Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ratna Haryanti
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi dan efektifitas kenaikan dan perluasan sumber-sumber retribusi, menghitung besar potensi retribusi terminal, mengidentifikasi faktor-faktor makro ekonomi yang mempengaruhi penerimaan retribusi terminal, memprediksi jumlah variabel-variabel yang mempengaruhi penerimaan retribusi dan akhirnya menentukan strategi yang tepat dalam rangka peningkatan penerimaan retribusi. Pendekatan penelitian ini pada dasarnya adalah pendekatan kuantitatf dengan data-data sekunder sehingga dapat ditentukan model potensi pada masing-masing pos yang termasuk di dalam retribusi dan analisis kinerja. Dari analisis tersebut akhirnya dapat diketahui daya guna (efisiensi) dan hasil guna (efektifitas) retribusi terminal. Selanjutnya pendekatan ekonometrik ditujukan untuk mengidentifikasi varibel-variabel makro ekonomi yang mempengaruhi penerimaan retribusi terminal. Dengan menggunakan model tersebut akan dilakukan peramalan (forecast) terhadap penerimaan retribusi di tahun-tahun mendatang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama tahun penelitian (1995/1996-1999/2000) kontribusi retribusi daerah terhadap PAD rata-rata 28,40%. Angka ini hampir lama dengan kontribusi retribusi terminal terhadap retribusi daerah yaitu sebesar 28,12%. Sehubungan dengan target yang ditetapkan terhadap pungutan retribusi terminal selama tahun tersebut secara keseluruhan terealisasi. Hasil guna (efektifitas) penerimaan retribusi terminal mencapai tingkat optimum pada tahun anggaran 1997/98 yakni sebesar 94,76% sedangkan daya guna (efisiensi) tercapai tingkat paling efisien pada tahun anggaran 1999/00 yakni sebesar 3,02%. Dari penelitian ini ditemukan model bahwa penerimaan retribusi terminal dipengaruhi oleh variabel PDRB dan jumlah kendaraan yang beroperasi serta krisis ekonami sebagai variabel dummy. Setelah terlebih dahulu dilakukan tahapan-tahapan uji statistik dan ekonometrik, model tersebut memenuhi syarat sebagai model linier dan variabel di dalam model berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan retribusi. Dengan model tersebut penelitian ini meramalkan bahwa penerimaan retribusi dan jumlah kendaraan berkecenderungan meningkat, sedangkan jumlah kendaraan diprediksi berkecenderungan menurun sampai tahun 2004.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T2404
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mediar Indra
Abstrak :
Penelitian ini membahas permasalahan hubungan keuangan pusat daerah dalam kaitannya dengan rencana implementasi otonomi daerah. Fokus yang dilakukan adalah terhadap penentuan bobot Dana Alokasi Umum untuk daerah Provinsi di seluruh Indonesia. Analisis penentuan pembobotan Dana Alokasi Umum adalah dengan menggunakan Analytic Hierarchy Process (AHP). Adapun program Expert Choice (EC) dipakai untuk itu dengan cara memberikan pertanyaan kepada beberapa expert yang mengetahui tentang Dana Alokasi Umum berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah antar pemerintah pusat dengan Daerah. Input yang dipakai berupa persepsi responden terhadap variabel-variabel kebutuhan Wilayah dan Potensi/Kapasitas Ekonomi Daerah yang di susun menurut hirarki. Penelitian ini menggunakan data tahun 1993 sampai dengan 1998 dalam anggaran keuangan Negara. Informasi kuantitatif lain di dapat dari hasil publikasi dalam Nota Keuangan dan rancangan anggaran pendapatan belanja negara serta publikasi Statistik keuangan pemerintah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Biro Pusat Statistik dari beberapa tahun penerbitan. Untuk perhitungan jumlah Dana Alokasi Umum digunakan rumus sesuai undang-undang nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yakni : ∑DAU Daerah Ybs x Bobot Daerah Ybs/∑ Bobot seluruh Daerah Untuk menentukan pembobotan masing-masing variabel sebehimnya dilakukan pembagian empat kriteria untuk Provinsi. Asumsi yang dipilih untuk Dana Alokasi Umum tergantung pada kategorinya yaitu kategori kecil, sedang, besar,sangat besar. Dengan di tentukannya empat kriteria tersebut dapat diperoleh hasil total jumlah bobot masing-masing Provinsi. Dalam penentuan pembobotan distribusi dana alokasi umum untuk masing-masing Provinsi disusun berdasarkan hirarki yang ditentukan dalam analytic hierarchy process (AHP) berdasarkan kepada kebutuhan wilayah dan Patensi Ekonomi. Adapun variabel tersebut antara lain adalah Kebutuhan Wilayah yang terdiri dari : Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, Panjang Jalan, Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Miskin (Jumlah Rumah Sakit, Jumlah Penduduk Miskin). Sedangkan Variabel Potensi/Kapasitas Ekonomi terdiri dari Nilai Tambah Sektor Industri, PDRB, SDA (Migas, Kehutanan, Kelautan, Pertambangan lainnya), SDM (Jumlah Sekolah,Jumlah Pegawai Negeri, Ratio Murid Terhadap Guru). Dari hasil susunan berdasarkan hiraki tersebut, maka dapat ditentukan jumlah bobot pada masing-masing variabel yang terbesar sampai yang terkecil yang berdasarkan jawaban responden expert choice (EC) yakni variabel Tingkat Kesejahteraan masyarakat miskin dengan bobot sebesar 27,9 dan untuk yang kedua pada variabel PDRB dengan bobot sebesar 25,8. Hasil perolehan perhitungan pembobotan masing-masing Provinsi dalam prioritas jumlah total pembobotan, mempunyai perbedaan antara versi penulis dengan versi Bappenas yakni prioritas pertama menurut versi penulis adalah Provinsi Sumatera Selatan dan kedua Provinsi Jawa Barat, sedangkan prioritas pertama pada versi Bappenas adalah Provinsi Jawa Barat dan kedua Provinsi Jawa Timur.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T3089
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nana Sujana
Abstrak :
Pada era reformasi sekarang ini dengan adanya tuntutan reformasi total disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, telah memberikan petunjuk dan arah untuk lebih memperbesar porsi pelaksanaan asas desentralisasi yang diwujudkan melalui pelaksanaan otonomi daerah, secara yuridis formal tuntutan tersebut telah diakomodasikan melalui Tap MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam penelitian ini akan dianalisis bagaimana perkiraan kapasitas pendapatan asli daerah di Cianjur Selatan dengan beriakunya undang-undang otonomi daerah seperti yang disebutkan di atas dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kemudian bagaimana dukungannya terhadap rencana pemekaran daerah Kabupaten Cianjur serta bagaimana dampaknya jika dikaji dalam perspektif Ketahanan Nasional. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan diberlakukannya Undang-undang Perubahan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Kabupaten Cianjur, Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur perusahaan daerah (BUMD), maka pendapatan asli daerah Cianjur bagian Selatan (rencana wilayah pemekaran) diperkirakan sebesar 4,2 milyar. Dana sebesar itu diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan daerah (BUMD), dan lain-lain penerimaan daerah yang sah. Kebijakan pemekaran daerah Kabupaten Cianjur atau pembentukan Kabupaten Cianjur Selatan kurang didukung oleh besarnya perkiraan kapasitas PAD Cianjur Selatan karena tidak cukup untuk membiayai kebutuhan pelayanan masyarakatnya, namun bila ditambah dengan sumber-sumber pendapatan daerah lainya kebutuhan dana tersebut baru dapat tercukupi. Pembentukan Kabupatan Cianjur Selatan, juga didukung oleh analisis posisi fiskal Cianjur Selatan yang dihitung berdasarkan rasio perkiraan PAD dengan jumlah PDRB kecamatan yang ada di wilayahnya masing-masing, karena nilainya lebih besar daripada nilai posisi fiskal Kabupaten Cianjur secara keseluruhan. Selanjutnya untuk mengkaji dampak pemekaran daerah dalam perspektif Ketahanan Nasional dilakukan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Untuk kasus pemekaran Kabupaten Cianjur diperkirakan akan ada peningkatan PAD Cianjur Selatan yang semula menyumbang sekitar rata-rata dua milyar pertahun terhadap PAD Kabupaten Cianjur menjadi sekitar 4,2 milyar rupiah. Dana sebesar itu, ditambah dengan sumber-sumber penerimaan daerah lainnya akan lebih meningkatkan kesejahteraan dan keamanan masyarakat melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan program-program pembangunan atau fungsi-fungsi pemerintahan lainnya. Berdirinya kabupaten Cianjur Selatan juga akan mengurangi kesenjangan pertumbuhan ekonomi dengan Cianjur Utara, keterisolasian dan keterbelakangan masyarakat, serta dapat memacu pertumbuhan sosial budaya dan mendorong suasana politik yang demokratis dalam menentukan pimpinan daerah. Sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan dan keamanan di daerah maka akan meningkatkan pula ketahanan daerah dan apabila gejala ini terjadi di berbagai wilayah di Indonesia maka Ketahanan Nasional akan meningkat. Namun sebaliknya apabila pemekaran daerah didasaran kepentingan yang lain, seperti kepentingan elit lokal, maka Ketahanan Nasional akan menurun, bahkan mendorong terjadinya disintegrasi bangsa.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T7575
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bernadus Guru
Abstrak :
Keberhasilan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat dan kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah memerlukan keikutsertaan mayarakat, keterbukaan dan pertanggung jawaban kepada masyarakat yang diupayakan dengan menerapkan azas desentralisasi, dekonsetrasi dan azas tugas pembantuan. Dalam rangka menerapkan azas desentralisasi yang diwujudkan melalui pelaksanaan otonomi daerah, diharapkan dapat memberikan peluang bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dan berhasil guna; maka dibutuhkan pengaturan perimbangan keeuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pengaturan mina berdasarkan atas hubungan fungsi yaitu berupa sistim keuangan daerah yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan. Realisasi pelaksanaan otonomi daerah (desentralisasi) sebagai penjabaran dari Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, dimana otonomi daerah dititik beratkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota; setidaknya dilakukan karena dalam kenyataan adanya kesenjangan antar daerah. Selain itu karena daerah kurang memiliki dana dalam membiayai kegiatan pelayanan publik di daerah, juga disebabkan oleh pengaturan pusat yang terlalu sentralistis; sehingga seperti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan titik berat pada Daerah Tingkat II; telah dilakukan uji coba otonomi daerah pada daerah percontohan. Namun kondisi otonomi daerah selama ini terutama di daerah Kabupaten/Kota, masih semu karena kemandirian yang diciptakan berbalik menjadi ketergantungan pada Pemerintah Pusat dan atau Daerah Propinsi. Otonomi daerah yang dititik beratkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, hakekatnya adalah juga untuk memberdayakan Pemerintah Daerah dalam usaha melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan yang selama ini masih dirasakan adanya masalah dalam melakukan tugas pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan kepada masyarakat. Karena dalam negara yang menganut sistim negara kesatuan, persoalan otonomi daerah merupakan hal sangat panting yaitu tentaug pembagian kewenangan politik atau .kewenangan pengambilan keputusan dan kewenangan pengelolaan keuangan. Untuk mengukur kemampuan atau kemandiriau suatu Daerah Kabupaten dan Daerah Kota minimal dapat dipergunakan dua ( 2) variabel pokok yaitu oleb rendahnya mutu sumber daya manusia dan kemampuan keuangan. Rendahnya mutu sumber daya manusia dapat diketahui dari rendahnya bidang pendidikan, rendahnya kemampuan aparatur, rendahnya kemampuan partisipasi masyarakat dan kemampuan organisasi soma administrasi. Khusus untuk mengatasi kemampuan keuangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, salah satu cara adalah dengan ditetapkannya Undang-Undang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang merupakan pedoman dalam pengelolaan penerimaan keuangan daerah. Walaupun demikiari seharusnya dalam negara yang berbentuk kesatuan, biaya bagi penyelenggaraan otonomi daerah tidak harus hanya dan sumber pendapatan asli daerah saja; tetapi juga dana dan pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dana yang bersumber dari APBN yang diterimakan kepada daerah berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 adalah dana perimbangan. Dalam tesis ini Kabupaten Ende sebagai salah satu Kabupaten dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur, akan dilihat kemandiriannya berdasarkan ukuran kemampuan keuangan daerah dan seberapa besar nilai ketergantungan pada dana eksternal yang berasal dari Pemerintah Pusat berupa dana perimbangan,, berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tabun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kemampuan keuangan daerah dianalisis dari struktur penerimaan daerah yang merupakan total pendapatan daerah dan ini tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Ende. Demikian pula dengan dana perimbangan akan dilihat seberapa besar jumlah komulatif yang diterima bagi daerah Kabupaten Ende jika Undang-Undang ini dilaksanakan dalam menunjang keuangan daerah guna dapat digunakan bagi kelancaran dalam komponen belanja rutin dan belanja pembangunan. Demikian juga dilihat kebutuhan dan kapasitas Pemerintah Daerah Kabupaten Ende agar dapat melaksanakan pelayanan publik minimal sesuai standar sebagai sebuah daerah otonom dengan besarnya jumlah dana perimbangan sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Judah komulatif dana perimbangan dihitung sebagai berikut:
a. PBB dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1985.
b, BPHTB dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Talnm 1997 dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1997.
c. Bagian daerah dari penerimaan hasil sumber daya alam, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Awan Setiawan
Abstrak :
Dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan langkah baru untuk membenahi penyelenggaraan pemerintahan yang mengatur otonomi yang lebih luas bagi Pemerintah Daerah. Demikian dengan Kota Surakarta, merupakan salah satu Pemda yang berada di Propinsi Jawa Tengah, dalam melaksanakan kegiatan pelayanan dan pembangunan tidak terlepas juga dengan sumber pendanaan yang tersedia. Untuk sumber pendanaan pembangunan, sebagian besar dibiayai dari penerimaan sumbangan dan bantuan, sedangkan pendanaan rutin sebagian besar dibiayai dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan penerimaan dari bagian bagi hasil pajak/bukan pajak. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota termasuk Kotamadya Surakarta diharapkan memiliki kemandirian/kemampuan yang lebih besar. Namun, sampai saat ini masih banyak masalah yang dihadapi Kabupaten/Kota terkait dengan upaya meningkatkan penerimaan daerah, antara lain timpangnya kebutuhan daerah dengan kapasitas fiskal; kualitas layanan publik yang masih memprihatinkan menyebabkan produk layanan publik yang sebenarnya dapat dijual ke masyarakat direspon secara negatif; Lemahnya infrastruktur dan prasarana dan sarana umum; Berkurangnya dana bantuan dari pusat (DAU yang tidak mencukupi); dan Belum diketahui potensi Pendapatan Asli Daerah yang mendekati kondisi.Guna menunjang otonomi di Kota Surakarta, maka yang diperlukan tidak hanya kewenangan, kelembagaan, sumber daya manusia, pendanaan, sarana dan prasarana, akan tetapi yang terpenting adalah pengelolaan komponen-komponen tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja keuangan daerah di Kota Surakarta dikaitkan dengan ketergantungan fiskal terhadap Pemerintah Pusat, menunjukkan bahwa Derajat Desentralisasi Fiskal yang diperoleh sebelum dan sesudah UU Desentralisasi Fiskal diberlakukan masih relatif rendah, demikian Pula untuk hasil. analisis terhadap Derajat Otonomi Fiskal (DOF) baik sebelum dan sesudah UU Desentralisasi Fiskal menunjukkan rata-rata hasil yang relatif rendah. Sehingga dari kedua model tersebut dapat menyebutkan bahwa kinerja keuangan Kota Surakarta masih relatif rendah untuk mampu melakukan pembiayaan sendiri secara optimal (kondisi ini apabila dilihat dari total penerimaan daerah tanpa adanya sumbangan/bantuan baik dari Pemerintah Pusat atau Propinsi). Mengenai hasil analisa posisi Fiskal daerah yang dihitung berdasarkan Indeks Pengumpulan Pendapatan Asli Daerah (IPAD), elastisitas PAD terhadap PDRB, serta Potensi Pajak dan Retribusi Daerah, menunjukkan bahwa hasil Nilai IPAD masih rendah. Sedangkan dilihat dari hasil analisis elastisitas diperoleh nilai elastis atau dapat dikatakan E>1. Kondisi ini menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah Kota Surakarta mampu membiayai pengeluaran pembangunan dengan asumsi sebagian besar anggaran tersebut diperoleh dari sumbangan / bantuan yang berasal dari Pemerintah Pusat atau Propinsi. Untuk hasil data yang diolah Pemerintah Daerah Kota Surakarta mengenai potensi pajak, semua jenis pajak daerah wilayah Kota Surakarta pada era sebelum atau sesudah UU No. 34/2000 mempunyai kiasifikasi pada umumnya masuk dalam kategori berkembang, sedangkan untuk retribusi memiliki kategori prima, potensial dan berkembang. Hasil analisa tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah Kota Surakarta belum dapat secara optimal untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Adapun beberapa saran yang dapat diajukan terkait dengan dengan penelitian ini maupun untuk pengkajian di masa mendatang adalah upaya-upaya penciptaan sumber-sumber penerimaan daerah baik dari pajak ataupun retribusi dan juga peningkatan kemampuan manajemen Pemerintahan Daerah Kota Surakarta terutama dalam hal pengelolaan dan pengalokasian sumber-sumber penerimaan agar efisien dan efektif. Sedangkan ketidakoptimalan Kota Surakarta dalam pengelolaan dan pengendalian manajemen fiskalnya untuk peningkatan potensi PAD sebaiknya dilakukan melalui upaya-upaya intensifikasi pemungutan pajak dan retribusi daerah serta peningkatan peluang investasi terutama sektor/bidang strategic yang menjadi prioritas pembangunan daerah Kota Surakarta.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13229
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Kosim
Abstrak :
Studi yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja PADS, baik dari sudut normatif, potensi ekonomi daerah maupun dari segi pengelolaan sumber-sumbernya. Dari studi ini dapat diketahui bahwa faktor kewenangan, potensi ekonomi dan faktor pengelolaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja PADS. Faktor kewenangan dari data sekunder dapat dilihat dari banyaknya peraturan perundangundangan baik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang mengatur tentang berbagai kewenangan daerah terhadap sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah. Berdasarkan pengolahan data primer dapat diketahui bobot penilaian kewenangan terhadap kinerja PADS adalah sebesar 42,57%. Faktor potensi ekonomi dengan indikator PDRB dari pengolahan data sekunder, memiliki koefisien korelasi yang kuat secara mutlak terhadap kinerja PADS yaitu sebesar 0,006251 atas dasar harga berlaku, dan sebesar 0,008644 bila menggunakan harga konstan 1988. Sedangkan bila diukur secara relatif/persentasenya memiliki koefisien korelasi sebesar 1,4774% atas dasar harga berlaku, dan sebesar 2,103825% atas dasar harga konstan, yang berarti bahwa setiap kenaikan 1% PDRB akan mengakibatkan kenaikan PADS sebesar 1,5% atas dasar harga berlaku dan sebesar 2,1% atas dasar harga konstan. Sedangkan dari pengolahan data primer menunjukkan bobot penilaian potensi ekonomi (PDRB) terhadap kinerja PADS adalah sebesar 38,51%. Berdasarkan pengolahan data sekunder dapat diketahui bahwa kemampuan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dalam pengelolaan PADS selama satu dekade (1984-1994) telah meningkat dari 0,30% menjadi 0,54% atau mengalami kenaikan sebesar 80%. Sedangkan bobot penilaian pengelolaan terhadap kinerja PADS adalah sebesar 18,92%. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa, penilaian masing-masing lembaga/instansi, politisi dan masyarakat terhadap ketiga faktor yang mempengaruhi PADS memiliki perbedaan yang tidak signifikan, dimana nilai χ2h = 1,203 dan χ2Tabe1=15,5073. Sedangkan bobot penilaian secara keseluruhan terhadap masing-masing faktor-faktor yang berpengaruh terhadap PADS menunjukkan perbedaan yang berarti, dimana nilai χ2h = 9,596>χ2Tabe1 5,9915. Rekomendasi untuk Pemerintah/Pemerintah Daearah agar dalam merumuskan kebijakan, perencana dan pelaksanaan tentang Keuangan Daerah khususnya PADS mempertimbangkan ketiga faktor yang berpengaruh tersebut diatas.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setiaji
Abstrak :
Proses penganggaran merupakan hal yang sangat penting, substansi anggaran dan bagaimana dampaknya bagi masyarakat sangat dipengaruhi oleh bagaimana proses penganggaran ini berlangsung. Kebijakan anggaran yang ditempuh akan sangat berimplikasi terhadap perkembangan daerah. Lemahnya perencanaan anggaran memungkinkan munculnya undarfinancing atau overfinancing yang akan mempengaruhi tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran yang pada akhirnya akan menyebabkan layanan publik dijalankan secara tidak efisien dan kurang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan publik, sementara dana yang pada dasamya merupakan dana publik habis dibelanjakan seluruhnya. Kondisi ini akan memperlemah peran pemerintah sebagai stimulator, fasilitator, koordinator dan dinamisator dalam proses pembangunan. Dalam usahanya menciptakan efisiensi alokasi, salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah mengunakan perencanaan strategik dan melakukan evaluasi terhadap program/kegiatan dalam prosedur penganggarannya. Perencanaan strategik dilakukan dalam upayanya melihat kedepan, apa yang ingin dikerjakan dan evaluasi dilakukan dengan melihat kebelakang untuk menilai hasil yang telah dicapai. Namun demikian, upaya tersebut masih sering menimbulkan kegagalan. Kegagalan terjadi dikarenakan usaha untuk meningkatkan efisiensi alokasi telah meningkatkan kebutuhan informasi, transaction cost, dan konflik politik. Kebutuhan informasi meningkat disebabkan adanya tuntutan terhadap tambahan informasi mengenai dampak program/kegiatan, sedangkan konflik politik meningkat disebabkan adanya upaya untuk mendistribusikan kembali anggaran belanja. Penelitian ini memberikan gambaran upaya-upaya peningkatan efisiensi alokasi, yaitu dengan memperbaiki ketentuan-ketentuan kelembagaan berupa aturan (rules), peranan (roles) dan informasi (information). Hal ini dilakukan dengan mengamati peranan yang diberikan oleh mereka yang menawarkan sumber daya, informasi yang ada pada mereka dan aturan organisasi yang ditugaskan kepada mereka. Dari hasil analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa efisiensi alokasi di Propinsi DKI Jakarta belum memadai. Hal ini disebabkan belum sepenuhnya aturan, peranan dan informasi yang ada mendukung terlaksananya efisiensi alokasi. Atas dasar kesimpulan di atas, ada beberapa saran yang disampaikan yaitu pertama, melakukan pendekatan pembelanjaan dalam jangka menengah; kedua, memperbaiki aturan mengenai pemberian punishment and reward, memperjelas kewenangan DPRD, dan penyesuaian aturan/ketetapan; ketiga, menguatkan proses usulan kegiatan (top down versus bottom-up); keempat peningkatan keputusan dalam pengalokasian Iintas sektoral; dan kelima, peningkatan penyampaian informasi mengenai dampak dan efektifitas kegiatan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12467
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fikri Hidayat
Abstrak :
Sebagai Salah satu sumber pendapatan Daerah, eksistensi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di era otonomi daerah diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kenyataannya, kontribusi BUMD terhadap PAD masih belum optimal. Bahkan, banyak BUMD di beberapa Daerah yang merugi dan justru menjadi beban Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta sesuai amanat peraturan perundang-undangan, juga terus mengembangkan BUMD, dimana salah satu tujuannya adalah memperoleh keuntungan agar dapat meningkatkan PAD, disamping menyediakan pelayanan yang baik dan terjangkau oleh masyarakat. Salah satu BUMD tersebut adalah PD Pembangunan Sarana Jaya yang pada awalnya bergerak di bidang penyediaan lahan (land banking), yang merupakan kegiatan bisnis hulu sektor properti. Kemudian perusahaan mengembangkan kegiatan usahnya ke arah hilir dengan bisnis intinya seperti penyewaan gedung, pembangunan perumahan, bangunan umum dan kawasan industri berikut prasarana, sarana dan fasilitas Iainnya. Kondisi yang dialami oleh PD Pembangunan Sarana Jaya tidak berbeda jauh dengan kondisi BUMD pada umumnya. Pengembangan dan perencanaan dilakukan tanpa memperhitungkan aspek profesionalisme dan dalam pengelolaan sangat kental nuansa birokratisnya. Beberapa kelemahan yang menonjol pada PD Pernbangunan Sarana Jaya antara lain aspek keuangan yang dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir menunjukkan kinerja yang rendah, sumberdaya manusia yang tidak memiliki kompetensi bisnis seperti yang diharapkan, produktivitas perusahaan yang kurang menggembirakan, struktur organisasi yang cenderung gemuk sehingga tidak efektif dan efisien, serta pemasaran produk yang tidak digarap dengan baik. Disamping itu, kontrol yang dilakukan Pemda sangat ketat. Padahal mereka belum tentu memiliki intuisi bisnis seperti yang diharapkan. Implikasinya, PD Pembangunan Sarana Jaya sulit memenuhi efisiensi, bergerak secara kreatif dan inovatif, serta sukar mengimbangi dinamika lingkungan eksternal yang berkembang dengan cepat dan sarat dengan persaingan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan menganalisis kekuatan dan kelemahan, peluang dan ancaman, Serta strategi pemberdayaan yang tepat bagi PD Pembangunan Sarana dalam mengemban fungsi dan perannya sebagai salah satu sarana pengembangan perekonomian Daerah dan sumber PAD. Secara lebih rinci, dalam membahas upaya pemberdayaan perusahaan properti (PD Pembangunan Sarana Jaya) sebagai Salah satu sumber pendapatan Daerah, penulis menggunakan kerangka yang tersusun secara sistematis. Pembahasan dimulai dari visi dan misi perusahaan, permasalahan pokok yang dihadapi pemsahaan dalam mengemban misinya. Kemudian berdasarkan analisis lingkungan internal dan eksternal akan diperoleh kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Selanjutnya berdasarkan analisis tersebut penelitian dilanjutkan untuk menganalisis daya tarik industri (industrial attractiveness) dan kekuatan bisnis (business strength) yang akan menghasilkan beberapa faktor kunci sukses (key success factor). Kemudian untuk mengetahui posisi bersaing perusahaan dalam matriks GE, digunakan metode expert choice. Setelah diketahui posisi bersaing perusahaan, maka akan didapat beberapa alternatif strategi yang dapat diterapkan oleh perusahaan. Langkah berikutnya adalah merumuskan strategi tingkat perusahaan (corporate Ievel), strategi fungsional (functional level) dan berbagai kebijakan yang mendukung agar strategi yang telah ditetapkan dapat terlaksana dengan baik. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa, fungsi pemasaran, organisasi dan manajemen, produksi merupakan kekuatan bisnis PD Pembangunan Sarana Jaya, dan perusahaan memiliki daya industri yang tinggi. Namun, perusahaan tidak dapat mengeksploitasi kekuatan bisnis dan memanfaatkan peluang bisnis karena intervensi yang dominan dari Pemda (shareholder) dalam mengelola perusahaan. Penulis memformulasikan bebarapa strategi, baik pada tingkat pemsahaan (corporate Ievel) maupun strategi-strategi fungsional (functional level), untuk memberdayakan unit-unit usaha yang terdapat pada PD Pembangunan Sarana Jaya, yaitu strategi bidang pemasaran, strategi bidang keuangan, strategi bidang produksi, strategi pengembangan SDM, strategi pengembangan organisasi. Untuk mendukung berbagai strategi yang telah dirumuskan sebagai upaya pembenahan atas kondisi perusahaan saat ini, penulis menyarankan perlu ditetapkan kebijakan-kebijakan yang merupakan petunjuk untuk mengarahkan keputusan-keputusan dan aksi para manajer dan bawahan dalam hal mengimplementasikan strategi yang telah ditetapkan. Kebijakan-kebijakan tersebut berupa prosedur untuk beroperasi standar (standard operating procedures) yang akan bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas manajerial. Disamping itu, perlu segera dibentuk peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan BUMD (terutama yang mengatur Bentuk, Badan Hukum, Tujuan dan Misi BUMD) sebagai amanat UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Perlu diciptakan iklim good corporate governance di dalam pengelolaan PD Pembangunan Sarana Jaya, yang ditandai dengan berfungsinya secara efektif organ-organ vital perusahaan seperti RUPS, Komisaris, dan Direksi.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12449
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endradjaja W.B.
Abstrak :
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembiayaan yang optimal merupakan salah satu syarat agar otonomi daerah mempunyai arti bagi pertumbuhan dan perkembangan daerah. Pendapatan asli daerah mempunyai peran yang strategis dalam penyelenggaraan otonomi daerah untuk dapat mengurangi ketergantungan subsidi dari pemerintah pusat. Mengingat pentingnya peranan PAD bagi daerah dalam rangka pencapaian otonomi daerah, maka perlu ditingkatkan seoptimal mungkin. Pengelolaan dan penerimaan PAD dapat dilakukan melalui upaya-upaya intensifikasi dan ekstensifikasi sejalan dengan semakin meningkatnya pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana umum dan usaha peningkatannya. Pengelolaan barang daerah sebagai Salah satu elemen sumber pendapatan yang diharapkan dapat berpengaruh secara signifikan sehingga dapat mempengaruhi PAD secara keseluruhan. Dengan kedudukan aset yang besar (pada akhir tahun 2002 sebesar kurang lebih 73 trilyun rupiah), terutama tanah dan bangunan, mengakibatkan beban biaya (anggaran) pemeliharaan yang tinggi. Sifat dari biaya pemeliharaan tanah dan bangunan adalah fixed cost artinya biaya tersebut akan tetap ada meskipun tidak digunakan/dimanfaatkan. Aset tanah dan bangunan yang belum dimanfaatkan mempunyai potensi untuk dikembangkan dengan melibatkan partisipasi dari pihak ketiga (masyarakat, yayasan sosial dan sektor swasta). Untuk mendapatkan nilai tambah dari pendayagunaan tanah dan bangunan tersebut diperlukan strategi yang tepat agar didapat hasil yang efektif dan efisien. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan strategi yang tepat dalam mengoptimaikan pendayagunaan barang daerah, terutama tanah dan bangunan, bekerjasama dengan Pihak Ketiga. Teori yang dipakai sebagai dasar penelitian adalah manajemen strategi dan berbagai teori yang mendukung dalam pemilihan strategi. Penentuan alternatif strategi yang dapat dipakai Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dilakukan dengan analisa SWOT, sedang penentuan strateginya dilakukan dengan menggunakan analisis hirarki proses (AHP) dengan memakai software Expert Choice 8. Responden yang dipakai sebanyak 7 orang yang dipandang ahli dalam barang daerah. Dari hasil penelitian diperoleh strategi yang tepat dipakai saat ini adalah strategi progresif dan pelakunya adalah Sekdaprop DKI Jakarta.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12444
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nugroho Heru Setianto
Abstrak :
Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 29 Tahun 2002 telah memberikan implikasi yang luas, terutama menyangkut perubahan dalam sistem penganggaran berbasis kinerja sehingga diharapkan akan Iebih meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran daerah. Dengan melakukan penelitian terhadap proses penyusunan anggaran kinerja pada APBD Kota Depok berdasarkan Kepmendagri No 29 tahun 2002 penulis mencoba untuk melihat proses pembahan sistem yang terjadi, akuntabilitas kinerja dari sistem baru serta kelebihan dan kekurangan dari penerapan sistem baru tersebut. Dari hasil penelitian terhadap penerapan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 29 Tahun 2002 dalam Penyusunan RAPBD Kota Depok tahun 2003 didapati : 1. Unit-unit kerja telah dapat melakukan a) perubahan dalam format usulannya dari pola DIP/DIK menjadi format RASK, b) merubah struktur anggaran dari belanja rutin dan pembangunan menjadi Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan dan Belanja Modal c) merubah sistem pengkodean rekening anggaran serta d) membuat indikator dan target kinerja dalam usulan kegiatan yang dibiayai belanja langsung. 2. Masih rendahnya tingkat kelengkapan dokumen usulan Unit kerja (47 %), disebabkan terbatasnya tingkat pemahaman SDM, kurangnya waktu, kurang disiplinnya unit kerja dan tim anggaran dalam melengkapi dan mereview dokumen usulan anggaran. Unit kerja masih lebih berorientasi pada pembuatan dokumen usulan yang berkaitan dengan usnlan kegiatan (S3B1) dan usulan anggaran belanja administrasi umum (S3B2) seperti pola lama yang lebih berorientasi pada dokumen DIK dan DIP. 3. Rendahnya tingkat kesesuaian sistematika usulan anggaran unit kerja dengan sistematika perencanaan strategis dalam penyusunan anggaran kinerja menunjukkan masih kurang dipahaminya sistematika perencanaan strategis yang menjadi dasar bagi penyusunan anggaran kinerja. 4. Tidak ada informasi yang menggambarkan indikator-indikator dan terget kinerja yang harus dicapai oleh pemerintah daerah dalam RAPBD sebagai akibat tidak diaturnya hal tersebut dalam Kepmendagri No 29 tahun 2002. 5. Masih kurangnya akuntabilitas dalam sistem penganggaran yang baru, karena hanya 43,47 % dari belanja dalam RAPBD yang diusulkan Unit-Unit Kerja yang disertai indikator kinerja yaitu dalam BOP dan BM sedang belanja lainnya tidak disertai indikator dan target kinerja. Untuk lebih meningkatkan disiplin anggaran, trensparansi dan akuntabilitas kinerja penulis menyarankan agar untuk penyusunan anggaran tahun-tahun berikutnya perlu dilakukan pelatihan yang lebih mendalam tentang penyusunan perencanaan strategis dan penyusunan usulan kegiatan dan anggaran kinerja. Tim anggaran Pemerintah Kota Depok agar lebih ketat dalam mereview usulan-usulan anggaran Unit Kerja sesuai dengan pedoman yang telah diberikan sehingga tujuan dari perubahan format-format usulan anggaran tersebut dapat tercapai. Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran, agar dalam RAPBD dimasukkan informasi tentang indikator dan target kinerja, sehingga masyarakat dan DPRD dapat menilai dan mengevaluasi perencanaan dan pelaksanaan penggunaan anggaran oleh pemerintah daerah.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>