Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Julia Fitriany
"Latar belakang: Sepsis pascabedah jantung terbuka merupakan kondisi yang jarang terjadi tetapi memiliki mortalitas yang cukup tinggi. Gejala sepsis yang muncul pascabedah seringkali sulit dibedakan dengan kondisi inflamasi sistemik sehingga menimbulkan keterlambatan dalam menegakkan diagnosis maupun overtreatment pada pasien. Presepsin merupakan salah satu penanda sepsis yang mulai banyak digunakan terutama pada populasi dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran presepsin dalam menegakkan diagnosis sepsis pascabedah jantung terbuka pada anak.
Tujuan: Untuk menguji performa diagnostik presepsin sebagai penanda sepsis pada anak pascabedahjantung terbuka dibandingkan dengan prokalsitonin (PCT).
Metode: Studi potong lintang terhadap 49 pasien anak pascabedah jantung terbuka yang dirawat di RSCM. Penelitian ini mencari nilai batas optimal presepsin untuk mendiagnosis sepsis pascabedah jantung terbuka pada anak yaitu pada hari pertama dan ketiga pascabedah, kemudian membandingkannya dengan prokalsitonin. Analisis kurva ROC dikerjakan untuk menentukan nilai batas optimal presepsin.
Hasil: Kadar presepsin hari pertama (T1) dan ketiga (T3) lebih tinggi pada subyek dengan sepsis daripada subyek yang tidak sepsis (median 415 pg/mL vs. 141,5 pg/mL pada hari pertama dan 624 pg/mL vs. 75,9 pg/mL pada hari ke tiga). Titik potong presepsin pada T1 dengan nilai 404 pg/mL memiliki performa untuk mendiagnosis sepsis dengan AUC 0,752 sedangkan presepsin T3 dengan nilai 203,5 pg/mL dengan AUC 0,945 yang lebih baik dibandingkan T1.
Simpulan: Presepsin dapat dijadikan suatu modalitas untuk memberikan nilai tambah dan pertimbangan bagi klinisi untuk menegakkan diagnosis sepsis pada pasien anak pascabedah jantung terbuka.

Background: Postoperative open-heart sepsis is a rare condition but has a fairly high mortality. Symptoms of sepsis that appear postoperatively are often difficult to distinguish from systemic inflammatory conditions, causing delays in establishing diagnosis and overtreatment in patients. Presepsin is one of the markers of sepsis that is starting to be widely used, especially in the adult population. This study is to identify the role of presepsin for diagnosing sepsis in post open-heart surgery in pediatric population.
Aim: To perform diagnostic test of presepsin as sepsis screening markers compares to procalcitonin (PCT) in post open-heart surgery.
Methods: Cross-sectional study of 49 postoperative open-heart pediatric patients treated at RSCM. This study looked for optimal cut-off values of presepsin for diagnosing open-heart postoperative sepsis in children on the first and third postoperative days, then compared it with procalcitonin. ROC curve analysis is performed to determine the optimal limit value of presepsin.
Result: First (T1) and third day (T3) PSP levels were higher in subjects with sepsis than non- sepsis (median 415 pg/mL vs. 141.5 pg/mL on first day and 624 pg/mL vs. 75.9 pg/mL on third day). ). T1 presepsin cut off 404 pg/ml had AUC of 0.772, while T3 presepsin cut off 203.5 og/ml had better AUC of 0.945. T3 is better for diagnosing sepsis.
Conclusion: Presepsin can be used as a modality to provide added value and consideration for clinicians to establish the diagnosis of sepsis in pediatric patients after open-heart surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rasha Nareswari Nurharyani
"Bedah jantung merupakan tindakan yang berisiko tinggi menyebabkan kecacatan atau bahkan mortalitas jika dibandingkan dengan disiplin bedah lainnya, terlebih pada kasus jantung bawaan yang memiliki kompleksitas tinggi. Untuk itu, informed consent berperan penting sebagai pondasi tindakan medis yang memberikan pelindungan hukum bagi pasien anak dan dokter, khususnya dokter jantung anak dan dokter bedah jantung anak. Dengan metode penelitian doktrinal menggunakan pendekatan analitis, penelitian ini menganalisis mengenai kedudukan hukum informed consent serta pelindungan hukum yang diberikan pada tindakan bedah jantung anak dengan metode Open Heart Surgery. Dapat disimpulkan bahwa pada pasien anak, pemberian informed consent wajib didampingi oleh orang tuanya dan pengambilan keputusan pada suatu tindakan medis harus diputuskan secara bersama antara anak dengan orang tua melalui komunikasi yang efektif. Hal ini sebagai wujud penghargaan evolving capacities of the child dan hak anak untuk berpartisipasi. Selain itu, informed consent dapat menjadi alasan penghapus pidana dan alat bukti sah di pengadilan, sehingga dokter tidak dapat dituntut ataupun digugat selama terbukti tidak ada kelalaian dan menjalankan tindakan sesuai informed consent. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia sebaiknya menyempurnakan Permenkes 290/2008 dengan menambahkan ketentuan yang spesifik mengatur consenting age bagi anak. Informed consent sebagai kerangka acuan tindakan medis harus dipatuhi oleh dokter maupun pasien. Adapun, penyebab pasti PJB harus diteliti lebih lanjut guna menerapkan upaya preventif, serta diperlukan pengadaan rumah sakit khusus jantung secara merata di Indonesia.

Heart surgery is a high-risk procedure that can result in disability or even mortality compared to other surgical disciplines, specifically for congenital heart disease that have such high complexity. Therefore, informed consent plays a crucial role as the foundation of medical action, providing legal protection for both pediatric patienst and doctors, namely pediatric cardiologist and pediatric cardiac surgeons. Using doctrinal research methods with an analytical approach, this study analyzes the legal status of informed consent and the legal protection provided for pediatric heart surgery using the Open Heart Surgery method. It can be concluded that for pediatric patients, the granting of informed consent must be accompanied by the parents, and decisions regarding medical procedures must be made jointly between the child and the parents through effective communication. This reflects respect for the evolving capacities of the child and the children’s rights of participation. Additionally, informed consent can serve as a justification for exoneration from criminal liability and as valid evidence in court, meaning that doctors cannot be prosecuted or sued as long as there is no negligence and the procedure is carried out in accordance with the informed consent. Therefore, the Government of Indonesia should refine Regulation of the Minister of Health No. 290/2008 by incorporating specific provisions regarding the consenting age for children. Informed consent, as a reference framework for medical procedures, must be adhered to by both doctors and patients. Furthermore, the exact causes of congenital heart defects (CHD) should be further investigated to implement preventive measures, and the establishment of specialized cardiac hospitals should be evenly distributed across Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library