Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Beatrice Intan Kasih
Abstrak :
Latar Belakang: Analisis rugae palatal merupakan salah satu metode identifikasi sekunder untuk penentuan jenis kelamin. Tujuan: Mengetahui perbedaan jenis dan asal rugae laki-laki dan perempuan. Metode: Analisis rugae palatal 100 cetakan maksila menurut klasifikasi Lysell. Hasil: Rugae sekunder dan total semua rugae palatum kiri laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (p<0.05); rugae fragmenter palatum kanan laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan (p<0.05). Rugae asal raphae pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (p<0.05) sedangkan rugae asal medial pada laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan (p<0.05). Kesimpulan: rugae sekunder, fragmenter, total semua rugae, rugae primer asal raphae dan medial berbeda antara laki-laki dan perempuan. ......Background: Palatal rugae analysis is a secondary identification for sex determination. Objectives: To identify differences of types and origins palatal rugae in sexes. Methods: Analysis of 100 maxilla casts by Lysell’s classification. Results: Secondary and total rugae males’ left palate has more number than females (p<0.05); fragmentary rugae males’ right palate has less number than females (p<0.05). Raphae origin males’ rugae has more number than females (p<0.05) while medial origin rugae in males has less number than females (p<0.05). Conclusions: Secondary, fragmentary, total rugae as well as raphae and medial origins palatal rugae is different between males and females.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parintosa Atmodiwirjo
Abstrak :
Pendahuluan: Operasi penutupan sumbing langit-langit merupakan bagian dari proses tatalaksana penderita sumbing bibir dan langit-langit. Proses palatoplasti biasanya menurunkan kadar hemoglobin karena perdarahan yang terjadi. Dengan diketahuinya rerata penurunan kadar hemoglobin diharapkan operator dapat melakukan seleksi pasien dengan kadar hemoglobin yang tidak adekuat, sehingga penyulit pascabedah dapat dihindari terutama pada kegiatan bakti sosial di daerah yang kondisi umum pasien sulit diprediksi. Metode: Dilakukan penelitian untuk mengetahui berkurangnya kadar hemoglobin pada pasien yang menjalani operasi palatoplasti. Diambil data kadar hemoglobin sebelum dan segera setelah palatoplasti serta dicatat data operator, lama operasi serta evaluasi keadaan luka operasi satu minggu pascaoperasi. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Hasil: Dari 14 sampel yang diteliti didapat hasil 8 pasien mengalami penurunan kadar hemoglobin rata rata sebesar 0,5 ± 0,36 gr/dl. Lima pasien mengalami peningkatan kadar hemoglobin pascaoperasi rata rata sebesar 0,32 ± 0,28 gr/dl. Satu pasien tidak mengalami penibahan. Hanya satu pasien mengalami dehisensi seminggu pascaoperasi, walaupun kadar hemoglobin baik. Simpulan: Agaknya pasien yang direncanakan operasi palatoplasti sebaiknya memiliki kadar hemoglobin yang lebih atau sama dengan 8,5 gr/dl untuk memenuhi keadaan yang optimal pascaoperasi.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18157
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nandya Titania Putri
Abstrak :
Sumbing bibir dan lelangit adalah kelainan kongenital yang paling umum ditangani oleh bedah plastik. Teknik ortodonti dan orthofasial yang diaplikasikan untuk menangani masalah terkait lebarnya celah sumbing bibir dan lelangit bervariasi. Salah satu Teknik yang diaplikasikan di institusi kami adalah pemasangan nasoalveolar molding (NAM). Tujuan studi ini adalah untuk mengevaluasi dan membandingkan lebar celah alveolar dan palatum, dan perbedaan panjang celah alveolar pada cast intermaksila pada pasien dengan sumbing bibir dan lelangit satu sisi, sebelum dan sesudah NAM. Studi ini merupaka studi pre- post-, data diambil retrospektif. Seluruh cast intermaksila diambil dari pasien sumbing bibir dan lelangit satu sisi sebelum dan sesudah NAM di CCC Divisi Bedah Plastik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Terdapat 21 pasang cast intermaksila diinklusikan. Terdapat hubungan signifikan pada ukuran lebar interalveolar dan interspina sebelum dan sesudah NAM (p=0.00). Serta terdapat hubungan signifikan pada panjang alveolar sebelum dan sesudah NAM (p=0.00). Hubungan signifikan menunjukkan lebar interalveolar dan interspina berkurang, dan dapat mencapai arah yang diinginkan dengan menggunakan NAM. ......Cleft lip and palate is the most common congenital anomalies treated by plastic surgeons. Pre and postsurgical orthodontic and orthofacial techniques which have been applied to overcome the problems associated with wide unilateral cleft lip and palate (UCLP) are varies. One of technique that we use in our institution is nasoalveolar molding (NAM). The aim of this study is to evaluate and compare the cleft width of alveolar and palate, and the length of alveolar gap on the intermaxillary cast from the patient with unilateral cleft lip and palate, before and after NAM. The study is a prepost- study, the data was collected retrospective. Intraoral maxillary cast taken from all unilateral cleft lip and palate patients before and after NAM at CCC Plastic Surgery Divison Cipto Mangunkusumo Hospital. There were 21 pairs of intermaxillary casts included. The results showed that the interalveolar and interspina width before and after NAM was significance (p=0.00). And also the correlation between interalveolar length before and after NAM was significance (p=0.00). The significance correlation of the intermaxillary casts showed all the interalveolar and interspina width could be reduced by NAM application and achieved the desired direction using NAM.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melina Tiza Yanuardani
Abstrak :
Pendahuluan: Ukuran anatomi nostril normal mendapat sedikit perhatian pada bayi usia kurang dari dua tahun. Gagasan tentang hidung yang ideal adalah penting untuk rekonstruksi daerah ini, terutama untuk bibir sumbing dan perbaikan hidung. Metode: Dilakukan studi potong lintang. Aspek basal foto diambil dari screen capture video. Sepuluh antropometri lubang hidung diukur dan dianalisa menggunakan software Image J. Hasil dibandingkan secara statistik menggunakan uji t dua sisi dan koefisien korelasi dihitung. Hasil: 156 subjek (usia rata-rata, 9,5 bulan; anak perempuan, n: 72 dan anak laki-laki, n: 84; Deutero Melayu ras, n: 127 dan ras lainnya, n: 29). Tidak terjadi perbedaan bermakna (p> 0,05) pada ras Deutero Melayu dan ras lain, yaitu tonjolan tip hidung, panjang alar, ketebalan alar, lebar dan panjang collumella, lebar sill. Lebar dasar alar, lebar sub alar, lebar anatomi dan lebar morfologi hidung secara signifikan lebih pamjang pada ras Deutero Melayu dibandingkan dengan ras lainnya (p <0,05). Pada usia kurang dari 9 bulan bayi ras Deutero Melayu, setiap kelompok usia (0-3, 4-6, 7-9), terdapat peningkatan nilai lebar lubang hidung 0,77- 1,04 mm dan nilai tinggi lubang hidung 0,4-0,54 mm. Pada ras Deutero Melayu, semua pengukuran nostril berkorelasi positif dengan usiadan berat badan (p<0,05). Kesimpulan: Morfologi normal nostril pada populasi bayi Indonesia kurang dari 2 tahun sudah dideskripsikan. Dengan menyediakan data referensi dari morfometrik lubang hidung yang normal pada bayi Indonesia, dapat menjadi pedoman untuk pengobatan sumbing atau rekonstruksi bayi Indonesia. ......Introduction: Indonesian normal nostril anatomy has received little attention in infants younger than 2 year. The notion of an ideal nose is critical to reconstruction, especially for cleft lip and nose repair. Methods: A cross sectional study was performed. Basal aspect images taken from screen capture of the video. Ten anthropometric measurements of the nostril were measured and analyzed with Image J software. Results were compared statistically using the two-tailed t test and correlation coefficients were calculated. Results: 156 infants were included (median age, 9,5 months; girls, n:72 and boys, n: 84; Deutero Malay race, n:127 and other race, n: 29). Measurements were similar (p>0.05) in Deutero Malay races and other races, included nasal tip protrusion, alar length, ala thickness, collumella width and length, sill width.Alar base width, sub alar width, anatomical width andmorphological width of nose were significantly longer in Deutero Malay race than in other race (p<0.05). In under 9 months old Deutero Malay infant, everyage group (0-3, 4-6, 7-9) were increase their sill width value 0,77- 1,04 mm and nostril height value 0,4-0,54 mm. Measurements of Deutero Malay race were correlated positively with age and weight (p < 0.05). Conclusion: Normal nostril morphology is described in a population of Indonesian infants. By providing reference data of normal nostril morphometric in Indonesian infants, it can guuide the cleft treatment or reconstruction of the Indonesian infant.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
New York, NY: Springer, 2013
617.522 5 CLE
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Vini Muslimov Sebastian Putra
Abstrak :
Latar Belakang: Whistle deformity merupakan deformitas yang paling sering terjadi pasca labioplasti. Tujuan: untuk membandingkan ukuran tinggi cupid bow sisi non celah, midline dan cupid bow sisi celah pasca Labioplasti dengan teknik Cronin pada pasien UCLP bibir istirahat dan berfungsi dan mengevaluasi apakah terjadi whistle deformity atau tidak. Metode: Penilaian whistle deformity berdasarkan skala antropometri dari data fotograf wajah, yaitu ukuran tinggi cupid bow sisi non celah, midline dan sisi celah pada 24 pasien UCLP pasca labioplasti dengan teknik Cronin, dan pada pasien whistle deformity dilakukan saat bibir istirahat dan berfungsi. Hasil: Dari hasil statistik didapatkan P0,05. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna pada tinggi cupid bow sisi non celah dan sisi celah, tinggi cupid bow sisi non celah, sisi celah dan midline pasien whistle deformity bibir berfungsi dan istirahat, tinggi cupid bow sisi kanan dan kiri pada anak nomal bibir berfungsi dan istirahat, tinggi cupid bow anak normal dengan whistle deformity saat berfungsi. Sedangkan tinggi midline anak normal dan tinggi cupid rsquo;s bow anak normal dan whistle deformity saat bibir istirahat terdapat perbedaan bermakna. ......Background: Whistle deformity is one of the lip deformities post labioplasty usually occurs. Objectives: To compare the height of cupid bow in the normal side, midline and the cleft side post Cronin method labioplasty in the UCLP patient while the lips in function and rest and evaluate is there whistle deformity or not. Method: Evaluation whistle deformity according to anthropometry scale from profile photograph, which are the height cupid bow normal side, midline and cleft side in 24 UCLP patients post Cronin method labioplasty, in the whistle deformity patients while lips function and rest. Result: Base on statistic, the result showed P0,05. Conclusion: There is no significant difference between height cupid bow in the normal side and cleft side, height cupid bow in the normal side, cleft side and midline in the whistle deformity while lips function and rest, height cupid bow of the right and left side in the normal children while lips function and rest, height cupid bow in the normal children and whistle deformity while lips function. On the other side, there is significant difference between height midline in the normal children and height cupid bow in the normal children and whistle deformity while lips rest.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library