Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Doyo Prasojo
Abstrak :
Pengobatan radiasi pada tumor kepala dan leher pada umumnya dan karsinoma nasofaring khususnya, dapat menimbulkan reaksi tubuh secara umum. Selain itu akibat radiasi bagaimanapun akan mengenai pula jaringan sehat di sekitar lokasi tumor. Kerusakan pada jaringan sehat ini merupakan hal yang tidak bisa dihindari dan bila efek ini terjadi secara berlebihan tentu saja dapat nempengaruhi efektifitas pengobatan terhadap penderita sendiri.

Pada pengobatan radiasi karsinoma nasofaring seperti diketahui dapat menimbulkan efek samping akut berupa gejala lokal pada kulit, rongga mulut dan sekitarnya dengan segala manifestasinya. Disamping itu dapat pula terjadi efek supresi terhadap sistim hemopoetik, sistim pencernaan dan lain-lain seperti pada pengobatan radiasi secara umum.

Tujuan umum : Mengupayakan agar penderita karsinoma nasofaring dapat menyelesaikan pengobatan radiasi seluruhnya sampai selesai (seoptimal mungkin).

Tujuan khusus : 1. Mengetahui jumlah penderita, sebaran umur, jenis kelamin, stadium penyakit, gambaran P.A. Serta frekuensi efek samping akut yang terjadi pada penderita karsinoma nasofaring yang menjalani terapi radiasi eksterna. 2. Mengetahui berbagai efek samping akut yang terjadi yang dihubungkan dengan dosis radiasi yang diberikan. 3. Mengetahui persentase penderita yang kontrol ke Bagian THT FKUI/RSCH. 4. Menilai hasil tindakan /pengobatan yang telah dilakukan di Unit Radioterapi FKUI/RSCM dan di Bagian THT FKUI/RSCH untuk mengatasi efek samping akut yang terjadi Serta mengetahui hambatan yang terjadi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monik Ediana Miranda
Abstrak :
Latar Belakang : Karsinoma nasofaring tidak berkeratin tidak berdiferensiasi masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia berkaitan dengan tingginya angka kemoresistensi dan residif yang tinggi. Salah satu teori yang menjelaskan hal ini adalah terdapatnya sel punca kanker yaitu sel kanker yang memiliki kemampuan self-renewal dan menumbuhkan sendiri sel tumor. Jalur sel punca kanker mengakibatkan adaptasi genetik sehingga tumor menjadi resisten terhadap pengobatan. SOX2 adalah salah satu penanda gen sel punca yang berperan penting pada faktor transkripsi dalam proses self-renewal. Terdapat hubungan antara ekspresi SOX2 dengan respons terapi karsinoma nasofaring tidak berkeratin tidak berdiferensiasi.Bahan dan Metode : Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Sampel terdiri atas 41 kasus karsinoma nasofaring tidak berkeratin tidak berdiferensiasi di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM periode Januari 2014 hingga Desember 2016. Dilakukan pulasan imunohistokimia SOX2.Hasil : Ekspresi SOX2 positif pada 21 dari 41 51 kasus karsinoma nasofaring tidak berkeratin tidak berdiferensiasi. Sebanyak 11 dari 21 kasus diantaranya 52 memperlihatkan respons terapi pasca kemoradiasi yang baik p=0,636 . Dari 41 kasus terdapat 7 kasus residif, 2 kasus diantaranya 28,5 menunjukkan ekspresi SOX2 positif.Kesimpulan : Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara ekspresi SOX2 dengan respons terapi pasca kemoradiasi.
Background Nasopharyngeal carcinoma non keratinized non differentiated still become main health issue in Indonesia concerning the high rate of chemoresistance and recurrence. One of the theories was the cancer stem cell, tumor cells with self renewal and self duplicating capabilities. The cancer stem cell pathway caused genetic adaptation resulting resistance in therapy. The main function of SOX2 as transcription factor holds key in the self renewal process. SOX2 became one of the markers for cancer stem cells. The SOX2 expressions have associations with response therapy after chemoradiation in nasopharyngeal carcinoma.Materials and Methods This was a cross sectional study with 41 cases of nasopharyngeal carcinoma non keratinized non differentiated diagnosed from Anatomical Pathology Department of FKUI RSCM during January 2014 until December 2016. All of the cases stained with SOX2 antibody with immunohistochemical methods.Results SOX2 positive expression can be found in 21 from 41 cases 51 . There were 11 out of 21 cases 52 showed well response therapy. From 41 cases there were 7 recurrent cases, 2 of them 28.5 expressing SOX2 positive.Conclusions There were no statistically significant associations between SOX2 expression with response therapy after chemoradiation.
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michelle Linggodigdo
Abstrak :
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan penyakit endemis di Indonesia dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Salah satu penyebab mortalitas adalah metastasis jauh. VEGF-A terbukti berperan pada kejadian metastasis jauh KNF, namun penelitian yang membahas hubungan langsung keduanya masih terbatas. Selain VEGF, terdapat jalur pensinyalan lain terkait VEGF yang mungkin berperan dalam kejadian metastasis jauh, yaitu jalur pensinyalan Hippo. Protein Yes-Associated Protein (YAP) adalah downstream efektor utama dari jalur pensinyalan ini. Dengan dilakukan pulasan YAP serta dievaluasi hubungan antara YAP dengan VEGF-A diharapkan hasilnya dapat memberikan informasi mengenai potensi biomarker sebagai indikator prognostik kejadian metastasis jauh KNF. Penelitian menggunakan metode analitik observasional dengan uji Chi-square dan korelasi koefisien kontingensi. Terdapat perbedaan ekspresi YAP yang bermakna pada kelompok KNF dengan dan tanpa metastasis jauh (p<0,001). Terdapat perbedaan bermakna ekspresi VEGF-A pada kelompok KNF dengan dan tanpa metastasis jauh (p<0,001). Ekspresi YAP yang tinggi berhubungan dengan peningkatan ekspresi VEGF-A (p=0,001). Terdapat korelasi signifikan antara peningkatan ekspresi YAP dan peningkatan ekspresi VEGF-A dengan kekuatan lemah (C=0,397, p=0,01). Terdapat perbedaan bermakna koekspresi YAP tinggi dan VEGF-A tinggi (double co-high-expression) antara kelompok KNF dengan dan tanpa metastasis jauh (p<0,001). Penelitian ini mendukung sifat onkogenik YAP. YAP dan VEGF-A dapat menjadi biomarker potensial untuk memprediksi kejadian metastasis jauh KNF. ......Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is an endemic disease in Indonesia with a high mortality rate. Distant metastasis is one of the leading causes of death. Although VEGF-A has been found to play a role in distant NPC metastasis, research on the relationship between the two is still limited. Another VEGF-related pathway, the Hippo pathway, may be involved in distant metastasis. Yes-Associated Protein (YAP) is the main downstream effector of this signaling pathway. It is expected that performing YAP marker and studying the relationship between YAP and VEGF-A, would provide data on the possibility of biomarkers that may be used as a prognostic predictor of the occurrence of distant metastasis in NPC. An observational analytic study was conducted—statistical analysis using SPSS 25.0 with Chi-square and contingency coefficients test. There was a significant difference in YAP expression between NPC with and without distant metastasis (p<0.001). The expression of VEGF-A differed significantly between NPC with and without distant metastasis (p<0.001). There was a significant relationship between YAP and VEGF-A (p=0.001) and a weak correlation (C 0.397, p=0.01). There was a significant difference in the double co-high-expression group between the KNF with and without distant metastasis (p<0.001). This study highlights YAP's oncogenic role in NPC, suggesting that YAP and VEGF-A might be potential biomarkers to predict distant metastasis in NPC.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Ronald Barata Sebastian
Abstrak :
Tujuan : untuk mengetahui waktu terbaik dilakukan adaptasi perencanaan radiasi terhadap kasus kanker nasofaring yang menjalani radiasi di RSCM serta mencari tahu hubungan penurunan berat badan dan pengecilan ukuran tumor terhadap perubahan dosimetri pasien kanker nasofaring serta batasan perubahan separasi leher yang memerlukan tindakan adaptasi perencanaan radiasi. Metode : Dilakukan studi kohort prospektif pada 11 pasien kanker Nasofaring. Dilakukan pengukuran berat badan dengan timbangan dan separasi pada tip mastoid , kelenjar getah bening terlebar menggunakan alat ukur di TPS pada data set CT Simulator dan pada CBCT fraksi 1,6,11,16,21,26,dan 31. Data set hasil CBCT dilakukan fusi terhadap data set CT simulator kemudian dilakukan delineasi dan dilanjutkan rekalkulasi dosis dengan parameter yang sama seperti perencanaan radiasi awal kemudian dilakukan evaluasi dosimetri. Jika terdapat deviasi pada minimal 1 organ normal berisiko atau target volume maka masuk ke kriteria untuk dilakukan adaptasi perencanaan radiasi. Batasan waktu dalam menilai hubungan adaptasi perencanaan radiasi dengan parameter klinis dilakukan menggunakan kurva ROC (Receiving Operator Characteristic) Hasil : Dari 11 pasien yang diteliti,terdapat 10 pasien yang memerlukan adaptasi perencanaan radiasi dikarenakan melewati batas toleransi. Perubahan dosimetri yang menyebabkan adaptasi perencanaan radiasi, terjadi pada fraksi dan struktur organ yang berbeda. Hubungan antara waktu fraksinasi dengan indikasi tindakan adaptasi perencanaan radiasi signifikan mulai fraksi ke 6 sedangkan perubahan relative risk terbesar terdapat pada fraksi 11 ke fraksi 16. Indikasi adaptasi perencanaan radiasi dengan parameter klinis; Δ separasi KGB terlebar (AUC 0.951, 95% CI 0.905-0.996), Δ separasi Tip mastoid (AUC) 0.741, 95% CI 0.631-0.852, Δ persentase berat badan ((AUC) 0.911, 95% CI 0.844-0.978). dengan batas tengah kurva ROC pada Δ separasi KGB terlebar 1,21 cm dan Δ persentase berat badan 4,49 %. Kesimpulan : dari penelitian ini, pasien kanker nasofaring membutuhkan radiasi adaptif untuk memberikan terapeutik ratio yang baik dan didapatkan adanya hubungan antara perubahan separasi dan penurunan berat badan dengan adaptasi perencanaan radiasi. ......Objectives: to determine appropriate timing for adaptive radiation therapy for nasopharyngeal cancer cases undergoing radiation at the RSCM and to find out the relationship between weight loss and tumor size reduction on dosimetry changes in nasopharyngeal cancer patients and the cut off of changes in neck separation that require adaptive radiation therapy. Methods: A prospective cohort study was conducted on 11 nasopharyngeal cancer patients. Separation measurements were made on the tip mastoid, the widest neck lymph node using a measuring instrument at the treatment planning system (TPS) on the CT Simulator data set and the CBCT data set fractions 1,6,11,16,21,26, and 31. The CBCT data set was fused to the CT data set. The CBCT data set was then delineated and continued with dose recalculation using the same parameters as the initial radiation plan, then dosimetry evaluation was carried out. If there is deviation in at least 1 normal organ at risk or target volume, then it is included in the criteria for adaptive radiation therapy. The time limit in assessing the relationship between adaptive radiation planning adaptive and clinical parameters was carried out using the ROC (Receiving Operator Characteristic) curve. Results: there were 10 out of 11 patients who required adaptive radiation planning due to exceeding the tolerance limit. Dosimetry changes that cause adaptive radiation planning occur in different fractions and organ structures. The relationship between fractionation time and indications of radiation planning adaptative measures is significant starting from the 6th fraction, while the largest relative risk changes are found in fractions 11 to 16. Indications of adaptive radiation planning with clinical parameters; widest lymph node separation (AUC 0.951, 95% CI 0.905-0.996), tip mastoid separation (AUC) 0.741, 95% CI 0.631-0.852, weight percentage ((AUC) 0.911, 95% CI 0.844-0.978). with the middle limit of the ROC curve at the widest KGB separation 1.21 cm and body weight percentage 4.49%. Conclusion: Nasopharyngeal cancer patients require adaptive radiation to provide a good therapeutic ratio and there is relationship between changes in separation and weight loss with adaptive radiation planning
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harizah Umri
Abstrak :
Sebagai salah satu efek samping, xerostomia pasca radiasi karsinoma nasofaring dirasakan mengganggu pada hampir 100 pasien karsinoma nasofaring setelah mendapat terapi radiasi. Beberapa studi memperlihatkan akupunktur bermanfaat sebagai terapi xerostomia pasca radioterapi. Penelitian ini merupakan penelitian akupunktur pertama di Indonesia dengan subyek pasien xerostomia pasca radiasi karsinoma nasofaring. Dua puluh lima pasien xerostomia pasca radiasi karsinoma nasofaring dibagi dalam tiga kelompok secara acak, kelompok akupunktur telinga A, akupunktur tubuh B dan akupunktur kombinasi C. Skor XI dinilai sebelum, setelah 6 dan 12 kali akupunktur sementara itu pH saliva dinilai sebelum dan setelah 12 kali akupunktur dengan menggunakan saliva check buffer kit. Angka keberhasilan terapi akupunktur pada kelompok A yaitu 71,4 - 100, kelompok B yaitu 66,7 -88,9 dan kelompok C yaitu 88,9 -100 p>0,05. Rerata pH saliva pada kelompok A sebelum akupunktur meningkat dari 6,18 0,60 menjadi 6,83 4,48, kelompok B dari 6,16 0,54 menjadi 6,67 2,26 dan kelompok C dari 6,00 0,49 menjadi 6,60 2,23 setelah akupunktur p>0,05. Rerata skor XI sebelum akupunktur pada kelompok A yaitu 35,70 5,14 menjadi 22,86 16,15, kelompok B yaitu 34,70 7,77 menjadi 20,89 10,06, serta kelompok C yaitu 36,70 5,25 menjadi 21,44 8,97 sesudah 12 kali akupunktur p>0,05. Akupunktur telinga, akupunktur tubuh serta akupunktur kombinasi mempunyai efek yang sebanding dalam meningkatkan pH saliva dan menurunkan skor XI pada xerostomia yang dialami pasien karsinoma nasofaring pasca kemoradiasi. ...... Distressing side effect from radiation for nasopharyngeal carcinoma treatment, radiation induced xerostomia commonly occurs in almost 100 patients undergoing such procedure method. Some studies suggest that acupuncture might be a useful method for the treatment of radiation induced xerostomia. This study is the first acupuncture research in Indonesia with the subject of xerostomia after chemo irradiation of nasopharyngeal carcinoma patients. Twenty five patients with xerostomia after chemo irradiation of nasopharyngeal carcinoma were divided randomly into 3 groups which are auriculo puncture group A, body acupuncture group B and combination acupuncture group C. XI scores was examined before, after 6th and 12th acupuncture treatment whereas salivary pH was examined before and after 12th acupuncture treatment using saliva check buffer kit. The success rate of acupuncture therapy in group A is 71,4 100, in group B is 66,7 88,9 and group C is 88,9 100 p 0,05. The mean salivary pH in group A was increased from 6,18 0,60 to 6,83 4,48, group B the mean salivary pH was increased from 6,16 0,54 to 6,67 2,26 and group C the mean salivary pH was increased from 6,00 0,4 to 6,60 2,23 after therapy p 0,05. The mean XI score was decreased from 35,70 5,14 group A, 34,70 7,77 group B, 36,70 5,25 group C before acupuncture therapy to 22,89 16,15 group A, 20,89 10,06 group B, 21,44 8,97 group C after 12th acupuncture therapy p 0,05. Auriculo puncture, body acupuncture and combination acupuncture have the same effects to increase salivary pH and decrease XI score in patients with xerostomia after chemo irradiation of nasopharyngeal carcinoma.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zerry Aulia
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Evaluasi lesi residu/rekuren pada karsinoma nasofaring pasca terapi menggunakan CT scan masih sulit dilakukan karena asimetri nasofaring dapat diakibatkan oleh lesi tumoral maupun non-tumoral. CT scan memiliki nilai atenuasi sebagai parameter objektif untuk membedakan densitas lesi. Pengukuran nilai atenuasi lesi sebelum dan sesudah kontras diharapkan dapat menjadi panduan untuk biopsi atau pemeriksaan radiologik selanjutnya. Metode: Studi ini menggunakan desain potong lintang dengan data sekunder menggunakan uji t-independen terhadap 54 subjek untuk mengetahui perbedaan rerata nilai atenuasi sebelum dan sesudah kontras, kemudian didapatkan nilai titik potong optimal untuk membedakan lesi tumoral dan non-tumoral menggunakan kurva receiver operating characteristics ROC . Hasil: Nilai rerata atenuasi lesi non-tumoral dan lesi tumoral sebelum kontras adalah 45,5 HU dan 51,3 HU p=0,03 , sedangkan pasca kontras adalah 70,1 HU dan 78,1 HU p=0,01 . Titik potong optimal untuk membedakan lesi tumoral dan non-tumoral adalah titik potong nilai atenuasi lesi pasca kontras yaitu 73,5 HU dengan sensitivitas 72,2 , spesifisitas 61,1 , nilai taksir positif 48,1 , dan nilai taksir negatif 81,5 . Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna antara rerata nilai atenuasi lesi tumoral dan non-tumoral sebelum dan sesudah kontras. Nilai atenuasi lesi nasofaring pasca kontras sebesar ge; 73,5 HU sugestif suatu lesi tumoral sedangkan
ABSTRACT
Background and objective Evaluation of residual recurrent lesions in nasopharyngeal carcinoma after therapy using CT scan is difficult because nasopharyngeal asymmetry can be caused by both tumoral and non tumoral lesions. CT scan has an attenuation value as an objective parameter to distinguish the density of the lesion. Measuring the attenuation value of lesions before and after contrast is expected to be a guide for further biopsy or radiological examination. Method This study used a cross sectional design with secondary data using a t independent test of 54 subjects to determine the difference in mean attenuation value before and after contrast, then obtained an optimal cut off point to distinguish tumoral and non tumoral lesions using receiver operating characteristics ROC curves. Results The mean attenuation value of non tumoral and tumor lesions before contrast were 45.5 HU and 51.3 HU p 0.03 , whereas after contrast was 70.1 HU and 78.1 HU p 0.01 . The optimal cut off point was the after contrast which is 73,5 HU with 72,2 sensitivity, 61,1 specificity, 48,1 positive predictive value, and 81,5 negative predictive value. Conclusions There was a significant difference between average attenuation value of tumoral and non tumoral lesions before and after contrast. The attenuation value of after contrast lesions of ge 73.5 HU were suggestive of a tumoral lesion while
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Azhima
Abstrak :
Latar Belakang: Nilai ADC pra terapi dari tumor dilaporkan dapat memprediksi respons terapi keganasan. Namun untuk nilai prognostik ADC pra terapi pada karsinoma nasofaring di Indonesia masih belum jelas diketahui. Tujuan: Melakukan perbandingan nilai rerata ADC serta mendapatkan nilai titik potong ADC pra terapi antara pasien karsinoma nasofaring dengan luaran respons terapi buruk dan respons terapi baik, kemudian menyusun model prediksi respons terapi pasien karsinoma nasofaring dengan melibatkan peran nilai titik potong ADC pra terapi serta variabel lainnya. Metode: Penelitian dilakukan dengan desain studi pendahuluan kasus kontrol tidak berpasangan menggunakan data sekunder. Jumlah subjek penelitian sebanyak 33 pasien dimana 16 pasien dengan luaran respons terapi buruk sebagai kelompok kasus dan 17 pasien dengan luaran respons terapi baik sebagai kelompok kontrol. Penentuan titik potong nilai ADC pra terapi dilakukan dengan analisis ROC dan perhitungan AUC beserta 95% interval kepercayaannya, lalu dibuat kurva sensitivitas dan spesifisitas. Kekuatan hubungan sebab-akibat diukur dengan menghitung nilai Odds Ratio dengan 95% interval kepercayaan. Penyusunan model prediksi luaran respons terapi dilakukan dengan metode analisis regresi logistik. Batas kemaknaan statistik yang dipergunakan adalah alpha 5%. Hasil: Didapatkan hubungan yang bermakna antara nilai ADC pra terapi serta volume tumor dengan luaran respons terapi dengan nilai p 0,000. Nilai titik potong ADC yang optimal sebesar 0,801 x 10-3 mm2/s dengan sensitivitas 87,5% dan spesifisitas 88,2%. Pasien dengan nilai ADC ≥ 0,801 x 10-3 mm2/s berisiko mengalami luaran respons terapi yang buruk sebesar 52,5 kali lebih tinggi dibandingkan pasien dengan nilai ADC < 0,801 x 10-3 mm2/s. Didapatkan juga nilai titik potong volume tumor yang optimal sebesar 45,7 cm3 dengan sensitivitas 93,8% dan spesifisitas 75%. Pasien dengan volume tumor ≥ 45,7 cm3 berisiko mengalami luaran respons terapi buruk sebesar 36 kali lebih tinggi dibandingkan pasien dengan volume tumor < 45,7 cm3. Kesimpulan: Nilai ADC pra terapi dan volume tumor dapat dijadikan prediksi luaran respons terapi karsinoma nasofaring. Diperlukan penelitian lanjutan dengan jumlah subjek yang lebih banyak lagi untuk memperkecil interval kepercayaan 95% odds ratio dan memperkuat hasil yang didapatkan. ......Background: Pre-treatment ADC values ​​of tumors are reported to be able to predict the response to malignancy therapy. However, the prognostic value of pre-treatment ADC in nasopharyngeal carcinoma in Indonesia is still unclear. Objective: To compare the average ADC value and obtain the pre-treatment ADC cut-off value between nasopharyngeal carcinoma patients with poor response and good response to therapy, then develop a prediction model for therapy response to nasopharyngeal carcinoma patients involving the role of pre-treatment ADC cut-off value and other variables. Methods: The study was conducted with an unpaired case-control preliminary study design using secondary data. The number of study subjects was 33 patients, 16 patients with poor response to therapy served as the case group and 17 patients with good response as the control group. Determination of the cut-off value for pre-treatment ADC values ​​was carried out by ROC analysis and AUC calculations along with their 95% confidence intervals, then sensitivity and specificity curves were made. The strength of the causal relationship is measured by calculating the Odds Ratio value with a 95% confidence interval. The therapy response outcome prediction model was carried out using the logistic regression analysis method. The limit of statistical significance used is alpha 5%. Results: There was a significant relationship between the pre-treatment ADC value and tumor volume with the therapeutic response outcome with a p value of 0.000. The optimal ADC cut-off value is 0.801 x 10-3 mm2/s with a sensitivity of 87.5% and a specificity of 88.2%. Patients with ADC values ​​≥ 0.801 x 10-3 mm2/s have a 52.5 times higher risk of experiencing a poor response to therapy than patients with ADC values < 0.801 x 10-3 mm2/s. The optimal tumor volume cut-off value of 45.7 cm3 with a sensitivity of 93.8% and a specificity of 75% was also obtained. Patients with a tumor volume ≥ 45.7 cm3 have a 36 times higher risk of having a poor response to therapy than patients with a tumor volume < 45.7 cm3. Conclusion: Pre-treatment ADC value and tumor volume can be used as an outcome prediction for nasopharyngeal carcinoma therapy response. Further research is needed with a larger number of subjects to reduce the 95% confidence interval of odds ratio and strengthen the results obtained.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sitti Muhsinah
Abstrak :
ABSTRAK
Karya ilmiah akhir ini merupakan kumpulan dari laporan praktik residensi keperawatan medikal bedah yang terdiri dari laporan kasus utama kanker nasofaring dan 30 kasus resume, penerapan Evidence Based Nursing EBN terapi musik dan progressive muscle relaxation, dan laporan inovasi pengkajian luka kanker yang dimodifikasi dari Malignat Wound Assassement Tool MWAT . Praktik ini menerapkan asuhan keperawatan pada pasien kanker dengan menggunakan pendekatan teori Roy Adaptation Model. Masalah keperawatan terbanyak akibat perilaku maladaptif adalah nyeri, resiko infeksi, kecemasan, kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dan ketidakefektifan pola napas. Terapi musik dan progressive muscle relaxation secara signifikan menurunkan depresi dan kecemasan pada pasien kanker payudara setelah menjalani mastektomi. Pengkajian luka kanker modifikasi MWAT mengkaji masalah fisik, psikis, sosial pasien dengan luka kanker. Perawat diharapkan mampu menerapkan teori keperawatan, melaksanakan tindakan berdasarkan EBN, dan melakukan inovasi untuk meningkatkan asuhan keperawatan yang berkualitas.
ABSTRACT
The scientific report was a compilation of the report medical surgical nursing residency practice which consists of the main report of nasopharyngeal cancer cases and 30 summaries, the application of music therapy and progressive muscle relaxation on evidence based nursing EBN , and innovation reports of wound cancer assessment tool, that modified from Malignant Wound Assassement Tool MWAT . This practice applying nursing care in cancer patients with approach Roy rsquo s Adaptation Model. Most nursing problems due to maladaptive behavior was pain, risk for infection, anxiety, imbalanced nutrition less than body requirements, and breathing pattern ineffective. The music therapy and progressive muscle relaxation may reduces depression and anxiety in female breast cancer patients after radical mastectomy. MWAT modifications assessment tool, assess physic psychologic social problems in patients with wound cancer. Nurses was expected to apply nursing theory, intervention based on EBN, and innovations to improve the quality of nursing care.
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Nuryadi
Abstrak :
Studi retrospektif ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan respon terapi radiasi antara teknik konvensional 2D dengan pengecilan lapangan radiasi teknik 2D, 3DCRT atau brakiterapi pada pasien kanker nasofaring stadium dini (stadium I – IIa). Dari 20 sampel didapatkan respon komplit pada 17 pasien (85%) dan respon parsial pada 3 pasien (15%) (p=0.219). Efek samping akut yaitu dermatitis radiasi grade 3-4 adalah 5% (p=0.435), mukositis grade 3-4 adalah 15% (p=0.510) dan xerostomia grade 3-4 adalah 0% (p=0.517). Secara statistik tidak didapatkan perbedaan bermakna tetapi secara klinis mempunyai kesan ada kecenderungan bahwa dengan pengecilan lapangan radiasi teknik brakiterapi dan 3DCRT lebih baik dalam hal efek samping akut mukositis dibanding teknik 2D. ......This retrospective study aimed to compare the response of radiation therapy between 2D conventional technique with the booster of 2D, 3DCRT or brachytherapy techniques in patients with early-stage nasopharyngeal cancer (stage I - IIa). From 20 sample, obtained complete response in 17 patients (85%) and partial response in 3 patients (15%) (p = 0.219). Side effects of acute radiation dermatitis grade 3-4 is 5% (p=0.435) , mucositis grade 3-4 is 15% (p=0.510) and xerostomia grade 3-4 is 0% (p=0.517). The result showed no satistically significant but clinically there is a tendency that with the booster of brachytherapy and 3DCRT techniques, are better compared with 2D technique in terms of acute mucositis side effects.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library