Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rina Mulyati Alimi
Abstrak :
Penelitian ini termasuk kajian lapangan (field study). Tujuan penelitian secara garis besar ada 3 yaitu (1) untuk melihat gambaran tingkat resiliensi pada remaja yang tergolong "high risk° yang tinggal di Kelurahan Tanah Tinggi Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat. (2) untuk melihat apakah faktor-faktor keterampilan sosial (social skills), keterampilan menyelesaikan masalah (problem solving skills), autonomy, locus of control internal dan sense of purpose, kesempatan untuk bisa berpartisipasi dalam suatu aktivitas kelompok, hubungan yang hangat dan harapan yang tinggi dari fingkungan secara keseluruhan sebagai faktor protektif memberikan sumbangan terhadap resiliensi remaja (3) untuk melihat apakah masing-masing faktor protektif memberikan sumbangan dalam membentuk resiliensi remaja dan (4) untuk mengetahui bagaimanakah dinamika faktor protektif pada remaja yang menjadi responden. Subyek penelitian adalah remaja 13-18 tahun, merupakan kelompok "high risk" yaitu berasal dari keluarga dengan SES rendah, hidup di lingkungan padat dan kumuh dan atau memiliki orang tualanggota keluarga yang pengguna obat-obatan terlarang dan atau mengalami gangguan mental, tinggal di kelurahan Tanah Tinggi sekurang-kurangnya 5 tahun saat penelitian dilaksanakan dan tidak pemah terlibat dalam kegiatan yang melanggar hukum serta tidak menunjukkan gejala penyimpangan perilaku. Dengan teknik purpossive sampling, terjaring 38 responden yang terdiri dari 17 Iaki-laki dan 21 perempuan. Alat ukur yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Skala Resiliensi (Wagnild & Young, dalam Skehill, 2003), Skala Locus of Control (Roller, 1966), Skala Sense of Purpose (httpllwww_authentichappiness.orgl). Adapun Skala kemandirian dan Skala Keterampilan Sosial dibuat sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada kerangka teori yang mendasarinya. Untuk mengukur Keterampilan Menyelesaikan Masalah dibuat kasus di mana responden ditugaskan untuk memberikan solusi atas kasus tersebut. Data tentang kesempatan untuk bisa berpartisipasi dalam suatu aktivitas kelompok, hubungan yang hangat dan harapan yang tinggi dari Iingkungan akan diungkap melalui skala dan formulir data pribadi serta wawancara. Alat ukur kernudian diujicobakan. Dengan analisis faktor didapatkan matriks faktor loading. Item yang memiliki skor loading 0.300 (item skala yang dipakai dalam penelitian ini memiliki nilai loading yang bergerak antara 0.300-0.606). Uji reliabilitas dilakukan dengan pendekatan alpha-Cronbach. Dengan koefisien a yang bergerak antara 0.602 - 0.935, skala tersebut dianggap reliabel sebagai alat ukur. Sesuai dengan tujuan penelitian, data dianalisis dengan Analisis Statistik Deskriptif dan Analisis Regresi serta Analisis Kualitatif. Hasilnya adalah (1) Remaja memiliki tingkat resiliensi yang tinggi (2) Faktor protektif secara keseluruhan hanya memberikan sumbangan sebesar 29.3% untuk tingginya tingkat resiliensi remaja yang menjadi responden penelitian (R2 = 0.293), sisanya sebanyak 70.7% ditentukan oleh faktor lain (3) saat faktor protektif diregresikan satu persatu, yang memberikan sumbangan secara signifikan pada tingkat resiliensi remaja hanya faktor keterampilan sosial sebesar 9.8% dan harapan dari lingkungan sebesar 14.9% (4) remaja memiliki tingkat keterampilan sosial yang tinggi, keterampilan menyelesaikan masalah yang balk, otonom dan sense of purpose yang jelas serta locus of control yang internal; kesempatan yang Iuas untuk bisa berpartisipasi dalam suatu aktivitas kelompok, memiliki harapan yang tinggi dan lingkungan dan hubungan yang hangat dengan lingkungan pada level sedang. Dari hasil analisis kualitatif ditemukan faktor lain yang diasumsikan memberikan pengaruh pada resiliensi responden, yaitu jaringan teman, sekolah, memiliki sejumlah prang yang memberikan bimbingan dan arahan serta adanya role model. Setelah dilakukan analisa tambahan diperoleh hasil: (1) ada perbedaan yang signifikan antara remaja laki-laki dan remaja perempuan pada faktor keterampilan sosial, autonomy, kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas kelompok dan harapan yang tinggi dari lingkungan. Remaja perempuan memiliki keterampilan sosial dan autonomy yang lebih balk dibandingkan remaja laki-laki. Lingkungan juga meletakkan harapan yang lebih tinggi pada perempuan. Sedangkan kesempatan untuk beraktivitas dalam kegiatan kelompok, laki-laki memiliki kesempatan yang lebih banyak dibandingkan perempuan. (2) Tidak ada perbedaan tingkat resiliensi pada remaja awal, tengah dan akhir (3) remaja tengah paling tinggi tingkat kemahdiriannya dibandingkan remaja awal dan akhir (4) kesempatan untuk beraktivitas dalam kelompok paling besar dimiliki oleh remaja awal (5) lingkungan memiliki harapan yang paling tinggi terhadap remaja akhir dibandingkan remaja awal dan tengah.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T17987
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shoba Dewey Chugani
Abstrak :
Sejauh ini, fokus masalah dari berbagai penelitian mengenai resiliensi adalah pada identifikasi faktor-faktor protektif yang bekerja pada individu. Namun, bagaimana faktor-faktor tersebut mewujudkan resiliensi pada individu belum banyak terungkap. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana mekanisme keterkaitan antara faktor protektif ekstemal (faktor lingkungan) dan aset internal (faktor internal) dalam mewujudkan resiliensi pada individu. Aset internal mencakup 4 kategori faktor internal yang secara konsisten telah diidentifikasikan dari berbagai penelitian, yaitu: kompetensi sosial (ketrampilan sosial, empati), otonomi (self-esteem, self efficacy, locus of contol), ketrampilan memecahkan masalah (ketrampilan membuat keputusan, berpikir kritis dan kreatif), dan sense of purpose (optimisme, molivasi untuk berprestasi, minat terhadap kegiatan tertentu, keyakinan). Faktor internal yang juga menjadi variabel penelitian adalah temperamen individu. Faktor protektif eksternal mencakup 5 faktor dalam mikrosistem individu (keluarga, sekolah, lingkungan tempat iinggal). Kelima faktor lingkungan tersebut termasuk hubungan yang hangat, peraturan dan batasan, dukungan untuk mandiri, dukungan untuk berprestasi dan role model. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Kerangka teoritis dari penelitian didasarkan pada teori resiliensi dari Benard (2004), yang berlandaskan teori humanistik dari Maslow dan teori ekologi dari Bronfenbrenner. Subjek penelitian termasuk 10 remaja yang hidup dalam lingkungan beresiko di kelurahan Johar Baru, sebuah linkungan yang tergolong lingkungan miskin (sesuai ketentuan dari BPS, 2000), dan memiliki angka kriminalitas yang tinggi. Kesepuluh subjek tersebut disaring dari 34 remaja yang memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian Penyaringan subjek menggunakan alat ukur Slate Resilience Scale (Hiew, et.al, 2000), yang sebelumnya diuji-cobakan oleh peneliti. Subjek penelitian yang dipilih adalah subjek dalam kelompok resiliensi ekstzim tinggi dan ekstrim rendah sesuai skala tersebut. Analisis yang dilakukan mencakup analisis per subjek maupun analisis antar subjek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kondisi di mana seluruh aspek dari faktor protektif eksternal aktif bekerja selama perkembangan individu maka individu dapat mengatasi masalah-masalahnya dan aset internal pada individu berkembang dengan baik atau dapat diartikan bahwa tingkat resiliensi individu semakin baik. Sebaliknya, dalam kondisi di mana beberapa aspek dari faktor protektif ekternal kurang berkembang, masalah yang dihadapi oleh individu tidak teratasi. Hal ini mempengaruhi aset internal secara negatif. Dengan beberapa aset internal yang kurang berkembang, individu memiliki beberapa titik lemah yang dapat menjadi resiko dalam perkembangan selanjutnya.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18115
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfadilah
Abstrak :
Resiliensi bukanlah suatu hal yang bersifat magis (Masten, 2006) dan dapat dipelajari serta dikembangkan oleh setiap orang, meliputi tingkah laku, pikiran, dan tindakan (APA, 2004). Dalam penelitian ini, resiliensi didefinisikan sebagai proses dinamis individu dalam mengembangkan kemampuan diri untuk renghadapi, mengatasi, memperkuat, dan mentransformasikan pengalaman-pengalaman yang dialami pada situasi sulit menuju pencapaian adaptasi yang positif. Situasi sulit yang dimaksud tidak terbatas pada kesulitan yang luar biasa saja, seperti trauma akibat tindak kejahatan atau bencana alam, tetapi juga mencakup kesulitan yang ditemui ketika menghadapi tekanan dan tuntutan hid up sehari - hari. Individu dikatakan memiliki adaptasi yang positif jika dapat memenuhi harapan sosial yang dikaitkan dengan tahapan tugas perkembangan. Resiliensi akan lebih mudah untuk ditingkatkan jika dilihat sebagai fondasi dari pertumbuhan dan perkembangan (Grotberg, 2003). Fondasi resiliensi ini membentuk suatu paradigma yang mencakup tiga sumber resiliensi ketika individu menghadapi situasi sulit (Grotberg, 1999b), yaitu AKU PUNYA (I have), AKU ADALAH (I am), fondasi inisiatif dan AKU MAMPU (I can). Tiga komponen sumber resiliensi tersebut dapat membantu individu untuk menjadi resilien (dalam Grotberg, 1999b). Resiliensi pada anak berhubungan dengan sumber-sumber faktor pelindung dan peningkatan kesehatan yang mencakup kesempatan yang dimiliki oleh individu, hubungan kekerabatan keluarga yang erat, dan kesempatan individu dan orangtua dalam mendapatkan dukungan dari lingkungan niasyarakat (Mash, 2005). Shonkoff dan Meisels (2000) mengatakan bahwa resiliensi pada anak tidak dapat dipaksakan begitu saja meskipun orangtua sudah memberikan pola asuh yang baik. Masten (2005) berpendapat bahwa resiliensi dapat ditingkatkan melalui suatu program intervensi. Program intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini dapat mengarahkan subyek menuju pencapaian adaptasi yang positif dengan segala faktor resiko dan pelindung yang dimilikinya. Program intervensi tersebut berupa pelatihan keterampilan sosial. Penelitian ini merupakan action research dengan pendekatan kualitatif, yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran proses subyek dalam mengidentifikasi sumber-sumber resiliensi yang dimiliki subyek. Penelitian ini menggunakan satu orang subyek yang dipilih berdasarkan kesesuaian teori atau konstruk operasional, yakni yang memilki lima faktor resiko dan lima faktor pelindung. Subyek merupakan klien Klinik Bimbingan Anak Fakultas Psikologi UI yang berusia 8 tahun dan sekarang sedang duduk di kelas 3 SD. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi langsung, dan dokumen tertulis. Adapun tahapan persiapan penelitiannya meliputi persiapan program intervensi dan alat ukur. Sebelum pelatihan, peneliti membina rapport dan menjalin rasa percaya dengan subyek dalam dua kali pertemuan. Selanjutnya, pelatihan dilaksanakan dalam lima kali pertemuan. Hasil pelatihan menunjukkan bahwa subyek dapat dilatih untuk mengidentifikasi mengidentifikasi sumber-sumber resiliensi yang dimilikinya. Hal tersebut dapat dicapai melalui proses membentuk rasa percaya, mengidentifikasi perasaan da-i pikiran, gambaran situasi sulit, dan kemudian subyek bare dapat mengidentifikasi sumber-sumber resiliensi yang dimilikinya. Hasil penelitian tersebut disampaikan kepada ibu subyek sehingga kaiak ibu dapat membantu subyek untuk menggunakan sumber-sumber resiliensi yang dimilikinya. Dalam pertemuan tersebut peneliti memberikan saran praktis dan melakukan diskusi bersama ibu.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18099
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lany Kusbudiyanto
Abstrak :
Permasalahan siswa putus sekolah merupakan masalah pendidikan nasional yang masih terjadi di Indonesia. Fenomena tingkat siswa putus sekolah pada jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kota Bekasi masih terbilang tinggi, hal tersebut dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Adapun tujuan penelitian ini adalah pertama, menganalisis perbandingan siswa putus sekolah dengan siswa yang aktif terhadap faktor demografi, karakteristik sekolah, sosio ekonomi keluarga dan ketahanan keluarga. Kedua, menganalisis berapa besar pengaruh atau peluang faktor demografi, karakteristik sekolah, sosio ekonomi keluarga dalam mempengaruhi tingkat siswa putus sekolah di Kota Bekasi. Ketiga, menghitung dan menganalisis indeks ketahanan keluarga di Kota Bekasi. Metode yang digunakan yaitu uji komparatif atau uji beda, uji regresi logistik dan analisis faktor. Hasil uji komparatif atau uji beda menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang nyata atau signifikan antara siswa putus sekolah dengan siswa yang aktif jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kota Bekasi pada variabel jenis kelamin, jumlah anggota keluarga, usia, jenis sekolah, rasio guru dan murid, jurusan, pendapatan keluarga, pendidikan ibu dan ketahanan keluarga. Hasil uji regresi logistik menunjukan variabel yang mempunyai pengaruh atau peluang untuk terjadinya siswa putus sekolah dan besarnya peluang dilihat dari nilai odds ratio (OR) yaitu pada variabel jenis kelamin sebesar 0,512, jumlah anggota keluarga sebesar 3,048, usia sebesar 29,156, jenis sekolah sebesar 0,476, rasio guru dan murid sebesar 38,498, pendapatan keluarga sebesar 0,074 dan pendidikan ibu sebesar 0,493. Hasil perhitungan nilai indek ketahanan keluarga di Kota Bekasi yaitu sebesar 23,51, yang berarti indeks katahanan keluarga di Kota Bekasi masuk kedalam golongan C atau masuk kedalam kategori ketahanan keluaraga Cukup. Nilai indek ketahanan keluarga pada keluarga siswa putus sekolah sebesar 17,86 yang berarti masuk kedalam golongan D atau masuk kedalam kategori ketahanan keluarga Rendah sedangkan pada keluarga siswa yang aktif, indeks ketahanan keluarga sebesar 25,93 yang berarti masuk kedalam golongan C atau masuk kedalam kategori ketahanan keluarga Cukup. ......The issue of school drop-out is a problem of national educatioan that still happening in Indonesia. Due to many factors, this phenomenon also still high at vocational school level (Sekolah Menengah Kejuruan/SMK) in Bekasi City. This research aims to, first, analyze the comparison between school drop-out and schoolchild among all pupils against demographic factor, school characteristic, familys socio-economic, and family resilience. Second, analyze the magnitude of influence or opportunity of demographic factor, school characteristic, familys socio-economic in influencing school drop-out in Bekasi City. Third, count and analyze family resilience index in Bekasi City. The method used in this research are comparative analysis, logistic regression analysis, and factor analysis. The result from comparative analysis indicated there were significant difference between school drop-out and schoolchild on gender, number of family members, age, type of school, teacher and pupils ratio, majoring class, family income, mothers education and family resilience. The result from logistic regression analysis showed that the odds ratio (OR) against variables which influencing school drop-out are gender 0.512, the number of family members 3.048, age 29.156, type of school 0.476, teacher and pupils ratio 38.498, family income 0.074, and mothers education 0.493. The calculation result from family resilience index is 23.51, which means family resilience index in Bekasi City include in C Group or in other word categorized Cukup. Family resilience index in school drop-outs family is 17.86 that means D Group or categorized Rendah, while in schoolchild family is 25.93 that means C Group or categorized Cukup.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T53786
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puti Aulia Rahma
Abstrak :
Di masa remaja, meningkatnya kebutuhan interaksi sosial membuat pengaruh kedekatan teman sebaya terhadap penyesuaian psikologis menjadi lebih dominan. Sejumlah penelitian meta analisis telah membuktikan adanya hubungan antara peer attachment dengan penyesuaian psikologis remaja. Akan tetapi mekanisme yang mendasari hubungan tersebut belum diketahui secara jelas. Attachment memiliki hubungan yang erat dengan resiliensi, sementara resiliensi telah terbukti memprediksi penyesuaian psikologis. Oleh karena itu secara teoritis, diasumsikan bahwa resiliensi mungkin berperan sebagai mediator dalam hubungan antara peer attachment dan penyesuaian psikologis pada remaja. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 377 remaja dengan rentang usia 12 sampai 18 tahun. Penyesuaian psikologis diukur dengan Brief Adjustment Scale (BASE-6), peer attachment diukur dengan Inventory of Parent and Peer Attachment (IPPA-Revisited), dan resiliensi diukur dengan Resiliency Scale for Children and Adolescents (RSCA) untuk mengukur resiliensi. Analisis mediasi menemukan bahwa sense of relatedness memediasi secara penuh hubungan peer attachment terhadap penyesuaian psikologis remaja. Sementara itu sense of mastery dan emotional reactivity memediasi secara parsial hubungan antara variabel prediktor dan outcome. Temuan ini mengindikasikan pentingnya resiliensi dalam meningkatkan penyesuaian psikologis remaja. ......In the context of adolescents’ development, peer attachment plays a significant role in psychological adjustment. Meta-analysis studies found a significant moderate correlation between peer attachment and adolescents’ psychological adjustment. The result indicating possibility of unknown mediating factors that could influence psychological adjustment in adolescents. Peer attachment has a strong correlation with resiliency, meanwhile, studies found that resiliency predicts psychological adjustment. Hence, it is assumed that resiliency might play a mediating role in the relationship between peer attachment and psychological adjustment. A total of 377 adolescents aged 12-18 years old participated in this research. The measurement instruments used are Brief Adjustment Scale (BASE-6) to assess psychological adjustment, Inventory of Parent and Peer Attachment (IPPA-Revisited) to measure peer attachment, and Resiliency Scale for Children and Adolescents (RSCA) to assess attributes of resiliency. Mediation analysis showed that resiliency that reflected by participant’s sense of relatedness fully mediated the relationship between peer attachment and psychological adjustment. Meanwhile, sense of mastery and emotional reactivity attributes of resiliency partially mediated the relationship. The result of this research emphasizes the importance of close peer relationship and resiliency in the means to increase adolescents’ psychological adjustment.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Ardhya Irawan
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran resiliensi pada remaja penyintas erupsi Gunung Merapi tahun 2010 serta untuk mengidentifikasi nilai-nilai budaya Jawa yang berhubungan dengan kemampuan resiliensi masyarakat suku Jawa yang tinggal di sekitar Gunung Merapi, khususnya di Desa Krinjing, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Gambaran resiliensi remaja di Desa Krinjing ini diperoleh dengan menggunakan alat ukur resiliensi Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) 10 (Connor & Davidson, 2003; Campbell-Sills & Stein, 2007) juga melalui wawancara mendalam yang merujuk kepada karak-teristik resiliensi yang dikemukakan oleh Wagnild (2010), yaitu meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, dan existential aloneness. Wawancara secara mendalam juga digunakan untuk menggali penghayatan nilai-nilai budaya Jawa dari partisipan. Partisipan penelitian terdiri dari 15 orang remaja berusia 15-20 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja di Desa Krinjing telah menunjukkan resiliensi dalam tingkat yang sedang. Adapun budaya Jawa yang terkait dengan kemampuan resiliensi mereka adalah gotong royong, sopan santun, kebersamaan, dan berbakti pada orang tua. Sejumlah saran untuk menindaklanjuti penelitian ini, termasuk untuk mengatasi keterbatasan yang ditemui, disertakan. ......This research was carried out to get an idea of resilience in young survivors of the eruption of Mount Merapi in 2010 and to identify the Javanese cultural values that related to the resilience ability of the Javanese community who live around Mount Merapi, particularly in Krinjing, Magelang regency, Central Java. The idea of resilience in young survivors in Krinjing is achieved by using a measuring instrument Connor Davidson Resilience Scale (CD-RISC) 10 (Connor & Davidson, 2003; Campbell-Sills & Stein, 2007) and by in-depth interviews refers to the characteristics proposed by Wagnild (2010): meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, and existential aloneness.. Interviews were also used to explore the appreciation of Javanese cultural values of the participants. The participants consisted of 15 adolescents aged 15-20 years. The results showed that young survivors in Krinjing have shown resilience in the medium level. The Javanese culture associated with the resilience ability of survivors of the eruption of Mount Merapi are mutual cooperation, courtesy, togetherness, and dutiful to parents. A number of suggestions to follow-up this research, and to overcome the limitations that were encountered, are included
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45461
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haris Indra Susilo
Abstrak :
Penelitian ini berfokus pada pemahaman mengenai resiliensi orangtua yang memiliki anak ADHD dan Autisme. Reivich & Satte (2002), resiliensi adalah sebagai kemampuan untuk tetap gigih dan menyesuaikan diri ketika keadaan tidak berjalan dengan baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara orangtua dengan anak ADHD dengan orangtua dengan anak autis. Metode yang digunakan yaitu kuantatif deskriptif. Penelitian ini menggunakan alat ukur kuesioner resiliensi Reivich & Shatte (2002). Diperoleh hasil tidak ada perbedaan signifikan antara orang tua ADHD dan Autisme pada 60 partisipan. ......This research focuses on understanding the resilience of parents of children with ADHD and Autism. Reivich & Shatte (2002), resilience is the ability to persevere and adapt when things are not going well. The purpose of this study was to determine whether there are differences between parents with ADHD children with a parent with an autistic child. The method used is quantitative descriptive. This study used a questionnaire measure of resilience Reivich & Shatte (2002). The results obtained indicate no significant differences between parents of ADHD and Autism at 60 participants.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46983
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rully Adriana Swarnaputra
Abstrak :
ABSTRAK
Komitmen perubahan merupakan hal yang dibutuhkan dalam implementasi perubahan organisasi. Dari beberapa faktor yang dapat mempengaruhi komitmen perubahan, resiliensi merupakan salah satunya (Langvardt, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah resiliensi merupakan salah satu faktor yang berkontribusi dan seberapa besar pengaruhnya terhadap komitmen perubahan. Responden dari penelitian ini adalah karyawan yang berasal dari dua perusahaan asuransi (BUMN dan swasta) di Indonesia. Alat ukur yang dipakai dalam penelitian ini adalah C2C Inventory (Herscovitch & Meyer, 2002) untuk mengukur komitmen perubahan dan Modified CD-RISC (Frank Dong et al., 2013) untuk mengukur resiliensi. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa terdapat pengaruh yang siginifikan dari resiliensi terhadap komitmen perubahan (β = .317, p = .000, p<.01), komitmen perubahan afektif (β = .402, p = .000, p<.01), dan komitmen perubahan normatif (β = .340, p = .000, p<.01), namun tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara resiliensi dengan kontinuans (β = .042, p = .537, p<.01). Peneliti merekomendasikan penelitian selanjutnya dapat melihat perbandingan antara perusahaan asuransi BUMN dengan swasta karena terdapat perbedaan budaya dan nilai-nilai perusahaan yang berkemungkinan besar dapat mempengaruhi hasil penelitian.
ABSTRACT
Employee’s commitment to change is one of important factors that contributes to organizational change successful implementation. Among those factors that can influence employee’s commitment to change, resilience is one of them (Langvardt, 2007). Current research aims to prove that resiliency is indeed one of the contributing factors and how can it affect commitment to change. The respondent of current research is consisted of employees from two insurance company in Indonesia (one being state owned and the other being private owned). This research used C2C Inventory (Herscovitch & Meyer, 2002) to measure commitment to change and Modified CD-RISC (Frank Dong et al., 2013) to measure resilience. Results found that there is significant effect between resiliency and commitment to change (β = .317, p = .000, p<.01), affective commitment to change (β = .402, p = .000, p<.01), and normative commitment to change (β = .340, p = .000, p<.01), but there is no significant effects found between resiliency and continuance commitment to change (β = .042, p = .537, p<.01). Researcher recommends that future research can be done by comparing state owned insurance company and private owned insurance company, since there are some different culture and values between those company that can affect the results of research.
2015
S60014
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qonita Zahrin Desinaz
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah self-compassion merupakan prediktor resiliensi pada penyintas erupsi Gunung Kelud. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan adanya hubungan antara self-compassion dan resiliensi, namun belum ada studi yang meneliti mengenai self-compassion dan resiliensi pada konteks bencana. Self-compassion diukur dengan menggunakan Self Compassion Scale-Short Form SC-SF , sementara resiliensi diukur dengan Connor-Davidson Resilience Scale CD-RISC . Partisipan dalam penelitian ini adalah 115 warga Desa Puncu, Kec. Puncu, Kab. Kediri. Desa Puncu dipilih sebagai tempat pengambulan data karena merupakan salah satu desa yang terkena dampak terparah akibat erupsi Gunung Kelud 2014 lalu. Analisis regresi yang dilakukan menunjukkan bahwa self-compassion meningkatkan resiliensi pada penyintas erupsi Gunung Kelud.
This research was conducted to determine self compassion as a predictor for resilience among Kelud eruption survivor. Previous research have shown a link between self compassion and resilience, but there is no study yet about self compassion and resilience in disaster context. Self compassion is measured by Self Compassion Scale Short Form SC SF , while resilience is measured by Connor Davidson Resilience Scale CD RISC . Participants in this research are 115 people lived in Desa Puncu, Kec. Puncu, Kab. Kediri. Desa Puncu is chosen for data retrieval because it was one of the area that has the most severe impact from Kelud eruption. Linear regression statistical techniques showed that self compassion contribute to increase resilience among Kelud eruption survivor.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S66467
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Willbie Hendrason
Abstrak :
Periode dewasa muda identik dengan early adult transition, sehingga rentan menghadapi quarter life crisis. Dalam menghadapi dampak negatif dari krisis tersebut, individu seringkali menggunakan gim daring (video games) sebagai media untuk coping. Penelitian-penelitian terbaru mulai menemukan adanya potensi penggunaan gim daring dalam meningkatkan resiliensi. Namun, penelitian-penelitian masih terbatas pada penelitian gim daring secara umum. Oleh karena itu. penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat resiliensi antara pemain dua genre yang sering ditemui, yaitu aksi dan role-play game (RPG). Perbedaan kedua genre tersebut didasarkan pada perbedaan aspek kompetitif dan kooperatif dalam hubungannya dengan resiliensi. Penelitian ini membandingkan tingkat resiliensi yang diukur menggunakan 10-item Connor Davidson Resilience Scale dan juga pertanyaan persepsi aspek kompetitif dan kooperatif yang dirasakan dalam gim daring. Gim daring genre aksi yang digunakan adalah “Playerunknown's Battleground (PUBG)” dan gim daring RPG yang digunakan adalah “Genshin Impact” Hasil analisis komparasi independent sample t-test mendapatkan perbedaan tingkat resiliensi antara pemain gim daring genre aksi dan genre RPG [t(104) = 12.467, p = 0.01], dengan skor resiliensi yang lebih tinggi pada pemain gim daring genre aksi. Hasil ini memperlihatkan tingkat resiliensi berbeda pada genre gim daring yang berbeda. ......The young adulthood period is often vulnerable to experiencing quarter-life crisis. In facing this crisis, individuals often turn to online games as a means of coping. Recent studies have started to discover the potential use of online games in enhancing resilience. However, research in this area is still limited to general studies on online gaming. Therefore, this study aims to examine the differences in resilience levels between players of two commonly encountered genres, namely action and role-playing games (RPGs). The differences between these two genres are based on the distinct aspects of competitiveness and cooperativeness and their relation to resilience. This study compares resilience levels measured using the 10-item Connor Davidson Resilience Scale, as well as questions regarding the perceived competitive and cooperative aspects experienced in online gaming. The action genre game used is "Playerunknown's Battleground (PUBG)," while the RPG game used is "Genshin Impact". The results of the independent sample t-test comparison analysis indicate a difference in resilience levels between players of action and RPG online games [t(104) = 12.467, p = 0.01], with higher resilience scores observed among players of action genre games. These findings demonstrate varying levels of resilience across different genres of online games.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>