Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chandra Herwibowo
Abstrak :
ABSTRAK
Diundangkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uangtelah memberikan suatu dasar bagi penggunaan Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di negara Republik Indonesia. Pembuatan undang-undang ini merupakan amanat dari Pasal 23B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni “macam dan harga Mata Uang ditetapkan dengan undang-undang”. Penetapan dan pengaturan tersebut diperlukan untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi macam dan harga Mata Uang.

Pengaturan Pasal 21 jo. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang tersebut telah menimbulkan respon yang beragam dari stakeholders khususnya terkait penerapan pasal tersebut dihubungkan dengan praktek kegiatan usaha perbankan maupun perekonomian antara lain pemberian kredit dalam valas, pasar uang antar bank dalam valas, SKBDN dalam valas, ekspor impor. Adanya potensi permasalahan dilapangan menimbulkan suatu pertanyaan dari stakeholders apa maksud daripada Pasal 21 dan Pasal 23 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan sejauhmana batasannya, kemudian bagaimana terkait kegiatan-kegiatan usaha yang selama ini telahdilakukan dapat tetap dilaksanakan dengan tidak melanggar ketentuan Undang- UndangNomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Menghadapi permasalahan tersebut, Kementerian Keuangan (Pemerintah) kemudian melakukan penafsiran terhadap penggunaan uang Rupiah di Undang- Undang Mata Uang hanya terbatas pada transaksi secara fisik (dengan menggunakan uang kartal). Dengan penafsiran ini maka ketentuan Pasal 21 dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menjadi dapat dilaksanakan dan tidak menghambat perekonomian. Namun demikian penafsiran ini menimbulkan konsekuensi bahwa transaksi pembayaran di Wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang tidak menggunakan uang kartal (non tunai) dapat dilakukan dengan valuta asing. Dalam kaitan hal ini akan disadari adanya kekosongan hukum terkait kewajiban penggunaan mata uang Rupiah dalam transaksi keuangan non tunai.
ABSTRACT
The Law number 7 Year 2011 had been appointed concerning to Currency that has provided a basis for the use of Rupiah as legal tender in the Republic of Indonesia. This legislation establishment was the mandate of Article 23B of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 that was "kind and Currency prices were set by law." The determination and arrangements were needed to provide protection and legal certainty for the kind and Currency price.

The setting of Article 21 jo. Article 23 of Law No. 7 of 2011 on the Currency had caused varied responses from stakeholders particularly regarding the application of that article linked to the practice of banking operations and the economy, including the provision of credit in foreign currency, money market in the interbank in foreign currency, SKBDN in the foreign currency, and import export. There was a potential problem in the field that raised a question of stakeholders about what was the purpose of Article 21 and Article 23 of Law No. 7 of 2011 on the currency and the extent of the limit, then how about the related business activities that had been done so that could still be implemented without violating the provisions of Act 7 of 2011 about the currency.

In facing these problems, the Ministry of Finance (Government) then making interpretation in the use of the Rupiah money in Currency Act that was limited to the physical transaction (using the currency). With this interpretation, the provisions of Article 21 and Article 23 of Law No. 7 of 2011 on Currency could be implemented and did not obstruct the economy. However, this interpretation raised the consequence that payment transactions in the Territory of the Republic of Indonesia, which did not use currency (non-cash), could use foreign exchange. Related to this matter, it would be realized that there was a law emptiness related to the liability of Rupiah currency use in non-cash financial transactions.The Law number 7 Year 2011 had been appointed concerning to Currency that has provided a basis for the use of Rupiah as legal tender in the Republic of Indonesia. This legislation establishment was the mandate of Article 23B of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 that was "kind and Currency prices were set by law." The determination and arrangements were needed to provide protection and legal certainty for the kind and Currency price.
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rejeki
Abstrak :
ABSTRAK
Kedudukan Pelapor dan Saksi tindak pidana pencucian uang dalam sistem peradilan pidana berpotensi mendapatkan ancaman dari pihak-pihak yang tidak menginginkan kasusnya terbongkar sehingga mereka tidak berani mengungkapkan kesaksiannya. Kebutuhan atas perlindungan terhadap Pelapor dan Saksi suatu tindak pidana pada umumnya tidak terlepas dari pentingnya peranan Pelapor dan Saksi dalam proses peradilan pidana. Khusus untuk perlindungan bagi Pelapor dan Saksi TPPU, ketentuannya telah ada sejak Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang disahkan pertama kali tahun 2002, selanjutnya diubah pada tahun 2003 hingga pada tahun 2010 disahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menggantikan Undang-Undang yang lama. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif berupa studi kepustakaan yaitu meneliti dokumen berupa literatur buku-buku, peraturanperaturan dan pedoman-pedoman, dan juga melakukan wawancara dengan narasumber. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan : Apa yang menjadi dasar pemikiran dari ketentuan pemberian perlindungan bagi Pelapor dan Saksi tindak pidana pencucian uang?, Bagaimana pelaksanaan ketentuan pemberian perlindungan bagi Pelapor dan Saksi TPPU setelah keluarnya Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2010? dan Kendala apa yang akan muncul dalam pelaksanaannya?. Teknis pelaksanaan pemberian perlindungan bagi Pelapor dan Saksi TPPU mengacu pada PP Nomor 57 Tahun 2003 dan Peraturan Kapolri Nomor 17 Tahun 2005 yang mengamanahkan pelaksanaan pemberian perlindungan khusus bagi Pelapor dan Korban kepada Kepolisian RI. Pada tahun 2006 disahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang berlaku sebagai ketentuan payung dalam pemberian perlindungan Pelapor, Saksi dan/atau Korban di tanah air. Undang-Undang tersebut mengamanahkan pemberian perlindungan dilaksanakan oleh lembaga khusus bernama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Undang- Undang Perlindungan Saksi dan Korban ternyata memiliki berbagai kelemahan yang sedikit banyak akan mempengaruhi implementasi dalam pemberian perlindungan. Dalam pelaksanaan pemberian perlindungan bagi Pelapor dan Saksi TPPU, LPSK dapat bekerja sama dengan instansi lain yang menjadi sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana yakni, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Selain itu LPSK juga dapat bekerja sama dengan PPATK yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
ABSTRACT
The position of Reporting Parties and Witnesses of money laundering in the criminal justice system, potentially under threat from those who do not want the case revealed that they did not dare reveal his testimony. The need for the protection of Reporting Parties and Witnesses of a crime is generally not independent of the importance of the role of Reporting Parties and Witnesses in the criminal justice process. Especially for the protection of Reporting Parties and Witnesses of money laundering, the terms have existed since the law of money laundering was first enacted in 2002, further it was amended in the year 2003. In the year 2010, The Legislature enacted Law No. 8 of 2010 Concerning Prevention and Eradication of Money Laundering legislation replacing the old law. By using the research method of normative juridical in which one of them is library study, which is analysing documents such as books, provisions, guidance, and also interview with experts. This study is aimed at answering some research questions : What was the rationale thought of granting protection for Reporting Parties and Witnesses of money laundering?, How the implementation of the provisions granting protection for Reporting Parties and Witnesses after discharge anti money laundering law No. 8 years 2010? and what obstacles would arise in its implementation?. Technical provisions for the implementation of Reporting Parties and Witnesses Protection of Money Laundering refer to Regulation number 57 in 2003 and Chief of Police rule Number 17 0f 2005 which mandated the implementation of granting special protection to Reporting Parties and Witnesses to The Indonesian Police. In the year 2006 came out Law No. 13 of 2006 on the protection of witnesses and victims, which acted as a main provision to protection Reporting Parties, Witnesses and/or victims in Indonesia. The Law mandated the responsibility for providing protection implemented by specialized institutions called the Witness and Victim Protection Agency (LPSK). The law of protection of the witnesses and victims had a weaknesses that influenced the implementation of granting protection. In the implementation of granting protection for reporting parties and witnesses in Money laundering, LPSK could cooperate with other institutions that included in sub system of criminal justice system such as Police, Attorney, Court, and Prison. Besides, LPSK also could cooperate with PPATK that has duty to prevent and eradicate of money laundering.
2013
T32556
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldian Kukuh Trisetyadi
Abstrak :
PPAT adalah mitra dari BPN tetapi tidak termasuk dalam kategori pegawai kantor pertanahan sehingga PPAT tidak menerima gaji setiap bulan hanya penghargaan, penghargaan yang dimaksud yaitu pemberian uang jasa yaitu paling besar 1% dari nilai transaksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 32 ayat (1) PJPPAT. Pada tahun 2021 Menteri ATR/BPN mengeluarkan aturan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 33 tahun 2021 Tentang Uang Jasa Pembuatan Akta yang membagi nilai dari 1% itu menjadi 4 bagian. Terdapat 2 (dua) rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu pertama, mengenai pengaturan tarif uang jasa dan sanksi terhadap Permen ATR/BPN No. 33 Tahun 2021, dan kedua, mengenai pelaksaan sanksi apabila PPAT melanggar aturan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Hasil dari penelitian ini pertama, menganalisis pengaturan besaran uang jasa pembuatan akta PPAT secara lebih jelas karena adanya klasifikasi yang sudah diatur dalam Permen tersebut dan Permen ini juga menyebutkan pengaturan sanksi yang menyatakan apabila seorang PPAT melanggar ketentuan terhadap uang jasa maka sanksi pelanggaran yang dikenakan berupa pemberhentian sementara paling lama 6 bulan. Kemudian yang kedua, mengenai penerapan pelaksanan sanksi aturan Permen ATR/BPN No. 33 Tahun 2021 melewati prosedur teguran dan peringatan dan langsung pada pemecatan sementara, prosedur pemberhentian atau pemecatan tidak diatur secara rinci di dalam Permen No. 33 Tahun 2021, sedangkan dalam Kode Etik IPPAT apabila seorang PPAT melanggar ketentuan perundang-undangan lainnya yang dengan kewajiban PPAT maka ia melanggar juga Kode Etik, maka tata cara pemberian sanksi dapat menggunakan aturan Kode Etik. ......Land Deed Making Officers (PPAT) is a partner of BPN but is not included in the category of land office employees so that PPAT does not receive a salary every month only awards, the award in question is the provision of service money, which is a maximum of 1% of the transaction value as stipulated in the provisions of Article 32 paragraph (1) of PJPPAT. In 2021 the Minister of ATR/BPN issued a regulation of the Minister of Agrarian affairs and Spatial Planning/Head of the National Defense Agency Number 33 of 2021 concerning Deed Making Services Money which divides the value of the 1% into 4 parts. There are 2 (two) formulations of problems in this study, namely first, regarding the regulation of service money rates and sanct ions against the Minister of ATR/BPN Regulation No. 33 of 2021, and second, regarding the implementation of sanctions if PPAT violates these rules. The research method used is normative juridical with explanatory research typology. The results of this study first, analyze the regulation of the amount of service money for making PPAT deeds more clearly because of the classification that has been regulated in the Regulation and this Regulation also mentions sanctions arrangements that state that if a PPAT violates the provisions for service money, the violation sanctions imposed are in the form of temporary suspension for a maximum of 6 months. Then the second, regarding the application of sanctions for the regulation of the Minister of ATR /BPN Regulation No. 33 of 2021 through reprimand and warning procedures and directly on temporary dismissal, the procedure for dismissal or dismissal is not regulated in detail in Regulation No. 33 of 2021, while in the IPPAT Code of Ethics if a PPAT violates other statutory provisions that with the obligations of the PPAT then he also violates the Code of Ethics, then the procedure for sanctioning can use the rules of the Code of Ethics.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011
346.082 BAN u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011
346.082 BAN u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sigalingging, Hotbin
Jakarta: Bank Indonesia, 2005
332.1 SIG k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Paulina
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28918
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Leo Jimmi Agustinus
Abstrak :
Membahas penagnanan perkara tindak pidana pencucian uang khususnya dalam hal perlu tudaknya pembuktian tindak pidana asal dalam penanganan tindak pidana pidana pencucian uang dan kaitan antara dua tindak pidana tersebut. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersipat deskriptis analisis, dimana data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, Penelitian ini berkesimpulan bahwa adanya hubungan berkelanjtan yang terpisah dan berdiri sendii sendiri antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang, adanya kesamaan bentuk antara tindak pidana pencucian uang dngan tindak pidana penadahan, dan dalam penanganan tindak pidana pencucian uang tidak diperlukan untuk pembuktian terlebih dahlu tindak pidana asalnya. Penelitian ini juga menyarankan agar setiap komponen dalam sistem peradlan pidana untuk mempunyai kesamaan sikap mengenai kesimpulan penelitian ini menyarankan bagi penegak hukum untuk memberikan ruang seluasnya bagi terdakwa tindak pidana pencucian uang untuk menggunakan haknya sesuai UUPPTIPPU. ......This thesis details on administering cases on money laundering criminal act specifically on whether or not os required origin criminal act burden of proof in money laundering criminal act and connection between both criminal act. This study shall be a normative legal study and analysis descriptive in nature, whereby the collected data will be analyzed qualitatively. This study concluded that there exists a separate and independent sustainable relationship between origin criminal act and money laundering criminal act, a similarity of form between money laundering criminal act and fencing criminal act, and in administering money laundry criminal act it is not required to first proof its origin criminal act. Further, this study suggests for each component in the criminal justice system to have a unity of attitude to the conclusion of this study for the formation of an integrated criminal justice system. This study also encourages legal practitioners to provide the broadest space to money laundering criminal defendant to utilize his/her right under UUPPTPPU.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28944
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Kristian
Abstrak :
ATM sebagai bentuk fasilitas yang disediakan oleh bank untuk kemudahan dan kenyamanan nasabah dalam melakukan transaksi keuangan ternyata tidak selamanya aman. Kasus pembobolan ATM yang terjadi di Bali dan kota-kota lain membuktikan bahwa hak-hak nasabah selaku konsumen terutama hak atas keamanan masih belum dipenuhi oleh pihak bank. Dengan kesadaran adanya ketidakseimbangan kedudukan antara nasabah selaku konsumen dan pihak bank selaku pelaku usaha maka dibutuhkan peraturan-peraturan yang melindungi kepentingan nasabah. Penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif yang berbasis pada analisis norma hukum dan bersifat deskriptif dengan menggunakan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini berupa analisis dan saran mengenai bentuk-bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah bank korban pembobolan ATM ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsmen dan beberapa Peraturan Bank Indonesia serta menjelaskan bagaimanakah tanggung jawab dan ganti rugi yang diberikan oleh pihak perbankan kepada para korban pembobolan ATM. ......ATM facility, which is provided by bank to comfort the customers in doing financial transaction, is not always save. ATM fraud in Bali and other cities proofs that the rights of the customers especially right of safety can not be fulfilled by bank. Realizing the unbalance position between customer as consument and bank as business player, some rules which give protection to the customers is needed. This research is a normative and descriptive law research which uses study of literature. The result of the research is analysis and suggestions on how to give legal protection for victims of ATM fraud based on Act Number 8 year 1999 About Protection Law and some Indonesian Banking Rule. In addition, the research explains the responsibility and procedure to compensate financial loss given by bank for the victims of ATM fraud.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S24734
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library