Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuli Andari Muliati
Abstrak :
Latar belakang: Prevalensi penyakit refluks gastroesofageal (PRGE) cenderung mengalami peningkatan di Indonesia. Kondisi PRGE dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Namun, untuk menentukan diagnosis PRGE masih sulit dilakukan karena gejala yang ditimbulkan tidak spesifik, alat diagnostik yang hanya tersedia di rumah sakit besar dan data epidemiologi di Indonesia masih kurang. Tujuan: Untuk mengetahui gambaran patologi anatomi anak dengan PRGE yang dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cerna atas di Departemen IKA RSCM-FKUI, serta hubungannya dengan kelompok usia dan status gizi. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (cross-sectional) dengan subjek 76 pasien anak usia 2-18 tahun dengan PRGE yang dilakukan pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan data status rekam medis pasien di Departemen IKA RSCM-FKUI pada Januari 2011 hingga Oktober 2015. Hasil: Pada 76 pasien anak dengan PRGE yang dilakukan endoskopi didapatkan hasil anak lelaki dibandingkan perempuan adalah 4,1:3,5 dengan mayoritas kelompok usia sekolah (70%) dan status gizi malnutrisi (60%). Terdapat perbedaan bermakna pada hasil endoskopi berdasarkan kelompok usia yaitu ditemukannya infeksi H.Pylori pada 24% anak usia sekolah (p=0,013). Hasil endoskopi terkait status gizi secara bermakna (p=0,049) menunjukkan bahwa hiperemis pada lambung lebih banyak ditemukan pada pasien dengan status gizi malnutrisi (45/72 anak) dibandingkan dengan gizi baik (24/72 anak). Kelainan patologi anatomi anak dengan PRGE tidak berbeda antara kelompok usia maupun status gizi. Kesimpulan: Anak yang mengalami PRGE lebih banyak terjadi pada usia sekolah dengan status gizi malnutrisi. Terdapat perbedaan bermakna pada hasil endoskopi anak dengan PRGE berdasarkan kelompok usia dan status gizi. Kelainan patologi anak dengan PRGE tidak berbeda menurut kelompok usia maupun status gizi. ......Background: The prevalence of gastroesophageal reflux disease (GERD) has increased recently in Indonesia. The condition of GERD can impaired growth and development in children. However, to determine diagnosis of GERD is difficult because the symptoms are non-spesific, diagnostic tools are only available in large hospitals, and epidemiological data Indonesia still less. Aim: To evaluate the anatomical pathology of GERD in children and the correlation according to age group and nutritional status. Methods: This was a cross-sectional study comparing GERD anatomic pathology findings and its relation to age group and nutritional status. The data were evaluated from 76 subjects aged 2-to-18-years old who underwent esophagogastroduodenos-copy (EGD) that fullfiled inclusion criteria. The data based on the medical record of endoscopic procedure at Child Health Department of Cipto Mangun-kusumo Hospital – Faculty of Medicine of Universitas Indonesia (RSCM-FKUI) from January 2011 to October 2015. Results: Among 76 children with GERD whom underwent EGD, the boy compare to girl was 4.1:3.5 and most of them (70%) were school-aged chidren with malnutrition (60%). The prevalence of H. pylori infection was 24% and it was significantly higher in school-aged group than under-five group (p=0,013). The macroscopic appearance of endoscopy in relation to nutritional status was significantly (p=0.049) more hyperemic stomach wall in malnutrition group (45/72 children) compare to that of good nutritional status group (24/72 children). The abnormality of upper gastrointestinal pathology was not statistically different (p>0.05) in both aged groups and nutritional status groups. Conclusion: Children suffered from GERD were more often at school age and had malnutrition condition. There were significant different of endoscopic findings of children with GERD in regards to age groups and nutritional status groups. The abnormality of pathologic findings of GERD in children were not significantly different between age-groups and nutritional status groups.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Laksmi Hidayati
Abstrak :
Regurgitasi atau gumoh merupakan manifestasi klinis tersering refluks gastro-esofagus (RGE) pada bayi. Regurgitasi pada bayi ini merupakan satu-satunya RGE bergejala yang dianggap fisiologis sehingga dapat timbul pada bayi sehat tanpa adanya masalah lain yang merupakan komplikasi RGE. RGE yang disertai komplikasi atau masalah seperti gagal tumbuh, esofagitis, hematemesis dan gejala saluran napas, dimasukkan dalam kelompok penyakit refluks gastro-esofagus (PRGEIGERD=gasiroesophageal refux disease). Komplikasi tersebut dapat timbul pada berbagai usia dan sulit untuk dibedakan antara RGE (fisiologis) dengan PRGE (patologis). Regurgitasi pada bayi adalah kondisi yang umum ditemukan, dengan proporsi mencapai lebih dari 50% bayi pernah mengalami gejala ini dalam tahun pertama kehidupannya. Regurgitasi timbul paling sering pada bayi saat berusia 1-6 bulan, yaitu pada 65-86,9% bayi, kemudian akan berkurang secara bermakna pada usia 6-9 bulan dan terjadi hanya 1-10,3% bahkan hilang lama sekali saat berusia 12 bulan. Yang menjadi masalah adalah belum ada batasan yang jelas antara regurgitasi yang merupakan RGE fisiologis dengan yang patologis, karena RGE sampai menjadi PRGE merupakan suatu spektrum yang berkesinambungan dengan manifestasi klinis yang saling tumpang tindih antara keduanya, terutama pada masa bayi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardianto Setiawan
Abstrak :
Latar Belakang: Pemeriksaan impedans intraluminal multikanal dan pemantauan pH (MII-pH) baru diperkenalkan untuk mengevaluasi karakteristik refluksat pada pasien gastroesophageal reflux disease (GERD). Penggunaan MII-pH untuk prediksi hasil terapi empiris proton-pump inhibitor (PPI) belum dievaluasi. Tujuan: Mengevaluasi pola refluksat menggunakan MII-pH untuk memprediksi respons terapi empiris dengan PPI pasien GERD. Metode: Penelitianini merupakan studi prospektif dengan desain before-and-after treatment. Pasien direkrut dari Poliklinik Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Cipto Mangunkusumo antara Desember 2015 dan Februari 2016. Diagnosis GERD ditegakkan menggunakan kuesioner GERD (GerdQ). Endoskopi saluran cerna atas dilakukan untuk membedakan erosive (ERD) dannon-erosive reflux disease (NERD). Semua pasien menjalani pemeriksaan MII-pH evaluasi yang terdiri dari bentuk refluksat (cair, gas atau campuran); jenis refluksat (asam atau non-asam); dan persentase acid exposure time (AET). Kemudian pasien mendapat terapi PPI oral, dua kali sehari selama 14 hari. Respons terapi dievaluasi dengan GerdQ. Prediktor respons terapi dianalisis menggunakan analisis multivariat. Hasil: Sejumlah 75 pasien dilibatkan dalam studi; 39 (52%) di antaranya adalah perempuan. Rerata usia adalah 40,4+10,20 tahun. Rerata skor GerdQ awal adalah 14 dan turun sampai 8 setelah terapi PPI empiris (p<0,001; uji t berpasangan). Sebanyak 41 (54,7%) pasien responsif terhadap terapi PPI. Respons terapi berhubungan dengan jenis GERD (OR: 3,763; IK95%: 1,381-10,253; p=0,008);jenis refluksat (OR: 10,636; IK95%: 2,179-51,926; p=0,001);dan AET (OR: 5,357; IK95%: 1,974-14,541; p=0,001). Analisis multivariat mendapatkan dua prediktor independen terhadap terapi PPI, yaitu jenis refluksat (ORadj:6,273; IK95%: 1,207-32,609; p=0,029) dan AET (ORadj: 3,363; IK95%: 1,134-9,974; p=0,029). Kesimpulan: Terdapat perbedaan respons terapi empiris PPI dimana ERD lebih responsif dari NERD, refluks asam lebih responsif dari non asam dan AET tinggi lebih responsif dari pada AET normal. Keberhasilan terapi empiris PPI dapat diprediksi dari jenis refluksat dan nilai AET. ......Background: Combinedmulti-channel intraluminal impedance and pH monitoring (MII-pH) has been recently introduced to characterize patients with gastroesophageal reflux disease (GERD). The use of MII-pH to predict initial treatment response with proton-pump inhibitor (PPI) has not been evaluated. Objective: To evaluate refluxate patterns using MII-pH to predict initial treatment response using PPI for GERD patients. Method: This was a prospective study using before-and-after treatment design. Patients were enrolled in the Gastroenterology Polyclinic, Department of Internal Medicine, Cipto Mangunkusumo Hospital between December 2015 and February 2016. Diagnosis of GERD was established using GERD questionnaires (GerdQ).Upper endoscopy was done to distinguish erosive (ERD) and non-erosive reflux disease (NERD). All patients underwent MII-pH evaluation consisting of physical characteristics of the refluxate (liquid, gas or mixed); type of refluxate (acid or non-acid); and percent acid exposure time (AET). Then patients were given oral PPI treatment, twice a day, for 14 days. Treatment response was evaluated using GerdQ. Predictor of treatment response was analyzed using multivariate analysis. Results: A total of 75 patients was enrolled; 39 (52%) of them were women. Mean age was 40.4+10.20 years. Initial mean GerdQ score was 14 and reduced to 8 after empirical PPI therapy (p<0.001; paired t test).Forty-one (54.7%) patients responded to PPI therapy.Treatment response was associated with type of GERD (OR: 3.763; 95%CI: 1.381-10.253; p=0,008;) type of refluxate (OR: 10.636; 95%CI: 2.179-51.926; p=0.001); and AET (OR: 5.357; 95%CI: 1.974-14.541; p=0.001). Multivariat analyses found two independent predictors of treatment response to PPI therapy, i.e. the type of refluxate(ORadj:6.273; 95%CI: 1.207-32.609; p=0.029) and AET (ORadj: 3.363; 95%CI: 1.134-9.974; p=0.029). Conclusion: There are differences in response to empiric PPI therapy where ERD is more responsive than NERD, acid reflux is more responsive than non- acid and high AET is more responsive than a normal AET . PPI empirical therapy success can be predicted from the type and value refluksat AET.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Radhiyatam Mardhiyah
Abstrak :
Latar belakang: Pada saat puasa Ramadhan, terjadi penurunan rerata pH lambung dan memendeknya selisih waktu antara makan terakhir dan jam tidur sehingga memperberat keluhan Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastro-esophageal Reflux Disease, disingkat GERD). Sementara itu juga terjadi keteraturan jadwal makan, dan perubahan dalam kebiasaan merokok dan alkohol. Meski demikian, belum diketahui dengan pasti keluhan penyakit GERD selama berpuasa Ramadhan. Tujuan: Mengetahui pengaruh puasa Ramadhan terhadap keluhan GERD. Metode: Penelitian ini merupakan studi longitudinal yang mengevaluasi keluhan GERD pada pasien yang menjalani puasa Ramadhan. Penelitian dilakukan selama bulan Juli (Ramadhan) sampai bulan Oktober (tiga bulan setelah Ramadhan) 2015. Subjek penelitian yang didapatkan melalui metode consecutive sampling ini dikelompokkan menjadi kelompok berpuasa Ramadhan (n=66) dan kelompok tidak berpuasa Ramadhan (n=64). Evaluasi dilakukan antara kedua kelompok tesebut, dan antara bulan Ramadhan dengan di luar bulan Ramadhan pada kelompok berpuasa, dengan menggunakan kuesioner GERD (GERD-Q) yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Hasil: Pada kelompok yang berpuasa Ramadhan, terdapat perbedaan median nilai GERD-Q yang bermakna secara statistik (nilai p < 0,01) antara bulan Ramadhan dengan nilai median 0, dan di luar bulan Ramadhan dengan nilai median yang meningkat menjadi 4. Sementara itu, bila dilakukan analisis untuk membandingkan median nilai GERD-Q antara kelompok yang berpuasa Ramadhan dan tidak, juga didapatkan perbedaan yang bermakna (nilai p < 0,01). Simpulan: Pada subjek yang menjalani puasa Ramadhan, keluhan GERD dirasakan lebih ringan saat menjalani puasa Ramadhan dibandingkan di luar bulan Ramadhan. Di bulan Ramadhan, keluhan GERD lebih ringan dirasakan oleh subjek yang menjalani puasa Ramadhan dibandingkan subjek yang tidak menjalani puasa Ramadhan. ......Background: During Ramadan fasting, increasing gastric acid levels as a result of prolong fasting can precipitate symptoms of Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Meanwhile, lifestyle changes during Ramadan (such as smoking cessation) can relieve its symptoms. To the best of our knowledge, this is the first study to evaluate effect of Ramadan fasting on GERD. Objective: The purpose of this study was to determine the effect of Ramadan fasting on GERD symptoms. Method: This is a longitudinal study done in July (Ramadan) to October (three months after Ramadan) 2015. Using consecutive sampling method, a total of 130 GERD patients participated in this study. Patients were divided into two groups: patients who underwent Ramadan fasting (n=66), and patients who didn?t undergo fasting (n=64). The evaluation was done using Indonesian version of GERD questionnaire (GERD-Q) between the two groups, and between Ramadan month and non-Ramadan month of Ramadan fasting group. Results: In Ramadan fasting group, there was a statistically significant difference (p < 0.01) in median of GERD-Q during Ramadan month and non-Ramadan month (median GERD-Q 0 and 4 respectively). Statistically significant difference (p < 0.01) was also found between Ramadan fasting group and non-fasting group. Conclusion: In Ramadan fasting group, GERD symptoms were lighter during fasting month (Ramadan). During Ramadan month, GERD symptoms were also lighter in Ramadan fasting group than in non-fasting group.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Arie Widyastuti
Abstrak :
LATAR BELAKANG: Kualitas hidup telah menjadi salah satu komponen utama dalam penanganan Gastroesophageal Reflux Disease GERD . Penelitian ini bertujuan untuk menilai kesahihan eksternal kuesioner GERD-QOL berbahasa Indonesia.METODE:. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan subyek penelitiannya adalah pasien yang mengalami gejala GERD dan berusia 18 tahun atau lebih yang berobat ke Rumah Sakit Umum Kecamatan RSUK Tebet. Total skor GERD-Q minimal adalah 8. Pasien kemudian diminta mengisi kuesioner GERD-QOL berbahasa Indonesia dan kuesioner SF-36. Kuesioner Short Form SF-36 digunakan sebagai baku emas kuesioner penilaian kualitas hidup. Uji kesahihan dilakukan dengan menggunakan kesahihan eksternal. Uji statistik yang digunakan adalah koefisien korelasi Spearman.HASIL: Penelitian ini melibatkan 91 subyek.Korelasi domain physical functioning : 0,488; role physical : 0,590; bodily pain : 0,474; general health : 0,482; vitality : 0,549; social functioning : 0,700; role emotional : 0,555; mental health : 0,373. Kuesioner GERD-QOL berbahasa Indonesia memiliki kesahihan eksternal yang baik ketika dilakukan korelasi dengan domain pada kuesioner SF-36 koefisien korelasi : 0,373-0,700, P ......Quality of life has become major concern in the management of Gastroesophageal Reflux Disease GERD . The aim of this study was to determine the external validity of the Indonesian Version of Gastroesophageal Reflux Disease Quality of Life GERD QOL questionnaire. METHODS This cross sectional study consisted of subjects who developed symptoms of GERD and aged 18 years or more. The subjects were recruited from district public hospital in Tebet. Total score for GERD Q was at least 8. These patients were invited to complete the Indonesian version of GERD QOL and validated Indonesian Short Form 36 SF 36 . External validity was then evaluated using Spearman rsquo s correlation coefficient.RESULT A total of 91 subjects completed the questionnaires. The coeeficient correlation of domain physical functioning 0,488 role physical 0,590 bodily pain 0,474 general health 0,482 vitality 0,549 social functioning 0,700 role emotional 0,555 mental health 0,373. The Indonesian version of GERD QOL questionnaire was externally valid compared to domain of SF 36 questionnaire correlation coefficient 0.373 0.700, P
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafiz
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) merupakan salah satu penyebab terbanyak batuk kronik dan menjadi faktor risiko terjadinya eksaserbasi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), menurunkan kualitas hidup dan memperparah gejala respirasi dan pencernaan. Total 40 pasien diikutkan pada penelitian ini. Pasien diambil secara konsekutif dari poliklinik asma PPOK di RSUP Persahabatan dimulai dari bulan Mei 2017. Diagnosis PPOK berdasarkan GOLD 2017 yaitu nilai spirometri VEP1/KVP pasca bronkodilator < 0.7. Diagnosis PRGE menggunakan endoskopi saluran cerna bagian atas apabila ditemukan kerusakan mukosa esofagus. Kriteria eksklusi yaitu eksaserbasi dan kelainan esofagus yang sudah diderita sebelumnya. Metode: Penelitian ini adalah potong lintang pada pasien PPOK stabil yang berkunjung ke poli asma-PPOK di RSUP Persahabatan mulai bulan Juli sampai Nopember 2017. Sebanyak 40 pasien dipilih secara konsekutif sejak bulan Mei 2017. Pemeriksaan berupa wawancara, spirometri dan endoskopi dilakukan pada semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil: Subjek yang mengikuti penelitian sebanyak 40. Prevalens PRGE pada PPOK adalah 40% (16/40). Tidak ada perbedaan bermakna diantara kedua grup berdasarkan usia, jenis kelamin, Indeks Brinkman (IB) dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Keterbatasan aliran udara yang lebih berat dan nilai spirometri pascabronkodilator yang lebih rendah memiliki kecenderungan terjadinya PRGE lebih besar walaupun secara statistik tidak bermakna. Rerata pasien berusia lanjut dan mempunyai riwayat merokok. Eksaserbasi dan skor CAT berhubungan secara bermakna (p < 0.05) dengan kejadian PRGE. Penggunaan obat-obatan PPOK seperti LABA, LAMA dan SABA tidak berubungan bermakna dengan PRGE. Gejala dada terbakar (heartburn) bermakna secara statistik (p < 0.05) sebagai tanda PRGE. Kesimpulan: Prevalens PRGE cukup tinggi pada pasien PPOK dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pasien bukan PPOK dengan gejala dispepsia di Jakarta. Dokter harus mempertimbangkan kemungkinan PRGE sebagai salah satu komorbid yang penting pada PPOK. Penelitian kohort dan strategi pencegahan disarankan untuk dilakukan selanjutnya. ......Background/Aim: Gastroesophageal reflux disease (GERD) is one of the most common causes of chronic cough and is a potential risk factor for exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease (COPD), decreasing quality of life in COPD patients, aggravating symptoms both respiratory and gastro-intestinal. Total 40 patients were recruited consecutively from the outpatient of Asthma and COPD clinic at Persahabatan hospital Jakarta started from May 2017. The diagnosis of gastroesophageal reflux disease (GERD) was based on the mucosal break on the esophageal lining through endoscopic examination. Exclusion criteria were COPD exacerbation and known esophageal disease. Methods: This is a cross sectional study among stable COPD patients who visited asthma-COPD clinics at Persahabatan Hospital from July to November 2017. 40 patients were recruited consecutively started from May 2017. Interview, spirometry and endoscopy performed to all subjects who meet the inclusion criteria. Results: A total 40 subjects were enrolled in our study. Prevalence of GERD in COPD was 40%. There was no significant difference between the two groups regarding age, sex, Index Brinkman (IB) and Body Mass Index (BMI), although in the RE group has a slightly higher BMI. More severe airflow obstruction tends to increase in GERD group although no significant statistical difference Most patients were elderly and smoker/ex. Exacerbation and CAT score were significantly associated with GERD (p<0.05). Post BD spirometry showed greater airway and severe COPD tends to also had GERD similar to results of other studies. Respiratory medication such as ICS + LABA, LAMA and SABA statistically insignificant with GERD. Heartburn as a symptom showed statistically significant to predict GERD (p < 0.05). Conclusion: Prevalence of GERD was high in COPD patient and even higher than previously reported in general patient with dyspepsia syndrome in Jakarta. Physician should consider GERD as one of the most important comorbidities in COPD. Cohort study and preventive strategy are warranted in the future.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Dimi Makarim
Abstrak :
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) merupakan salah satu penyakit pada sistem pencernaan yang sering dijumpai di Indonesia. GERD adalah refluks isi lambung ke esophagus yang sudah berlangsung lama dan menimbulkan gejala yang dapat mengganggu atau menurunkan kualitas hidup. Salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu dengan pemberian posisi head of bed elevation 30 derajat untuk mencegah terjadinya refluks isi lambung. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keefektifan penerapan intervensi head of bed elevation 30 derajat pada pasien GERD untuk mengurangi gejala refluks. Intervensi ini dilakukan pada An. M selama 3 hari dan hasilnya menunjukan bahwa efektif untuk mengurangi gejala refluks dan menurunkan keinginan untuk muntah, terutama pada malam hari. Intervensi dilakukan selama 30 menit setelah makan. Intervensi juga dikombinasikan dengan pemberian medikasi dan edukasi kepada pasien dan keluarga. Pemberian posisi head of bed elevation 30 derajat direkomendasikan pada pasien GERD untuk mengurangi gejala refluks, mual, dan muntah karena mudah dilakukan saat perawatan di rumah dan tidak membutuhkan biaya. ......Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) is a disease of the digestive system that is often found in Indonesia. GERD is reflux of gastric contents into the esophagus which can cause symptoms that can reduce quality of life. One of the treatments for GERD patients is by giving a head of bed elevation position of 30 degrees to prevent reflux of gastric contents. The purpose of this study was to determine whether the application of a 30-degree head of bed elevation intervention in GERD patients was effective in reducing the symptoms of nausea and vomiting. This intervention was performed on An. M for 3 days and has been shown to reduce nausea and reduce the urge to vomit, especially at night. The intervention was carried out for 30 minutes after eating. Interventions are also combined with providing medication and education to patients and families. Giving a head of bed elevation position of 30 degrees is recommended for GERD patients to reduce symptoms of nausea and vomiting because it is easy and safe to do.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rezky Aulia Nurleili
Abstrak :
Latar belakang: Laporan mengenai hubungan obesitas dan GERD semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Dengan meningkatnya pemahaman mengenai mekanisme GERD, diketahui terdapat peran sitokin proinflamasi dan adipositokin yang banyak terdapat di jaringan lemak viseral. Pada beberapa populasi di dunia, ketebalan lemak viseral diketahui berhubungan dengan meningkatnya insiden esofagitis erosif. Tujuan: Mengetahui profil ketebalan lemak viseral pasien GERD di RSCM. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada 56 subyek GERD. Subyek direkrut secara konsekutif pada bulan April hingga Oktober 2018 di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pemilihan subyek GERD berdasarkan Gastroesophageal Reflux Disease Questionnaires(GERDQ) dan pengukuran tebal lemak viseral menggunakan ultrasonografi. Erosi esofagus ditegakkan berdasarkan hasil endoskopi saluran cerna bagian atas. Analisis bivariat digunakan untuk menentukan perbedaan ketebalan lemak viseral antara grup esofagitis dan non-esofagitis. Hasil: Lebih dari separuh subyek penelitian ini menderita erosive reflux disease(ERD) (55,4%), didominasi oleh pasien dengan esofagitis kelas A berdasarkan klasifikasi Los Angeles sebanyak 64,5%. Rerata ketebalan lemak viseral grup NERD sedikit lebih rendah daripada grup ERD (47,9 mm untuk NERD dan 49,0 mm utk ERD). Terdapat kecenderungan peningkatan rerata ketebalan lemak viseral seiring dengan peningkatan derajat esofagitis (47,6 mm untuk esofagitis derajat A, 50,0 mm untuk esofagitis derajat B, dan 53,5 mm untuk esofagitis derajat C). Kesimpulan: Subjek ERD lebih banyak daripada NERD pada populasi GERD di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Rerata ketebalan lemak viseral subjek NERD lebih rendah daripada ERD. Terdapat kecenderungan peningkatan rerata ketebalan lemak viseral seiring dengan peningkatan derajat esofagitis. ......Background: Reports about thecorrelation between obesity and GERD had been increasedin the past few years. Along with the increasing understanding of GERD, there are roles of proinflammatory cytokines and adipocytokines which are mostly contained in abdominal fat tissue. In several populations, visceral fat thicknessis associated with the increased incidence of erosive esophagitis. Objective: To determine visceral fat thickness profile in GERD population in Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Methods: A cross-sectional study of 56 adult patients with GERD symptoms was conducted. The subjects were recruited consecutively between April and Oktober 2018 at Cipto Mangunkusumo National Hospital in Jakarta. Gastroesophageal Reflux Disease Questionnaires (GERDQ) were used to select research subjects and Ultrasonography examination was used to determine visceral fat thickness. Esophageal erosions were diagnosed using upper gastrointestinal endoscopy. Bivariate analysis was used to determine visceral fat thickness difference between esophagitis and non-esophagitis group. Results: More than half of this research subject were patients who suffer erosive reflux disease(55,4%), which dominated by patient with esophagitis class A, regarding to Los Angeles (LA) classifications, there were 64,5% of all ERD patients. The mean visceral fat thickness in erosive reflux disease (ERD) group slightly higher than in non-erosive reflux disease (NERD) group (49,0 mm vs 47,9 mm respectively). There is an increasing trend in mean visceral fat thickness as the esophageal erosion progresses (47.6 mm for grade A, 50.0 mm for grade B, and 53,5 for grade C). Conclusion: ERD is more common than NERD in Cipto Mangunkusumo General Hospital's GERD population. The mean visceral fat thickness in ERD group is higher than in NERD group. There is an increasing trend in mean visceral fat thickness as the esophageal erosion progresses.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Saraswati
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Refluks laringofaring (RLF) dipertimbangkan sebagai salah satu faktor risiko karsinoma laring dengan proporsi yang cukup tinggi. Pemeriksaan ELISA pepsin dapat menjadi pemeriksaan penunjang untuk RLF yang tidak invasif dengan nilai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Tujuan: Mengetahui sebaran karakteristik pasien karsinoma laring, proporsi RLF berdasarkan kadar pepsin pada pasien karsinoma laring dan hubungan RLF berdasarkan kadar pepsin dengan karakteristik pasien karsinoma laring. Metode: Desain penelitian observasional analitik dengan jumlah subjek karsinoma laring sebanyak 26 orang. Subjek diminta untuk mengumpulkan sputum sebanyak 2 kali (pepsin I dan pepsin II) untuk kemudian dilakukan pemeriksaan ELISA pepsin. Hasil: Didapatkan 24 dari 26 subjek berjenis kelamin laki-laki dengan rerata usia 60,65±8,41 tahun, 7 subjek peminum alkohol berat, 12 subjek perokok berat dan 24 subjek merupakan stadium lanjut karsinoma laring. Semua subjek didapatkan menderita RLF dan didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar pepsin I (daytime/ provoked RLF) dengan konsumsi alkohol serta perbedaan bermakna kadar pepsin I dengan perokok berat dan ringan. Kesimpulan: Refluks laringofaring dapat menjadi faktor risiko bersamaan dengan konsumsi alkohol dan rokok pada pasien karsinoma laring. ELISA pepsin dapat menjadi pemeriksaan penunjang adanya RLF terutama pada pasien dengan karsinoma laring mengingat sifatnya yang tidak invasif dan cukup murah.
ABSTRAK
Background: Laryngopharyngeal Reflux (LPR) is suspected to be a risk factor for laryngeal cancer with a high prevalence according to recent studies. ELISA pepsin can be used in diagnosing LPR as it is a noninvasive technique with great sensitivity and specificity. Objectives: To find the characteristics of laryngeal cancer patient, proportion of LPR based on the pepsin value and correlation between LPR based on the pepsin value and the characteristics of laryngeal cancer patient. Methods: Observational analytic study with 26 subjects of laryngeal cancer. All subjects were asked to collect the sputum twice (pepsin I and pepsin II) to evaluated later with ELISA. Result: Twenty four out of 26 subjects were male with mean age 60,65±8,41 years, 7 subjects were severe drinkers, 12 subjects were severe smokers and 24 subjects were late stage laryngeal cancer. All of the subjects were diagnose with LPR and there was a significant correlation between the value of pepsin I (daytime/ provoked LPR) with alcohol consumption and also a significant difference of the value of pepsin I in heavy and light smoker. Conclusion: LPR could be considered as a risk factor together with alcohol consumption and smoking status. ELISA pepsin could be a supporting examination for LPR especially in laryngeal cancer patient as it is a noninvasive and inexpensive method.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andalia Fitri
Abstrak :
Latar Belakang: Penyakit refluks gastroesofageal GERD adalah suatu kondisi patologis akibat refluks isi lambung ke dalam esofagus. GERD merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh berbagai faktor dengan prevalensi yang semakin meningkat di seluruh dunia. Interleukin 6 IL-6 adalah sitokin pro inflamasi ditemukan pada mukosa esofagus pasien GERD dan berkaitan dengan gangguan motorik otot esofagus. Akupunktur tanam benang telah lama dikenal sebagai salah satu terapi tambahan dalam menangani GERD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi kombinasi akupunktur tanam benang dan medikamentosa terhadap kadar IL-6 serum pasien penyakit refluks gastroesofageal. Metode: Uji klinis acak tersamar tunggal dilakukan pada 40 pasien GERD yang dialokasikan ke dalam kelompok akupunktur tanam benang dan medikamentosa atau kelompok akupunktur sham dan medikamentosa. Akupunktur tanam benang dilakukan pada titik CV12 Zhongwan, ST36 Zusanli, BL21 Weishu sebanyak 2 kali dengan interval 15 hari. Kadar IL-6 dalam plasma darah secara ELISA digunakan untuk mengukur keluaran penelitian. Hasil penelitian: Tidak ada perbedaan signifikan pada kadar IL-6 sebelum terapi di kedua grup. Pada akhir terapi didapatkan penurunan kadar IL-6 pada kelompok akupunktur tanam benang dan penurunan kadar IL-6 pada kelompok sham, namun secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok p = 0.14. Kesimpulan: Akupunktur tanam benang belum terbukti secara statistik mempengaruhi kadar IL-6 pada pasien GERD. Kata kunci : GERD, akupunktur tanam benang, IL-6. ......Backgrounds: Gastroesophageal reflux disease GERD is a pathological condition due to reflux of stomach contents into the esophagus. GERD is multifactorial disorder with increase in prevalence worldwide. Interleukin 6 IL 6 is a pro inflammatory cytokine that is commonly found in esophageal mucosa of GERD patients and associated with esophageal motor disorders. Acupoint catgut embedment has long been known as an adjunctive therapy for GERD. This study aimed to establish the effect of acupoint catgut embedment combined with medication on IL 6 serum levels of patients with GERD. Methods: A single blind, randomized controlled trial involved 40 GERD patients randomly allocated to catgut embedding therapy plus medication or sham acupuncture with medication. Catgut embedding therapy was given two times at CV12 Zhongwan, ST36 Zusanli, BL21 Weishu every 15 days. Serum levels of IL 6 were measured by ELISA as research output. Results: There were no significant differences in the baseline levels of pro inflammatory IL 6 mediators between groups. After one month treatment, the median levels of IL 6 were statistically insignificant decreased in catgut embedding therapy plus medication vs sham acupuncture and medication p 0.14. Conclusion: The results suggest that catgut embedding therapy has not been proven statistically influencing the levels of IL 6 in patients with GERD. Keywords GERD, catgut embedding therapy, IL 6.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58933
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>