Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
Shafira Rahma Alifia
"Skripsi ini membahas mengenai tolok ukur alasan-alasan yang dibenarkan dalam pemberian dispensasi kawin sebagai upaya meminimalisir atau menekan angka perkawinan anak atau perkawinan di bawah umur sebagaimana telah diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menggunakan 2 (dua) perbandingan putusan mengenai dispensasi kawin dengan alasan pengajuan yang berbeda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tolok ukur untuk alasan-alasan yang dibenarkan untuk mengajukan permohonan dispensasi dengan tujuan utama sebagai upaya meminimalisir perkawinan anak atau perkawinan di bawah umur. Kontradiktif yang terjadi dari tujuan semula dari sebuah perubahan undang-undang untuk meminimalisir terjadinya perkawinan anak atau perkawinan di bawah umur akan menjadi hambatan untuk menekan angka perkawinan anak atau perkawinan di bawah umur.
This thesis discusses the benchmarks of the reasons justified in granting marriage dispensation as an effort to minimize or suppress the number of child marriages or underage marriages as regulated in Article 7 of Law Number 16 of 2019 concerning Amendments to Law Number 1 of 1974 about marriage. This research is a normative juridical research using a qualitative approach. This study uses 2 (two) comparisons of decisions regarding dispensation for marriage with different reasons for filing. The purpose of this study is to find out how the benchmarks for justified reasons for submitting a dispensation application with the main objective as an effort to minimize child marriage or underage marriage. Contradictions that occur from the original purpose of a law change to minimize the occurrence of child marriages or underage marriages will be an obstacle to suppress the number of child marriages or underage marriages."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Vina Cahya Farhani
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memahami perubahan prosedur dispensasi kawin setelah diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 5 Tahun 2019 serta implikasinya terhadap penetapan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Polewali Mandar. Penelitian disusun dengan menggunakan metode doktrinal dengan studi kasus pada dua penetapan dispensasi kawin yang dipilih. Data diperoleh melalui studi dokumen dan wawancara dengan pihak terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perma No. 5 Tahun 2019 memberikan pedoman yang lebih ketat dalam proses permohonan dispensasi kawin, dengan tujuan untuk melindungi hak anak dan mengurangi angka pernikahan usia dini. Studi kasus pada Penetapan Nomor 1/Pdt.P/2023/PA.Pwl dan Nomor 121/Pdt.P/2024/PA.Pwl mengungkapkan adanya peningkatan tuntutan pembuktian bagi pemohon dispensasi serta peran aktif hakim dalam menggali alasan dan urgensi permohonan. Penetapan dalam kedua kasus tersebut mencerminkan penerapan Perma No. 5 Tahun 2019 yang lebih detail dan berorientasi pada perlindungan kepentingan terbaik anak. Perma No. 5 Tahun 2019 berpengaruh signifikan terhadap proses dan hasil putusan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Polewali Mandar, dengan adanya penekanan pada aspek perlindungan anak dan kepentingan terbaik anak sebagai prioritas utama.
The objective of this study is to examine the changes in marriage dispensation procedures that took place after the issuance of Supreme Court Regulation (Perma) No. 5 of 2019 and its implications for the determination of marriage dispensation in the Polewali Mandar Religious Court. The research was prepared using the doctrinal method with case studies on two selected marriage dispensation decisions. Data were obtained through document studies and interviews with relevant parties. The findings indicate that Perma No. 5 of 2019 introduces stricter guidelines for the marriage dispensation application process, aimed at safeguarding children's rights and reducing the incidence of early marriages. Case studies of Stipulations No. 1/Pdt.P/2023/PA.Pwl and No. 121/Pdt.P/2024/PA.Pwl reveal an increase in evidentiary requirements for dispensation applicants and the active role of judges in exploring the reasons and urgency of the application. The stipulations in both cases reflect a more thorough application of Perma No. 5/2019 and prioritize the protection of the child's best interests.. Perma No. 5/2019 has a significant effect on the process and outcome of marriage dispensation decisions at the Polewali Mandar Religious Court, with a focus on child protection and prioritizing the best interests of the child."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nisa Aulia Denizar
"Dispensasi perkawinan merupakan suatu kelonggaran yang diberikan oleh pengadilan kepada calon suami istri yang belum mencapai batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan. Penelitian ini menganalisis urgensi dispensasi perkawinan terhadap anak dibawah umur dalam Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Perkawinan serta meninjau pelaksanaan aturan batasan umur perkawinan pasca perubahan Undang-Undang Perkawinan. Penelitian ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal dengan pendekatan kualitatif. Setelah perubahan Undang-Undang Perkawinan sebagai upaya perlindungan terhadap perempuan, jumlah perkawinan dibawah umur justru semakin meningkat. Padahal, telah dibentuk pula Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Perkawinan sebagai upaya perlindungan. Hal ini karena tidak mengatur alasan-alasan yang dapat dibenarkan untuk diberikan izin dispensasi perkawinan oleh pengadilan. Penelitian ini mengklasifikasikan 20 (dua puluh) penetapan terkait dispensasi perkawinan di Pengadilan Negeri Manado berdasarkan alasan yang diajukan oleh Pemohon. Sebagian besar permohonan dispensasi perkawinan di Pengadilan Negeri Manado dilakukan dengan alasan telah terjadi kehamilan diluar perkawinan atau atas keinginan orang tua. Ketidakjelasan alasan-alasan yang dimaksud dalam Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Perkawinan mengakibatkan tidak banyak Hakim yang menimbang perkara dispensasi perkawinan dengan peraturan tersebut. Hakim lebih memperhatikan UU No. 16 Tahun 2019 daripada Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2019 dalam mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan.
Marriage dispensation is a concession granted by the court to prospective husband and wife who have not yet reached the minimum age limit for marriage. This research analyzes the urgency of marriage dispensations for minors in the Supreme Court Regulations concerning Guidelines for Adjudicating Marriage Dispensations and reviews the implementation of the age limit regulations for marriage after changes to the Marriage Law. This research was prepared using doctrinal research methods with a qualitative approach. After changes to the Marriage Law as an effort to protect women, the number of underage marriages actually increased. In fact, a Supreme Court Regulation regarding Guidelines for Adjudicating Marriage Dispensations has also been established as a protective measure. This is because it does not regulate the reasons that can be justified for the court to grant a marriage dispensation. This research classifies 20 (twenty) decisions regarding marriage dispensations at the Manado District Court based on the reasons submitted by the Petitioner. Most requests for marriage dispensation at the Manado District Court are made on the grounds that there has been a pregnancy outside of marriage or because of the parents' wishes. The lack of clarity on the reasons referred to in the Supreme Court Regulations concerning Guidelines for Adjudicating Marriage Dispensations has resulted in not many Judges weighing marriage dispensation cases in accordance with these regulations. Judges pay more attention to Law no. 16 of 2019 rather than Supreme Court Regulation no. 5 of 2019 in granting requests for marriage dispensation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Metta Angela
"Skripsi ini membahas mengenai perbandingan pengaturan dispensasi perkawinan di Indonesia dan Singapura berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Dispensasi Kawin dan Women’s Charter 1961 beserta dengan pelaksanaannya. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder dan perundag-undangan. Dispensasi perkawinan merupakan pemberian izin perkawinan oleh pengadilan kepada calon suami/isteri yang belum mencapai batas usia minimal untuk melangsungkan perkawinan. Batas usia minimal tersebut beragam sesuai dengan ketentuan perundang-undangan setiap negara. Indonesia menetapkan usia 19 (sembilan belas) tahun sebagai batas usia minimal perkawinan, sedangkan Singapura menetapkan batas usia minimal perkawinan pada usia 18 (delapan belas) tahun. Selain batas usia minimal perkawinan, Indonesia dan Singapura memiliki beberapa persamaan dan perbedaan lainnya. Adapun salah satu perbedaan utama dalam pengaturan dispensasi perkawinan antara Indonesia dan Singapura adalah penerapan Bimbingan Pra-Nikah di Indonesia dan Marriage Preparation Programme di Singapura. Singapura mewajibkan pasangan yang mengajukan Special Marriage License untuk mengikuti Marriage Preparation Programme, sedangkan Bimbingan Pra-Nikah di Indonesia masih bersifat pilihan dan hanya diwajibkan oleh beberapa lembaga keagamaan. Oleh karena itu, diperlukan pembaharuan serta tinjauan mengenai hukum dispensasi kawin di Indonesia untuk memastikan kesiapan dan pemenuhan hak anak di bawah umur dalam pernikahan dini.
This thesis discusses the comparison of marriage dispensation law in Indonesia and Singapore based on Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Dispensasi Kawin and Women’s Charter 1961 along with its implementations. Marriage dispensation means the granting of marriage license by the court to a bride/groom who has not reached the minimum age to enter marriage. The minimum age varies according to the statutory provisions of each country. Indonesia sets the age of 19 (nineteen) years old as the minimum age for marriage, while Singapore sets the minimum age for marriage at 18 (eighteen) years old. In addition to the minimum age to enter marriage, Indonesia and Singapore also have several other similarities and differences. One of the main differences in the regulation of marriage dispensation between Indonesia and Singapore is the application of Bimbingan Pra-Nikah in Indonesia and Marriage Preparation Programme in Singapore. Singapore requires couples applying for a Special Marriage License to take part in the Marriage Preparation Programme, while Bimbingan Pra-Nikah in Indonesia is still optional and only required by some religious institutions. Therefore, an update and review of marriage dispensation law is needed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Rapha Destrida
"Hukum perkawinan Indonesia mengatur syarat umur perkawinan yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu 16 (enam belas) tahun bagi perempuan, dan 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki. Namun, pada tahun 2019, syarat umur tersebut mengalami peningkatan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yaitu 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki maupun perempuan. Peningkatan syarat umur tersebut bertujuan untuk menghindari diskriminasi terhadap perempuan, serta menekan angka perkawinan anak di Indonesia. Namun, tujuan tersebut tidak sepenuhnya tercapai karena peningkatan syarat umur hanya berlaku efektif untuk menghindari diskriminasi terhadap perempuan, tetapi tidak berlaku efektif dalam menekan angka perkawinan anak di Indonesia. Terdapat peningkatan angka perkawinan anak di Indonesia yang ditinjau dari adanya lonjakan drastis terhadap angka kasus dispensasi perkawinan setelah berlakunya peningkatan syarat umur tersebut. Dispensasi perkawinan merupakan suatu pengecualian terhadap pemenuhan syarat umur, sehingga mereka yang belum mencapai syarat umur dapat melangsungkan perkawinan. Dispensasi perkawinan tersebut dapat diberikan melalui permohonan yang diajukan oleh orang tua calon suami atau isteri ke Pengadilan. Lebih lanjut, dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, diatur bahwa dalam mengajukan dispensasi perkawinan diperlukan adanya “alasan sangat mendesak” sebagai latar belakang pengajuan yang disertakan bukti-bukti cukup. Meskipun demikian, tidak diatur lebih lanjut mengenai batasan dari frasa “alasan sangat mendesak” tersebut, yang menimbulkan ragam tafsiran bagi masyarakat dalam mengajukan permohonan dispensasi perkawinan, maupun bagi Hakim dalam mengadili permohonan dispensasi perkawinan. Penelitian ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal yang berisi analisis pertimbangan Hakim dalam menetapkan permohonan dispensasi perkawinan atas alasan sangat mendesak terhadap 2 (dua) penetapan yaitu Penetapan Nomor 270/Pdt.P/2022/PN Mnd dan Penetapan Nomor 41/Pdt.P/2022/PN Gin, dan selanjutnya 2 (dua) analisis penetapan tersebut akan dibandingkan. Lebih lanjut, penelitian ini juga akan membahas tafsiran Hakim mengenai frasa “alasan sangat mendesak” melalui observasi langsung yang dilakukan Penulis kepada Hakim.
Indonesian marriage law originally regulates the age requirements for marriage at 16 (sixteen) for women and 19 (nineteen) for men through Law Number 1 of 1974 on Marriage. However, in 2019, Law Number 16 of 2019 raised the age requirements to 19 (nineteen) years old for both gender. The increase was aimed to avoid discrimination against women and as an effort to suppress child marriage rates in Indonesia. However, this goal has not been fully achieved due to the ineffectiveness in suppressing the child marriage rates in Indonesia. This can be seen from the sharp rise in the number of marriage dispensation cases after the implementation of the increase in the age requirement. Marriage dispensation is an exception to the fulfillment of marriage age requirement, which allows those who have not reached the age requirement to marry. Marriage dispensation can be granted through an application submitted by the parents of the prospective bride or groom to the court. Furthermore, article 7 paragraph (2) of Law Number 16 of 2019 stipulates that a “very urgent reason” must be provided as the basis for the dispensation application. However, there are no further regulations regarding the limitation of the phrase “very urgent reason”, which has led to various interpretations by the public in applying marriage dispensations, as well as by Judges in determining the marriage dispensation applications. This research is conducted using doctrinal research methods, which analyze the considerations of Judges in granting marriage dispensation application based on “very urgent reason” in 2 (two) court orders, namely Court Order Number 270/Pdt.P/2022/PN Mnd and Court Order Number 41/Pdt.P/2022/PN Gin, followed by comparison of the 2 (two) court orders. Additionally, this research will discuss the Judge’s interpretation of the phrase “very urgent reason” through direct observation conducted by the author with the Judge."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library