Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hilda Auliana
Abstrak :
Dalam dokumen Global Tuberculosis Report 2022, World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa Indonesia tercatat sebagai negara dengan beban kasus tuberkulosis (TB) terbanyak kedua setelah India pada tahun 2021 lalu, di mana terhitung dari estimasi 969.000 kasus penderita TB di Indonesia, terdapat 525.765 (54,3%) kasus diantaranya belum ditemukan dan diobati, ini berpotensi menjadi sumber penularan serta meningkatan risiko transmisi komunal jika tidak mendapatkan penanganan segera. Menanggapi hal tersebut, dengan kemajuan teknologi kecerdasan buatan yang ada serta melalui peran pencitraan medis sebagai salah satu metode skrining pendukung, dikembangkan sebuah model pendeteksian berbasis arsitektur U-Net yang mampu secara otomatis mengenali dan melokalisasi area berbagai jenis kelainan indikator TB paru pada citra rontgen thorax. Selain melakukan tuning parameter, dibandingkan beberapa kasus segmentasi semantik multi-kelas, diantaranya terdiri atas 14 kelas kelainan spesifik, 5 kelas kelompok kelainan, dan 3 kelas kelompok kelainan, serta kasus segmentasi semantik biner. Hasil memperlihatkan bahwa pada kasus multi-kelas, semakin sedikit kelas yang digunakan, maka semakin besar nilai dice score yang didapat, yaitu mencapai 0,71. Sementara, jika dibandingkan dengan kasus segmentasi biner, meski dice score mengalami peningkatan, namun berdasarkan hasil visualisasi, kasus segmentasi multi-kelas kurang mampu dalam mengenali kondisi paru normal atau tidak memiliki kelainan. ......In the Global Tuberculosis Report 2022 document, the World Health Organization (WHO) reports that Indonesia is listed as the country with the second highest burden of tuberculosis (TB) cases after India in 2021, where from an estimated 969.000 cases of TB sufferers in India, there are 525.765 ( 54,3%) cases of which have not been found and treated, this has the potential to become a source of transmission and increase the risk of communal transmission if treatment is not immediately received. In response to this, with advances in existing artificial intelligence technology and through the role of medical imaging as a screening support method, a detection model based on the U-Net architecture was developed that can automatically recognize and localize areas of various types of pulmonary TB marker indicators on chest X-ray images. In addition to parameter tuning, several cases of multi-class semantic segmentation were compared, which consisted of 14 specific disorder classes, 5 class disorder clusters, and 3 class disorder clusters, as well as cases of binary semantic segmentation. The results reveal that in the multi-class case, the fewer classes used, the greater the dice score obtained, which is 0,71. Meanwhile, when compared with binary segmentation cases, even though the dice score has increased, based on visualization results, multi-class segmentation cases are less able to recognize normal lung conditions or have no abnormalities.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pravyanti Suci Syahphira
Abstrak :
TB atau Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri micro tuberculosis dan dapat disembuhkan dengan pengobatan teratur, diawasi oleh tim Pemantauan Terapi Obat (PTO). Proses pemantauan terapi obat merupakan proses yang panjang dan komprehensif dan harus dilakukan secara berkesinmabungan untuk sampai ke tujuan terapi tercapai. Penilitian ini bertujuan untuk melakukan pemantauan terapi obat pada pasien yang telah diseleksidengan mengidentifikasi data terapi untuk menetapkan ketepatan terapi dan mengidentifikasi masalah terkait penggunaan terapi tuberkulosis pada pasien yang memiliki komplikasi penyakit. PTO dilakukan secara retrospektif pada salah satu pasien menggunakan data sekunder berupa rekam medik pasien dan hasil laboratorium. Berdasarkan pemantauan terapi obat yang dilakukan terhadap Tn. A dan dilakukan analisis DRP untuk aspek kesesuaian dosis dan potensi interaksi obat. Dosis OAT yang diberikan kepada pasien sudah memenuhi kesesuaian dosis namun ditemukan potensi terjadinya interaksi obat dengan kategori monitor yaitu interaksi antara obat atorvastatin dan digoxin, kemudian interaksi rifampisin dengan isoniazid dan rifampisin dengan pirazinamid dengan kategori interaksi serius. Diperlukan monitoring terhadap gejala interaksi obat yang mungkin muncul dari ketiga kemungkinan interaksi obat ini serta memastikan pasien mengonsumsi obat-obatan secara teratur sesuai jadwal. ......TB or Tuberculosis is an infectious disease caused by micro tuberculosis bacteria and can be cured with regular medication, supervised by the Drug Therapy Monitoring (PTO) team. The process of monitoring drug therapy is a long and comprehensive process and must be carried out continuously to achieve the goals of therapy. This study aims to monitor drug therapy in selected patients by identifying therapeutic data to determine the appropriateness of therapy and identify problems related to the use of tuberculosis therapy in patients who have disease complications. PTO was performed retrospectively on one of the patients using secondary data in the form of patient medical records and laboratory results. Based on the monitoring of drug therapy carried out on Mr. A and DRP analysis was carried out for aspects of dosage suitability and potential drug interactions. The dose of anti-tuberculosis drugs given to patients met the appropriate dose, but there was a potential for drug interactions in the monitoring category, namely interactions between atorvastatin and digoxin, then interactions between rifampicin and isoniazid and rifampicin with pyrazinamide in the category of serious interactions. It is necessary to monitor the symptoms of drug interactions that may arise from these three possible drug interactions and ensure that patients take drugs regularly according to schedule.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zulhandani
Abstrak :
Pendahuluan: Indonesia adalah negara dengan kasus tuberkulosis (TB) terbanyak ketiga di dunia (sekitar 10% dari total kasus di dunia) dan 6,5% dari infeksi TB merupakan kasus TB ekstrapulmonal, dimana 50% diantaranya menyerang tulang belakang. Saat ini regimen pengobatan TB masih mengandalkan kombinasi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diberikan secara oral. Pemberian OAT dalam jangka panjang memiliki angka kejadian efek samping yang cukup tinggi sebesar 8,3%, sehingga perlu dicari alternatif laindalam pengobatan TB. Penelitian ini bertujuan untuk menilai penggunaan teknologi pelepasan obat terkontrol atau slow release sebagai modalitas terapi lokal pada infeksi TB muskuloskeletal khususnya tulang belakang. Dengan ditempatkannya rifampisin yang bersifat hidrofobik di dalam kapsulasi senyawa hidrofilik non-imunogenik serta non karsinogenik seperti Polyvinil Alcohol (PVA), diharapkan memiliki kemampuan slow releasesehingga dapat diimplantasi pada fokus infeksi sebagai terapi lokal selama tenggat waktu yang diharapkan tanpa pasien harus mengkonsumsi obat oral. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji eksperimental invivo pada 12 tikus Sprague Dawley betina berusia 5-7 bulan dengan berat 180 – 220 gram dengan menggunakan desain penelitian post test only control group. Evaluasi dilakukan dengan mengukur kadar rifampisin dalam jaringan tulang belakang serta kadar SGOT dan SGPT dalam darah. Analisis dilakukan menggunakan metode deskriptif dan uji perbandingan menggunakan SPSS 25. Hasil: Penelitian dilakukan hewan uji dengan median usia 5 bulan (5 – 7) yang terdiri dari 12 subjek betina (100%). Rerata berat badan hewan uji yaitu 196.5±3.92 gram. Sebanyak 7 subjek penelitian memiliki berat badan diatas 200-gram dan 5 subjek lainnya dengan berat dibawah 200-gram. Hasil uji normalitas ditemukan adanya distribusi data yang tidak normal pada usia (sig. <0.05), sementara pada variabel berat badan ditemukan adanya distribusi data yang normal (sig. >0.05). Penilaian secara kualitiatif menunjukkan bahwa sampel bubuk tulang pada kelompok perlakuan lokal memperlihatkan warna lebih kemerahan jika dibandingkan bubuk tulang pada kelompok perlakuan oral. Namun dalam pemeriksaan kadar rifampisin secara kuantitatif menggunakan metode HPLC, menunjukkan tidak terdeteksi kadar rifampisin pada kedua kelompok dimana rifampisin seharusnya terdeteksi pada retention time untuk sekitar menit 15,06 dengan panjang gelombang 254nm. Pada uji hipotesis antara perlakuan dan penanda fungsi hati berupa SGOT dan SGPT dilakukan dengan uji t-test tidak berpasangan, menunjukkan hasil yang signifikan (p=0.005 dan p=0.002). Terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara metode pemberian rifampisin secara peroral dengan implantasi lokal rifampisin terenkapsulasi PVA dimana angka SGPT pada sampel darah kelompok perlakuan oral menunjukkan angka yang lebih tinggi. Namun sebaliknya SGOT pada kelompok perlakuan lokal justru menunjukkan angka yang lebih tinggi. Kesimpulan: Deteksi kandungan rifampisin pada sampel jaringan tulang belakang menggunakan metode HPLC pasca implantasi sediaan rifampisin terenkapsulasi PVA pada hari ke 14, belum mampu membuktikan terjadinya slow release di dalam jaringan hidup secara kuantitatif dan belum dapat dinilai lebih efektif dari segi penyerapan obat ke dalam jaringan tulang belakang jika dibandingkan dengan pemberian rifampisin secara oral. Namun pemberian rifampisin terenkapsulasi PVA secara lokal pada tulang belakang menunjukkan efek hepatotoksitas yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian rifampisin secara oral dibuktikan dengan meinigkatnya angka SGPT di dalam darah. ......Introduction: Indonesia is a country with the third most cases of tuberculosis (TB) in the world (about 10% of worldwide TB cases) and 6.5% of TB infections are extrapulmonary, of which 50% affect the spine. Current reliance on combination of oral Anti Tuberculosis Drugs (ATD) and long term medication has given a fairly high incidence of side effects of 8.3%. Under these circumstances, it is necessary to look for other alternatives in TB treatment. This study aims to assess the use of controlled or slow release drug technology as a local therapy modality in musculoskeletal TB infection cases, especially the spine. With the encapsulation of hydrophobic drug substances inside a non-immunogenic and non-carcinogenic hydrophilic compound such as Polyvinyl Alcohol (PVA), it is expected to have a slow release capability so that it can be implanted in the focus of infection as local therapy during the expected deadline without having the patient to take oral medication. Method: This study is an in vivo experimental study on 12 female Sprague Dawley rats aged 5-7 months weighing 180 – 220 grams using a post test only control group research design. The evaluation was carried out by measuring the level of rifampicin in spinal tissue and the level of SGOT and SGPT in the blood sample. We analyze the result using a descriptive method and a comparison test using SPSS 25. Results: The study was conducted on Sprague Dawley rat with a median age of 5 months (5 – 7) consisting of 12 female subjects (100%). The average body weight of the test subject was 196.5±3.92 grams. A total of 7 study subjects weighed above 200-grams and 5 other subjects were weighed under. The results of the normality test found that there was an abnormal distribution of data for age (sig. <0.05), while the weight variable was found to have a normal distribution of data (sig. >0.05). The qualitative assessment showed that the bone powder samples in the local treatment group showed a more reddish color than in the oral treatment group. However, quantitative measurement using the HPLC method, showed no detectable levels of rifampicin in both groups where rifampicin should have been detected at 15.06 minutes of retention time with a wavelength of 254nm. The hypothesis test between treatment and liver function markers in the form of SGOT and SGPT was carried out using unpaired t-test, showing significant results (p = 0.005 and p = 0.002). There was a significant difference in the two groups which explained that there was a relationship between the method of giving rifampin orally and local implantation of PVA-encapsulated rifampicin where the SGPT number in the blood sample of the oral treatment group showed a higher number. On the other hand, the SGOT in the local treatment group actually showed a higher number. Conclusion: Detection of rifampicin content in spinal tissue samples using the HPLC method after implantation of PVA-encapsulated rifampicin preparations on day 14 has not been able to prove its slow release capability in living tissue quantitatively and cannot concluded to be more efficient in terms of absorption into the spinal tissue compared to oral administration. However, local administration of PVA-encapsulated rifampicin in the spine showed a lower hepatotoxicity effect than oral rifampicin as evidenced by an increase of SGPT levels in the blood.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library