Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Welan Mauli Angguna
Abstrak :
Dewasa muda adalah kelompok masyarakat yang menikmati kemudahan teknologi, sehingga rentan untuk memiliki aktivitas fisik yang cenderung rendah. Aktivitas fisik yang rendah di usia muda merupakan faktor risiko penyebab kematian akibat penyakit degeneratif di masa depan. Masyarakat Indonesia termasuk negara dengan aktivitas fisik yang rendah, sehingga diperlukan promosi kesehatan yang tepat sasaran dengan memperhatikan faktor psikologis. Trait kepribadian dianggap sebagai faktor psikologis kuat dalam identifikasi aktivitas fisik, khususnya trait extraversion, conscientiousness, dan openness. Namun demikian, hubungan ketiga trait ini terhadap aktivitas fisik masih belum konsisten, hal ini memungkinkan adanya variabel lain yang memediasi hubungan tersebut. Untuk mempertahankan konsistensi tingkah laku dibutuhkan otonomi yang tinggi, begitu juga konsistensi untuk aktif melakukan aktivitas fisik. Otonomi merupakan derajat yang menunjukkan seberapa individu memiliki determinasi diri untuk termotivasi melakukan tingkah laku tertentu, dan motivasi yang berasal dari dalam diri merujuk pada otonomi yang lebih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menguji mekanisme hubungan ketiga trait dengan aktivitas fisik melalui mediasi otonomi. Penelitian dilakukan melalui lapor diri pada 59 laki-laki dan 144 perempuan dewasa muda berusia 20-40 tahun. Melalui analisa process mediasi (Hayes) ditemukan adanya mediasi sempurna antara trait extraversi dengan aktivitas fisik melalui otonomi, dan mediasi sebagian antara trait openness dan aktivitas fisik melalui otonomi. Conscientiousness tidak signifikan memengaruhi aktivitas fisik baik secara langsung maupun tidak langsung. Trait conscientiousness disarankan untuk diuji mediasi melalui presentasi diri terhadap aktivitas fisik.
Young adults are a group of community who enjoy technology, so it made them tend to have low physical activity. Low physical activity is a risk factor of degenerative diseases that cause death. Indonesia was a country that have lowest physical activity, so it's necessary to promote active physical activity to young adults by considering psychological factors. Personality was considered as a strong psychological factor that could predicted physical activity, especially extraversion, conscientiousness, and openness. However, their effects were still inconsistent, it allowed other variable to mediate their relationships. In order to maintain the consistency of behavior like physical activity, it required high autonomy. Autonomy is a degree to indicate how individual have self-determination to be motivated to perform certain behaviors, and the motivation was derived from inner-self that show high autonomy. This study aimed to examine the mechanisms of the trait effects to physical activity through the mediation of autonomy. The study was conducted by requiring data from self-report on 59 men and 144 young adult women aged 20-40 years. We analyzed the data by using mediation PROCESS (Hayes), and it was found a perfect mediation between extraversion and physical activity mediated by autonomy, and partially mediated of autonomy to the effects of openness and physical activity. However, conscientiousness did not significantly influence physical activity directly nor indirectly. Considering the communal culture of participants, we recommended to examine the effect of conscientiousness to physical activity through the mediation of self-presentation in future research.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
T50360
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatchiati Farida Fitri
Abstrak :

ABSTRAK
Hubungan (relationship) antar mahluk yang satu dengan yang lain sangat diperlukan atau dengan kata lain hubungan (human relation) adalah merupakan suatu kebutuhan (Fisher, 1994 ), dirnana ada 5 kebutuhan dalam suatu hubungan, yaitu: need for intimacy, need for social integration, need for being nurturant, need for assistance dan need for reassurancy of our own worth.

"Need for Intimacy" yaitu merupakan suatu kebutuhan yang sifat dan orientasinya kepada kebutuhan individual yang sangat pribadi. Dari hubungan yang demikian itulah diharapkan timbulnya proses hubungan percintaan - intimate of love (Mary Ann,l985).

Dalam proses hubungan percintaan tidak dapat dilepaskan dari berbagai unsur yang mendukungnya yaitu : adanya subyek, sarana-komunikasi, pasangan dan produknya adalah cinta. Kecendrungan dewasa ini bcrkomunikasi melalui komputer menyebabkan seseorang tidak perlu lagi bertatap muka secara fisik karena baik subyek ataupun pasangan telah dapat menggunakan komputer dan internet sebagai sarana atau alat untuk melakukan hubungan dan bahkan menjalin kasih sayang antara keduanya yang disebut dengan cinta. Apabila sampai pada tingkat yang demikian dan tetjadi pada individu yang awalnya belum pernah kenal tatap muka, maka hubungan tersebut dinamakan internet romance, yaitu hubungan percintaan melalui internet dimana individu jatuh cinta pada orang asing yang belum pernah tatap muka sebelumnya.

Cinta itu sendiri merupakan suatu proses yang terdiri atas 3 (tiga) komponen yaitu : "intimacy" itu sendiri pada tingkat awal, "Passion" dan "Commitment" (SternBerg, 1988 ) yang dalam penelitian ini diungkapkan sebagai proses tahap awal, proses lanjut dan proses akhir. Keberhasilan pencapaian commitment karena adanya intimacy, dimana intimacy sangat ditentukan oleh kuantitas dan kualitas komunikasi.

Masyarakat pada umumnya masih asing dan belum percaya pada Internet romance bahwa hubungan percintaan dapat terjadi melalui internet dimana masing-masing individu belum mengenal satu sama Iain dan belum ada tatap muka umum dapat saling jatuh cinta, (Meng, 1994).

Dalam kaitan dengan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana sebenarnya proses terjadinya hubungan Internet romance dan melihat faktor-faktor atau elemen apa yang mendukung individu terlibat dalam hubungan tersebut. Mengingat penelitian ini hendak mengetahui pengalaman dan penghayatan pribadi, maka penelitian ini dilaksanakan dengan metode kasus melalui wawancara mendalam dengan analisis kualitatif. Untuk itu peneliti membatasi tingkat pendidikan subyek yang diwawancarai, yaitu 20-30 tahun dengan minimun tingkat pendidikkan calon Sl, disamping sebagai mayoritas pemakai internet, juga dengan asumsi bahwa orang yang pendidikannya cukup tinggi dapat lebih mahir dalam mengeluarkan pendapat dan perasaannya secara verbal ( komunikatif ).

Dari ke-4(subyek) yang diwawancarai, Peneliti menemukan bahwa makin sering melakukan kontak atau chatting makin memberikan nilai positif dalam membentuk intimacy dimana hubungan yang berjalan melalui internet ini cendrung memerlukan frekuensi yang cukup tinggi dibanding di dunia nyata. Ini berarti keaktifan dalam hal ini sangat dibutuhkan (Grasha & Kirschenbaurn, 1980 ). Demikian pula mengingat bahwa komunikasi dalam internet romance ini tanpa kehadiran fisik yang bersangkutan, maka kualitas komunikasi jauh memperoleh perhatian penilaian dibanding apabila komunikasi dimana keduanya hadir secara fisik. Hal demikian menunjukkan bahwa setiap tutur-kata masing-masing akan direkam, dicatat, dan selalu diingat-ingat. Mengingat bahwa komunikasi dalam internet hanya mengandalkan kemampuan verbal dan pada umumnya berjalan dalam waktu yang cukup lama ( bisa sampai 5 atau 6 jam sehari bahkan Iebih ) maka seluruh aspek pribadi, tak jarang terungkapkan secara keseluruhan. Oleh karena itu melalui komunikasi internet dalam rangka membangun intimacy tersebut tidak jarang masing-masing lalu berawal dari adanya "Faktor keterbukaan", kemudian menimbulkan sikap "kepercayaan". Hal demikian menunjukkan bahwa komunikasi dalam lnternet-Romance orang mampu saling mengekspresikan dan menangkap elemen-elemen kepribadian sehingga dapat saling memberikan respon interpersonal secara positif untuk membangun ?intimacy"atau berespon negatif menolak. Dengan demikian proses komunikasi di internet ini, dipengaruhi 3 aspek, yaitu intensitas komunikasi, cara penyampaian komunikasi dimana subyek sering menggunakan simbol dan kalimat-kalimat spesial sebagai ungkapan elemen interpersonal, juga isi pembicaraan.

Dari penelitian ini ditemukan pula hal-hal yang mendorong subyek untuk online yaitu sebagai ekspresi cliri, mencari teman sekedar ngobrol, dan sengaja mencari pasangan. Walau pada awalnya subyek tidak serius dalam berrnain chairing, namun temyata charting mampu membawa individu ke arah pemikiran yang lebih serius. Dalam hal ini internet mampu menciptakan hubungan percintaan sampai ke jenjang pernikahan. Proses atau siklus terjadinya hubunganpun tidak jauh berbeda dengan yang didunia nyata., namun secara tehnis saja yang berbeda. Yang lebih menarik adalah ditemukannya suatu kepuasan bagi seorang subyek, bahwa dengan melalui hubungan Internet romance ini, kepribadian pasangan lebih mudah dapat dipahami dibanding dengan hubungannya di dunia nyata, hal ini menunjukkari bahwa hubungan Internet romance ternyata bisa terjadi dan tidak kalah mutunya dengan yang di dunia nyata.

Dari 7(tujuh)subyek yang akan diwawancarai, hanya 4(empat) subyek yang berhasil diwawancarai Peneliti. Dikarenakan ada yang balik ke Luar Negri untuk menyelesaikan studi dan ada yang kembali ke kota asalnya. Dari ke-4 subyek ini dua diantaranya masih dalam proses lanjut dimana belum ada tatap muka, dan 2 diantaranya akan melanjutkan ke jenjang pernikahan.

Oeh karena itu, penelitian ini masih perlu pemantauan tindak lanjut mengingat para subyek belum ada yang berakhir sampai tuntas dan penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut, antara lain dengan meneliti perbedaan antara dewasa muda pria dan wanita dalam menjalani hubungan internet romance ini, atau meneliti bagaimana karakteristik kepribadian orang-orang yang bermain internet ataupun yang menjalin hubungan internet romance.
1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annissa Faqih Fidini
Abstrak :
Saat memasuki dewasa muda, individu dihadapkan dengan tantangan terkait tugas perkembangan. Apabila dewasa muda gagal menghadapi tantangan tersebut, maka hal ini dapat berdampak pada kebahagiaan mereka. Dalam menghadapi tugas perkembangan tersebut, dewasa muda dapat menjalankannya melalui perilaku prososial. Penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara perilaku prososial dan kebahagiaan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara perilaku prososial dan kebahagiaan autentik (pleasure, engagement, dan meaning) pada dewasa muda. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur Orientations to Happiness (OTH) dan Prosocialness Scale for Adults (PSA) yang telah diadaptasi ke Bahasa Indonesia. Penelitian ini terdiri dari 197 partisipan yang berasal dari usia masa dewasa muda dengan rentang usia 20–35 tahun (M = 22.65, SD = 2.70). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara perilaku prososial dan kebahagiaan autentik (pleasure, engagement, dan meaning) pada dewasa muda di Indonesia (p < 0.001). Hasil menunjukkan bahwa peningkatan dalam perilaku prososial juga disertai peningkatan pada orientasi pleasure, engagement, dan meaning pada dewasa muda. ......When entering young adulthood, individuals are faced with challenges related to developmental tasks. If young adults fail to face these challenges, this can have an impact on their happiness. In facing these developmental tasks, young adults can do so through prosocial behavior. Previous research has shown that there is a positive relationship between prosocial behavior and happiness. Therefore, this study aims to look at the relationship between prosocial behavior and authentic happiness (pleasure, engagement, and meaning) in young adults. The research instruments used in this study are the Orientations to Happiness (OTH) and Prosocialness Scale for Adults (PSA) measurement tools that have been adapted to the Indonesian language. This study consisted of 197 participants from young adulthood with an age range of 20-35 years (M = 22.65, SD = 2.70). The results showed that there was a significant positive relationship between prosocial behavior and authentic happiness (pleasure, engagement, and meaning) in young adults in Indonesia (p < 0.001). Results suggest that increases in prosocial behavior are accompanied by increases in pleasure, engagement, and meaning orientations in young adults.
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
[Public and scholarly interest in early adulthood has increased over the past decade, spurred by the dramatic social and developmental changes young people experience during this period and the consequences of their missteps. The family context, both the family of origin and family of procreation, has emerged as key settings shaping young adults’ success in navigating this period of the life course. While prior research has illuminated relationships between various family contexts and young adult outcomes, the chapters in this volume move the field forward in considering the dynamic interplay between family context, early adult development, and a range of outcomes. In this chapter, we synthesize four emergent themes from this volume : the role of family in pathways to adulthood, cumulative advantage and disadvantage in early adulthood, individual differences in young people’s skills and capacities for negotiating early adulthood, and the role of institutions in shaping early adulthood. , Public and scholarly interest in early adulthood has increased over the past decade, spurred by the dramatic social and developmental changes young people experience during this period and the consequences of their missteps. The family context, both the family of origin and family of procreation, has emerged as key settings shaping young adults’ success in navigating this period of the life course. While prior research has illuminated relationships between various family contexts and young adult outcomes, the chapters in this volume move the field forward in considering the dynamic interplay between family context, early adult development, and a range of outcomes. In this chapter, we synthesize four emergent themes from this volume : the role of family in pathways to adulthood, cumulative advantage and disadvantage in early adulthood, individual differences in young people’s skills and capacities for negotiating early adulthood, and the role of institutions in shaping early adulthood. ]
New York: [Springer, ], 2012
e20396103
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Yasmin
Abstrak :
Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial berada pada posisi yang unik di mana pemahaman mereka tentang dinamika sosial dan dukungan psikologis sangat berperan dalam karier mereka di masa depan. Pengalaman pribadi mereka dengan pengasuhan keluarga dan interaksi teman sebaya dapat mempengaruhi tidak hanya kesejahteraan mereka sendiri, tetapi juga efektivitas mereka dalam bekerja dengan individu ataupun komunitas yang membutuhkan. Kualitas hubungan sosial dengan figur terdekat, termasuk ayah dan teman sebaya, menjadi faktor yang berkaitan erat dengan tinggi rendahnya kesejahteraan psikologis mereka. Namun, ditemukan bahwa studi terkait kesejahteraan psikologi dengan keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan kelekatan teman sebanya pada mahasiswa masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan kelekatan teman sebaya dengan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa Program Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial UI. Penelitian dilakukan pada bulan Januari-Juli 2024 dan menggunakan pendekatan kuantitatif berjenis survei dengan kuesioner online sebagai instrumennya. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik convenience sampling dan memperoleh responden berjumlah 133 mahasiswa/i Program Sarjana Ilmu Kesejateraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, angkatan 2020-2023 dalam rentang umur 18-24 tahun yang memiliki figur ayah. Berdasarkan hasil uji korelasi Kendall’s tau-b, ditemukan adanya hubungan positif yang signifikan berkekuatan cukup antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan (0.302, p < 0.05) dan kelekatan teman sebaya (0.357, p < 0.05) dengan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa. Hal tersebut menunjukkan semakin tinggi tingkat keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan kelekatan teman sebaya yang dimiliki, maka semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan psikologis yang dimiliki individu. Identifikasi hubungan tersebut dapat memberikan kontribusi tidak hanya untuk pengetahuan akademis, tetapi juga sebagai dasar praktik profesional di bidang kesejahteraan sosial. ......Social Welfare undergraduate students are in a unique position where their understanding of social dynamics and psychological support significantly influences their future careers. Their personal experiences with family upbringing and peer interactions can affect not only their own well-being but also their effectiveness in working with individuals and communities in need. The quality of social relationships with close figures, including fathers and peers, is closely related to their level of psychological well-being. However, it has been found that studies examining the psychological well-being related to father involvement in nurturing and peer attachment among college students are still limited. Therefore, this study aims to identify the relationship between father involvement in nurturing and peer attachment with the psychological well-being of Social Welfare undergraduate students at the University of Indonesia. The research was conducted from January to July 2024, using a quantitative survey approach with online questionnaire as the instrument. The sampling technique used was convenience sampling, obtaining 133 respondents from the Social Welfare undergraduate program, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia, class of 2020-2023, aged 18-24 years who have a father figure. Based on the Kendall's tau-b correlation test, a significantly positive and moderate relationship was found between father involvement in nurturing (0.302, p < 0.05) and peer attachment (0.357, p < 0.05) with the psychological well-being of students. This indicates that the higher the level of father involvement in nurturing and peer attachment, the higher the level of psychological well-being of the individuals. Identifying this relationship can contribute not only to academic knowledge but also as a foundation for professional practice in the field of social welfare.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Margaretha
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara self-efficacy dengan perilaku sehat pada individu emerging adulthood. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan sampel yang terdiri dari 266 individu emerging adulthood yang berusia 18 sampai 25 tahun. Untuk mengukur selfefficacy, alat ukur yang digunakan adalah General Self-Efficacy (GSE) Scale (Schwarzer & Jerusalem, 1995). Untuk mengukur perilaku sehat, peneliti menggunakan alat ukur perilaku sehat yang disusun sendiri oleh peneliti dengan mengembangkan perilaku sehat menurut Becker (1979, dalam Notoatmodjo, 2003). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara self-efficacy dengan perilaku sehat pada individu emerging adulthood. Dengan menggunakan teknik pearson correlation, diperoleh nilai koefisien hubungan sebesar 0,224 (p < 0,01). Arah positif dari hubungan berarti bahwa semakin kuat self-efficacy yang dimiliki seseorang, maka perilaku sehatnya juga semakin baik. Semakin lemah self-efficacy seseorang, semakin buruk pula perilaku sehatnya.
ABSTRACT
The purpose of this study was to examine the relationship between selfefficacy and health behavior in emerging adulthood individuals. This was a quantitative research with a sample of 266 emerging adulthood individuals aged 18 to 25 years. To measure self-efficacy, General Self-Efficacy (GSE) Scale (Schwarzer & Jerusalem, 1995) was used. To measure health behavior, a Likerttype scale was developed based on Becker?s (1979 in Notoatmodjo, 2003) theory of health behavior. The result showed a significant positive relationship between self-efficacy and health behavior in emerging adulthood individuals. Employing Pearson?s correlation technique, the correlation coefficient between self efficacy and health behavior was 0,224 (p < 0,01). This indicated that individuals with strong self-efficacy tend to have better health behavior, and individuals with weak self-efficacy tend to tend to have bad health behavior. Theoretical and practical implications were further discussed.
2016
S63068
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annissah Kamia Septiani Utami
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan sikap terhadap perceraian dan kualitas hubungan romantis dalam pernikahan pada dewasa muda dengan orangtua bercerai. Terdapat dua alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini. Variabel sikap terhadap perceraian diukur menggunakan Attitudes Toward Divorce Scale Kinnaird Gerrard, 1986 . Kualitas hubungan romantis diukur menggunakan Partner Behavior as Social Context Ducat, 2009 untuk menilai perilaku pasangan dalam menjalani hubungan romantis pernikahan berdasarkan perspektif individu dewasa muda dengan orangtua bercerai, dan Self Behavior as Social Context Ducat Zimmer-Gembeck, 2010 untuk menilai perilaku individu dewasa muda dengan orangtua bercerai dalam menjalani hubungan romantis pernikahannya. Kedua alat ukur tersebut diisi oleh 50 orang dewasa muda yang sudah menikah dan memiliki orangtua bercerai. Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan dimana tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap terhadap perceraian dan kualitas hubungan romantis pernikahan pada dewasa muda dengan orangtua bercerai. Dengan demikian, sikap terhadap perceraian yang dimiliki oleh dewasa muda dengan orangtua bercerai tidak dapat memprediksi kualitas hubungan romantis pernikahan pada dewasa muda dengan orangtua bercerai.
ABSTRACT
The purpose of this study was to find out the relationship between attitudes toward divorce and marital romantic relationship rsquo s quality among young adulthood from divorced parents. There were three instruments used in this study. Attitudes toward divorce was measured using the Attitudes Toward Divorce Scale Kinnaird Gerrard, 1986 . Romantic relationship rsquo s quality was measured using Partner Behavior as Social Context Ducat, 2009 to assess partner rsquo s behavior based on the perspective of young adulthood who experienced parental divorced, and Self Behavior as Social Context Ducat Zimmer Gembeck, 2010 to assess individual rsquo s behavior in romantic relationship. These two instruments were completed by 50 young adulthood who had married and experienced parental divorce. Pearson Correlation analysis result showed that there is no significant relationship between attitudes toward divorce and romantic relationship quality among young adulthood from divorced parents. That means, attitudes toward divorced owned by young adulthood who experienced parental divorce couldn rsquo t predict romantic relationship quality among young adulthood who experienced parental divorced.
2016
S62752
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danira Alexandra Khatwani
Abstrak :
Media sosial digunakan oleh pasangan yang berpacaran untuk memelihara hubungan mereka. Karakteristik media sosial yang menyediakan akses konstan terhadap informasi mengenai pasangan memungkinkan penggunanya untuk melakukan electronic intrusion. Electronic intrusion adalah serangkaian tingkah laku yang dilakukan untuk memantau aktivitas orang lain dengan cara-cara yang melanggar privasi mereka melalui media sosial yang merupakan salah satu bentuk cyber dating abuse. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara tipe-tipe insecure attachment (anxious dan avoidant attachment) dengan electronic intrusion. Data dikumpulkan dari 1202 partisipan yang berusia antara 18 hingga 30 tahun, sedang berpacaran selama minimal 6 bulan, belum bertunangan, dan belum pernah menikah. Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara kedua tipe insecure attachment dengan electronic intrusion.
Social media has become a widely-used platform to conduct relationship maintenance behaviours for dating couples. The characteristics of social media that allow constant connection and visibility make it possible for users to perpetrate electronic intrusion behaviours. Electronic intrusion is a set of behaviours that aims to monitor others' activities by intrusive actions through social media, which is a type of cyber dating abuse. This research was conducted to look at the relationship between insecure attachment styles (anxious and avoidant attachment) and electronic intrusion. Data was gathered from 1202 participants ranging from 18 to 30 years old, has been dating for at least 6 months, has not been engaged, and has never been married. Data analyses show that there were significant correlations between both insecure attachment styles and electronic intrusion.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library