Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Penyebab penyakit kandidiasis vagina terbanyak adalah Candida albicans (85%). kandidiasis sering menimbulkan masalah karena terjadinya relaps/reinfeksi, disebut sebagai kandidiasis vagina rekurens. Saluran pencernaan merupakan reservoar C.albicans. Di samping itu transmisi melalui hubungan seksual, faktor imunologi, faktor hormonal juga berperan terjadinya kandidiasis vagina rekurens. Walaupun upaya pengobatan sudah dilakukan, frekuensi kandidiasis masih terus meningkat dan kandidiasis vagina rekurens juga masih merupakan masalah.
"
MPARIN 7 (1-2) 1994
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Candida merupakan salah satu genus jamur yang dapat menyebabkan vaginitis dengan menimbulkan keluhan keputihan (fluor albus). Karena banyaknya wanita yang menderita vaginitis oleh Candida, dan salah satu sumber infeksi diduga adalah air yang dipakai untuk membersihkan diri, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah air kamar mandi yang mengandung Candida dapat menjadi sumber infeksi. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dilakukan penelitian terhadap 40 sampel sekret vagina dan 40 sampel air mandi rumah penderita keputihan yang diperiksa di bagian Parasitologi FK UI, Jakarta. Hasil yang diperoleh dari 40 wanita dengan keluhan vaginitis yang diperiksa, 28 (70%) positif Candida. Air kamar mandi dari 40 yang diperiksa, sebanyak 22 (55%) positif Candida. Pada 20 wanita dengan kandidiasis vagina ditemukan air kamar mandinya juga mengandung Candida. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa air kamar mandi dari rumah penderita keputihan yang tercemar oleh Candida, dapat menjadi sumber infeksi bagi bagi penderita kandidiasis vagina tersebut. "
MPARIN 7 (1-2) 1994
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kaufmann, Elizabeth
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2006
618.4 ELI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Budi Suhendar
"Kondom yang telah digunakan dalam suatu tindak kejahatan seksual berupa persetubuhan dapat memberikan barang bukti pada kasus kejahatan seksual. Kondom tersebut dapat mengandung bukti biologis yang berasal dari pelaku dan korban yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pelaku dan mengkaitkannya dengan korban yang mengindikasikan kemungkinan telah terjadi persetubuhan. Pada bagian luar kondom dapat menempel epitel vagina, sekret vagina, darah korban atau rambut pubis yang dapat berasal dari pelaku atau korban, sedangkan di bagian dalam kondom dapat ditemukan cairan mani dan epitel penis yang berasal dari pelaku. Sebagai bahan biologis, barang bukti tersebut tidak akan terhindarkan dapat mengalami degradasi seiring dengan perubahan waktu dan kondisi lingkungan dimana kondom itu berada. Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh waktu dan lingkungan terhadap bukti biologis berupa epitel vagina dan cairan mani pada kondom pasca senggama. Pemeriksaan terhadap cairan mani menggunakan pemeriksaan fosfatase asam, Florence, Berberio dan dilakukan pemeriksaan terhadap sel sperma yang berada di bagian dalam kondom. Pemeriksaan terhadap barang bukti dari bagian luar kondom untuk pembuktian adanya epitel vagina dilakukan Hasil penelitian pemeriksaan cara lugol dan pemeriksaan Barr body. menunjukkan bahwa sampai hari ke sepuluh pemeriksaan ini, cairan mani dan epitel vagina masih dapat ditemukan serta tidak terdapat perbedaan antara hasil temuan kondom yang dilakukan di tempat terbuka, tempat tertutup dan di dalam air."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T57261
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Rika Maharani
"ABSTRAK
TUJUAN: Mengetahui perubahan skor kualitas hidup pasien POP pasca tatalaksana pembedahan vagina dengan menggunakan kuesioner PFDI-20 dan PFIQ-7 Di RSCMdan RSFLATAR BELAKANG: Prolaps organ panggul menjadi perhatian utama dalam masalah kesehatan wanita pada semua umur yang sering dihubungkan dengan penurunan kualitas hidup dan menyebabkan gangguan pada kandung kemih, saluran cerna dan disfungsi seksual. Terapinya ialah konservatif dan pembedahan dengan tujuan terapi menghilangkan keluhan untuk mengembalikan kualitas hidup pasiennya sehingga pasien dapat melakukan aktifitas. Tujuan penelitian ini untuk melihat perubahan skor kualitas hidup pasien POP pasca tatalaksana pembedahan vagina dengan menggunakan kuesioner PFDI-20 dan PFIQ-7 Di RSCMdan RSF.DESAIN DAN METODE: Desain studi kohort prospektif, dilakukan di RSCM dan RSF periode Juli 2015 hingga Oktober 2016. Subjek dilakukan follow-up penilaian kualitas hidup sebelum dan sesudah terapi bulan ketiga dengan menggunakan kuesioner PFDI-20 dan PFIQ-7 versi Indonesia. Data disajikan secara analisis deskriptif.HASIL: Pada penelitian ini didapatkan 25 sampel penelitian dan tidak ada yang di drop out. Hasil penelitian menunjukkan pasien yang diterapi dengan pembedahan vagina juga terdapat pengurangan skoring kualitas hidup yang bermakna dengan nilai

ABSTRACT
OBJECTIVE To determine changes in the quality of life in POP patients after underwent vaginal surgery using PFDI 20 and PFIQ 7 questionnaires at RSCM And RSF.BACKGROUND Pelvic organ prolapse is a major concern in women 39 s health issues at all ages and often associated with reduced quality of life and can cause bladder, gastrointestinal and sexual dysfunction. The treatments are conservative and surgical therapy aiming to eliminate complaints to improve the quality of life of the patient. Therefore, the patients can perform their daily activities. The aim of this study is to evaluate changes in the quality of life scores in POP patients after vaginal surgery using PFDI 20 and PFIQ 7 questionnaires at RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo And RSF.DESIGN AND METHODS prospective cohort study, carried out in RSCM and RSF period July 2015 to October 2016. Subject to do follow up assessment of the quality of life before and after the third month of therapy using questionnaires PFDI 20 and PFIQ 7 version of Indonesia. Data presented descriptive analysis.RESULTS In this study, 25 samples were obtained and none dropped out. The results showed significant score reduction in the quality of life in patients treated with vaginal surgery with p "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liem, Raissa
"Pendahuluan: Obstetric Anal Sphincter Injuries (OASIS) merupakan salah satu komplikasi luaran partus pervaginam yang cukup sering ditemukan, mencapai 4,53% dari total persalinan pervaginam. Kejadian OASIS juga dikaitkan dengan peningkatan risiko inkontinensia fekal (IF) yang berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang. Pada penelitian ini akan dijabarkan karakteristik dari pasien yang mengalami OASIS di RS Tersier di Jakarta pada tahun 2014-2016 dan luaran inkontinensia fekal pada populasi tersebut.
Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif karakteristik pasien pasca reparasi OASIS di RSUPN Cipto Mangunkusumo, RS Persahabatan, dan RS Fatmawati tahun 2014- 2016. Dari total 234 pasien, 58 pasien berhasil dihubungi dan diwawancara dengan kuesioner RFIS untuk mengetahui luaran inkontinensia fekal. Dari 58 pasien, 16 pasien datang untuk USG tranperineal untuk penilaian otot sfingter ani pasca reparasi. Data dianalisis menggunakan SPSS 20.
Hasil Penelitian: Dari total 234 sampel, rerata usia pasien adalah 26,64 tahun, dengan rerata IMT 23,4 kg/m2. Sebagian besar pasien (67,5%) adalah primipara, dengan rerata durasi partus kala II selama 45,1 menit. Tindakan episiotomi dilakukan pada 40,6% pasien, persalinan spontan pada 153 (65,4%) pasien, dengan rerata berat lahir 3217 gram. Dari 58 pasien yang bisa dihubungi, keluhan inkontinensia fekal didapatkan pada 3 orang (5,2%) pasca OASIS dengan berbagai tingkat keparahan (ringan, sedang, dan berat). Dari 16 pasien yang datang untuk USG, ditemukan defek pada EAS pada 3 pasien, dan IAS pada 2 pasien. Kelima pasien tersebut tidak memiliki keluhan IF.
Diskusi: Penelitian ini merupakan studi deskriptif terhadap karakteristik pasien dengan OASIS, dan juga sebagai studi awal terhadap kejadian inkontinensia fekal pada populasi OASIS. Didapatkan 3 dari 58 pasien pasca reparasi primer OASIS mengalami inkontinensia fekal. Angka ini cukup rendah dibandingkan studi lain. Hal ini dapat disebabkan adanya perbedaan populasi penelitian. Pasien dengan keluhan IF yang memiliki sfingter ani yang intak pada penelitian ini menunjukkan bahwa kontinensia tidak hanya dipengaruhi oleh sfingter ani, namun juga faktor lain seperti otot dasar panggul dan persarafan disekitarnya.
Kesimpulan: Luaran dari reparasi primer OASIS ditemukan beragam dari penelitian ke penelitian. Karakteristik pasien memiliki peran yang penting dalam menentukan angka kejadian OASIS dan juga luaran pasca reparasi. Untuk mengetahui hal tersebut, diperlukan penelitian lanjutan dengan jumlah sample yang lebih besar.

Introduction: Obstetric Anal Sphincter Injuries (OASIS) is a quite common complication of vaginal delivery. It reaches 4,53% from total vaginal delivery. OASIS is associated with an increased risk of fecal incontinence, which affect one's quality of life. The incidence of OASIS and fecal incontinence differs from one study to the others. In this study, characteristics of patients with OASIS in tertiary hospital in Jakarta year 2014-2016 and fecal incontinence outcome among those patients will be described.
Methodology: This study is a descriptive study for characteristics of OASIS patients after primary repair in Cipto Mangungkusumo Hospital, Persahabatan Hospital and Fatmawati Hospital from year 2014-2016. From total 234 patients, only 58 patients could be contacted, and interviewed using Revised Fecal Incontinence Score (RFIS) questionnaires. From total 58 patients, only 16 patients came for further transperineal utlrasound. Data were analized using SPSS 20.
Results: From total 234 patients, mean patient's age is 26.6 years old, with mean BMI 24.8 kgs/m2. Most of the patients are nulliparous (67,5%), with median duration of second stage of labor 45 minutes. Episiotomy was not performed on most patients (59.4%), and most of them underwent spontaneous vaginal delivery (65,4%), with mean baby birthweight 3217 grams. From 58 patients that could be contacted, 3 patients had fecal incontinence complaint (5,2%). From those 58, 16 came for transperineal ultrasound examination, and anal sphincter defects were found in 5 patients, 3 with EAS, and 2 with IAS. All 5 patients did not have any fecal incontinence symptoms.
Discussion: This study is a descriptive study of OASIS patient's characteristics and also as a preliminary study for the incidence of fecal incontinence among OASIS population in Jakarta. The number of fecal incontinence in this study can be considered low (3 out of 58), compared to others. This could be due to differences in study population. Patient with fecal incontinence who has intact anal sphincter in this study shows that incontinence is influenced not only by anal sphincter, but also by other factor such as pelvic floor muscle and surrounding nerve innervation.
Conclusion: The outcomes of primary reparation of OASIS are varied within studies. Patient's characteristics might play an important role in influencing the incidence of OASIS as well as the outcome after reparation. A further study with a bigger sample is necessary."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriella Al-Jareh
"Latar Belakang Histerektomi merupakan salah satu tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan pada bidang ginekologi di dunia dengan komplikasi yang cukup beragam. Data dari beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pada pembedahan histerektomi abdominal terdapat kehilangan jumlah darah intraoperatif yang lebih banyak dibandingkan pada pembedahan histerektomi vaginal. Sedangkan, secara teori histerektomi vaginal memiliki risiko infeksi yang lebih tinggi. Peneliti ingin mengetahui perbedaan perdarahan dan infeksi antara kedua rute histerektomi pada pasien di Indonesia. Dengan demikian, peneliti membandingkannya dengan cara tidak langsung yaitu dengan menggunakan parameter kadar hemoglobin dan leukosit. Metode Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan data elektronik rumah sakit dari rekam medik di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Penurunan kadar hemoglobin dan peningkatan kadar leukosit antara kedua rute histerektomi diuji menggunakan uji Mann-Whitney dan uji statistik Bayesian. Perbandingan proporsi transfusi darah dan pemberian antibiotik tambahan antara kedua rute histerektomi diuji menggunakan Fischer Exact Test. Perbandingan rerata lama pemberian antara kedua rute dianalisis dengan T-Test. Hasil Rerata penurunan kadar hemoglobin untuk pembedahan histerektomi total abdominal lebih tinggi dibandingkan dengan histerektomi total vaginal (AH: .919. VH: .477; nilai P 0.049). Rerata peningkatan kadar leukosit antara kedua rute tidak memiliki perbedaan yang signifikan nilai P .985 (BF01: 4.806). Perbandingan proporsi transfusi darah antara kedua rute menunjukan bahwa histerektomi total abdominal memiliki persentase lebih tinggi untuk transfusi darah (AH: 26.9%, VH: 0.0%; P Value 0.01). Persentase pasien yang diberikan antibiotik pasca pembedahan tidak memiliki perbedaan yang bermakna (AH: 80.77%, VH: 88.46%; nilai P .703). Lama pemberian antibiotik juga tidak terdapat perbedaan yang bermakna (AH: 2.38 (±0.647), VH: 2.81(±0.283); nilai P .553). Kesimpulan Pembedahan histerektomi total vaginal memiliki penurunan kadar hemoglobin yang lebih rendah dan tidak memiliki perbedaan dalam peningkatan leukosit dibandingkan histerektomi total abdominal.

Introduction Hysterectomy is one of the most frequently performed surgical procedures in the field of gynecology in the world. Post-hysterectomy complications vary depending on the type of hysterectomy performed. Data from several previous studies show that in abdominal hysterectomy surgery there is a greater amount of intraoperative blood loss than in total vaginal hysterectomy surgery. Meanwhile, in theory vaginal hysterectomy has a higher risk of infection. We conducted this study to find the difference in blood loss and infection in the two routes of hysterectomy in Indonesia. Thus, this study was conducted to compare the blood loss and risk of infection indirectly between the two hysterectomy routes using hemoglobin and leukocyte level as parameters. Method This study was conducted with a cross-sectional study design that uses electronic hospital data from medical records at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Data analysis for the decrease in hemoglobin and increase in leukosit levels were conducted using the Mann-Whitney test and Bayesian statistic test. Proportion of patients needing perioperative blood transfusion was analysed using the Fischer Exact test. Proportion of given antibiotic treatment after surgery was analysed using the Fischer Exact test and the comparison of mean antibiotic treatment time was analysed using T-Test. Results It was found that the mean decrease in hemoglobin levels for total abdominal hysterectomy surgery was higher compared to total vaginal hysterectomy (AH: .919. VH: .477; P value 0.049). While the mean increase in leukocyte levels between the two routes did not have a significant difference with a P value of .985 (BF01: 4.806). Comparison of the proportion of blood transfusions between the two routes showed that total abdominal hysterectomy had a higher proportion (AH: 26.9%, VH: 0.0%; P value 0.01). Comparison of proportion of antibiotic treatment (AH: 80.77%, VH: 88.46%; P value.703) and length of treatment in days (AH: 2.38 (±0.647), VH: 2.81(±0.283); P value .553) after the surgery for the two route showed no statistical difference. Conclusion Total vaginal hysterectomy has a decrease of hemoglobin post surgery that is lower than total abdominal hysterectomy. Also, there is no significant difference in terms of increased levels of leukocyte between the two types of hysterectomy. Keywords: Total Abdominal Hysterectomy, Total Vaginal Hysterectomy, Leukocytes, Hemoglobin, Peripheral Blood. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahniar Mukmina
"ABSTRAK

Latar belakang: Persalinan pervaginam merupakan salah satu faktor risiko terjadinya disfungsi dasar panggul. Proses persalinan menyebabkan kerusakan pada otot dasar panggul dan saraf sehingga tejadi penurunan fungsi otot. Disfungsi dasar panggul merupakan kondisi yang umum terjadi dan berhubungan dengan penurunan kualitas hidup. Salah satu tata laksana konservatifnya adalah dengan melatih kekuatan otot dasar panggul. Stimulasi elektromagnetik merupakan metode yang tidak invasif untuk tata laksana disfungsi dasar panggul. Namun, penelitian yang pernah dipublikasi mengenai efek stimulasi elektromagnetik terhadap kekuatan kontraksi otot dasar panggul terbatas.

Tujuan: Mengetahui efek stimulasi elektromagnetik terhadap kekuatan kontraksi otot dasar panggul pasca persalinan pervaginam.

Metode: Kuasi eksperimen dengan desain tes sebelum dan tes sesudah pada satu kelompok tanpa menggunakan kontrol.

Hasil: Sebanyak 10 subjek dilakukan stimulasi elektromagnetik. Kekuatan kontraksi otot dasar panggul pasca stimulasi elektromagnetik lebih tinggi dibandingkan sebelum stimulasi elektromagnetik dengan nilai  median berturut-turut 33,70 (21,25) dan 43,45 (22,2) (p= 0,008). Tidak terdapat perbedaan kekuatan kontraksi otot dasar panggul berdasarkan berat lahir bayi, episiotomi, dan ruptur perineum dengan nilai p berturut-turut sebesar 0,394, 0,425, dan 0,223. 

 

Kesimpulan: Kekuatan kontraksi otot dasar panggul setelah diberikan stimulasi elektromagnetik cenderung lebih tinggi dibandingkan sebelum stimulasi. Tidak terdapat perbedaan kekuatan kontraksi otot dasar panggul pasca persalinan pervaginam berdasarkan berat lahir bayi, episiotomi, dan ruptur perineum. 


ABSTRACT


Background: Vaginal delivery is an important risk factor for developing pelvic floor muscle dysfunction. Delivery induces damage to both pelvic floor mucle and nerve so that its function may be impaired. Pelvic floor dysfunction is a common condition and closely related to decreased quality of life. Popular conservative treatment for this condition is routine exercise of pelvic floor muscle. In the other hand, electromagnetic stimulation was introduced as an less invasive treatment of choice. However, research publication regarding electromagnetic stimulation effect to the strength of pelvic floor muscle is scarce.

Objectives: Exploring the effect of electromagnetic stimulation to the strength of pelvic floor muscle contraction after vaginal delivery.

Methods:  This is a quasi-experimental study comparing pre and post intervention in one set of patients without control.

Results: Electromagnetic stimulation program was completed in 10 subjects. The strength of pelvic floor muscle contraction after the program was significantly higher than before the program 33,7 (21,25) and 43,45 (22,2) respectively, p = 0,008). Fetal birth weight, episiotomy, and perineal rupture were not associated with pelvic floor muscle contraction (p=0,394, p=0,425, and p=0,223 respectively).

Conclusion: The strength of pelvic floor muscle contraction after electromagnetic stimulation was higher than before the procedure. No difference was identified regarding pelvic floor contraction after vaginal delivery based on fetal birth weight, episiotomy, and perineal rupture.

"
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>