Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Meyzia Ellena Ayuningtyas
"Tesis ini membahas mengenai pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja oleh pemberi kerja setelah berlakunya Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88 Tahun 2023 dimana pemberi kerja wajib untuk membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja, namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut bagaimana implementasi Keputusan Menteri ini pada pelaksanaannya. Tesis ini bertujuan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual, dampaknya terhadap korban, dan bagaimana implementasi Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88 Tahun 2023. Metode penelitian yang digunakan adalah doktrinal dan non-doktrinal. Setiap pekerja memiliki hak atas perlindungan terhadap moral dan juga kesusilaan serta diperlakukan sebagaimana harkat dan martabat manusia dan juga nilai-nilai agama, namun tindak kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa pun sehingga penting untuk dibentuk pihak yang khusus untuk menangani pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja.

This thesis discusses the formation of a Task Forces for the Prevention and Handling of Sexual Violence Within the Workplace by employers after the issuance of the Minister of Manpower Decree Number 88 of 2023 where employers are required to form a Task Forces for the Prevention and Handling of Sexual Violence Within the Workplace, but further research needs to be done on how the implementation of this Ministerial Decree is implemented. This thesis aims to find out what is meant by sexual violence, its impact on victims, and how the the Minister of Manpower Decree Number 88 of 2023 is implemented. The research methods used are doctrinal and non-doctrinal. Every worker has the right to protection of morals and decency and to be treated according to human dignity and religious values, however sexual violence can happen to anyone so it’s important to establish a special party to handle the prevention and handling of sexual violence in the workplace."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Mazumah
"Tulisan ini membahas tentang konsep restitusi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual sebelum dan sesudah peraturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU TPKS hadir dalam rangka memberikan jaminan pencegahan, pelindungan, akses keadilan, dan pemulihan, serta pemenuhan hak-hak korban secara komprehensif yang selama ini tidak pernah didapatkan oleh korban kekerasan seksual yang kerap kali menjadi korban kembali dalam sistem hukum di Indonesia. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana pemenuhan hak korban kekerasan seksual, terutama restitusi, dalam sistem hukum di Indonesia. Data yang dipergunakan dalam tulisan ini diperoleh melalui metode penelitian yang bersifat sosiolegal. Hal ini dilakukan dengan menganalisis implementasi peraturan perundang-undangan tentang restitusi berdasarkan penerapannya sebagaimana disampaikan dalam wawancara pendamping dari Women Crisis Center (WCC) Dian Mutiara Malang dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sementara itu, analisisnya menggunakan teori restoratif dan teori hukum feminis.
Hambatan penelitian ini adalah Penulis tidak banyak menemukan praktik restitusi bagi korban kekerasan seksual baik sebelum atau setelah UU TPKS disahkan pada 2022 lalu. Kelemahan penerapan restitusi sebagai pidana pokok bagi pelaku kekerasan seksual yang diancam pidana penjara 4 (empat) tahun masih terjadi. Dalam implementasinya, restitusi masih belum menjadi hak korban yang harus dipenuhi oleh pelaku tindak pidana. Sebagai hak, korban juga memiliki kewenangan menolak atau menerima dengan beragam alasan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pemenuhan hak korban kekerasan seksual belum optimal, khususnya restitusi. Kemudian terdapat tantangan pula berupa perspektif Aparat Penegak Hukum yang masih beragam dalam implementasi restitusi sebagai hak korban sehingga dibutuhkan layanan terpadu antar pihak agar restitusi menjadi hak bagi korban dalam upaya pemenuhan pemulihan akibat dari kasus yang dialami.

This paper discusses the concept of restitution for victims of sexual violence before and after the regulation of the Law Number 12 of 2022 on the Crime of Sexual Violence. The Crime of Sexual Violence Law is present in order to provide guarantees of prevention, protection, access to justice, and recovery, as well as the comprehensive fulfillment of victims' rights that have never been obtained by victims of sexual violence who often become victims again in the legal system in Indonesia. This research wants to find out how the fulfillment of the rights of victims of sexual violence, especially restitution, in the legal system in Indonesia. Data used in this paper was obtained through sociolegal research method. This is done by analyzing the implementation of laws and regulations on restitution based on its implementation as conveyed in an accompanying interview from the Women Crisis Center (WCC) Dian Mutiara Malang and the Witness and Victim Protection Agency (LPSK). Meanwhile, the analysis uses restorative theory and feminist legal theory.
The obstacle for this research is that the author did not find many restitution practices for victims of sexual violence both before and after the Crime of Sexual Violence Law was passed in 2022. The weak application of restitution as the main punishment for perpetrators of sexual violence who are sentenced to 4 (four) years imprisonment still occurs. In its implementation, restitution is still not a victim's right that must be fulfilled by the perpetrator of the crime. As a right, victims also have the authority to refuse or accepts for various reasons. The results of this study conclude that the fulfillment of the rights of victims of sexual violence has not been optimal, especially restitution. Then there are also challenges in the form of perspectives of law enforcement officials that are still diverse in the implementation of restitution as a victim's right, hence integrated services are needed between parties so that restitution becomes a right for victims in an effort to fulfill recovery from the cases they experience.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kirana Paramesti Putri Widiyanto
"Artikel ini membahas peran media sosial dalam mendukung dan membela korban kekerasan seksual secara virtual. Pada Januari 2024, terdapat 139 juta pengguna media sosial aktif di Indonesia. Angka ini setara dengan 49.9% dari total penduduk Indonesia (We Are Social, 2024). Sejalan dengan itu, seiring bertambahnya jumlah pengguna media sosial di Indonesia, konstruksi budaya partisipatif masyarakat semakin kokoh. Anggota budaya partisipatif percaya bahwa kontribusi mereka penting dan mereka mengedepankan hubungan sosial satu sama lain (Jenkins et al., 2009). Memanfaatkan teori budaya partisipatif Jenkins dan mengaitkannya dengan keterlibatan pengguna aktif media sosial di Indonesia, khususnya Instagram, kajian ini membahas tentang dukungan dan pembelaan komunitas daring terhadap korban kekerasan seksual. Artikel ini berpendapat bahwa budaya partisipatif pengguna Instagram di Indonesia menyediakan edukasi bagi para korban kekerasan seksual, yang secara tidak langsung mendukung dan membela korban kekerasan seksual secara virtual.
This article discusses the role of social media in virtually supporting and defending victims of sexual violence. In January 2024, there are 139 million active social media users in Indonesia, which amounts to 49.9% of Indonesia’s population (We Are Social, 2024). Accordingly, as the number of social media users in Indonesia grows, the construction of a participatory culture in society becomes more robust. Participatory culture is where members believe their contributions matter and feel some degree of social connection with one another (Jenkins et al., 2009). Utilizing Jenkins’ participatory culture theory and connecting it to the engagement of active users of social media in Indonesia, particularly Instagram, this study concerns the online community’s support and defense for victims of sexual violence. This article argues that the participatory culture of Instagram users in Indonesia provides education for victims of sexual violence, indirectly supporting and defending victims of sexual violence virtually."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dararima Sani
"Konser musik underground (MUG), sebagai ruang alternatif bagi individu yang menentang budaya arus utama, belum menjadi ruang aman dan bebas dari kekerasan seksual bagi perempuan. Skripsi ini bertujuan untuk memahami kontrol tubuh dan seksualitas yang dilakukan terhadap perempuan dalam konser MUG melalui kekerasan seksual oleh laki-laki. Teori yang digunakan adalah teori feminisme radikal dan carnival of crime. Data dikumpulkan dengan metode penelitian wawancara mendalam,focus group discussion, observasi partisipan, dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konser MUG mempertahankan nilai patriarkis melalui superioritas laki-laki, stereotip gender, dan hegemoni maskulinitas sebagai transgresi maskulin yang memarjinalkan, mensubordinasikan, dan mengobjektifikasi perempuan. Hal tersebut menciptakan rape culture di mana kekerasan seksual oleh laki-laki menjadi alat kontrol sosial yang menanamkan rasa takut dan membebankan tanggung jawab untuk menghindari kekerasan seksual pada perempuan. Kontrol terhadap tubuh dan seksualitas perempuan tersebut menimbulkan perlukaan pada perempuan dan membangkitkan resistensi oleh perempuan. Dengan begitu, kontrol tubuh dan seksualitas yang dilakukan laki-laki melalui kekerasan seksual terhadap perempuan dalam konser MUG memengaruhi perbedaan pengalaman perempuan dalam konser MUG.

Underground music (MUG) concerts, as an alternative space for individuals who oppose mainstream culture, have not yet become safe spaces free from sexual violence for women. This thesis aims to understand the control of women's bodies and sexuality in MUG concerts through sexual violence by men. The theories used are radical feminism and the carnival of crime. Data were collected using research methods such as in-depth interviews, focus group discussions, participant observation, and literature studies. The research findings indicate that MUG concerts uphold patriarchal values through male superiority, gender stereotypes, and the hegemony of masculinity as a masculine transgression that marginalizes, subordinates, and objectifies women. This creates a rape culture where sexual violence by men becomes a tool of social control that instills fear and places the responsibility for avoiding sexual violence on women. Control over women's bodies and sexuality causes harm to women and provokes resistance from women. Thus, the control of women's bodies and sexuality by men through sexual violence at the MUG concert affects the differing experiences of women at the MUG concert.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasudungan, David Gilbert
"ABSTRAK
Hukuman kebiri kimia yang diatur dalam Pasal 81 ayat (7) Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan salah satu hukuman pidana tambahan terbaru yang dapat dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Hukuman pidana tambahan kebiri kimia tersebut pada bulan Mei 2019 telah digunakan pertama kalinya untuk menjerat pelaku kekerasan seksual pada anak dalam putusan nomor 69/Pid.Sus/2019/PN.MJK. Namun pelaksanaan dari hukuman pidana tambahan kebiri kimia dalam putusan a quo menghadapi permasalahan dengan tidak adanya hukum formil yaitu peraturan pelaksana dari Undang-Undang No.17 Tahun 2016 tersebut. Kejaksaan selaku entitas yang mengemban kewenangan pelaksana dari putusan pengadilan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada faktanya harus melakukan penunjukkan kepada entitas yang memiliki kompetensi dalam bidang medis untuk melaksanakan hukuman pidana tambahan kebiri kimia tersebut secara langsung. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa mengatur bahwa kebiri kimia termasuk ke dalam tindakan medis yang disebut upaya kesehatan kuratif, karenanya pelaksanaan dari kebiri kimia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang yaitu dokter khususnya dokter spesialis kejiwaan. Sehingga Kejaksaan dalam melaksanakan hukuman pidana tambahan kebiri kimia harus melakukan penunjukkan kepada dokter spesialis kejiwaan yang memiliki kewenangan dan kompetensi yang dibutuhkan.

ABSTRACT
Chemical castration criminal penalty regulated in Article 81 paragraph (7) of Law No. 17 of 2016 on the Establishment of Government Regulation in Lieu of Law No. 1 of 2016 on the Second Amendment to Law No. 23 of 2002 concerning Child Protection is one of the latest additional criminal penalties that can be imposed for perpetrators of sexual violence against children. The chemical penalties for additional castration in May 2019 were used for the first time to ensnare perpetrators of sexual violence against children in decision number 69 / Pid.Sus / 2019 / PN.MJK. Nevertheless, the implementation of additional chemical castration criminal penalties in the a quo decision faces a problem in the absence of formal law, particularly the implementing regulations of the Law No.17 of 2016. The Prosecutor's Office as an entity that carries out the executive authority of the court's decision according to the Criminal Procedure Code and Law No. 16 of 2004 concerning the Attorney General's Office of the Republic of Indonesia, in fact, must appoint an entity that has competence in the medical field to carry out additional chemical castration penalties. Law No. 36 of 2009 on Health and Law No. 18 of 2014 on Mental Health regulates that chemical castration is included in a medical action called curative health measures, therefore the implementation of chemical castration can only be carried out by authorized health personnel namely doctors especially psychiatric specialists. So that the Prosecutor's Office in carrying out additional criminal sentences of chemical castration must appoint a psychiatric specialist who has the authority and competence needed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Febrianto
"Tugas karya akhir ini membahas pelecehan seksual yang dialami perempuan pekerja dalam ruang kerja online saat work from home pada masa pandemi COVID-19. Dengan menggunakan teori feminis radikal, tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana terjadinya kekerasan seksual berbasis jenis kelamin/gender yang difasilitasi teknologi terhadap perempuan pekerja selama WFH, apa yang menjadi latar belakangnya, dan menjelaskan perbedaan kekerasan seksual berbasis sex/gender di ruang fisik dengan ruang cyber. Tugas karya akhir ini menggunakan secondary data analysis untuk menganalisis data dari Never Okay Project dan South East Asia Freedom of Expression Network (2020) dan ditemukan bahwa kekerasan seksual berbasis gender terhadap perempuan pekerja dalam ruang cyber memiliki penyebab dasar yang sama dengan yang terjadi di ruang fisik karena teknologi mereproduksi hubungan hierarki gender. Meski begitu, pelecehan seksual yang dialami perempuan pekerja dalam ruang cyber saat pandemi COVID-19 menghasilkan dampak, kerentanan, dan ketidakberdayaan yang lebih buruk daripada pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja fisik pada umumnya.

The work of this final paper discusses sexual harassment experienced by women workers in the online workspaces when working from home during the COVID-19 pandemic. Using radical feminist theory, this paper aims to explain how technology-facilitated gender/gender-based sexual violence occurs against women workers during WFH, what is the background, and also explain the difference between sex/gender-based sexual violence in physical space and cyberspace. This final paper uses secondary data analysis to analyze the data from Never Okay Project and South East Asia Freedom of Expression Network (2020) and it is found that gender-based sexual violence against women workers in cyberspace has the same basic causes as those that occur in physical space because technology reproduces hierarchical gender relations. Even so, the sexual harassment experienced by women workers in cyberspaces during the COVID-19 pandemic resulted in a worse impact, vulnerability and helplessness that sexual harassment that occurred in the physical workplace in general."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library