Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ciputra Linardy
Abstrak :

Introduksi: Rekonstruksi mandibula pada kasus-kasus tumor mandibula menggunakan flap fibula bebas merupakan hal penting untuk mengembalikan fungsi dan estetik pada defek pascareseksi. Penelitian ini ditujukan untuk menilai hubungan karakteristik klinis dengan fungsi menelan, fungsi bicara, fungsi makan, dan kualitas hidup pada pasien yang dilakukan rekonstruksi mandibula menggunakan flap fibula bebas pascamandibulektomi.

Metode: Dilakukan studi dengan desain potong lintang dan survei mengikutsertakan pasien yang dilakukan rekonstruksi mandibula menggunakan flap fibula bebas pascamandibulektomi di RSCM pada tahun 2014-2019. Dilakukan penilaian terhadap kelas defek mandibula, panjang defek, jumlah subunit mandibula, ekstensi defek, jumlah segmen tulang, selanjutnya dilakukan penilaian fungsi melalui wawancara menggunakan European Organization for Research and Treatment of Cancer Head and Neck Cancer Quality of Life Questionnaire (EORTC QLQ-H&N35).

Hasil: Tercatat 63 pasien dengan mandibulektomi dan dilakukan rekonstruksi. Hanya 14 dapat dinilai. Hanya panjang defek dan ekstensi defek yang memiliki hubungan bermakna dengan fungsi. Panjang defek mandibula memiliki korelasi positif dengan gangguan pada fungsi menelan (p = 0,032), fungsi bicara (p = 0,020), dan kualitas hidup (p = 0,032). Ekstensi defek intraoral dan ekstraoral menyebabkan gangguan fungsi menelan (p = 0,035).

Konklusi: Penelitian ini menunjukkan bahwa fungsi menelan, fungsi bicara, dan kualitas hidup tergantung defek pascamandibulektomi.

 


Introduction: Mandibular reconstruction utilizing free fibula flap is essential in restoring the function, and aesthetics outcomes post mandibular tumor resection. This study looks into the association of clinical characteristics with functional outcomes such as swallowing, speaking, eating, and quality of life on patients undergoing post-mandibulectomy mandibular reconstruction using free fibula flap.

Methods: We performed a cross-sectional study that includes patients who underwent post-mandibulectomy mandibular reconstruction using free fibula flap at RSCM in 2014-2019. Mandibula defect class, defect length, the number of mandibula subunits, defect extension, and the number of osteotomy segments was evaluated. The functional outcomes were assessed using the European Organization for Research and Treatment of Cancer Head and Neck Cancer Quality of Life Questionnaire (EORTC QLQ-H&N35).

Results: 63 patients underwent mandibulectomy and reconstruction using free fibula flap. Only 14 were included in the study. Defect length and extension are significantly associated with functional outcomes. Mandibula defect length has positive correlation with problems in swallowing function (p = 0.032), speaking function (p = 0.020), and quality of life (p = 0.032). Both intraoral and extraoral defect extension causes swallowing function problem (p = 0.035).

Conclusion: This study discovered that swallowing function, speaking function, and quality of life are associated with post-mandibulectomy defect.

 

 

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marceline Olivia
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Gigi dengan saluran akar c-shape memiliki kompleksitas anatomi yang menjadikan perawatan saluran akar memiliki prognosis yang masih diperdebatkan akibat kesulitan untuk melakukan debridement dan obturasi yang adekuat. Kompleksitas ini mengakibatkan pengetahuan mengenai anatomi saluran akar c-shape penting untuk menunjang keberhasilan perawatan saluran akar. Tujuan: Mengetahui prevalensi dan variasi saluran akar c-shape pada gigi premolar pertama dan molar kedua rahang bawah. Metode: Penelitian menggunakan sampel 60 gigi premolar pertama dan 32 gigi molar kedua rahang bawah. Sampel dipindai menggunakan micro-CT Bruker SkyScan 1173 dengan resolusi 50 m. Pemotongan melintang untuk melihat bentuk saluran akar dilakukan menggunakan perangkat lunak DataViewer. Pengukuran sudut untuk menentukan klasifikasi c-shape dilakukan menggunakan perangkat lunak Fiji ImageJ. Hasil: Prevalensi c-shape pada gigi premolar pertama rahang bawah adalah 17 dengan prevalensi tipe C1 ditemukan paling besar pada tingkat pemotongan M, tipe C2 memiliki prevalensi terbesar pada AM, dan tipe C3 memiliki prevalensi terbesar pada tingkat pemotongan A 2. Tipe C4 mendominasi tingkat pemotongan CEJ-2 dan CM sedangkan tipe C5 hanya ditemukan pada tingkat pemotongan A 2. Prevalensi c-shape pada gigi molar kedua rahang bawah adalah 16,67 dengan klasifikasi yang paling banyak ditemukan pada kelima tingkat pemotongan adalah C1. Prevalensi konfigurasi tipe C2 terbesar ditemukan pada CM. Tipe C3 pada penelitian ini ditemukan pada tingkat O. Prevalensi tipe C4 paling besar ditemukan pada tingkat pemotongan A 2. Perubahan konfigurasi didapati terjadi sepanjang saluran akar. Kesimpulan: Prevalensi c-shape pada gigi premolar pertama rahang bawah adalah 17 sedangkan pada gigi molar kedua rahang bawah 16,67 . Terdapat variasi konfigurasi di sepanjang saluran akar.Kata kunci : c-shape, molar kedua rahang bawah, micro-CT, prevalensi, premolar pertama rahang bawah
ABSTRACT
Background A tooth with c shaped root canal has a complex anatomy, making root canal treatment prognosis questionable because of the difficulties in doing adequate debridement and obturation. This complexity also makes the knowledge about root canal anatomy important to improve endodontic treatment result. Objective The aim of this study is to know the prevalence and variation of c shaped canal in mandibular first premolars and second molars. Methods 60 mandibular first premolars and 32 mandibular second molars was scanned using micro CT Bruker SkyScan 1173 in 50 m resolution. Transverse sectioning of each tooth was performed using software DataViewer. Angle measurement for determining c shape classification was performed using software Fiji ImageJ. Result The Prevalence of c shaped canal in mandibular first premolars was 17 with type C1 most prevalence in M, type C2 in AM, and type C3 in A 2. Type C4 was the most common classification found in sectioning level CEJ 2 and CM while type C5 was only found in A 2. The Prevalence of c shaped canal in mandibular second molars was 16,67 with the most common classification found in five level of sectioning was C1. C2 was most prevalence in level CM, C3 was most prevalence in O and C4 was most prevalence in A 2. The alteration of configuration happened along the root canal. Conclusion The prevalence of c shape canal in mandibular first premolars was is 17 and in mandibular second molars was 16,67 with variation of root canal configuration happened along the root canal itself.Keywords c shape, mandibular second molar, mandibular first premolar, micro CT, prevalence
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hananto Anggoro Wiryawan
Abstrak :
Latar belakang: Tatalaksana rekonstruksi pada pasien reseksi mandibula dengan hanya menggunakan rekonstruksi plat umum dilakukan dibeberapa rumah sakit di Indonesia. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pasca rekonstruksi mandibula dapat berupa ekspose plat, fraktur plat dan fistula. Tujuan: Tujuan penelitian ini akan mencari beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya komplikasi tersebut. Material dan metode: Penelitian ini merupakan studi retrospektif dari tahun 2012-2017 yang diambil dari rekam medis. Data tumor jinak mandibula (lokasi, ukuran, panjang), data sistemik pasien (riwayat merokok, diabetes, status gizi) dan data operasi (durasi, sistem plat rekonstruksi) dihubungkan dengan kejadian komplikasi yang dianalisis dengan menggunakan Kaplan Meier Survival Curve dan Cox Regresi Proportional Hazard. Hasil: Terkumpul 69 data dengan prevalensi terjadinya komplikasi sebesar 21,73%(15/69) dengan rerata lama observasi 15,4 bulan. Terdapat pengaruh riwayat merokok (p=0,000) dan faktor usia (p=0,000) terhadap terjadinya komplikasi pasca pemasangan plat dengan hazard ratio riwayat merokok 9,19 dan faktor usia 10-20 tahun dibanding diatas 60 tahun sebesar 153,8. Angka survival plat pada pasien tidak merokok berada diatas 80% pada 2 tahun pertama, tahun ketiga 60% dan setelah itu dapat menurun hingga 20-40%. Kesimpulan: Merokok dan faktor usia berpengaruh terhadap kejadian komplikasi pasca rekonstruksi mandibula. Jika memungkinkan, rekonstruksi mandibula hanya dengan plat rekonstruksi merupakan tindakan sementara, perlu dipertimbangkan penggunaan graft baik vascularized maupun non-vascularized. ......Background: Treatment of reconstruction in post-mandibular resection patients using only plate reconstruction is commonly performed in several hospitals in Indonesia. Some complications that can occur after reconstruction of the mandible can be expose plates, plate fractures and fistulas. Aim: The purpose of this study will look for several factors that influence the occurrence of these complications. Material and method: A retrospective study from 2012-2017 taken from medical records. Data on benign mandibular tumors (location, size, length), patient systemic data (smoking history, diabetes, nutritional status) and operating data (duration, reconstruction plate system) were associated with the incidence of complications, analyzed using Kaplan Meier Survival Curve and Cox Proportional Regression Hazard. Result: Sixty-nine data with the prevalence of complications 21.73% (15/69) with an average observation time 15.4 months. There was an effect of smoking history (p = 0,000) and age factor (p = 0,000) on the occurrence of postoperative complications with hazard ratio of smoking history 9,19 and age factor 10-20 years compared to over 60 years is 153,8. The plate survival rate in patients who do not smoke is above 80% in the first 2 years, the third year is 60% and after that it can decrease by 20-40%. Conclusion: Smoking and age factors influence the incidence of post-reconstruction mandibular complications. If possible, mandible reconstruction using a reconstruction plate is temporary procedure, it is necessary to consider the use of either vascularized or non-vascularized grafts.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Lorenza
Abstrak :
Latar Belakang: Bone loss merupakan kondisi yang terjadi seiring penuaan akibat berbagai faktor risiko. Pemeriksaan densitas tulang dapat dilakukan dengan melihat grayscale value tulang kanselus mandibula pada radiograf panoramik digital. Tujuan: Mengetahui perbandingan rerata grayscale value tulang kanselus mandibula menurut jenis kelamin, usia, dan besar arus listrik pada radiograf panoramik digital. Metode: Penelitian ini menggunakan 294 sampel radiograf panoramik digital pria dan wanita berusia 31-75 tahun di RSKGM FKG UI. Rerata grayscale value didapatkan dari pengukuran menggunakan Software I-Dixel Morita© di tulang kanselus mandibula kiri atau kanan daerah apikal regio premolar. Analisa statistik dilakukan 2 kali dengan atau tanpa mempertimbangkan variasi kondisi besar arus(mA). Analisa pertama melibatkan seluruh 294 sampel dengan rentang besar arus 3,3-8 mA. Analisa kedua melibatkan 60 sampel dengan rentang besar arus 5,7-6,4 mA. Hasil: Hasil analisa statistik pertama menunjukkan rerata grayscale value kelompok pria sebesar 113,52±14,88 dan kelompok wanita sebesar 109,98±14,08. Rerata Grayscale value kelompok usia 31-45 tahun sebesar 112,38±13.39, kelompok usia 46-60 tahun sebesar 111,76±13.75, dan kelompok usia 61-75 tahun sebesar 111,11±16.49. Hasil analisa statistik kedua menunjukkan rerata grayscale value kelompok pria sebesar 116,66±13,75 dan kelompok wanita sebesar 105,58±13,55. Rerata grayscale value kelompok usia 32-53 tahun sebesar 115,42±10,89 dan kelompok usia 54-75 tahun sebesar 106,81±16,72. Kesimpulan: Rerata grayscale value tulang kanselus mandibula antar jenis kelamin dan kelompok usia tidak berbeda bermakna (3,3-8 mA). Rerata grayscale value tulang kanselus mandibula antar jenis kelamin serta antar kelompok usia berbeda bermakna (5,7-6,4 mA). ......Background: Bone loss is a condition that occurs during aging due to various factor risk. Bone density examination can be performed by measuring grayscale value at the mandibular cancellous bone on a digital panoramic radiograph. Objective: To obtain comparison of mean grayscale value of mandibular cancellous bone by gender, age, and tube current on digital panoramic radiograph. Method: This study utilizing secondary data, totally 294 digital panoramic radiograph of men and women age 31-75 years old at RSKGM FKG UI. Mean grayscale value is obtained by measurement using Software I- Dixel Morita© in the left or right mandibular cancellous bone in the apical area of the premolar region. Two alternative statistical analysis were carried out, with or without considering the variation in tube current condition (mA). The first analysis involved all 294 samples with tube current condition range from 3,3-8 mA. The second analysis involved 60 samples with tube current condition range from 5,7-6,4 mA. Result: First statistical analysis showed that mean grayscale value of the men group is 113,52±14,88 and women group is 109,98±14,08. Mean grayscale value of the 31-45 years old group is 112,38±13.39, 46-60 years old group is 111,76±13.75, and 61-75 years old group is 111,11±16.49. Result from second statistical analyses shows mean grayscale value of the men group is 116,66±13,75 and women group is 105,58±13,55. Mean grayscale value of the 32-53 years old group is 115,42±10,89 and 54-75 years old is 106,81±16,72. Conclusion: Mean grayscale value mandibular cancellous bone by gender and age group are not statistically different (3,3-8 mA). Mean grayscale value mandibular cancellous bone by gender and age group are statistically different (5,7-6,4 mA).
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lully Kurniawan
Abstrak :
Latar Belakang : Defek pada mandibula yang tidak direkonstruksi dapat menyebabkan morbiditas yang berat seperti gangguan mastikasi, bicara, dan estetika. Defek mandibula dapat disebabkan oleh berbagai sebab diantaranya trauma, infeksi, kondisi patologis, dan kongenital. Diperlukan tindakan rekonstruksi untuk memperbaiki defek tersebut. Penggunaan autogenus bone graft masih merupakan pilihan utama dalam hal rekonstruksi. Pada defek mandibula, rekonstruksi autogenus yang digunakan terdapat dua pilihan yaitu vascularized graft dan non vascularized graft. Di Indonesia sendiri, penggunaan vascularized bone graft sebagai penutupan defek belum banyak dilakukan akibat dari kurangnya alat dan keterbatasan operator. Pemilihan rekonstruksi defek yang lebih reliable yaitu dengan non vascularized bone graft. Non vascularized bone graft memiliki beberapa keunggulan yaitu morbiditas donor site lebih kecil, tidak membutuhkan alat yang lebih kompleks dan tidak membutuhkan skill operator yang lebih besar, walaupun tingkat keberhasilannya kurang. Resiko resorbsi dan infeksi pada non vascularized graft lebih besar daripada vascularized graft. Semakin panjang non vascularized bone graft yang digunakan maka semakin kecil pula tingkat kesuksesan graft tersebut Tujuan : Mengevaluasi pengaruh Platelet Rich Plasma (PRP) yang dicampur dengan autogenous bone graft pada penyembuhan tulang mandibula (studi pada Ovis aries sebagai model manusia). Material dan Metode : Penelitian metode quasi eksperimental dengan bentuk post test with control group design ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh Platelet Rich Plasma (PRP) yang dicampur dengan autogenous bone graft pada penyembuhan mandibula Ovis aries secara klinis dan laboratoris (studi pada Ovis aries sebagai model manusia). Kesimpulan : Pemeriksaan klinis pada PRP dan Non-PRP dari hasil rata-rata tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Pemeriksaan laboratoris pada PRP dengan Non- PRP sebelum dan sesudah operasi juga didapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna ......Background: Mandibular defects that are not reconstructed can cause serious morbidity such as impaired mastication, speech, aesthetics. Mandibular defects can be caused by a variety of causes including trauma, infection, pathological conditions and congenital. Reconstruction is required to correct the defect. Autogenus bone graft is still the main choice in terms of reconstruction. In mandibular defects there are two options, vascularized graft and non vascularized graft. In Indonesia, the use of vascularized bone graft as a closure defect has not been done much due to lack of tools and operator limitations. The selection of reconstruction of more reliable defects i.e. with non vascularized bone graft. Non vascularized bone graft has several advantages namely smaller donor site morbidity, does not require more complex tools and does not require greater operator skills, although the success rate is less. The risk of resorbsi and infection in non vascularized graft is greater than vascularized graft The longer non vascularized bone graft is used the smaller the success rate of the graft. Purpose: Evaluating the influence of Platelet Rich Plasma (PRP) mixed with autogenous bone graft on the amount of collagen in sheep (Ovis aries as a human model). Materials and Methods: Research on this experimental analytical method was conducted to determine the influence of Platelet Rich Plasma (PRP) mixed withautogenous bone graft in clinical examination and laboratoris in sheep (Ovis aries as a human model). Conclusion: Clinical examination in PRP with Non-PRP from the average result there is not a meaningful difference. Laboratory examination before and after operation in PRP with Non-PRP also obtained not significantly different meaning
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pakpahan, Victor Ercantez
Abstrak :
Latar Belakang : Berdasarkan WHO (World Health Organization) pada tahun 2017, ameloblastoma dinyatakan sebagai suatu tumor epitelial odontogenik yang berasal dari jaringan pembentuk gigi, memiliki sifat lokal invasif serta destruktif. Gold standard dalam tatalaksana kasus ameloblastoma ialah pembedahan reseksi diikuti dengan free fibula flap. Kendati demikian, prosedur yang digunakan memiliki efek samping pasca operasi dalam beberapa aspek, seperti halnya fungsi mastikasi, penampilan, hingga psikologis. Peninjauan efek samping yang ada dinilai berdasarkan kualitas hidup dari responden menggunakan kuesioner bernama UW-QOL. Tujuan : Mengetahui kualitas hidup responden dilihat dari perbedaan score UW-QOL antar kelompok berdasarkan klasifikasi defek mandibula melibatkan kondilus dan yang tidak melibatkan kondilus. Metode : Penelitian dilakukan menggunakan kuesioner guna mengumpulkan score UW- QOL. Responden berjumlah 32 orang yang terbagi menjadi 2 kelompok berdasarkan klasifikasi defek mandibula mencapai kondilus dan tidak mencapai kondilus. Analisis data dilakukan menggunakan IBM SPSS dengan uji Mann-Whitney U untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan score yang bermakna maupun tidak. Kesimpulan : Hasil uji non-parametrik Mann-Whitney U menunjukkan kualitas hidup antar kelompok dengan defek mandibula sama baiknya ditunjukkan dengan tidak adanya perbedaan bermakna pada seluruh aspek seperti pada aspek Penampilan, Aktivitas, Rekreasi, Bicara, Cita Rasa, Air Liur, serta Suasana Hati. Namun, terdapat 3 aspek yang menunjukkan adanya perbedaan bermakna secara statistik ditunjukkan dengan alpha kurang dari 0,05 yaitu aspek Menelan, Mengunyah, serta Kecemasan. ......Background: Based on the WHO (World Health Organization) in 2017, ameloblastoma is stated as an odontogenic epithelial tumor originating from tooth-forming tissue, which has locally invasive and destructive properties. The gold standard in the management of ameloblastoma cases is surgical resection followed by a free fibula flap. However, the procedures used have post-operative side effects in several aspects, such as masticatory function, appearance and psychology. The review of existing side effects was assessed based on the quality of life of the respondents using a questionnaire called UW-QOL. Objectives: To determine the quality of life of respondents seen from the differences in UW-QOL scores between groups based on the classification of mandibular defects involving the condyle and those not involving the condyle. Methods: The research was conducted using a questionnaire to collect UW-QOL scores. Respondents totaled 32 people who were divided into 2 groups based on the classification of mandibular defects reaching the condyle and not reaching the condyle. Data analysis was carried out using IBM SPSS with the Mann-Whitney U test to see whether there were significant differences in scores or not. Conclusion: The results of the non-parametric Mann-Whitney U test show that the quality of life between groups with mandibular defects is equally good, as shown by the absence of significant differences in all aspects such as appearance, activity, recreation, speech, taste, saliva and mood. . However, there are 3 aspects that show statistically significant differences, indicated by an alpha of less than 0.05, namely the Swallowing, Chewing and Anxiety aspects.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Pardamean Robby Andreas
Abstrak :
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang bertujuan untuk menganalisis korelasi antara cervical vertebral maturation dengan dimensi mandibula. Data berasal dari 90 radiograf sefalometri lateral (49 perempuan, 41 laki-laki), anak usia 8-16 tahun di Jakarta. Metode: menggunakan penilaian dan pengukuran visual radiograf sefalometri lateral, dimensi mandibula diukur berdasarkan panjang total mandibula (jarak dari titik condylon - gnathion), tinggi ramus mandibula (jarak dari titik condylon - gonion intersection), dan panjang corpus mandibula (jarak dari titik gnathion - gonion intersection), selama tahap maturasi skeletal vertebra servikalis (cervical stage 1 sampai cervical stage 6) yang dinilai dari badan kedua sampai badan keempat tulang vertebra servikalis. Korelasi antara cervical vertebral maturation dengan dimensi mandibula dianalisis menggunakan uji Spearman. Hasil: terdapat korelasi yang kuat dan signifikan (p < 0,05) antara cervical vertebral maturation tahap pubertas dengan panjang total mandibula (r = 0,663), antara cervical vertebral maturation tahap pubertas dengan tinggi ramus mandibula (r = 0,555), dan antara cervical vertebral maturation tahap pubertas dengan panjang corpus mandibula (r = 0,510). Terdapat korelasi yang sedang dan signifikan (p < 0,05) antara cervical vertebral maturation tahap prepubertas dengan panjang total mandibula (r = 0,453), antara cervical vertebral maturation tahap prepubertas dengan tinggi ramus mandibula (r = 0,395), dan antara cervical vertebral maturation tahap pascapubertas dengan panjang corpus mandibula (r = 0,374). Kesimpulan: terdapat korelasi antara cervical vertebral maturation dengan dimensi mandibula terutama pada tahap pubertas. Maturasi skeletal dapat digunakan untuk menilai pertumbuhan dan perkembangan mandibula, sebagai pertimbangan dalam mengoptimalisasi waktu perawatan ortopedik maksilofasial. ......This study is a cross-sectional and aims to analyze correlation between cervical vertebral maturation and mandibular dimensions from 90 lateral cephalometric radiograph (49 girls, 41 boys), aged 8-16 years in Jakarta. Methods: The method uses visual measurements of lateral cephalometric radiograph, mandibular dimensions were assessed from total mandibular length (range of condylon - gnathion line), ramus mandibular height (range of condylon - gonion intersection line), and corpus mandibular length (range of gonion intersection – gnathion line), during maturity stages of the cervical vertebral bone (cervical stage 1 to cervical stage 6) which assessed from second to fourth branches. Correlation between cervical vertebral maturation and mandibular dimensions were analyzed using Spearman method. Results: The results showed a significant (p < 0.05) and strong correlation between cervical vertebral maturation pubertal stage and total mandibular length (r = 0.663), between cervical vertebral maturation pubertal stage and ramus mandibular height (r = 0.555), and between cervical vertebral maturation pubertal stage and corpus mandibular length (r = 0.510). The results showed a significant (p < 0.05) and medium correlation between cervical vertebral maturation prepubertal stage and total mandibular length (r = 0.453), between cervical vertebral maturation prepubertal stage and ramus mandibular height (r = 0.395), and between cervical vertebral maturation post pubertal stage and corpus mandibular length (r = 0.374). Conclusion: The Correlation between cervical vertebral maturation and mandibular dimension is seen mainly in puberty stage. Skeletal maturity used to assess mandibular growth for optimization maxillofacial orthopaedic treatment timing.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ariefianto Yudhi Nugroho
Abstrak :
Latar Belakang : Teknik bone engineering dalam rekonstruksi mandibula banyak dilakukan di bidang bedah mulut guna keberhasilan proses rehabilitasi. Penambahan dua hal yang memungkinkan untuk membantu proses penyembuhan adalah dengan bone graft dan penambahan growth factors seperti Platelet Rich Plasma (PRP). Penggunaan bone graft pada defek tulang yang besar dapat membantu penyembuhan luka. Autogenous bone graft merupakan jenis graft yang paling sering digunakan, dikarenakan sifatnya yang osteogenik, osteoconductive dan osteoinductive. Vascularized bone graft merupakan terapi pilihan pada defek mandibula dengan panjang lebih dari 6 cm. Namun non vascularized bone graft juga menjadi pilihan karena memiliki beberapa keuntungan seperti kontur yang lebih baik, memiliki volume tulang yang cukup untuk keperluan estetik atau insersi implan. Serta merupakan terapi pilihan pada defek tulang kurang dari 6 cm. Tetapi resiko resorpsi pada non vascularized bone graft lebih besar. Penambahan PRP yang mengandung banyak growth factor dapat membantu proses rehabilitasi penyembuhan jaringan tulang. Salah satunya TGF-β yang membantu peningkatan jumlah osteoblas untuk penyembuhan jaringan tulang. Pada penelitian ini penambahan PRP pada autogenous bone graft non vascularized diharapkan mampu membantu penyembuhan tulang, dengan melakukan pengamatan pada jumlah osteoblas. Tujuan : Mengevaluasi pengaruh penambahan platelet rich plasma pada penyembuhan tulang mandibula dengan autogenous bone graft dilihat dari jumlah osteoblas (studi pada Ovis Aries) Material dan Metode : Penelitian quasi eksperimental in vivo dengan membagi dua kelompok, kelompok dengan pemberian autogenous bone graft dan kelompok dengan pemberian autogenous bone graft dan penambahan PRP. Kemudian dilakukan evaluasi pengaruh pemberian platelet rich plasma pada penyembuhan tulang mandibula dengan autogenous bone graft dilihat dari jumlah osteoblas (studi pada Ovis Aries) Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna antara jumlah osteoblas kelompok dengan pemberian autogenous bone graft dan kelompok dengan pemberian autogenous bone graft dan penambahan PR ......Background: Bone engineering techniques in mandibular reconstruction are mostly performed in the field of oral surgery for the success of the rehabilitation process. Two additional things that make it possible to help the healing process are bone graft and the addition of growth factors such as Platelet rich plasma (PRP). The use of bone grafts in large bone defects can aid in wound healing. Autogenous bone graft is the type of graft that is most often used, because of its osteogenik, osteoconductive and osteoinductive properties. Vascularized bone graft is the treatment of choice in mandibular defects longer than 6 cm. However, non-vascularized bone graft is also an option because it has several advantages such as better contours, having sufficient bone volume for aesthetic purposes or implant insertion. And is the treatment of choice for bone defects less than 6 cm. But the risk of resorption in the non-vascularized bone graft is greater. The addition of PRP which contains a lot of growth factors can help the rehabilitation process of healing bone tissue. One of them is TGF-β which helps increase the number of osteoblass for healing bone tissue. In this study, the addition of PRP to non-vascularized autogenous bone graft is expected to be able to help bone healing, by observing the number of osteoblass. Objective: To evaluate the effect of platelet rich plasma administration on the healing of mandibular bone with autogenous bone graft based on the number of osteoblass (study on Ovis Aries). Material and Methods: This in vivo analytical experimental study was divided into two groups, a group with autogenous bone graft and a group with autogenous bone graft and the addition of PRP. Then an evaluation of the effect of platelet rich plasma on the healing of mandibular bone with autogenous bone graft was evaluated from the number of osteoblass (study in Ovis Aries). Conclusion: There is a significant difference between the number of osteoblass in the group with autogenous bone graft and the group with autogenous bone graft and the addition of PRP.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
[Deep bite merupakan maloklusi kedua terbanyak terjadi setelah crowding. Penelitian mengenai dampak deep bite terhadap jaringan periodontal masih jarang dilakukan. Tujuan penelitian: Mengetahui pengaruh deep bite terhadap status periodontal pada gigi anterior maksila dan mandibula. Metode: penelitian analitik potong lintang menggunakan data sekunder berupa rekam medik pasien Klinik Periodonsia RSKGM FKG UI dengan kasus deep bite dan normal bite masing-masing 50 data. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna (p < 0,05) rerata kedalaman poket, kehilangan perlekatan, resesi gingiva antara normal bite dengan deep bite (uji Mann Whitney). Kesimpulan: terdapat pengaruh deep bite terhadap status periodontal gigi anterior maksila dan mandibula, Deep bite is the second most frequent malocclusion occurs. Research on the effects of deep bite to the periodontal status are still rare. Objective: Knowing the influence of deep bite to the periodontal status on maxillary and mandibular anterior teeth. Methods: A cross-sectional analytical study using medical records of patients in Peridontal Clinic with deep bite and normal bite each 50 data. Result: There were significant differences the average pocket depth, attachment loss, gingival recession (p<0,05) between normal bite and deep bite (Mann Whitney). Conclusions: there is influence of deep bite on periodontal status of maxillary and mandibular anterior teeth]
[, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kezia Amelinda Prayogo
Abstrak :
Tindakan odontektomi gigi molar 3 bawah merupakan salah satu tindakan yang cukup sering dilakukan. Namun, hingga saat ini pengaruh faktor pasien dan faktor dental terhadap tingkat kesulitan bedah masih menjadi kontroversi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin, dan klasifikasi impaksi dengan lama tindakan odontektomi gigi molar 3 bawah. Lama tindakan bedah masih menjadi standar emas untuk mengukur tingkat kesulitan bedah. Sebanyak 49 pasien yang memerlukan 49 odontektomi gigi molar 3 bawah dilibatkan dalam studi ini. Uji korelasi dilakukan pada faktor pasien dan dental dengan lama tindakan odontektomi. Hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara klasifikasi Pell dan Gregory bedasarkan kedalaman impaksi (P=0,037) dan klasifikasi Winter (P=0,039) dengan lama tindakan odontektomi. Studi ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara klasifikasi Pell dan Gregory bedasarkan kedalaman impaksi dan klasifikasi Winter dengan lama tindakan odontektomi. ......Mandibular third molar extraction is a common practice in dentistry. However, the relationship between patient and dental factors on surgical difficulty is still a controversy. The aim of the study is to determine the effect of age, gender, and impacted teeth classification on operation time during mandibular third molar extraction. Operation time has been considered as the gold standard to quantify surgical difficulty A total of 47 patients who required 49 mandibular third molar extraction were involved in the study. The correlation between patient and dental factors and operation time were examined. There were statistically significant correlation between Pell and Gregory's depth of impacted teeth classification (P=0,037) and Winter's classification (P=0,039). This study showed that there were statistically significant correlation between Pell and Gregory's depth of impacted teeth classification and Winter's classification with operation time.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library