Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitriana
Abstrak :
Ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa selama belum ditetapkannya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka pengusaha dan pekerja harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Adapun kewajiban yang dimaksud meliputi upah yang diberikan selama proses pemutusan hubungan kerja (upah proses). Namun, ketentuan ini dianggap belum memberikan kepastian hukum, sehingga Mahkamah Konstitusi RI memberikan penafsiran melalui Putusan Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011, bahwa upah proses tetap diberikan kepada pekerja hingga adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pasca dijatuhkannya putusan tersebut, Mahkamah Agung RI mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2015 pada tanggal 29 Desember 2015 yang bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI, karena membatasi pemberian upah proses selama 6 (enam) bulan saja. Dengan adanya ketidakharmonisan dalam ketentuan upah proses ini telah mengakibatkan penafsiran yang keliru pada hakim dalam menjatuhkan putusannya. Sebagaimana yang diputuskan dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 346/PDT.SUS-PHI.G/2018/PN.JKT.PST, Majelis Hakim telah menjatuhkan hukuman upah proses sebanyak 2 (dua) bulan upah dengan pertimbangan pekerja tidak melaksanakan pekerjaannya selama proses pemutusan hubungan kerja. Atas hal tersebut, perlu dilakukan penelitian dengan metode penelitian deskriptif yang memberikan gambaran umum mengenai penetapan upah bagi pekerja yang tidak melaksanakan pekerjaan selama proses pemutusan hubungan kerja. Berdasarkan penelitian ini, maka Negara perlu membentuk undang-undang yang jelas mengenai pemberian upah proses bagi pekerja yang tidak melaksanakan pekerjaannya, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda bagi hakim dalam menjatuhkan putusannya, dan memberikan keadilan bagi pekerja. ......Article 155 paragraph (2) of the Law of Republic of Indonesia Number 13 of 2003 on Manpower regulates that as long as the decision of institute for the settlement of industrial relation disputes has not determined, employer and employee must keep on performing their obligations. The intended obligations include wages given during the employment termination process (process wages). However, this provision is considered not to provide legal certainty, thus the Constitutional Court provides an interpretation through the Decision Number 37/PUU-IX/2011 on 19 September 2011, that process wages is still given to employee until a decision has its permanent legal force (inkracht van gewijsde). After that, the Supreme Court then issued a Circular Letter Number 3 of 2015 on 29 December 2015 which contradicted the Decision of the Constitutional Court, because it limited the payment of process wages for 6 (six) months. With the disharmony in the regulations, it has resulted the mistaken interpretation of the judge in ruling the decision. As decided in the Industrial Relations Court Decision at the District Court of Central Jakarta Number 346/PDT.SUS-PHI.G/2018/PN.JKT. PST, the Panel of Judges has sentenced the employer to pay the process wage in the amount of 2 (two) months, with the consideration that employee does not carry out the work during the employment termination process. For this reason, research needs to be done with descriptive methods that provides an overview of the determination of wages for employee who does not carry out work during the employment termination process. Based on this research, the State needs to form a clear regulation regarding the provision of process wages for employee who does not carry out their work, thus it does not cause a different interpretation for the judge in ruling the decision, and provide a justice for employee.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Lazuardi Pratama
Abstrak :
Pengaturan mengenai pelaksanaan pembayaran upah beserta hak-hak lainya yang biasa diterima pekerja selama proses perselisihan PHK sesungguhnya telah jelas diatur dalam Pasal 155 UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maupun perubahannya dalam Pasal 157A UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Khusus adanya upah proses dari skorsing yang diberikan tertulis selama proses Perselisihan PHK,  mengacu pada pasal 96 UU No 2 tahun 2004 tentang PPHI, jika upah dan hak akibat skorsing tidak dijalankan perusahaan maka pekerja dapat meminta putusan sela untuk dipenuhinya hak akibat skorsing tersebut. Klausula tetap menjalankan hak dan kewajiban dari para pihak berselisih wajib dilaksanakan para pihak selama perselsihan berlangsung. Namun jika pemberi kerja melarang atau tidak memberikan pekerjaan selama proses perselisihan, maka pemberi kerja memiliki kewajiban untuk membayar upah proses. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis regulatif yang didukung berdasarkan temuan berbagai putusan peradilan hubungan industrial dan data empirik dari beberapa narasumber yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun telah ditegaskan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor No 37/PUU-IX/2011 dan dimaknai melalui Surat Edaran dan yurisprudensi Mahkamah Agung yang membatasi keberlakuan upah proses secara regulatif hanya diberikan maksimal 6 (enam) bulan. Sedangkan pada hasil temuan diperoleh fakta bahwa proses perselisihan PHK dapat menempuh waktu lebih dari 6 (enam) bulan atau lebih lama jika menempuh upaya paksa eksekusi. Dengan dibatasinya upah selama proses perselisihan PHK yang tertuang dalam berbagai praktek putusan perselisihan PHK, maka bentuk perlindungan hukum bagi pekerja yang berselisih dalam proses penyelesaian sengketa perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja bagi pekerja tidak terjadi.Kata Kunci: Perselisihan PHK, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 37/PUU-IX/2011, Upah Proses. ......Regulation regarding the implementation of payment of wages along with other rights that workers usually receive during dismissal disputes has been clearly regulated through Article 155 of Law No. 13 of 2003 concerning Manpower and its amendments in Article 157A of Law No. 11 of 2020 concerning Job Creation. In particular, process wage that is given during the suspension period in employment termination disputes refers to Article 96 of Law No. 2 of 2004 concerning PPHI. It will be interim decided if the company does not carry out wages and employees’ rights during this period. The rights and obligations of both employer and employees during the dispute process must be implemented. If the employer prohibits or does not provide work during the dispute process, the employer is obliged to pay the process wage. This study used a regulatory juridical research method to discuss various industrial relations court decisions and was supported by empirical data from several relevant sources. The result of the study indicates that although it has been confirmed through the Constitutional Court Decision Number 37/PUU-IX/2011 and interpreted by the Supreme Court's jurisprudence, limits the validity of the regulatory process wages for a maximum of 6 (six) months. Meanwhile, the finding shows the fact that the process of dismissal disputes generally takes more than 6 (six) months or longer if forced execution is taken. With the limitation of the process wages payment during dismissal disputes in practice settings, legal protection for workers in dispute has not been achieved.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Upik S.A.D. Susongko
Depok: Universitas Indonesia, 1990
S26302
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Avianita Anandhari
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai penetapan upah minimum melalui studi banding antara Indonesia, Australia dan Filipina. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penetapan upah minimum diatur di Indonesia, Australia dan Filipina melalui berbagai peraturan perundang-undangan upah minimum dan membandingkannya berdasarkan beberapa aspek. Penelitian ini adalah yuridis-normatif dimana data sekunder akan dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan mengenai upah minimum di Indonesia cukup komprehensif, meskipun melalui perbandingan dengan Australia dan Filipina menunjukkan peraturan upah minimum di Indonesia dapat ditingkatkan berdasarkan aspek subjek, jenis, prosedur, dasar hukum, pengecualian dan pihak yang terlibat.
The focus of this undergraduate thesis to discuss regarding minimum wage fixing through a comparative study between Indonesia, Australia and Philippines. The objective of this research is to identify how minimum wage fixing is regulated in Indonesia, Australia and Philippines through various minimum wage legislations and compare it based on several aspects. This research is a qualitative research in a form of juridical normative. The result of this research shows that minimum wage in Indonesia is quite comprehensively regulated, although through the comparison with Australia and Philippines it shows minimum wage regulations can be improved based on the aspects of subjects, types, procedure, legal basis, exceptions and parties.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S64321
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martha G. Amalo
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai masalah upah lembur yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam kasus antara pekerja/buruh dengan perusahaan. Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang merupakan penelitian hukum yang mengacu pada norma hukum sebagaimana terdapat dalam peraturan perundang-undangan, dan bahan hukum studi kepustakaan. Analisa dilakukan berdasarkan jam kerja sesuai jabatan; lembur serta haknya dan perhitungan upah lembur pada hari kerja dan upah lembur pada hari libur/istirahat. Keberadaan peraturan perundang-undangan membuktikan sudah dilaksanakan oleh Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial Kabupaten Tanah Laut. ...... The following undergraduate thesis is the issue of overtime pay that is inconsistent with lagislation. In the case between the worker/laborer and the company. This writing using normative juridical research method which is a legal research that refers to the legal norm as contained in the legislation, and legal literature study materials. Analysis based on working hours according to position; overtime and the right and calculation of overtime pay on working days and ovetime pay on holidays.The existence of legislation proves already implemented by the labor service, transmigration and social Tanah Laut Districts.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Linny Firdaus
Abstrak :
Skripsi ini membahas penerapan upah layak untuk awak kapal perikanan di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta dalam konteks perlindungan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan upah awak kapal perikanan belum sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagai akibat dari ketidakserasian dan kekosongan hukum, sistem upah yang eksploitatif, penerapan perjanjian kerja laut sebagai “formalitas belaka”, rendahnya kesadaran dan pengetahuan hukum, tumpang-tindih kewenangan dalam pemerintah, serta rendahnya pengawasan dan penegakan hukum. Penulis menyarankan adanya harmonisasi peraturan perundang-undangan, evaluasi kerja pada pemerintah, dan revolusi mental awak kapal perikanan......This thesis focuses on the implementation of decent wage for fishers at Nizam Zachman Jakarta Fishing Port as regulated in Indonesian legal framework. This research is qualitative research with a descriptive design. This research shows that the wage for fishers has not been implemented as regulated in the legal framework as the result of a disharmonious and unregulated law, an exploitative wage system, “mere formality” work agreements, poor legal awareness and knowledge, overlapping authorities in government, and inadequate law supervision and enforcement. The author suggests a harmonization in legal framework, a work evaluation in government, and a mental revolution in fishers.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover