Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahmadi Fajar Himawan
Abstrak :
ABSTRACT
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan penahbisan praktik guyon saru (gurauan tidak senonoh) dalam arena pertunjukan wayang kulit purwa. Pertunjukan wayang kulit purwa, sebagai salah satu sebagai instrumen penyampaian gagasan alternatif terhadap isu kontemporer, secara paralel telah menormalisasikan  praktik humor yang cenderung melecehkan perempuan. Kajian terdahulu menyatakan bahwa humor jamak digunakan dalam seni pertunjukan Indonesia sebagai penyaluran gagasan alternatif terhadap isu sosial-politik, inovasi pertunjukan, dan sarana pelembagaan/perlawanan terhadap norma berbasis gender. Pesindhen (perempuan penyanyi solo dalam pertunjukan wayang kulit purwa) mengalami objektifikasi seksual dan melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan eksistensi profesinya. Skripsi ini berargumen bahwa guyon saru merupakan praktik yang ditahbiskan (consecrated) oleh beberapa aktor dalam arena pertunjukan, termasuk pesindhen, untuk mempertahankan modal ekonomi, sosial, simbolik, dan kultural mereka. Penahbisan guyon saru dalam arena pertunjukan dilatari oleh habitus pengarusutamaan audiens dalam arena. Penahbisan tersebut dikontestasi oleh para aktor lain, termasuk  pesindhen, yang menyingkapi guyon saru sebagai praktik yang tidak sesuai dengan habitus para aktor sebagai orang jawa. Kajian ini menggunakan kerangka teori medan produksi budaya oleh Bourdieu, pendekatan kualitatif, dan studi kasus pada arena pertunjukan wayang kulit purwa di DKI Jakarta.
ABSTRACT
This study aims to explain the consecration of the practice of guyon saru (indecent jokes/gurauan tidak senonoh) in the field of javanese shadow puppet theater (pertunjukan wayang kulit purwa). Javanese shadow puppet theater, as one of the media of alternative ideas towards  contemporary social issues, had normalized the practice of humor which tends to harass women. Previous studies state that humor had been used in Indonesian performing arts as a media of alternative ideas towards socio-political issues, performance innovations, and instrument to institutionalize/resist the gender-based norms. Pesindhen (female solo singer in the javanese shadow puppet theater) experienced sexual objectification and made various efforts to maintain the existence of their profession. This study argues that guyon saru is a practice which has been consecrated by several actors in the field of the javanese shadow puppet theater, including pesindhen, to maintain their economic, social, symbolic and cultural capital. The consecration of guyon saru in the field is based on the habitus of mainstreaming the audience in the field. The consecration has been contested by other actors, including pesindhen, whose revealed guyon saru  as a practice that was not in accordance with the habitus of actors as javanese people (orang jawa). This research uses the field of cultural production theory by Pierre Bourdieu as researchs framework, qualitative approaches, and the field of javanese shadow puppet theater in Jakarta as the case study.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nobertus Riantiarno, 1949-
Jakarta: Kompas Gramedia, 2016
899.221 2 NOB r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fakhrully Akbar
Abstrak :
Pertarungan keutamaan dan keangkaramurkaan selalu ditampilkan dalam wayang kulit purwa. Pertarungan keduanya disebabkan oleh perebutan harta, tahta, dan wanita. Lakon Dursasana Gugur merupakan pertarungan yang berorientasi pada perebutan tahta dan bentuk ekspresi dari pertarungan kekuatan keutamaan dan keangkaramurkaan.Baik Dursasana maupun Bima sebagai tokoh yang bertarung pada lakon tersebut masing-masing menjalankan darma ksatria.Darma tersebut merupakan tugas suci yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap manusia.Setiap darma yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut tentu menemui karma. Karma yang diakibatkan oleh tutur kata, sikap maupun perilaku tokoh yang ada didalamnya. Setiap karma yang terjadi menimbulkan mitos-mitos yang menjadi kepercayaan atau keyakinan kelompok tertentu. Penelitian ini membahas relasi antara keutamaan dan keangkaramurkaan dengan darma karma juga mitos yang terdapat pada lakon tersebut .Penelitian ini bertujuan menjelaskan simbol dari pertarungan keutamaan dan keangkaramurkaan dari lakon Dursasana Gugur. Penelitian ini menggunakan teori etika Jawa dari Franz Magnis Suseno. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa dalam lakon Dursasana Gugur, kekuatan keutamaan memenangkan kekuatan angkara murka . Karma yang dilakukan oleh Dursasana selama hidup menemui balasannya dalam perang Baratayuda serta penggambaran darma Bima. ......The battle of good and bad is always displayed in pure shadow puppets. Both battles are caused by struggles for property, thrones, and women. The play of Dursasana Akhir is a battle oriented to the seizure of the throne and the form of expression of the struggle of the power of virtue and evilness. Both Dursasana and Bima as the characters who fight in the play each carry out darma ksatria.Darma is a sacred task given by God to every human . Every darma done by the two figures certainly finds karma. Karma which is caused by the words, attitudes and behavior of the characters in them. Every karma that occurs raises myths that become certain group beliefs or beliefs. This study discusses the relation between virtue and the scarcity of the karma as well as the myths found in the play. This study aims to explain the symbol of the struggle of virtue and evil from the play of the Fallen Thrones. This study uses Javanese ethical theory from Franz Magnis Suseno. The results of this study show that in the play of Downfall, the power of virtue won the power of anger. Karma carried out by Dursasana during his life met his retribution in the Baratayuda war and the depiction of Bima darma.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Muslifah
Abstrak :
The Sĕrat cariyos ringgit purwa lampahan Dora Wĕca mawi sĕkar macapat is an example of a translation of a wayang play into poetry, a popular phenomenon in the late nineteenth century. To create aesthetic effects Raden Mas Panji Arja Suparta, the author of the text, makes ample use of metaphors. Some of these metaphors are well-known literary clichés. Others, which are woven into riddles (wangsalan), bring the real world of everyday life in Java vividly into view.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
909 UI-WACANA 22:3 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
M Misbahul Amri
Abstrak :
ABSTRAK
Disertasi ini bertujuan untuk memahami arti ritual ?Mungel? wayang Mbah Gandrung, pemertahanan, dan pewarisannya. Ritual tersebut berpusat di Desa Pagung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Untuk itu, dilakukanlah penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi dalam perspektif ?drama sosial?. Temuan penelitian menunjukkan bahwa ?Mungel? adalah ?gelaran? ritual bukan ?tontonan?. Oleh sebab itu, ?Mungel? menggunakan ?bingkai spiritual? untuk ?melaju?. ?Bingkai? tersebut berkembang menjadi ?sosial-spiritual? ketika ?gelaran? dilaksanakan untuk rangkaian ?Grebeg Suro?. Meskipun demikian, ?Mungel? masih dinilai sakral dan ?mandi? oleh sebagian pendukungnya, tetapi, oleh yang lain, dinilai sebagai tindak budaya kreatif dengan meritualkannya. Meskipun demikian, ia layak diangkat sebagai salah satu identitas budaya daerah dan tempatnya dijadikan museum hidup oleh kedua kelompok tersebut, sehingga perlu dipertahankan dan diwariskan
ABSTRACT
This dissertation aimed at understanding the meanings of wayang Mbah Gandrung?s ?Mungel? ritual, its safeguarding and its transmission. The ritual center is Desa Pagung, Sub-Disctrict of Semen, Kediri District. For this purpose, ethnographic research has been carried out. Assessed from the persective of ?social drama?, this research has found out that ?Mungel? is a ritual, not an entertaintment. Therefore, it uses ?spritiual frame? to ?flow?. However, it changes into ?social?spiritual frame? when ?Mungel? takes place in ?Grebeg Suro? ceremony. Still, people consider it either as sacred and efficaious or creative act retualized. However, it is worth taking it as one of the regional cultural identities and the pavilion as an indigenous museum need preserving as well as transmitting.
2016
D2182
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surakarta: Institut Seni Indonesia, 2007
819 TEO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Soetarno
Surakarta: Institut Seni Indonesia, 2007
819 SOE s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Museum Negeri Sonobudoyo, Dinas Kebudayaan DIY , 2014
069.5 MUS
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Museum Negeri Sonobudoyo, Dinas Kebudayaan DIY , 2014
069.5 MUS
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Solichin
Bandung: Mitra Sarana Edukasi, 2017
R 791.535 98 SOL e
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>