Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 788 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rozana
Abstrak :
Efavirenz merupakan obat anti HIV yang sukar larut dalam air dengan bioavailabilitas lebih kecil dari 45%. Kelarutan dan bioavailabilitas obat merupakan faktor penting yang mempengaruhi efektivitas terapetik. Saat ini nanoformulasi  menggunakan sistem penghantar berbasis nanopolimer banyak dikembangkan untuk meningkatkan kelarutan dan bioavailabilitas obat, salah satunya adalah kitosan yang merupakan polimer alami bersifat biokompatibel, biodegradabel dan non toksik.  Pada penelitian ini nanopartikel kitosan  sebagai sistem penghantar efavirenz dimodifikasi dengan fraksi etil asetat ekstrak daun mimba (Azadirachta indica) untuk meningkatkan sifat hidrofobik dan kapasitas pemuatan,  selanjutnya proses pemuatan efavirenz dilakukan dengan metode gelasi ionik  menggunakan tripolifosfat sebagai agen pengikat silang dengan bantuan tween 80 untuk mencegah penggumpalan. Berdasarkan optimasi proses sintesis, kondisi optimal diperoleh pada sintesis  nanopartikel yang menggunakan kitosan, ekstrak daun mimba, tween 80 dan tripolifosfat sebagai agen pengikat silang, dengan konsentrasi tween 80 0,321 mg/mL dispersan, rasio konsentrasi kitosan dan tripolifosfat 1:1, rasio konsentrasi kitosan dan efavirenz 1:1,5 yang mempunyai ukuran partikel dibawah 100 nm. Nanopartikel yang dihasilkan mempunyai efisiensi dan pemuatan sebesar 93,40% dan kapasitas pemuatan sebesar 39,92%, persen berat perolehan 91,06% dan nilai potensial zeta sebesar -42,1 mv. Hasil uji pelepasan efavirenz dalam media larutan dapar fosfat menunjukkan pelepasan maksimum pada pH 7,8 sebesar 63,93% hingga 48 jam, sedangkan dalam media larutan natrium dodesil sulfat 1% pelepasan efavirenz mencapai 90,74% hingga 24 jam. Studi spektra infra merah menunjukkan interaksi antara ekstrak daun mimba dan kitosan adalah interaksi kimia, sedangkan interaksi antara kitosan dan efavirenz adalah interaksi fisik.
Efavirenz is an anti-HIV drug with low solubility and variable bioavailability less than 45%. Solubility and bioavailability of the drug are important factors that influence therapeutic effectiveness. Nanoformulation using a nanopolymer-based delivery system is widely developed to improve the solubility and bioavailability of drugs, one of the extensively used is chitosan which is a natural polymer that is biocompatible, biodegradable and non toxic. In this study, chitosan nanoparticles as the delivery system of efavirenz were modified with the ethyl acetate fraction of mimba leaf extract (Azadirachta indica) to improve hydrophobic properties and loading capacity, then the process of loading efavirenz was carried out by ionic gelation using tripolyphosphate as a crosslinking agent and tween 80 to prevent aggregation. Based on the optimization of nanoparticle synthesis, the most satisfactory composition was obtained by nanoparticle using chitosan, neem leaf extract, tween 80 and tripolyphosphate, with tween 80 concentration 0.321 mg/mL dispersant, chitosan and tripolyphosphate concentration ratios 1: 1, chitosan and efavirenz concentration ratios 1: 1.5, because the drug nanoparticles size range was obtained as required for the nanoparticle drugs. The resulting nanoparticles have efficiency and loading capacity of 93.40% and 39,92%, practical yield percentage was 91.06%, zeta potential value was -42.1. Drug release test was carried out in vitro using paddle type dissolution test equipment in buffer phosphate solution media showed maximum drug release at pH 7.8 of 63.93% up to 48 hours, while in the medium a solution of 1% sodium dodecyl sulfate drug release reached 90.74% up to 24 hours. Thereafter, there was no further significant release seen. The FTIR spectral studies showed the interaction between mimba leaf extract and chitosan was chemical interaction, while interaction between efavirenz and chitosan was physical interaction.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
T54272
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Waworuntu, Bernardino Matthew
Abstrak :
Latar Belakang: Kurkumin ((1E,6E)-1,7-bis(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)hepta- 1,6-diene-3,5-dione) adalah sebuah zat dengan efek renoprotektif. Ketika digunakan dengan cisplatin, kedua zat ini bekerja secara sinergis dengan mengurangi efek nefrotoksik dari cisplatin. Namun, kurkumin memiliki kelarutan yang rendah, metabolism yang cepat, dan farmakokinetik yang buruk. Penggunaan nanopartikel kurkumin (nanokurkumin) dapat meningkatkan ambilan obat sehingga dapat meningkatkan kedayagunaanya dalam situasi klinik. Tujuan peneliatian ini adalah untuk mengevaluasi kadar kurkumin dan nanokurkumin di jaringan ginjal tikus. Metode: Penelitian ini adalah studi eksperimental pada tikus yang diberikan cisplatin dan kurkumin 100 mg/kgbb (Cur100) atau cisplatin dan nanokurkumin 100 mg/kgbb (Nanocur100) atau cisplatin dan nanokurkumin 50mg/kgbb (Nanocur50). Masing-masing kelompok terdiri dari 4 ekor tikus. Kurkumin dan nanokurkumin diberikan selama 7 hari. Sampling dilakukan 24 jam setelah pemberian dosis kurkumin atau nanokurkumin terakhir. Konsentrasi kurkumin dan nanokurkumin dianalisa menggunakan UPLC/MS-MS. Hasil: Data terkumpul disajikan dalam mean ± SEM. Rata-rata konsentrasi dari kurkumin pada grup Cur100 adalah 14.773 (CI: 8.904 – 20.642) pg/mg. Rata-rata konsentrasi dari nanokurkumin pada grup Nanocur100 adalah 11.631 (CI: 0.000 – 25.009) pg/mg. Rata-rata konsentrasi dari nanokurkumin pada grup Nanocur50 adalah 12.548 (CI: 0.563 – 24.534) pg/mg. Hasil dari tes one-way ANOVA adalah 0.805 (p>0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukan signifikansi pada ketiga kelompok. Kesimpulan: Kurkumin dalam bentuk nanopartikel (nanokurkumin) yang diberikan bersama cisplatin tidak menghasilkan kadar dalam jaringan yang berbeda dibandingkan kurkumin konvensional. ......Background: Curcumin ((1E,6E)-1,7-bis(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)hepta-1,6- diene-3,5-dione) is a substance with renoprotective effect. When used together with cisplatin, it works synergistically by reducing the nephrotoxic effects of cisplatin. However, it has low solubility, rapid metabolism, and poor pharmacokinetics. Usage of curcumin nanoparticle (nanocurcumin) should increase the uptake of the drug thus improving its viability for clinical use. The aim of our study is to evaluate the concentration of curcumin and nanocurcumin in rat kidney tissue. Methods: This research is an experimental study on rats that were given cisplatin and curcumin 100 mg/kgbw (Cur100) or cisplatin and nanocurcumin 100 mg/kgbw (Nanocur100) or cisplatin and nanocurcumin 50 mg/kgbw (Nanocur50). Each group consists of 4 rats. Curcumin and nanocurcumin were given for 7 days. Sampling were done 24 hours after the last dose of curcumin or nanocurcumin. Concentration of curcumin and nanocurcumin were analyzed using UPLC/MS-MS detection. Result: Collected data was expressed in mean ± SEM. Mean concentration of curcumin in the first group (Cur100) was 14.773 (CI: 8.904 – 20.642) pg/mg. Mean concentration of nanocurcumin in the second group (Nanocur100) was 11.631 (CI: 0.000 – 25.009) pg/mg. Mean concentration of nanocurcumin in the third group (Nanocur50) was 12.548 (CI: 0.563 – 24.534) pg/mg. The result of one-way ANOVA test was 0.805 (p>0.05) thus concluded that there is no significance difference between the three groups. Conclusion: Concentration of curcumin in nanoparticle form (nanocurcumin) that were given with cisplatin did not show distinguishable difference in kidney tissue in comparison to conventional curcumin.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Inayah Rahmani
Abstrak :
Latar belakang: Mortalitas yang tinggi pada kanker ovarium utamanya disebabkan oleh progresi, kemoresistensi, dan rekurensinya. Diketahui progresivitas dan kemoresistensi kanker ovarium dipengaruhi oleh aksis endothelin, yang melibatkan endothelin-1 dan reseptor endothelin melalui proses epithelial-to-mesenchymal transition (EMT), sehingga menargetkan aksis ini merupakan prospek yang menjanjikan dalam pengembangan agen sensitisasi yang efektif. Kurkumin, senyawa herbal yang banyak di Indonesia, berpotensi menjadi agen ko-kemoterapi kanker ovarium, namun mekanismenya masih belum banyak diketahui. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa kurkumin mampu menekan jalur endothelin di beberapa galur sel. Tujuan: Penelitian eksperimental dilakukan untuk menganalisis aktivitas kurkumin sebagai agen ko-kemoterapi cisplatin dalam memodulasi aksis endothelin pada sel SKOV3. Metode: Sampel terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok kontrol (hanya diberikan vehicle), kelompok cisplatin 3,75 μM, serta kelompok kurkumin 5 μM dan cisplatin 3,75 μM. Sel diinkubasi selama 48 jam setelah pemberian perlakuan. Setelah 48 jam, dilakukan pemeriksaan ekspresi mRNA endothelin-1, reseptor endothelin A, dan reseptor endothelin B menggunakan metode qRT-PCR. Hasil: Terdapat penurunan signifikan ekspresi mRNA endothelin-1 pada sel SKOV3 yang diberikan kurkumin bersama cisplatin (0,55±0,32; p=0,005) dibandingkan dengan kelompok kontrol (3,35±2,80). Tidak ditemukan perbedaan dalam ekspresi mRNA reseptor endothelin A dan B yang signifikan antar kelompok. Kesimpulan: Kurkumin sebagai agen ko-kemoterapi cisplatin mampu memodulasi aksis endothelin melalui penekanan ekspresi mRNA endothelin-1, namun tidak melalui penekanan ekspresi mRNA reseptor endothelin A maupun B. ......Background: The high mortality of ovarian cancer is mainly attributed to its progression, chemoresistance to cisplatin, and recurrence. This progression and chemoresistance is mediated by the endothelin axis, which involves endothelin-1 and endothelin receptors through epithelial-to-mesenchymal transition (EMT) process, so targeting this axis is a promising prospect in developing an effective chemosensitizer. According to previous studies, curcumin, a ubiquitous herbal compound in Indonesia, has the potential to be a co-chemotherapeutic agent in ovarian cancer, but its mechanism in cancer progression is still unknown. Previous studies show that curcumin has the ability to modulate endothelin axis in non cancer cells. Objective: To analyze the activity of curcumin as a co-chemotherapeutic agent with cisplatin in modulating endothelin axis in SKOV3 cells. Methods: Sample is divided into three groups: control group (only given vehicle), cisplatin 3,75 μM group, and curcumin 5 μM and cisplatin 3,75 μM group. Cells are then incubated for 48 hours. After 48 hours, expression of endothelin-1, endothelin receptor A, and endothelin receptor B mRNAs are measured by qRT-PCR. Results: There is a significant decrease in endothelin-1 mRNA expression in SKOV3 cells treated with curcumin and cisplatin (0,55±0,32; p=0,005) compared to control group (3,35±2,80). There is no significant difference of endothelin receptor A and B mRNA expression between each group. Conclusion: Curcumin as a co-chemotherapeutic agent with cisplatin potentially modulates endothelin axis through repression of endothelin-1 mRNA expression, but not endothelin receptor mRNA A or B expression.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marwito Wiyanto
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh piperin per oral pada kegiatan listrik otak tikus jantan melalui rekam EEG dilihat dari perubahan amplitudo & frekuensi dibandingkan dengan kontrol. Rancangan Penelitian : Merupakan studi eksperimental, memakai sampel tikus jantan spesies Sprague-Dawley membandingkan pengaruh pemberian piperin per oral (dalam pelarut CMC) dengan kontrol yang diberi CMC, masing masing terdiri 16 ekor. Perubahan amplitudo dan frekuensi EEG dilihat pada rekam EEG menit ke 5, ke 30 dan 60 tanpa rangsang cahaya (fotik) dan dengan rangsang cahaya (fotik). Menggunakan bioelektrik amplifire seri AB 620G, time konstan 2 Hertz dan sensitivitas 0.02 mv/div. Data dianalisis dengzm uji t independent dengan derajad kemaknaan a=0.05. Amplitude antara kontrol dan piperin non fotik dan dengan fotik tidak terdapat perbedaan bemtakna, walaupun amplitudo piperin dengan fotik mempunyai kecenderungan lebih rendah. Frekuensi kontrol dan piperin fotik pada menit ke 5, ke 30 dan ke 60 terdapat perbedaan bermakna, frekuensi piperin fotik lebih besar di banding kontrol.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16245
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedeh Endawati
Abstrak :
Kegagalan pengobatan dengan klorokuin dapat disebabkan oleh faktor hospes dan faktor parasit. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui absorpsi obat pada hari ke-3 dan kadarnya pada hari rekurens dari penderita malaria falsiparum dan vivaks yang diobati klorokuin. Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni sampai September 2002 di puskesmas Hanura, propinsi Lampung, Indonesia. Enam puluh enam penderita terdiri dari 33 malaria falsigarum dan 33 malaria vivaks diberikan klorokuin dengan dosis standar (25 mg/kgbb, selama 3 hari). Pasien diamati secara klinis dan parasitologi selama 28 hari dan diambil darah pada hari ke-0, 2, 3, 7, 14, 21, 28. Empat puluh sembilan dari 66 penderita malaria mengalami kegagalan pengobatan yaitu 25 penderita malaria falsiparum dan 24 penderita malaria vivaks. Kadar klorokuin diukur dengan HPLC sesuai metode Patchen pada hari ke-0, 3, 28 dan saat terjadi rekurens. Absorpsi klorokuin (1-13) ditemukan tidak adekuat pada 54,5% (18/33) penderita malaria falsiparum dan 94,4 % (17/18) penderita tersebut mengalami kegagalan pengobatan. Sedangkan dari 51,5% (17/33) penderita malaria vivaks yang absorpsinya in adekuat terclapat 82% (14/17) mengalami kegagalan pengobatan. Hampir seluruh (96%=24/25) penderita malaria falsiparum yang gagal mempunyai kadar klorokuin 2200 ng/ml pada hari rekurens. Sedangkan pada penderita malaria vivaks 79% (19/24) kadar klorokuin darah lebih besar dari 100 ng/ml pada waktu terjadi rekurens. Penelitian di Lampung Selatan ini memerlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan bahwa kegagalan pengobatan klorokuin terutama disebabkan oleh absorpsi klorokuin yang inadekuat.
Therapeutic failure with chloroquine thempy of malaria can be caused by hospes and parasite factor. The aim of this study is to know drug absorptions on day-3 and drug levels on recurrent days For falciparum and vivax malaria patiens treated by chloroqune. The study was conducted during June and September 2002 in Hanura health center, Lampung province, Indonesia. Sixty-six patients consisted of 33 malaria falciparum patients and 33 malaria vivax patients administered supervised standard chloroquine therapy (25 mg/kg, for 3 days) and followed clinically and parasitologically for 28 days. Blood sample of all pateints were taken on day-0, 2, 3, 7, 14, 21 and 28. Forty-nine of 66 patients had therapeutic Failure, consisted of 25 falciparum malaria and 24 vivax malaria patients. Whole blood chloroquine concentrations were measured by HPLC according to method of Patchen on day-0, 3, 28 and on the day of reccurance. It was found 54,5% (18/33) falciparum malaria patients had inadequate chloroquine absorptions and from those number 94,4% (17/18) patients had therapeutic failure, whereas 51,5% (17/33) vivax malaria patients had inadequate chloroquine absorptions, there were 82% (14/17) had therapeutic failure. Most of the falciparum malaria patients (96%=24/25) who failed had chloroquine level 2200 ngfml on recurrent days, whereas 79% (19/24) vivax malaria patients had chloroquine level 2100 ng/ml on recurrent days. The result of this study in South Lampung requires further data in order to clarify that chloroquine therapeutic failure is especially caused by inadequate chloroquine absorptions.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16247
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purbianto
Abstrak :
Saat ini banyak bahan alternatif perawatan Iuka yang sudah dilakukan penelitian dan diterima oleh pelayanan keperawatan, salah satunya adalah madu. Banyak penelilian tentang madu mengunggulkan madu sebagai antimikroba tetapi masih sedikit penelitian yang mengungkap keunggulan madu untuk mempercepat absorbsi eksudat, menghancurkan jaringan nekrotik dan stimulasi granulasi pada Iuka kronik. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah madu mempunyai pengaruh yang bermakna dalam mempercepat proses penyembuhan ulkus diabetikum. Penelitian dilakukan pada 14 subyek penelitian dengan ulkus diabetikum yang terbagi dalam dua kelompok, 7 subyek dirawat menggunakan madu murni Kaliandra sebagai kelompok perlakuan dan 7 subyek dirawat sesuai standar rumah sakit sebagai kelompok kontrol. Desain yang digunakan adalah desain kuasi eksperimen dengan pendekatan study longitudinal. Analisis yang dilakukan secara univariat dan bivariat, pada analisis bivariat digunakan uji T dependen dan uji wilcoxon. Hasil penelitian analisis pengaruh madu mumi kaliandra dalam mempercepat proses penyembuhan ulkus diabetikum bermakna secam signifikan, hal ini dibuktikan oleh adanya perbedaan yang signifikan kecepatan proses penyembuhan antara ulkus yang dirawat menggunakan madu murni Kaliandra dengan ulkus yang dirawat sesuai standar rumah sakit dengan pvalue 0,022. Selain itu pengaruh madu murni kaliandra dalam mempercepat absorbsi eksudat dan timbulnya jaringan granulasi pada ulkus diabetikum terbukti berpengaruh dengan masing-masing nilai p value 0,026 dan 0,038. Pengaruh madu murni kaliandra dalam mempercepat penghancuran jaringan nekrotik dan memperkecil penyempitan ukuran ulkus (luas dan kedalaman) pada ulkus diabetikum belum dapat dibuktikan. Disarankan pada institusi pelayanan perawatan untuk dapat memanfaatkan madu murni Kaliandra sebagai bahan alternatif perawatan ulkus diabetikum yang murah dan mudah didapat serta mengembangkan lebih lanjut penelitian dengan jumlah populasi yang lebih besar.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T22878
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanjung, Dudut
Abstrak :
ABSTRAK
Luka maligna dengan tingkat malodor dan jumlah eksudat yang berlebihan dapat menyebabkan masalah ketidaknyamanan dan isolasi sosial sehingga berdampak negatif bagi kualitas hidup pasien. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektifitas antara perawatan Iuka menggunakan madu dengan metronidazole dalam menurunkan tingkat malodor dan mengurangi jumlah eksudat Iuka maligna. Penelitian dilaksanakan di RS. Kanker Dharmais Jakarta selama bulan Juni 2007. Desain penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan non equivalent pretest-posttest controlled group design dan non equivalent posttest only controlled group design. Berdasarkan consecutive sampling diambil sampel sebanyak 12 responden, terdiri dari enam responden kelompok kontrol dan enam responden kelompok intervensi, dengan kriteria: Iuka maligna stadium lanjut, laki-laki dan perempuan berusia 23-59 tahun, luas Iuka 24cm2. Perawatan Iuka dengan madu menurunkan tingkat malodor menurut pasien berdasarkan Numeric Rating Scale (NRS) dari 6,0 sebelum intervensi menjadi 2,1 sesudah intervensi hari ke-6. Sementara perawatan Iuka dengan metronidazole menurunkan tingkat malodor dari 5,6 menjadi 4,6. Hasil uji t menunjukkan nilai p<0,05; alpha 0,05 pada perubahan tingkat malodor. Sebaliknya perawatan Iuka dengan madu menunjukkan peningkatan jumlah eksudat dari 66,6gr sesudah intervensi hari ke-3 menjadi 80,8gr hari ke-6, sementara perawatan Iuka dengan metronidazole menunjukkan peningkatan jumlah eksudat dari 44,5gr menjadi 51,1gr. Hasil uji t menunjukkan nilai p>0,05; aloha 0,05 pada perubahan jumlah eksudat. Peneliti menyimpulkan perawatan Iuka dengan madu Iebih efektif dibandingkan dengan metronidazole menurunkan tingkat malodor. Sementara perawatan Iuka dengan madu dan metronidazole belurn efektif mengurangi jumlah eksudat Iuka maligna. Sehingga rekomendasi dari penelitian ini adalah agar para pengambil kebijakan di institusi pelayanan kesehatan mengeluarkan kebijakan yang dapat mengakomodasi penggunaan madu sebagai agen topikal perawatan Iuka maligna.
2007
T22873
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irvan Desrizal
Abstrak :
Latar belakang: Krioterapi adalah salah modalitas terapi yang sering dilakukan pada lesi IVA positif di Indonesia. Selain memiliki angka kesembuhan yang cukup tinggi, krioterapi tergolong murah dan mudah dilakukan dengan sumber daya yang terbatas. Namun, efek samping pasca krioterapi seperti keputihan, perdarahan bercak, dan nyeri adalah hal yang tidak bisa dihindari. Beberapa penelitian mengaitkan adanya hubungan derajat dan luas lesi prakanker dengan angka kesembuhan pasca krioterapi. Jenis krioterapi (single-freeze atau double-freeze) juga dihubungkan dengan luas area nekrosis pasca krioterapi. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan luas lesi IVA positif dan jenis krioterapi terhadap efek samping pasca krioterapi Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prosepektif. Populasi terjangkau adalah pasien dengan IVA positif yang menjalani krioterapi oleh Female Cancer Program dari Juli sampai dengan Oktober 2019 di Jakarta. Evaluasi dilakukan dengan pengisian lembar keluhan efek samping krioterapi selama satu bulan. Analisis data dalam bentuk deskriptif dan analitik. Hasil: Didapatkan 43 subjek IVA positif, 27 (62,8%) subjek lesi luas, dan 16 (37,2%) subjek lesi sempit, jenis krioterapi dibagi menjadi 33 (76,7%) subjek double-freeze, 10 (23,3%) subjek single-freeze, setelah sebulan didapatkan keluhan keputihan sebanyak 88,4%; perdarahan bercak 51,2%, nyeri 58,1%; tidak didapatkan hubungan bermakna antara luas lesi IVA positif dengan keputihan (nilai-p 0,63), perdarahan bercak (nilai-p 0,61), dan nyeri (nilai-p 0,54), krioterapi double-freeze berhubungan bermakna dengan efek samping perdarahan bercak (RR 0,5; nilai-p 0,0032; CI 0,3-0,9). Kesimpulan: krioterapi double-freeze berhubungan bermakna dengan efek samping perdarahan bercak pasca krioterap. ......Background: Cryotherapy is a procedure often performed in positive VIA lesions in Indonesia. Not only having a high cure rate, but cryotherapy is also relatively cheap and easy to perform with limited resources. However, side effects such as vaginal discharge, spotting, and pain are unavoidable. Several studies have linked the degree and width of precancerous lesions with cure rate after cryotherapy. Type of cryotherapy (single-freeze or double-freeze) is also related with amount of necrosis area produced after cryotherapy. Objective: To determine the association of positive VIA area and the type of cryotherapy with post-cryotherapy side effects. Method: This is a prospective cohort study. The population are women with positive VIA result who underwent cryotherapy by the Female Cancer Program from July to October 2019 in Jakarta. Evaluation was performed by filling out the patients complaint sheet for one month. Data was analysed descriptively and analytically. Results: There were 43 women with positive VIA results, grouped into 27 (62.8%) large lesion, and 16 (37.2%) small lesion, types of cryotherapy was grouped into 33 (76.7%) double-freeze, 10 (23,3%) single-freeze, after one month follow-up there were complaints of vaginal discharge 88.4%; spotting 51.2%, pain 58.1%; found unsignificantly association between width of positive VIA area with vaginal discharge (p-value 0.63), spotting (p-value 0.61), and pain (p-value 0.54), double-freeze cryotherapy was significantly associated with side effect of spotting (RR 0.5; p-value 0.0032; CI 0.3-0.9). Conclusion: double-freeze cryotherapy is significantly related with side effect of spotting.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Dian Saraswati
Abstrak :
ABSTRAK Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dengan angka kematian yang tinggi diseluruh dunia. Vaksin pencegah yang tersedia saat ini adalah Bacillus Calmette-Guerin (BCG) yang berasal dari Mycobacterium bovis. BCG memiliki beberapa kelemahan yakni efikasi yang berbeda pada setiap individu, tidak memberikan perlindungan TB paru pada individu dewasa serta reaktivasi subsekuen. Hal ini mendorong penelitian terkait perlunya vaksin jenis baru untuk TB. Protein yang terbentuk dari gen resuscitation promoting factors B (rpfB) M. tuberculosis memiliki karakteristik biologi dan imunologi tertinggi diantara protein lain dalam famili Rpfs. Protein ini mampu menginduksi proliferasi bakteri TB dorman pada infeksi laten TB. Oleh karena itu protein ini kemudian banyak dikembangkan sebagai kandidat vaksin TB. Pada penelitian ini gen rpfB M. tuberculosis strain Beijing diamplifikasi dengan PCR kemudian diklon kedalam plasmid pcDNA3.1. Kemampuan plasmid rekombinan pcDNA3.1-rpfB dalam menginduksi respon imun humoral diuji dengan memberikan imunisasi plasmid rekombinan pada mencit Balb/C jantan. Hasil western blot menggunakan serum mencit hasil imunisasi menunjukkan bahwa gen rpfB berhasil menginduksi respon imun humoral mencit dengan adanya pita spesifik pada kisaran 66 kDa, sedangkan transfeksi plasmid rekombinan pada sel CHO-K1 memperlihatkan protein RpfB berhasil terekspresi pada sel mamalia berdasarkan uji imunostaining. Dengan demikian penelitian ini berhasil memperlihatkan bahwa protein RpfB M. tuberculosis strain Beijing mampu diekspresikan pada sel mamalia serta terbukti merupakan antigen yang dapat menginduksi respon imun humoral pada mencit.
ABSTRACT Tuberculosis (TB) is a chronic infection disease caused by Mycobacterium tuberculosis and has a high death-rate worldwide. Bacillus Calmette-Guerin is the only TB vaccine which is currently available with several drawbacks, such as its different efficacy for different individuals, lack of protection for lung TB in adults and subsequent reactivation which lead the research for novel TB vaccine approach. Resuscitation-promoting factor (rpf) protein in M. tuberculosis is a protein cluster which play a big role in TB dormancy during latent infection. Member from this cluster protein is RpfB which shows the greatest biological and immunological characteristics among other proteins in the rpf family, now is widely explored as novel TB vaccine candidate. In this study, the rpfB gene of the M. tuberculosis Beijing strain was amplified using PCR and then cloned into pcDNA3.1 plasmids. The ability of recombinant pcDNA-rpfB to induce humoral immune response was tested through Balb/C mice immunization. A positive recombinant RpfB protein ~66 kDa was detected through western blot analysis using immunized mice sera. Meanwhile, recombinant pcDNA-rpfB was transfected in to CHO-K1 mammalian cell line and recombinant rpfB antigen expression was confirmed through immunostaining. Therefore, we have succesfully express the recombinant RpfB proten of M. tuberculosis strain Beijing in mammalian expression system which proven to be antigenically induced humoral immune response in mice model.
[Depok;Depok;Depok;Depok, Depok]: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulfiana
Abstrak :
Kondisi hipoksia hipobarik dapat mengganggu kesehatan manusia dan menjadi risiko keselamatan di dunia penerbangan. Berbagai jalur pensinyalan sensitif oksigen pada tingkat seluler, dapat diaktifkan selama paparan hipoksia hipobarik intermiten (HHI). HSP sebagai chaperokine berperan dalam transduksi sinyal dan modulasi sistem imun serta terkait dengan produksi sitokin pro-inflamasi atau anti-inflamasi. Penelitian ini bertujuan menganalisis efek HHI terhadap HSP70 dan produksi sitokin pro dan anti-inflamasi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan jaringan hepar tikus Sprague-Dawley yang disimpan pada suhu -20°C. Tikus dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kontrol (C), HHA, HHI1, HHI2, dan HHI3 dan diberikan paparan HHI pada ketinggian 25.000 kaki selama 5 menit. Analisis konsentrasi protein dan sitokin ditentukan dengan metode sandwich ELISA. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna ekspresi protein HSP70 pada hepar tikus pada kelompok HHA dan HHI terhadap kontrol (p<0.05), terdapat perbedaan bermakna konsentrasi IL-10 antara kelompok HHI3 terhadap kontrol (p = 0,018), dan adanya korelasi positif dengan kekuatan korelasi sedang antara HSP70 dengan TNF-α dan IL-1β, serta korelasi positif sedang HSP70 dengan IL-10. HHI menginduksi peningkatan HSP70 sebagai mekanisme adaptasi dan memodulasi sistem imun tubuh untuk meningkatkan konsentrasi IL-10. ......Hypobaric hypoxic conditions can disrupt human health and become a risk for safety of aviation. Various signaling oxygen-sensitive pathways at the cellular level can be activated during intermittent hypobaric hypoxia (IHH) exposure. HSP as a chaperokine plays a role in signal transduction and modulation of the immune system and it is associated with the production of pro-inflammatory or anti-inflammatory cytokines. This study aims to analyze the effect of IHH on HSP70 and the production of pro- and anti-inflammatory cytokines. This study was an experimental study using Sprague-Dawley rat liver tissue stored at -20°C. Rats were divided into 5 groups, they are control (C), AHH, IHH1, IHH2, and IHH3. They were exposed to IHH at altitude of 25,000 feet for 5 minutes. Analysis of protein and cytokines concentrations was determined by the sandwich ELISA method. The results showed that there was a significant difference in HSP70 protein expression in the liver of rats in the HHA and IHH groups compared to the control (p<0.05), there was a significant difference in IL-10 concentration between the IHH3 group compared to the control (p = 0.018), a positive correlation with moderate correlation strength between HSP70 with TNF-α and IL-1β, and a moderate positive correlation between HSP70 with IL-10. HHI produces an increase in HSP70 as an adaptive mechanism and modifies the immune system to raise the levels of IL-10.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>