Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ririen Aryani
Abstrak :
ABSTRAK
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan bank syariah di Indonesia, potensi yang muncul untuk terjadinya sengketa dalam perbankan syariah juga semakin tinggi, sehingga menjadi penting bagi perbankan syariah maupun masyarakat pengguna jasa perbankan syariah untuk memahami secara benar bagaimana pengaturan kewenangan lembaga penyelesaian sengketa pada perbankan syariah. Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1989, Pengadilan Agama sebagai lembaga peradilan mempunyai kewenangan absolut sebagai lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah. Namun 2 (dua) tahun setelah diundangkannya UU Peradilan Agama tersebut, muncullah Undang-Undang (UU) Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008 memberikan choice of law, bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat juga dilakukan melalui Peradilan Umum, apabila para pihak menghendaki dalam akad. Dengan adanya ketidakpastian hukum tersebut, keluarlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 93/PUU-X/2012 yang menghapus Penjelasan pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008 tersebut. Berdasarkan hal tersebut terdapat beberapa permasalahan hukum yaitu bagaimana pengaturan kewenangan lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia diatur dan bagaimanakah implementasi dari putusan MK No. 93/PUUX/ 2012 serta tantangan dan potensinya. Permasalahan-permasalahan tersebut diteliti dengan menggunakan metode penelitian sosio legal, yang merupakan penelitian hukum yang menggunakan pendekatan metodologi ilmu sosial dalam arti yang luas. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pertama, putusan MK No. 93/PUU-X/2012 telah mengembalikan Kompetensi Absolut sebagai lembaga penyelesaian sengketa Perbankan syariah beserta derivasinya. Kedua, implementasi putusan MK No. 93/PUUX/ 2012 belum sempurna, terlihat dari masih adanya perkara eksekusi jaminan Hak tanggungan dan hipotek yang diselesaikan di Pengadilan Negeri. Ketiga, masih adanya tantangan dalam penerapan putusan MK No. 93/PUU-X/2012 tersebut, yang terlihat dari masih adanya ketidakpahaman masyarakat akan kompetensi absolut peradilan agama sebagai lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia.
ABSTRACT
Along with the rapid growth of Islamic banks in Indonesia, the potential that arises for disputes in Islamic banks are also getting higher, so that it becomes important for Islamic banking and the community users of Islamic banking services to understand correctly how the rules of the institution competence for dispute settlement in Islamic banking. Based on Law No. 3 of 2006 on amendments to Law No 7 of 1989, Religious Courts as judicial institutions have absolute competence as a dispute settlement institution on Islamic banks. However, 2 (two) years after the promulgation of the Law on Religious Court, legalized of Law on Sharia Banking No. 21 of 2008, for giving the choice of law, that Islamic banking dispute resolution can be solved through the General Courts if the parties want in the contract. With the legal uncertainty, the Constitutional Court Decree issued No. 93/PUU-X/2012 which removes the explanation of article 55 paragraph (2) Sharia Banking Law No. 21 of 2008. Based on these, there are legal issues, that are how the regulation of authority for sharia banking dispute settlement institutions in Indonesia and how the implementation of the Constitutional Court decree No. 93 / PUU-X / 2012 and its challenges and potential. These problems are examined using the socio-legal research method, which is legal research that uses a methodology approach of social science in a broad sense. From the research, it can be concluded that first, the Constitutional Court decree No. 93 / PUU-X / 2012 has returned Absolute Competence as an Islamic Banking dispute settlement institution and its derivatives. Second, the implementation of the Constitutional Court Decree No. 93/PUU-X/2012 has not been perfect, it can be seen from the cases of execution of guarantees Mortgage and mortgage rights that are settled in the District Court. Third, there are still challenges in the implementation of the Constitutional Court Decree No. 93/PUU-X/2012, which can be seen from the incomprehension of the community about the absolute competence of the religious court as an institution for dispute settlement on Islamic banking in Indonesia.
2019
T52958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Kejahatan yang dilakukan anak-anak memerlukan penangganan khusus yang berbeda dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Majelis Umum PBB telah mengadopsi suatu ketentuan yang lebih dikenal engan Beijing Rules yang memuat kondisi minimum dalam penangganan anak-anak yang melakukan kejahatan oleh negara yang meratifikasinya. Indonesia juga telah membuat suatu peraturan yang mengatur tentang Peradilan Anak yaitu dalam UU No. 3 Tahun 1997 (UUPA). Dalam artikel ini penulis mengkaji beberapa bagian dari peraturan tersebut yaitu dengan melihat apakah falsafah yang menjadi landasan pembentukan undang-undang ini mengacu pada kesejahteraan anak sebagaimana dalam Beijing Rules tersebut.
Hukum dan Pembangunan, XXVIII (1-3) Januari Juni 1998: 113-123,
HUPE-XXVIII-1.3-JanJun1998-113
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Velayo
Abstrak :
Tesis ini berjudul kekuatan pembuktian salinan akta dalam persidangan perdata studi putusan Mahkamah Agung No. 10 K/PDT/2015, terdapat tiga rumusan masalah yang dibahas yaitu keabsahan perjanjian yang dibuat di hadapan Notaris, kekuatan pembuktian Minuta Akta, Salinan Akta, Kutipan Akta dan Grosse Akta Notaris menurut ilmu hukum atau doktrin, dan pertimbangan hakim terhadap kekuatan pembuktian Salinan Akta Pengakuan Utang dalam Putusan Mahkamah Agung. Tesis ini ditulis untuk mengkaji permasalahan mengenai kekuatan pembuktian akta autentik dalam persidangan, yang dilakukan dengan tujuan agar mengetahui pengaturan hukum terkait pembuktian akta autentik dan kekuatan pembuktiannya dalam persidangan. Metode penelitian yang dipakai adalah yuridis normatif, dengan teknik studi kepustakaan untuk mengumpulkan data sekunder, yang berupa bahan hukum primer dan sekunder. Sistematika penulisan dibagi dalam lima bab. Hasil penelitian dari tesis ini yaitu bahwa perjanjian memiliki kekuatan hukum dan keberlakuan hukum yang mengikat bagi para pihak apabila dibuat dengan memenuhi syarat-syarat perjanjian, perjanjian yang dibuat dengan akta Notaris harus memenuhi peraturan agar dapat memenuhi syarat akta autentik agar dapat memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Untuk minuta, salinan, kutipan, dan Grosse Akta memiliki kekuatan pembuktian akta autentik apabila terpenuhi syarat-syarat lahiriah, formil, dan materiil. Pada kasus ini, Akta Pengakuan Utang tidak memiliki kekuatan pembuktian, sehingga tidak ada perikatan hukum yang terjadi, dan semua akibat hukum yang telah terjadi harus batal demi hukum. ...... This thesis is entitled power of proof from copy of the deed in the civil trial of the Supreme Court decision case number 10 K/PDT/2015, there are three problems discussed, the validity of the agreement made by a Notary, the strength of proof of the Minutes of Deed, Copy of Deed, Quotation of Deed and Grosse Deed according to legal science or doctrine, and judges' consideration of the strength of proof from Copy of Deed Debt Recognition in the Decision of the Supreme Court. This thesis was written to examine the problem about power of proof of authentic deeds during the trial, which was carried out with the aim of knowing the legal regulation relating to the verification of authentic deeds and the strength of their evidence in the trial. The method used in research is juridical normative, with techniques literature study to collect secondary data, consists of primary and secondary law materials. The writing is divided into five chapters. The results of the research in this thesis are that agreement has legal force and legal enforcement that is binding on the parties if the agreement is made by fulfilling law regulate about agreement, an agreement made with the Notary deed must meet the regulations in order to fulfill the authentic deed requirements in order to have perfect proof power. For minuta, copies, quotations, and Grosse Deed have the power of authentic deed proving if the physical, formal and material requirements are met. In this case, the Debt Recognition Act does not have power of proving, so there is no legal engagement that occurs, all legal consequences that have occurred must be null and void.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53373
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Afrizal Candra
Abstrak :
Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan pasang surut dan pasang naik secara bergantian anatara demokratis dart otoriter. Tarik menarik konfigurasi politik dengan karakter produk hukum yang berkarakter responsifpopulistik dan produk hukum yang berkarakter ortodoks-konservatif dengan kecenderungan linier yang sama. Rezim Orde Baru terutama pada 1967-1981 senantiasa curiga akan gerakan-gerakan Islam. Konfigurasi politik pada peciode ini cenderung otoriter dengan berbagai tipologi perpolitikan. Di tahun 1970-an ini lahir berbagai produk hukum seperti UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 1 tahun 1974 yang berkarakter ortodoks/konservatif atau elitis. Pada saat slap akomodatif (1985-1998) antara Islam dari negara maka pada era ini lahir Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama maka karakter produk hukum ini bisa dikatakan berkarakter responsif/populistik. Era Reformasi, konfigurasi politik yang tampil adalah demolantis dengan terlibatnya seluruh komponen masyarakat dalarn pembentukan UU No. 4 tahun 2004 maka produk hukum ini berkarakter responsi populistik. Setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Karakter produk hukum sangat ditentukan oleh visi politik yang berkembang dimasyarakat. Semakin demokratis suatu rezim, semakin responsif dan aspiratif produk hukum yang dihasilkan dan sebaliknya. Karena itu setiap produk hukum yang berkarakter responsif/populistik akan mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih demokratis. ...... The history of political configuration in Indonesia shows the ups and downs in turns between democratic and authority. The pulling of political configuration between the law product which have the characteristics of responsive-populistic and the other Iaw product which have the characteristics of orthodoks-conservative, with the same similarity in line. The New Order regime especially in the year of 1967-1982 have suspicions settlements on the Islamic movements. Political configurations in this period tends to rule with an authoritic attitude with many political typhologies. In the year of 1970-s, were created many law products such as the UU No. I4 Year 1970 and the UU No. 1 Year 1974 which have the orthodoks conservative characteristics or clitic law products. At the time of accontridative ( 1985 - 1998 ) between Islam and the state, in this era was created the UU No. 7 Year 1989 which issues about the religic court which then this product of Iaw can be said to have the characteristic of responsive I populistic. In the Reformation Era, the political configurations that shows up is democratic which involves all the components of society inside the structuring of UU No. 4 Year 2004, and so this product of law has the characteristic of responsive 1 populistic. Every products of law are the turner of every political configurations which creates them. The characteristic of product of law depends on the political visions which are growing inside the society. The more democratic one regime is, the more responsive and aspirative product of law they creates and it goes the same for the opposite. Because of that, every product of law which have the characteristic of responsive populistic will make the nation more democratic.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14919
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Murni Pangesti Lestari
Abstrak :
Kedudukan Mahkamah Konstitusi yang hanya ada di Jakarta menimbulkan problem aksesibilitas bagi para pencari keadilan, penyediaan fasilitas permohonan online ditujukan untuk menjawab permasalahan tersebut, namun sejak diluncurkannya yakni pada tahun 2006 hingga kini pemanfaatannya masih relative rendah. Penelitian ini bertujuan menggali informasi mengenai faktor - faktor yang mempengaruhi pemanfataan permohonan online di Mahkamah Konstitusi menggunakan teori dari Harvard, JFK School yang mengatakan bahwa kunci sukses penerapan konsep digitalisasi pelayanan publik dipengaruhi oleh Support, Capacity dan Value. Dengan menggunakan paradigma positivis dan desain kualitatif deskriptif penelitian ini memberikan gambaran bahwa faktor Value mempunyai pengaruh yang dominan dalam pemanfaatan permohonan online dibandingkan dengan faktor Support dan Capacity. Faktor Value juga dipengaruhi oleh berbagai hal seperti sosialisasi, kepentingan ekonomi, kebijakan, kesenjangan digital dan personal interest. ...... The position of the Constitutional Court which is located only in Jakarta creates a problem of accessibility to justice seekers. The availability of online application facility is intended to address the problem, however, since its intiation in 2006, the use of this facility is still relatively low. This research is aimed at finding out information concerning factors affecting the use of the online application at the Constitutional Court based on the theory from JFK School, Harvard which says that the key for the success of implementation of public service digitalisation concept is affected by Support, Capacity and Value. By using positivist paradigm and descriptive qualitative method, this research shows that Value has dominant effect in using online application compared to Support and Capacity. The Value factor is also affected by various things such as dissemination of information, economic interest, policy, digital divide and personal interest.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35843
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maruarar Siahaan
Abstrak :
HAK asasi secara ilmiah melekat dalam diri manusia karena kodratnya sebagai mahluk ciptaan Tuhan, yang awalnya hidup merdeka. Untuk mempertahankan haknya secara lebih efektif, manusia menyerahkan hak alamiahnya dengan perjanjian kepada Negara. Perkembangan HAM setelah perang dunia yang menghancurkan harkat dan martabat manusia, mendorong bangsa-bangsa yang berhimpun dalam PBB sepakat untuk melindungi dan memenuhinya melalui organisasi dengan kewenangan tertentu. Kesepakatan lebih jauh dalam DUHAM telah berkembang dengan diadopsinya HAM tersebut dalam instrument yang bersifat Hukum yang mengikat dan dapat dipertahankan melalui Pengadilan. Setelah Perang dunia kedua tersebut, Negara-negara secara universal melakukan konstitusionalisasi HAM, ketika HAM itu diangkat menjadi bagian dari Konstitusi, sehingga kebijakan dan tindakan Negara dalam legislasi tidak boleh melanggar HAM yang telah menjadi hak konstitusional dalam Hukum tertinggi, yang daat berakibat kebatalan. Negara harus melindungi dan memenuhi HAM tersebut melalui fungsi Makhamah Konstitusi atau Makhamah Agung.
Jakarta: Lembaga Pangkajian MPR RI, 2019
342 JKTN 12 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
JIP 38 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mardalena Rahmi
Abstrak :
ABSTRAK
Perkawinan dalam Islam merupakan salah satu sunnah Rasul untuk memelihara manusia dari kesesatan, serta untuk meneruskan keturunan. Tujuan perkawinan menurut Islam adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang kekal dan bahagia bukanlah merupakan hal yang mudah sehingga sering kali terjadi perceraian, salah satu penyebab adanya perceraian adalah salah satu pihak pindah agama, ke agama semula (murtad) atau memasuki agama lain selain Islam. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tidak diatur mengenai perkawinan yang salah satu pihak tidak beragama Islam lagi (murtad) akan tetapi menurut hukum Islam perkawinan tersebut sudah tidak memenuhi persyaratan lagi dan harus diceraikan oleh lembaga yang berwenang yang dalam hal ini adalah pengadilan. Bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara perceraian bila salah satu pihak murtad menurut hukum Islam? Apakah akibat hukumnya apabila salah satu pihak pindah agama (murtad) menurut hukum Islam? Metode penelitian ini adalah kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, jenis data dan sumber data yang di pergunakan adalah studi kepustakaan (Library Research) dan wawancara dengan hakim di Pengadilan Agama Palembang sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yaitu kewenangan hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perceraian karena salah satu pihak pindah agama (murtad) adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Apabila perkawinannya di lakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) yang berwenang adalah Pengadilan Agama tetapi apabila perkawinan di .lakukan di Kantor Catatan Sipil yang berwenang adalah Pengadilan Negeri. Akibat hukum bila salah satu pihak pindah agama (murtad) menurut hukum Islam adalah perkawinan tersebut adalah batal sehingga berakibat sebagai berikut yaitu bila melakukan hubungan biologis hukumnya adalah berzinah/haram, suami isteri yang berbeda agama tidak saling mewarisi, nasab (garis keturunan) tidak dapat di sandarkan kepada ayahnya, seseorang yang murtad tidak mempunyai hak untuk menjadi wali dari anaknya.
2007
T 17402
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fauzan
Jakarta: Prenada Media, 2005
347.01 ACH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fauzan
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009
347.01 ACH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>