Lonjakan 1 juta lebih pengungsi Suriah ke dalam kawasan Eropa pada tahun 2015 akibat Arab Spring dan Perang Suriah—yang dikenal sebagai Krisis Pengungsi Eropa—mengungkap keterbatasan dari respons dan tata kelola Uni Eropa. Akan tetapi, di tengah-tengah negara anggota yang menolak kedatangan pengungsi dan menutup perbatasan, Jerman menerapkan pendekatan berbeda dengan menyambut para pengungsi melalui kebijakannya yang dijuluki Open Door Policy. Studi ini pun bertujuan untuk mengkaji bagaimana keputusan Jerman diposisikan dalam literatur akademik mengenai tata kelola pengungsi dan suaka di Uni Eropa. Dengan menggunakan pendekatan taksonomi tematik dan bibliografis terhadap 46 publikasi yang terindeks Scopus, kajian ini mengidentifikasi empat fokus utama dalam diskursus akademik: evolusi dan kritik terhadap Common European Asylum System (CEAS) sebelum 2015; faktor domestik, regional, dan internasional yang memengaruhi kebijakan Open Door; implikasi kebijakan tersebut terhadap respons Uni Eropa secara lebih luas; serta evaluasi akademik terhadap reformasi tata kelola pascakrisis. Temuan kajian ini menyoroti tiga isu utama: 1) ketimpangan dalam mekanisme burden-sharing antarnegara anggota UE; 2) dominasi negara-negara dengan kekuatan politik dan material yang lebih besar dalam membentuk arah kebijakan regional; serta 3) keterbatasan kapasitas Uni Eropa sebagai normative power dalam menjamin perlindungan pengungsi yang setara dan konsisten. Temuan ini memberikan wawasan peneliti dan pembentuk kebijakan untuk memahami dan merancang kerangka tata kelola pengungsi Uni Eropa yang lebih efektif di bawah pengaruh negara anggota. Studi ini juga menunjukkan pentingnya pendekatan lintas level dalam studi Hubungan Internasional guna memahami interaksi antara kebijakan nasional dan dinamika kelembagaan supranasional. Dengan demikian, studi ini berkontribusi pada pemahaman yang lebih komprehensif mengenai dinamika pengambilan kebijakan, legitimasi kelembagaan, dan ketahanan tata kelola pengungsi di Uni Eropa.
The influx of more than a million Syrian refugees into Europe in 2015 due to the Arab Spring and the Syrian War—known as the European Refugee Crisis—exposed the limitations of the European Union’s response and governance. However, amidst member states turning away refugees and closing their borders, Germany adopted a different approach by welcoming refugees through its Open Door Policy. This study thus explores how Germany’s decision to adopt the Open Door Policy during the 2015 European refugee crisis has been framed within academic literature on refugee and asylum governance in the European Union. Drawing on a thematic and bibliographic taxonomy of 46 Scopus-indexed publications, the review identifies four major areas of scholarly focus: the evolution and critique of the Common European Asylum System (CEAS) prior to 2015; the domestic, regional, and international factors influencing the policy; its broader implications for EU-level responses; and academic evaluations of post-crisis governance reforms. The findings highlight three key concerns: 1) persistent imbalances in burden-sharing among EU member states; 2) the dominance of politically and materially powerful countries in shaping regional policy; and 3) the limited capacity of the EU as a normative power in ensuring consistent and equitable refugee protection. These findings offer insights for researchers and policymakers to better understand and design a more effective framework for EU refugee governance under the influence of member states. The study also underscores the importance of multi-level approaches in International Relations to grasp the interplay between national policies and supranational institutional dynamics. In doing so, it contributes to a more comprehensive understanding of policy-making processes, institutional legitimacy, and the resilience of refugee governance in the European Union.