Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eugene Andreas Muskananfola
"Tesis ini meneliti penolakan Polandia terhadap kuota pengungsi yang diberikan oleh Uni Eropa (UE). Tujuan penulisan adalah untuk menjawab dua pertanyaan penelitian yaitu penolakan Polandia untuk relokasi pengungsi dan dinamika internal yang terdapat didalamnya. Polandia meruapakan salah satu negara di Eropa yang memiliki akselerasi cukup tinggi dalam melakukan integrasi menuju iklim politik demokrasi. Selanjutnya negara ini resmi bergabung dan diterima sebagai negara anggota UE pada tahun 2004 silam. Setiap pihak yang ingin menjadi bagian dari UE diharuskan untuk memenuhi sejumlah kriteria dasar yang telah ditetapkan. Salah satu diantaranya menyangkut aspek kemanusian. Sejak bergabungnya Polandia kedalam struktur UE, mereka dinilai memiliki prospek yang positif dalam menunjang keberlangsungan proses integrasi di kawasan Eropa. Dinamika politik yang berjalan kemudian merubah sejumlah situasi. Pemerintah Polandia menolak kuota pengungsi yang dicetuskan oleh UE. Ledakan krisis pengungsi di Eropa mencapai puncaknya pada tahun 2015.
Penelitian ini akan memfokuskan pembahasan kepada kebijakan yang diambil oleh Polandia tersebut. Keputusan Warsawa dianggap berbenturan dengan nilai-nilai fundamental yang dianggap menjadi bagian prinsip dasar dari UE. Dalam menunjang argumen penulisan, akan diangkat konsep amity dari Regional Security Complex Theory (RSCT) yang dicetuskan Barry Buzan dan gagasan terkait identitas nasional dari Anthony Smith. Temuan yang didapatkan adalah adanya signifikansi dari kawasan dan aspek internal yang mempengaruhi keputusan Polandia.

This thesis presents the Poland`s rejection towards the quota of refugees allocated by the European Union (EU). The aim of the study is to answer two research questions concerning Poland`s rejection towards the relocation of refugees and the related internal dynamics found within. Poland is a European country that proceeds to democracy politics climate with considerably high acceleration. The country officially joined and was accepted as an EU country member in 2004. Any party who wants to become part of EU is required to meet a number of basic criteria which have been set by the EU, one of which relates to humanity aspects. Since the inclusion of Poland in the EU, the country has been considered to have brought positive prospects in the integration within the European regions. The dynamics of politics, however, have changed some situations. The government of Poland rejects the quota of refugees set by EU whilst the booming of refugees reached its peak in 2015.
This research focuses on analyzing the policy of the government of Poland in rejecting the quota. The Warsaw decision was considered to collide with the fundamental values which are regarded basic principles of EU. The concept of amity of the Regional Security Complex Theory (RSCT) from Barry Buzan and the idea of national identity from Anthony Smith are adopted as the research arguments. The findings of the research reveal that there are significances within the region and internal aspects that govern the decisions of Poland.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T53953
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afif Nur Anshari
"Penelitian ini menganalisis kebijakan penanganan keberadaan pengungsi luar negeri dari perspektif ketahanan nasional dengan fokus wilayah Jabodetabek. Isu pengungsi menjadi perhatian serius di Indonesia yang meskipun tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, namun tetap menerima pengungsi berdasarkan prinsip non-refoulement. Namun, pengelolaan pengungsi masih menghadapi berbagai tantangan seperti ambiguitas regulasi, ancaman sosial, kesehatan, ekonomi, serta risiko asimilasi budaya yang dapat mempengaruhi ketahanan nasional.Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif eksploratif dengan wawancara sebagai sumber data primer, didukung data sekunder dari laporan pemerintah dan studi pustaka . Kerangka teori yang digunakan meliputi teori kebijakan retrospektif, keamanan, kerja sama internasional, dan ketahanan nasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Direktorat Jenderal Imigrasi memiliki peran penting dalam mengoptimalkan pengelolaan pengungsi. Namun koordinasi antar pemangku kepentingan masih perlu diperbaiki untuk mencapai pengelolaan yang terintegrasi dan berkelanjutan. Penelitian ini mengidentifikasi tantangan utama dalam aspek kemanusiaan dan ketahanan nasional, serta memberikan rekomendasi strategi untuk meningkatkan efektivitas kebijakan pengungsi di Indonesia. Optimalisasi kebijakan menjadi krusial untuk mengurangi dampak negatif keberadaan pengungsi terhadap stabilitas sosial, ekonomi, dan keamanan nasional.

This study analyzes policies for addressing the presence of foreign refugees from the perspective of national resilience, focusing on the Jabodetabek area. The issue of refugees has become a serious concern in Indonesia, which, despite not ratifying the 1951 Refugee Convention and the 1967 Protocol, continues to accept refugees based on the principle of non-refoulement. However, refugee management still faces various challenges, including regulatory ambiguities, social, health, and economic threats, as well as the risks of cultural assimilation, which can affect national resilience. The study employs an exploratory qualitative approach with interviews as the primary data source, supported by secondary data from government reports and literature studies. The theoretical framework used includes retrospective policy theory, security, international cooperation, and national resilience. The findings indicate that the Directorate General of Immigration plays a crucial role in optimizing refugee management. However, coordination among stakeholders still needs improvement to achieve integrated and sustainable management. The study identifies major challenges in the humanitarian and national resilience aspects and provides strategic recommendations to enhance the effectiveness of refugee policies in Indonesia. Optimizing these policies is critical to mitigating the negative impacts of refugee presence on social, economic, and national security stability."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gibney, Matthew J.
New York: Cambridge University Press, 2004
172.2 GIB e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2005
S26079
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Heryadi
"Penelitian ini adalah mengenai dampak kebijakan pemerintah Australia memulangkan kembali pencari suaka yang akan masuk ke negaranya terhadap Indonesia. Dalam penelitian ini dianalisis akibat yang ditimbulkan dari kebijakan Operasi Kedaulatan Perbatasan yang dijalankan oleh Pemerintahan Australia dibawah pimpinan Perdana Menteri Tonny Abbot dimana dengan kebijakan tersebut menimbulkan banyaknya pencari suaka yang ada di Indonesia salah satunya bermukim di kawasan Cisarua Bogor dan menimbulkan permasalahan tersendiri dengan keberadaan mereka di kawasan Cisarua Bogor.

This research is about the impact of the Australian government's policy of refoulement of asylum seekers who would enter their country Against Indonesia. In this study analyzed the impact of operation sovereign borders policy run by the Australian Government under the leadership of Prime Minister Tony Abbott. The Inpact is raises the number of asylum seekers in Indonesia and living in Cisarua Bogor and caused its own problems with their presence in Cisarua Bogor.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aura Melati
"Lonjakan 1 juta lebih pengungsi Suriah ke dalam kawasan Eropa pada tahun 2015 akibat Arab Spring dan Perang Suriah—yang dikenal sebagai Krisis Pengungsi Eropa—mengungkap keterbatasan dari respons dan tata kelola Uni Eropa. Akan tetapi, di tengah-tengah negara anggota yang menolak kedatangan pengungsi dan menutup perbatasan, Jerman menerapkan pendekatan berbeda dengan menyambut para pengungsi melalui kebijakannya yang dijuluki Open Door Policy. Studi ini pun bertujuan untuk mengkaji bagaimana keputusan Jerman  diposisikan dalam literatur akademik mengenai tata kelola pengungsi dan suaka di Uni Eropa. Dengan menggunakan pendekatan taksonomi tematik dan bibliografis terhadap 46 publikasi yang terindeks Scopus, kajian ini mengidentifikasi empat fokus utama dalam diskursus akademik: evolusi dan kritik terhadap Common European Asylum System (CEAS) sebelum 2015; faktor domestik, regional, dan internasional yang memengaruhi kebijakan Open Door; implikasi kebijakan tersebut terhadap respons Uni Eropa secara lebih luas; serta evaluasi akademik terhadap reformasi tata kelola pascakrisis. Temuan kajian ini menyoroti tiga isu utama: 1) ketimpangan dalam mekanisme burden-sharing antarnegara anggota UE; 2) dominasi negara-negara dengan kekuatan politik dan material yang lebih besar dalam membentuk arah kebijakan regional; serta 3) keterbatasan kapasitas Uni Eropa sebagai normative power dalam menjamin perlindungan pengungsi yang setara dan konsisten. Temuan ini memberikan wawasan peneliti dan pembentuk kebijakan untuk memahami dan merancang kerangka tata kelola pengungsi Uni Eropa yang lebih efektif di bawah pengaruh negara anggota. Studi ini juga menunjukkan pentingnya pendekatan lintas level dalam studi Hubungan Internasional guna memahami interaksi antara kebijakan nasional dan dinamika kelembagaan supranasional. Dengan demikian, studi ini berkontribusi pada pemahaman yang lebih komprehensif mengenai dinamika pengambilan kebijakan, legitimasi kelembagaan, dan ketahanan tata kelola pengungsi di Uni Eropa.

The influx of more than a million Syrian refugees into Europe in 2015 due to the Arab Spring and the Syrian War—known as the European Refugee Crisis—exposed the limitations of the European Union’s response and governance. However, amidst member states turning away refugees and closing their borders, Germany adopted a different approach by welcoming refugees through its Open Door Policy. This study thus explores how Germany’s decision to adopt the Open Door Policy during the 2015 European refugee crisis has been framed within academic literature on refugee and asylum governance in the European Union. Drawing on a thematic and bibliographic taxonomy of 46 Scopus-indexed publications, the review identifies four major areas of scholarly focus: the evolution and critique of the Common European Asylum System (CEAS) prior to 2015; the domestic, regional, and international factors influencing the policy; its broader implications for EU-level responses; and academic evaluations of post-crisis governance reforms. The findings highlight three key concerns: 1) persistent imbalances in burden-sharing among EU member states; 2) the dominance of politically and materially powerful countries in shaping regional policy; and 3) the limited capacity of the EU as a normative power in ensuring consistent and equitable refugee protection. These findings offer insights for researchers and policymakers to better understand and design a more effective framework for EU refugee governance under the influence of member states. The study also underscores the importance of multi-level approaches in International Relations to grasp the interplay between national policies and supranational institutional dynamics. In doing so, it contributes to a more comprehensive understanding of policy-making processes, institutional legitimacy, and the resilience of refugee governance in the European Union."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dasgupta, Abhijit
"This volume highlights some emerging issues in the study of displaced persons in India, like the agency and voices of people who flee across an international border, the identities they forge for themselves, their relations with the hosts and their interactions with the state and non-governmental organizations. Three case studies included here are: (a) Partition refugees from East Pakistan to West Bengal, (b) Tamil refugees from Sri Lanka to India, and (c) Bangladesh Liberation War refugees from East Pakistan to West Bengal. The reader will find that each case is in itself highly complex. The treatment meted out to the displaced people in India has not been consistent. The volume shows that the responses of the state to cross-border displacement have been varied over space and time."
Oxford: Oxford University Press, 2016
e20470427
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Elva Sagita Cindra
"Tahun 2015 terjadi krisis di wilayah Eropa karena masuknya jutaan pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika terutama dari Suriah. Uni Eropa sebagai institusi supranasional yang bertanggung jawab pada isu ini berusaha menyelesaikan krisis dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan. Salah satu institusi Uni Eropa yang berwenang dalam kebijakan adalah Parlemen Eropa. Kekuatan Parlemen Eropa meningkat sejak Perjanjian Maastricht hingga Lisbon. Anggota PE ketika berada di parlemen tidak lagi menjadi perwakilan partai politik nasional, melainkan perwakilan dari kelompok politik Eropa. Dengan teori pola perilaku dalam proses kebijakan publik dan jaringan aktor, skripsi ini akan berusaha membuktikan bahwa ada pengaruh partai politik nasional Prancis terhadap anggota PE dalam kebijakan pengungsi Suriah Uni Eropa tahun 2015-2016. Kelompok politik Eropa tidak menjadi satu-satunya penentu keputusan anggota PE asal Prancis karena kebijakan yang krusial. Pengaruh ini terlihat ketika partai politik nasional dan kelompok Eropa memiliki pandangan berbeda dalam suatu isu.

In 2015 there was a crisis in Europe because the influx of millions refugees from the Middle East and Africa mainly from Syria. The EU as a supranational institution responsible for this issue seeks to resolve the crisis by making policies. One of the European Union institutions responsible in policy is the European Parliament EP. The strength of the EP has increased since the Treaty of Maastricht and Lisbon. Members of the EP MEPs while in EP are no longer representative of national party, but representatives of European political group. With the theory of behavioral patterns in the process of public policy and the actor network, this paper will attempt to prove that there is an influence of France 39 s national party on their MEPs in the EU Syrian refugee policy of 2015 2016. European political group are not the sole determinants of French MEPs decision because this policy is crucial. This influence is seen when national party and European political group have different stance on an issue.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library