindungi Biro Iklan sebagai Pencipta. Karena Biro Iklan yang mengerjakan keseluruhan proses pembuatan karya iklan. Pada Perjanjian Pemesanan Iklan yang akan dianalisa ini, kepentingan Biro Iklan sebagai Pencipta tidak di lindungi oleh Perjanjian Pemesanan Iklan. Perusahaan menginginkan agar seluruh Hak Cipta atas iklan di alihkan dari Biro Iklan kepada Perusahaan dan Perusahaan menginginkan agar hak moral dikesampingkan. Hal ini tentunya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, Perjanjian Pemesanan Iklan harus melindungi hak-hak Perusahaan dan Biro Iklan dengan memperhatikan asas kebebasan berkontrak dengan tidak bertentangan undang-undang terkait, ketertiban umum, dan kepatutan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S21258
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luqman Wafi Robbani
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai ketentuan tentang unsur significantly different dalam desain industri, khususnya desain industri botol minuman. Penulisan ini dilatarbelakangi oleh frasa significantly different dalam Persetujuan TRIPs yang tidak ditemukan dalam UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Hal ini menjadi masalah karena dengan tidak adanya ketentuan dan penjelasan lebih lanjut mengenai unsur significantly different akan membuat putusan pengadilan terkait desain industri akan berbeda satu dengan yang lainnya, seperti yang terjadi pada kasus Tupperware mengenai desain industri antara Eco Bottle milik Tupperware sebagai Penggugat dengan Bio Life dan Bio Life Borneo dalam Putusan Nomor 02/Pdt.Sus-HAKI/2016/PN Niaga Smg dan Putusan No. 11/HKI/Desain Industri/2016/PN Niaga Sby. Penggugat, gugatan Penggugat, dan jawaban Para Tergugat dalam kedua putusan ini sama, yang membedakan hanya pihak Para Tergugat karena memiliki perbedaan domisili. Walaupun gugatan dan jawaban sama, putusan yang dihasilkan baik di tingkat pengadilan niaga maupun Mahkamah Agung berbeda. Pada hasil penelitian ini dinyatakan bahwa pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan No. 11/HKI/Desain Industri/2016/PN Niaga Sby adalah tepat karena memberikan penjelasan yang lengkap dan tepat mengenai perbedaan desain industri antara Eco Bottle dengan Bio Life dan Bio Life Borneo. Sedangkan pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 02/Pdt.Sus-HAKI/2016/PN Niaga Smg dan putusan kasasinya tidak tepat. Pada Putusan Pengadilan Niaga Semarang salah dalam menerapkan hukum terkait kedudukan dari Para Tergugat, sedangkan pada tingkat kasasi tidak memberikan penjelasan mengenai perbedaan desain industri antara Eco Bottle dengan Bio Life dan Bio Life Borneo. ...... This thesis dicusses how the legal provisions regrading the significantly different elements of an industrial design, especially for industrial design of drinking bottle. This thesis is backed by significantly different phrase in TRIPs Agreement that can not find in Law No. 31 of December 20, 2000, regrading Industrial Designs. It is a problem because without the legal provisions regrading the significantly different elements of an industrial design makes judge verdicts will be different between one another, as in the Tupperware case regrading industrial design between Eco Bottle that is property of Tupperware as palintiff against Bio Life and Bio Life Borneo in the Verdict No.02 Pdt.Sus HAKI 2016 PN Niaga Smg and the Verdict No.11 HKI Desain Industri 2016 PN Niaga Sby. The plaintiff, claim, and answer the defendants are similar, the difference is only the defendants because they have different domicile. Although the calim and answer the defendants are similar, it has different of judge verdicts in both commercial court level and supreme court level. In the result of this study revealed that consideration of the judges in the Verdict No.11 HKI Desain Industri 2016 PN Niaga Sby is appropriate because they expalined about the difference of industrial design between Eco Botlle, Bio Life and Bio Life Borneo completely and appropriately. Whereas consideration of the judge in the Verdict No.02 Pdt.Sus HAKI 2016 PN Niaga Smg and its cassation verdict is not appropriate. The judge from Semarang Commercial Court is incorrect in adjusting of the law regrading legal standing of the defendants, whereas supreme court level did not explain about the difference of industrial design between Eco Botlle, Bio Life and Bio Life Borneo.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudargo Gautama
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004
346.048 SUD h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover