Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Manurung, Irma F.
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan karena melihat gejala maraknya kehidupan orkestra di Indonesia. Penelitian ini berawal dari pemikiran Pierre Bourdieu mengenai konsepnya habitus, field, kapital, yang pada dasarnya dapat saling ber-interplay, yang kemudian dikembangkan dalam pemikirannya mengenai taste, reproduksi budaya, hingga pada pandangan mengenai produksi budaya, yang didalamnya juga termasuk konsumsi budaya. Untuk melengkapi pemahaman mengenai industri orkestra, maka juga digunakan pandangan Adorno dan Horkheirner mengenai industri budaya, dimana didalamnya juga terdapat pemikiran mengenai komodifikasi budaya. Penelitian ini menggunakan paradigma kritis yang berusaha mengungkap struktur yang sebenarnya dengan tujuan membentuk kesadaran sosial agar dapat memperbaiki dan merubah kondisi hidup manusia, dan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini mengambil kasus tiga orkestra yakni Erwin Gutawa Orchestra (EGO), Nusantara Symphony Orchestra (NSO), dan Twilite Orchestra (TO) untuk memberi gambaran mengenai beragam konten atau repertoir yang dimainkan oleh orkestra, dan mendapat data dari para 8 informan yang memberi data beragam mengenai kebijakan orkestra, bagaimana produksi dan konsumsi budaya dari pelaku, konsumen, produser media, hingga pengamat budaya. Hasil pengamatan dan informasi dari para informan menunjukkan besarnya pengaruh habitus tokoh-tokoh di orkestra, sehingga berpengaruh juga dalam field yang memungkinkan mereka untuk bertindak antara lain dalam menentukan arah atau jalur yang diambil orkestra. Hal ini terlihat pada jalur yang berbeda antara EGO yang mengarah pada musik Indonesia, NSO dengan pilihan repertoirnya yang beragam, dan TO dengan pops orchestra-nya. Namun yang sama adalah ketiga orkestra ini berjuang untuk memperoleh kapital, bukan hanya kapital ekonomi, tetapi juga kapital budaya dan kapital sosial / simbolik, untuk memperkuat keberadaan dan kehadiran mereka ditengah masyarakat. Masalah taste mereka juga penting dalam keberadaan orkestra, karena produk budaya merupakan taste yang terbentuk, atau meningkat dari pengalaman, hasrat, hingga akhirnya menjadi sebuah karya atau produk budaya. Hal ini juga terlihat dalam produk budaya ketiga orkestra diatas yang dipengaruhi taste para tokohnya. Namun taste juga bisa dihubungkan dengan struktur kelas orang yang mengkonsumsi budaya. Dengan keempat formasi taste yang disampaikan Bourdieu: legitimate, middlebrow, popular, dan pure aesthetic disposition, tampak bahwa hal ini tidak bisa diterapkan seluruhnya pada masyarakat Indonesia yang pada dasarnya memiliki budaya yang berbeda dengan masyarakat Barat. Namun dalam pengamatan lebih jauh, formasi ini tampak walau tidak seperti yang disampaikan Bourdieu, yakni legitimate taste berada dalam kelas dominan, yang kaya dalam kapital ekonomi, pendidikan. Sedangkan taste middlebrow dan popular digabungkan karena umumnya kelas pekerja, atau kelas menengah bawah jarang yang mendengar musik klasik. Oleh karena itu kedua taste ini diperuntukkan bagi kelas menengah atas, termasuk pelajar mahasiswa, yang mendengarkan musik klasik termasuk light classic. Sedangkan karya EGO bisa digolongkan dalam pure aesthetic karena usaha artisbknya membebaskan dia dari pakem klasik yang baku, sehingga bebas mencampurkannya dengan unsur seni yang lain seperti band, musik tradisional. Masalah pemain orkestra juga menarik karena masih minimnya jumlah musisi sehingga kebanyakan orkestra menggunakan musisi yang `itu-itu juga'. Faktor tingginya biaya penyelenggaraan sebuah konser, menjadikan harga tiket juga cenderung mahal, sehingga makin menambah kesan konser orkestra yang mahal dan eksklusif. Masalah reprodulsi budaya juga penting bagi kehidupan orkestra, karena berhubungan dengan konsumsi orkestra, baik sebagai musisi, atau hanya sekedar untuk mengapresiasi. Untuk itu diperlukan kapital budaya yang mampu memberi kecukupan untuk menjalani kehidupan di masyarakat sebagai sumber sosial. Selain itu, anggapan bahwa orkestra merupakan sesuatu yang eksklusif, mewah, mendorong banyak konsumen untuk menampilkan orkestra dalam acara/event mereka, untuk mencerminkan eksklusiltas atau kemewahan tersebut. Hal yang lama juga terjadi di televisi yang memproduksi acara dengan menggunakan orkestra atau chamber, baik untuk memenuhi permintaan klien atau untuk menyesuaikan target konsumen yang ingin dituju, sehingga pada akhirnya juga meningkatkan gengsi/image acara atau kliennya. Hal ini membawa pembahasan kepada high culture dan popular culture. Kedua hal ini sebetulnya sangat subyektif. Walaupun di Barat, banyak penampilan orkestra merupakan budaya popular, namun di Indonesia tampaknya musik klasik masih dianggap sebagai budaya tinggi. Namun bagi EGO tampaknya bisa menuju kearah itu karena faktor band atau penyanyi yang diiringinya yang bersifat pop. Ketiga orkestra di atas dalam menjalankan produksinya juga memperhatikan unsur industri budaya. Selain itu ditemukan juga unsur komodifikasi yang mengubah use value menjadi exchange value untuk memenuhi kebutuhan konsumen atau rnembuat menjadi suatu kebutuhan, sebagai sebuah ilusi. Hasil penelitian diatas memberi beberapa kesimpulan, yakni besarnya pengaruh habitus yang juga ber-interplay dengan field dan kapital dalam produksi dan juga konsumsi budaya. Selain itu, semakin klasik sebuah taste, berarti diperlukan habitus yang kuat dan kapital budaya/ekonomi yang lebih tinggi. Semakin popular sebuah taste, bisa berarti habitus tidak terlalu kuat atau kapital budaya/ekonomi yang lebih rendah, atau keduanya. Kesimpulan lain mengungkapkan bahwa kelas dan struktur sosial juga mempengaruhi bagaimana seseorang mengkonsumsi budaya, untuk memperkuat perbedaan klasifikasi seseorang. Selain itu, kolaborasi antara produksi dan konsumsi budaya orkestra menghasilkan industri orkestra, karena industri ini banyak berperan dalam produksi budaya yang terkomodifikasi, merasionalisasi teknik distribusi sehingga mencapai sasaran yakni meningkatnya konsumsi budaya akibat pembentukan realitas semu. Implikasi teoritis dalam penelitian ini memperkuat pendapat Bourdieu mengenai peran habitus dalam diri seseorang termasuk pada budaya yang diproduksi dan dikonsumsinya. Penelitian ini juga memunculkan modifikasi dari formasi taste menurut Bourdieu, sehingga yang tampak adalah hanya ada 3 formasi: legitimate taste, middlebrow - popular taste, serta taste pure aesthetic disposition. Selain itu industri orkestra di Indonesia juga sejalan dengan pendapat Adorno dan Horkheimer mengenai industri budaya yang menyediakan sesuatu bagi semua orang sehingga tidak ada yang dapat lobi dari sergapan produksi budaya tersebut. Pada akhirnya hal ini juga menjadi cerminan terjadinya komodifikasi budaya yang merupakan proses mengubah nilai kegunaan sebuah produk (budaya) menjadi nilai pertukaran produk tersebut. Oleh karena itu penelitian ini memberikan gambaran dan penjelasan mengenai peran kelas, taste, dalam industri, produksi, serta konsumsi orkestra di Indonesia, walau tidak bisa digeneralisasi untuk menggambarkan formasi taste masyarakat Indonesia. Implikasi sosial penelitian ini bertujuan memberi kesadaran pada masyarakat bahwa dibalik penyajian orkes, terdapat makna, tujuan yang sarat dengan unsur lain selain budaya, yakni ekonomi, politik, sosial. Oleh karena itu hal ini penting diperhatikan dalam memproduksi budaya dan juga dalam mengkonsumsinya. Implikasi praktis dan rekomendasi penelitian ini diberikan untuk kemajuan industri orkestra di Indonesia serta juga perlunya penelitian lanjutan untuk mendapatkan data lain yang tidak diperoleh melalui penelitian ini.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13815
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Irma F.
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan mengungkapkan produksi, konsumsi, dan industri budaya suatu orkestra. Penelitian ini menggunakan paradigma teori kritis dengan pendekatan Pierre Bourdieu tentang habitus, field, dan kapital. Penelitian menemukan bahwa pihak orkestra membentuk dan memperkuat taste konsumen. Di balik penyajian orkestra terdapat maksud lain selain budaya. Realitas yang diterima masyarakat sebenamya realitas semu, yaitu realitas yang diatur pihak produsen dan industri guna memenuhi kebutuhan dan prinsip keberhasilan mereka sendiri.
2004
TJPI-III-3-SeptDes2004-1
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fajri
Abstrak :
Orkes Simfoni Jakarta merupakan kelompok musik klasik yang dibentuk pada tahun 1966, pada masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin. OSJ merupakan aset bagi kota Jakarta yang dianggap sebagai kota metropolitan dunia. Tidak hanya memberikan wawasan baru melalui musik klasik, OSJ juga menampilkan lagu nasional dan lagu daerah dengan gaya berbeda serta berkualitas. Orkes Simfoni Jakarta mengalami penurunan eksistensi sejak memasuki awal tahun 2000-an. ......Orkes Simfoni Jakarta is a classical music group formed in 1966, during the leadership of Governor Ali Sadikin. OSJ is an asset for the city is considered a world metropolis. Not only provide new insights through classical music, OSJ also featured national songs and folk songs with different styles and quality. Orkes Simfoni Jakarta decreased existence since the early part of the 2000s.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malaysia: OMR Press Sdn. Bhd, 2011
R 784.209 2 ORK (1)
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Ragam bentuk gamelan yang diwarisi oleh masyarakat Bali, merupakan peninggalan budaya daerah yang sangat penting artinya dalam sejarah perkembangan kesenian Bali. Musik Mandolin yang merupakan musik golongan baru, dalam perkembangannya mengalam pasang surut yang biasa dialami oleh semua jenis kesenian yang berkembagan di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor bentuk, dan persepsi masyarakat tentang musik Mandolin di Desa Pupuan Kabupaten Tabanan. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian studi kasus tentang revitalisasi musik mandolin dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan kurang berkembangnya musik Mandolin di masyarakat. Faktor internalnya antara lain; kurangnya bakat dan kemampuan, kurangnya sikap terbuka, kurang kreatif dalam memanfaatkan peluang dan kesempatan yang ada. Sedangkan faktor eksternalnya antara lain; faktor ekonomi, teknologi, serta media yang menjadi penyebar informasi. Eksistensi sebuah kesenian yang berkembang di masyarakat tidak terlepas dari peranan masyarakat pendukungnya. Revitalisasi dan regenerasi merupakan hal yang mutlak yang harus dilakukan untuk menyelamatkan sebuah seni pertunjukan. Masyarakat beranggapan bahwa betapa pentingnya melakukan revitalisasi terhadap berbagai jenis kesenian yang berkembang di masyarakat, agar keberadaannya tetap lestari sebagai warisan budaya yang adiluhung dan sekaligus sebagai identitas daerah dalam merekatkan budaya bangsa.
SWISID 2:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Priskila Hilary
Abstrak :
ABSTRAK
Pemusik orkestra memiliki tuntutan dan tantangan yang tinggi untuk selalu menampilkan permainan musik yang sempurna. Hal ini membuat mereka memaksa diri dalam berlatih dan memiliki toleransi yang rendah terhadap kekurangan dan kesalahan diri. Hal ini membuat pemusik orkestra memerlukan self-compassion agar tidak melakukan hal yang destruktif terhadap diri mereka. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara self-compassion dan psychological well-being pada pemusik orkestra. Penelitian ini menggunakan metode korelasi. Pengukuran self?compassion menggunakan alat ukur Self-Compassion Scale (Neff, 2003) dan alat ukur Ryff?s Scale of Psychological Well-Being (Ryff , 1989). Partisipan penelitian adalah sebanyak 104 pemusik orkestra. Hasil penelitian menunjukan bahwa hipotesis null penelitian ditolak (rs=0.465 dan p=0.000), yang berarti terdapat hubungan positif yang signifikan antara self-compassion dan psychological well-being pada permusik orkestra. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk merancang intervensi pelatihan self-compassion bagi pemusik orkestra agar dapat meningkatkan psychological well-being.
ABSTRAK
Orchestra musicians have a lot of demands and high challenges to always perform in a perfect way. These things make them hard on themselves when practicing and make them have a low tolerance on their inadequacies and failure. They need to be self-compassionate to themselves so that they will not do a destructive action to themselves. This study aims to look at the relationship between self-compassion and psychological well-being of orchestra musicians. This study uses correlation method. Self-compassion was measured using Self-Compassion Scale (Neff ,2003). Psychological well-being was measured using Ryff?s Scale of Psychological Well-Being (Ryff, 1989). The respondents of the study are 104 orchestra musicians. There is significant evidence to reject the null hypothesis (rs=0.465 dan p=0.000), which can conclude that there is a positive and significant relationship between self-compassion and psychological well-being of orchestra musicians. These results are hoped to be useful in planning interventions self-compassion training, so that they can promote their psychological well-being.
2016
S63689
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library