Latar Belakang: Setiap individu memiliki antigen sel darah merah (SDM) yang unik pada membrannya. Terdapat lebih dari 300 antigen SDM yang dapat membagi darah ke dalam 36 sistem golongan. Adanya variasi pada antigen sel darah merah menyebabkan uji kecocokan darah antara pasien dengan donor wajib dilakukan guna mencegah terjadinya reaksi antara antigen donor dengan antibodi pasien. Pasien thalassemia memerlukan transfusi darah rutin yang dapat meningkatkan risiko terbentuknya aloantibodi, sehingga seringkali sulit untuk menemukan darah donor yang kompatibel. Unit Transfusi Darah (UTD), dalam rangka menjamin keselamatan pasien, harus mampu menyediakan darah donor tanpa antigen yang dapat menyebabkan reaksi transfusi. Pemeriksaan genotipe akan memberikan gambaran variasi antigen SDM donor, sehingga memudahkan pencarian donor yang sesuai untuk resipien.
Tujuan: Mengetahui adanya variasi genotipe antigen SDM pada donor sehingga dapat diupayakan penyerasian antigen darah donor untuk pasien transfusi berulang.
Metoda: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan desain potong lintang. Subyek pada penelitian ini adalah donor untuk pasien thalassemia. Sampel darah donor dikumpulkan untuk dilakukan pemeriksaan golongan darah ABO, Rhesus, ekstraksi DNA, dan genotipe antigen SDM.
Hasil dan Diskusi: Dari total 161 subyek penelitian, distribusi ABO/Rhesus donor adalah 68 subyek O+(42,24%), 43 subyek A+, 41 subyek B+, dan 9 subyek AB+. Setelah dilakukan pemeriksaan genotipe antigen SDM, didapatkan golongan darah dengan genotipe tersering untuk masing-masing golongan darah sebagai berikut Ce (98%) pada Rhesus, k/k (100%) pada Kell, Jka/Jkb (40,76%) pada Kidd, Fya/Fya (74,84%) pada Duffy, Dib/Dib (99,36%) pada Diego, Dob/Dob (80,89%) pada Dombrock, Coa/Coa (100%) pada Colton, Yta/Yta (98.09%) pada Cartwright, MN (47,37%), s (86,54%) pada MNS dan Lub/Lub (100%) pada Lutheran. Pada studi ini juga ditemukan beberapa antigen darah langka seperti cE (1,33%), cEe (2%), CEe (1,33%), Fyb (1,29%), DiaDib (0,64%), YtaYtb (1,91%), dan S (1,94%). Perlu diperhatikan antigen darah langka yang ditemukan pada donor/ populasi umum, bila ditransfusikan kepada pasien dengan antigen umum, dapat memicu timbulnya antibodi.
Kesimpulan: Pada penelitian ini ditemukan beberapa variasi genotipe antigen golongan darah pada donor, termasuk antigen langka. Perbedaan variasi antigen sel darah merah donor dan pasien dapat menyebabkan timbulnya aloantibodi, terutama pada pasien transfusi berulang. Oleh karena itu, pemeriksaan genotipe antigen SDM diharapkan dapat mengurangi reaksi transfusi dan meningkatkan keamanan pasien, terutama pasien yang membutuhkan transfusi berulang.
Kata kunci: antigen sel darah merah, genotipe, donor, aloantibodi
Background: Every individual has unique antigens on their red blood cells surface. There are more than 300 antigens of red blood cells that differentiate blood into 36 blood group systems. Due to the variation in antigen of red blood cell, it is a must to perform blood group matching between the patients and donors blood to prevent reactions between the donors antigen and patients antibody in the blood. Thalassemia patients require regular transfusions which resulting in the production of alloantibody, hence making it difficult to find compatible blood. Blood Transfusion Units (UTD) is required to provide blood without antigen that can trigger transfusion reaction to ensure patient safety. Red blood cell antigen genotyping from the donor can describe the variation of red blood cell antigen from the donor.
Aims: To identify the genotype variation of the donor red blood cells antigen, hence optimizing the donors antigen matching in patients with regular transfusion.
Methods: This was a descriptive observational study with cross sectional design. Subjects in this study were donor for thalassemia patients. Blood samples from donors underwent several examinations, such as the ABO blood type testing, Rhesus testing, DNA extraction, and red blood cell antigen genotyping.
Results and Discussions: From a total of 161 research subjects, the distribution of ABO/Rhesus blood grouping are 68 of O+(42,24%), 43 of A+, 41 of B+, and 9 of AB+. From the red blood cell antigen genotyping, variations of red cell antigens were found in several blood group systems as follows, Rhesus, Kidd, Kell, Duffy, MNS, Diego, Dombrock, Colton, Cartwright, and Lutheran. Our findings also shown several rare antigens such as cE (1,33%), cEe (2%), CEe(1,33%), Fyb (1,29%), DiaDib (0,64%), YtaYtb (1,91%), S (1,94%). It is important to note that rare blood antigens were found in donors/ general population, if blood is transfused to patients, it can trigger the alloantibody production.
Conclusion: Our study found there were genotype variations in the blood antigen of donor, some of them were rare types. The difference of red blood cell antigen between donors and patients may lead to the development of alloantibody, especially in patients who need multiple transfusion. Therefore, red blood cell antigen genotyping is expected to decrease the incidence of transfusion reactions and increase patient safety, especially in patients that required multiple transfusions.
Keywords: Red blood cells antigen, genotyping, donor, alloantibody
Latar belakang: Kondisi besi berlebih dalam tubuh dapat terjadi karena besi yang masuk mengalami peningkatan atau salah satu komponen ekskresi besi mengalami gangguan. Kondisi ini dapat terjadi pada pasien talasemia, terutama yang mendapat transfusi darah secara rutin. Transfusi darah rutin dapat menyebabkan kondisi kelebihan besi dan akumulasi besi pada berbagai organ, termasuk limpa. Oleh karena itu, pasien membutuhkan obat kelasi besi, tetapi harganya mahal dan banyak efek samping. Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa mangiferin memiliki efek mengikat besi, namun bioavailabilitasnya rendah. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek mangiferin dan mangiferin dalam nanopartikel kitosan-alginat sebagai obat kelasi besi.
Metode: Limpa tersimpan dari dua puluh lima tikus jantan Sprague-Dawley dibagi ke dalam 5 kelompok, yaitu tikus normal (N), tikus yang diberi besi berlebih (KN), tikus yang diberi mangiferin 50 mg/kgBB (M50), tikus yang diberi mangiferin dalam nanopartikel kitosan-alginat 50 mg/kgBB (MN50), dan tikus yang diberi mangiferin dalam nanopartikel kitosan-alginat 25 mg/kgBB (MN25). Perlakuan pada hewan coba dilakukan selama 28 hari. Setelah 28 hari, tikus dikorbankan dan organ limpa diambil untuk pengukuran kadar besi pada limpa. Pengukuran menggunakan spektrofotometer serapan atom dengan panjang gelombang 248,3 nm.
Hasil: Dari pengukuran, rata-rata kadar besi organ limpa (µg Fe/g jaringan) pada kelompok M50 (1200,80±126,05), kelompok MN50 (918,38±427,63), dan kelompok MN25 (645,73±178,89). Ketiga kelompok tersebut tidak berbeda signifikan dengan kelompok KN. Namun, terdapat perbedaan signifikan antara kelompok M50 dan MN25 (p=0,006).
Kesimpulan: Mangiferin dalam nanopartikel kitosan-alginat dosis 25 mg/kg BB dapat menurunkan kadar besi di limpatikus yang diberi besi berlebih lebih baik dari mangiferin saja.
Background: Iron overload is a condition caused by increased intake or disruption of the excretion process. Thalassemia is one of the causes of iron overload, especially transfusion-dependent thalassemia (TDT). Transfusion-dependent thalassemia can cause iron overload and iron accumulation in several organs, including the spleen. Therefore, the patients also need iron chelator to excrete excessive iron, but it is expensive and has many side effects. The previous study shows mangiferin could act as an iron chelator but has low bioavailability. Therefore, we conducted this experimental study to compare mangiferin and mangiferin in chitosan-nanoparticle as an iron chelating agent.
Methods: Spleens from twenty five male Sprague-Dawley rats were divided into 5 groups, which are normal (N), negative control (KN), mangiferin 50 mg/kgBW (M50), mangiferin in chitosan-alginate nanoparticle 50 mg/kgBW (MN50), and mangiferin in chitosan-alginate nanoparticle 25 mg/kgBW (MN25). After 28 days, rats were sacrificed and the spleen were taken to measure the iron level using atomic absorbance spectrophotometer at 248,3 nm wavelength.
Results: From the measurement, the mean of iron level in spleen (µg Fe/g tissue) of M50 group (1200,80±126,05), MN50 group (918,38±427,63), and MN25 group (645,73±178,89). In this study, those three groups did not significantly different with negative control group (KN). But, there was a significant difference between M50 and MN25 groups (p=0,006).
Conclusion: Mangiferin in chitosan-alginate nanoparticles 25 mg/kg BW decreases the iron level in spleen of the iron overload rats better than mangiferin only.