Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Damar Wicaksono
Abstrak :
Pemerintah telah menerbitkan Permen ESDM No. 48 Tahun 2017 Tentang Pengawasan Pengusahaan Pada Kegiatan Usaha di Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, yang mengatur mengenai proses persetujuan pengalihan Partisipasi Interes dan perubahan saham terhadap Kontraktor Kontrak Kerja Sama pengelolaan hulu minyak dan gas bumi di Indonesia, dimana ketentuan peralihan Permen ESDM No. 48 Tahun 2017 menyatakan bahwa permohonan pengalihan Partisipasi Interes / perubahan saham Kontraktor yang telah diajukan sebelum berlakunya Permen ini wajib diproses sesuai dengan ketentuan dalam Permen ini. Hal tersebut menunjukan bahwa Permen ini selain berlaku untuk permohonan Pengalihan Partisipasi Interes / perubahan saham untuk Kontrak Kerja Sama yang akan disepakati kedepan, juga berlaku untuk permohonan Pengalihan Partisipasi Interes / perubahan saham kebelakang yang Kontrak Kerja Samanya telah disepakati bersama. Oleh karenanya, mengakibatkan pengesampingan Kontrak Kerja Sama sehingga terjadinya ketidakpastian hukum terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama yang sudah disepakati sebelum berlakunya Permen ESDM No. 48 Tahun 2017. ......The government has been issued Regulation of the Ministry of Energy and Mineral Resources Number 48 of 2017 on Business Supervision within the Energy and Mineral Resources Sector, which regulates the approval process on the transfer of Participating Interest and changes to shares towards the Contractor to a Cooperation Contract of the management of upstream oil-and-gas in Indonesia, where in the transitional provisions of Regulation of the Ministry of Energy and Mineral Resources Number 48 of 2017 stated that any application for transfer of Participating Interest or changes in the Contractor's shares which has been submitted prior to the enforcement of this Ministerial Regulation shall be processed in accordance with the provisions under this Ministerial Regulation. This indicates that this Ministerial Regulation is not only applied to the application for transfer of Participating Interest or changes to shares for the Cooperation Contract to be agreed to in the future, but also applies to the application for transfer of Participating Interest or changes to shares which the Cooperation Contract has been mutually agreed upon previously. Therefore, it caused waiver of the Cooperation Contract, so that legal uncertainty arises regarding the implementation of the Cooperation Contract which has been agreed upon prior to the enforcement of the Regulation of the Ministry of Energy and Mineral Resources Number 48 of 2017.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52130
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pane, Ridky Johannes Sitorus
Abstrak :
ABSTRAK Surety bond sebagai salah satu produk asuransi yang diterbitkan perusahaan asuransi umum selaku surety secara konsep hukum merupakan suatu perjanjian pertanggungan borgtocht yang diberikan oleh surety tanpa mewajibakan adanya jaminan kebendaan. Dalam surety bond, surety menjamin pelaksanaan kewajiban principal kepada obligee. Sebagai konsekuensi dari borghtocht, maka perusahaan asuransi umum selaku surety memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi recovery atas klaim yang telah dibayarkan kepada obligee yang mana hak tersebut telah diperjanjikan dalam suatu Indemnity Agreement yang dibuat oleh principal. Saat usaha surety bond semakin berkembang, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan ldquo;UU No. 1/2016 rdquo; dalam rangka memperkuat dasar hukum atas peraturan tentang penjaminan yang komprehensif sehingga menjadi rujukan dalam menyelenggarakan penjaminan. Dalam UU No. 1/2016 pemerintah juga memberikan kewenangan kepada perusahaan penjamin untuk menyelenggarakan usaha surety bond, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai kewenangan perusahaan asuransi umum yang telah lebih dahulu menyelenggarakan usaha surety bond setelah diundangkan UU No. 1/2016. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya ada ketidakpastian hukum pada surety untuk mendapatkan ganti rugi recovery dari principal yang pada dasarnya disebabkan karena tidak adanya jaminan kebendaan yang dapat dieksekusi oleh surety dalam tahapan recovery. Sebagai solusi, maka sebelum menerbitkan surety bond, surety mensyaratkan adanya personal guarantee yang menjamin pelaksanaan kewajiban principal membayar ganti rugi kepada surety. Setelah diundangkan UU No. 1/2016, pada faktanya tidak menghapuskan kewenangan perusahaan asuransi umum dalam menyelenggarakan usaha surety bond. Perusahaan asuransi umum tetap dapat menyelenggarakan usaha surety bond sesuai peraturan dalam perasuransian.Kata Kunci : Surety Bond, Recovery, Indemnity Agreement, Personal Guarantee, Penjaminan.
ABSTRACT As one of insurance product that issued by general insurance company as surety, surety bond has legal concept as a guarantee agreement borgtocht given by a surety without requiring collateral object. In surety bond, surety guarantees the performance of principal rsquo s obligations to the obligee. As a consequence of borgtocht, a general insurance company as a surety reserves the right to get a recovery of a claim that has been paid to a obligee and such right have been contracted in an Indemnity Agreement made by the principal. In accordance with the report of Indonesian General Insurance Association AAUI , surety bond production has increased in several years due to the high demand of a guarantee. However, amid the development, the Government issued Law No. 1 of 2016 regarding Guarantee Law No. 1 2016 in order to strengthen the legal basis for a comprehensive guarantee regulation, thus it becomes a reference in conducting the guarantee business. In Law No. 1 2016 the government authorizes the guarantor company to conduct surety bond business, this further raises question about the authority of general insurance company that have previously conducted surety bond business after promulgation of Law No. 1 2016. This research is descriptive by using normative juridical method. The results show that in the implementation there is legal uncertainty on surety to obtain compensation recovery from the principal. The uncertainty is basically caused by the absence of material assurance that can be executed by surety in the recovery phase. As a solution to the problem before issuing surety bond, surety requires a personal guarantee that guarantees the implementation of principal obligation to pay compensation to surety. This at least increases legal certainty for surety to obtain compensation from the principal. After enactment of Law No. 1 2016, this law does not eliminate the authority of general insurance company in conducting surety bond business. However, general insurance company still reserves the right to conduct surety bond business in accordance with the regulations in the insurance and with due regard to the provisions of Law No. 1 2016.Keywords Surety Bond, Recovery, Indemnity Agreement, Personal Guarantee, Guarantee.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47717
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Divva Vipata
Abstrak :
Cessie merupakan suatu perbuatan hukum untuk melakukan pengalihan piutang. Hukum Perdata mengatur cessie dilakukan dengan cara mengalihkan piutang yang dimiliki oleh kreditur lama (cedent) kepada kreditur baru (cessionaris). Cessie dapat dibuat dengan membuat akta autentik oleh notaris, maupun akta di bawah tangan. Akta cessie yang dibuat oleh notaris tidak serta merta membuat cessie menjadi mengikat seluruh pihak dan sah. Setelah akta cessie dibuat, agar mengikat pihak debitur (cessus, maka harus diberitahukan, disetujui atau diakui oleh cessus. Namun pada prakteknya pelaksanaan cessie tidak selalu diberitahukan kepada cessus. Hal tesebut diakibatkan karena kurangnya pemahaman terkait pelaksanaan cessie. Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, tulisan ini menganalisis mengenai kepastian hukum terhadap cessie yang tidak diberitahukan kepada cessus, serta peran dan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta cessie. Notaris berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris berperan untuk membuat akta cessie, dan bertanggung jawab untuk memberikan penyuluhan kepada kreditur dalam pembuatan akta cessie. Upaya meningkatkan pemahaman pelaksanaan cessie sesuai ketentuan perundang-undangan, dapat dilakukan dengan mengadakan penyuluhan hukum. Penyuluhan hukum dilakukan kepada para notaris, sehingga nantinya notaris dapat memberikan penyuluhan kepada para kreditur, bahwa setelah akta cessie dibuat mereka memiliki kewajiban untuk memberitahukan kepada cessus. ......Cessie is a legal act to transfer accounts receivable. Civil law regulates that cessie is carried out by transferring receivables owned by the previous creditor (cedent) to the new creditor (cessionaris). Cessie can be made by making an authentic deed by public notary as well as privately made deed. A cessie deed made by public notary does not make the cessie is legally binding to all parties. Following the cessie deed, in order to bind the debtor (cessus), it must be notified, approved or acknowledged by cessus. However, in practice, the implementation of cessie is not always notified to cessus. This is due to the lack of understanding regarding the implementation of cessie. By using doctrinal research method, this writing analyzes how the legal certainty of cessie without prior notification to cessus, as well as the roles and responsibilities of public notary in making a cessie deed. Based on the Act of the Public Notary, the role of a public notary is to  draw up a cessie deed and is responsible to provide counselling to creditors in the making of cessie deed. Increasing the understanding of the implementation of cessie in accordance with the regulations, can be done by organizing legal counseling. Legal counseling is carried out to Notaries, so that later the notary can provide a legal counseling to creditors, to inform that after the cessie deed is drawn up they have the obligation to notify the cessus.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Dwi Ardianzah
Abstrak :
Penelitian ini fokus terhadap Mahkamah Agung dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang (judicial review on the legality of regulation). Asas Contrarius Actus digunakan dalam pola putusan judicial review di Mahkamah Agung, sesuai dengan PERMA No 01 Tahun 2011 Pasal 8 Ayat (2) memiliki jangka waktu 90 hari dari putusan judicial review dan dinyatakan tidak ada kekuatan hukum jika tidak dilaksanakan. Dalam Proses eksekusi putusan yang bisa dilakukan dalam pengeksekusian dalam proses eksekusi putusan Mahkamah Agung Hal itu dapat berpotensi mengakibatkan proses tindak lanjut tidak ideal yang dilakukan Pejabat Tata Usaha Negara dalam menindak lanjuti putusan Mahkamah Agung dari norma yang sudah dibatalkan. Maka hal tersebut dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum dari putusan judicial reviewMahkamah Agung terkait. Bentuk Penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan metode analisis kualitatif. Dalam konteks ini penulis juga melakukan analisis dengan metode perbandingan dengan beberapa negara dan mencari informasi penting dari narasumber yang penulis lakukan dengan mekanisme wawancara untuk memperkuat penelitian ini. Hasil penelitian ini merujuk terhadap eksekusi putusan judicial review yang masih kurang diterapkan secara ideal sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum. Harusnya putusan judicial review di Mahkamah Agung dapat memiliki kekuatan hukum yang terikat atau berlaku final and binding sejak putusan dibacakan sehingga judicial review Mahkamah Agung dapat mengakibatkan harmonisasi dari Peraturan Perundang-undangan akan tercederai. Maka daripada hal itu, Pejabat Tata Usaha Negara yang melakukan eksekusi putusan dengan tidak ideal harus diberikan teguran dan sanksi yang dilaporkan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang memiliki fungsi dalam menjaga harmonisasi produk Peraturan Perundang-undangan. Hal itu dilakukan agar tujuan dari hukum mengenai keadilan hukum, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum dapat tercapai dengan maksimal dan meminimalisir penyalahgunaan tindak lanjut putusan yang dilakukan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang membuat dan mengeluarkan produk Peraturan Perundang-undangan tersebut. ......This research focuses on the Supreme Court in conducting judicial review on the legality of regulation. The Contrarius Actus principle is used in the pattern of judicial review decisions in the Supreme Court, in accordance with PERMA No. 01 of 2011 Article 8 Paragraph (2) which has a period of 90 days from the judicial review decision and is declared to have no legal force if it is not implemented. In the process of executing decisions that can be carried out in the process of executing decisions of the Supreme Court. This can potentially result in an imperfect follow-up process carried out by State Administrative Officials in following up on decisions of the Supreme Court from norms that have been canceled. So this can lead to legal uncertainty from the judicial review decision of the relevant Supreme Court. The form of research used is normative juridical with qualitative analysis methods. In this context the author also conducted an analysis using a comparative method with several countries and sought important information from sources which the author did with an interview mechanism to strengthen this research. The results of this study refer to the execution of judicial review decisions which are still not implemented ideally, causing legal uncertainty. The judicial review decision at the Supreme Court should have binding legal force or be final and binding since the decision was read so that there is legal certainty in it. Misuse in the follow-up process of the judicial review decision of the Supreme Court can result in harmonization of laws and regulations. Therefore, instead of that, State Administrative Officials who carry out decisions that are not ideal must be given a warning and sanctions that are reported to the Ministry of Law and Human Rights of the Republic of Indonesia which has a function in maintaining the harmonization of Legislation and Regulation products. This is done so that the objectives of the law regarding legal justice, legal certainty, and legal benefits can be achieved maximally and minimize the misuse of follow-up decisions made by State Administrative Officials who make and issue the products of the Legislation.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Gunawan
Abstrak :
Indonesia sejak pasca reformasi telah memasuki babak baru dalam mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi dan negara hukum. Hak sipil berupa Hak menganut agama, hak berekspresi dan mengungkapkan pendapat di muka umum telah dijamin di dalam UUD 1945. Kendati demikian, dewasa ini sering dijumpai pelanggaran terhadap hak-hak sipil ini lewat berbagai instrument hukum penodaan agama, baik itu dari UU PNPS No. 1 tahun 1965, Pasal 156 a KUHP, dan pasal-pasal lainnya seperti pasal 28 ayat (2) UU ITE. Pada dasarnya secara substansial pasal-pasal ini memiliki kecacatan pada level materil yang pada akhirnya menghasilkan kecacatan dalam penerapannya pula dengan banyaknya ancaman kriminalisasi dan persekusi sepihak tokoh-tokoh hingga warga biasa. Tentu hal ini bertentangan dengan cita-cita negara Indonesia yang menuju negara hukum dengan menerapkan kepastian hukum. Juga menghianati cita-cita pencerdasan bangsa yang diredam lewat ancaman-ancaman terhadap diskursus teologis yang non populer. ......Since the post-reform era, Indonesia has entered a new phase in implementing the values​​of democracy and the rule of law. Civil rights in the form of the right to adhere to religion, the right to express him/herself and express opinions in public have been guaranteed in the 1945 Constitution. Nevertheless, today there are often violations of these civil rights through various instruments of blasphemy law, both from PNPS Law No. 1 of 1965, Article 156 a KUHP, and other articles such as article 28 paragraph (2) of the ITE Law. Basically, these articles have substantial flaws at the material level, which in turn results in imperfections in their applications as well as the one-sided threats of criminalization and persecution to both public figures and ordinary citizens. Of course his is contrary to the ideals of the Indonesian state towards a state of law by applying legal certainty. It also betrays the ideals of national intelligence which are muted through threats to the non-popular theological discourse.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Rifqi Nurilmi
Abstrak :
BUMN seharusnya memiliki holding company untuk menciptakan kemandirian dan bersaing di dunia internasional. Hal ini disebabkan kepemilikan Negara oleh Kementerian BUMN memiliki rentan benturan kepentingan terhadap pengurusan dan pengelolaannya. Melalui ini, BUMN menjadi kuat secara kelembagaan dan profesional dan Notaris untuk menjamin ketertiban, kepastian, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis model HoldingBUMN yang sesuai dengan karakteristik hukum di Indonesia dalam mewujudkan kepastian hukum dan kemandirian sebagai badan hukum serta menganalisis peranan Notaris dalam pembentukannya berdasarkan teori dan peraturan perundang-undangan.Tesis ini menggunakan bentuk penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, yakni menelusuri asas-asas hukum kemudian dibuat interpretasi terhadap peraturan hukum umum kemudian menguji hasil interpretasi. Bentuk ini dilakukan untuk mendapatkan data yang diperlukan dengan membaca, mengutip, dan menganalisa yang berhubungan dengan objek penelitian.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, model HoldingBUMN yang sesuai adalah Persero, dimiliki penuh oleh Negara melalui penyertaan modal negara yang berasal bukan dari kekayaan negara, kegiatan usaha investasi, holding kombinasi, internal concentrated blockholder model, model tersentralisasi, dan model kontinental. Kedua, peranan Notaris adalah pembuatan akta autentik pendirian baru atau perubahan anggaran dasar, meneliti keabsahan penyelenggaraan RUPSLB dan memberikan penyuluhan hukum untuk mendukung BUMN memupuk keuntungan dan mewujudkan kemakmuran rakyat ...... State owned Enterprises should have a holding company to create independence and compete internationally because State ownership by the Ministry of SOEs has vulnerable conflict of interest. Through this, SOEs could be strong institutionally and professionally and Notary is ensuring orderliness, certainty, and legal protection which is in essence of truth and justice. This research aims to be able analyze the SOE holding model in accordance with the legal characteristics in Indonesia in realizing legal certainty and independent as entities and to analyze the role of Notary on its establishment based on theory and law.This thesis used the form of library research that is juridical normative, through tracing the principles of law and then made interpretation of rule of general law followed by examination of result of interpretation. This form is conducted to obtain the necessary data by reading, quoting, analyzing everything related to the object of research. The results showed First, the SOE Holding model is Persero, its capital is fully owned by the State through equity participation derived from separated state assets, investment activities, a combination holding, an internal concentrated blockholder, centralized model, and continental model. Secondly, the role of Notary is making of the authentic deed of new establishment or amendment of articles of association, examining validity of Extraordinary General Meeting and giving legal counseling to support SOEs on foster profits and realize the greatest prosperity of people of Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T51647
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tentiana Rusbandi
Abstrak :
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis penerapan grandfather clause dalam pelaksanaan perluasan penanaman modal pada bidang-bidang usaha yang diatur secara lebih restriktif dalam Peraturan Presiden mengenai Daftar Negatif Investasi (DNI), bidang usaha yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang dan bidang usaha yang disyaratkan dengan kemitraan (dengan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)). Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah dapatkah konsep grandfather clause (Pasal 9 Perpres DNI 2014) menjamin kepastian hukum bagi penanaman modal. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris sekaligus. Pemerintah dalam menentukan kebijakan penanaman modal diharapkan dapat menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia, dapat dikatakan bahwa DNI merupakan acuan pertama kali dan terpenting bagi calon penanam modal, baik penanam modal asing maupun penanam modal dalam negeri sebelum melakukan penanaman modal. Di dalam DNI dikenal istilah grandfather clause yang sebenarnya merupakan pasal peralihan. Dengan adanya grandfather clause, penanam modal khususnya penanam modal asing tidak perlu khawatir untuk menjalankan usahanya meskipun ada pengaturan di dalam DNI yang lebih restriktif/tertutup bagi bidang usaha yang dijalankannya. Namun demikian, untuk bidang usaha yang diatur secara khusus dalam bentuk Undang-Undang, grandfather clause dalam DNI tidak dapat diterapkan. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa konsep grandfather clause dalam DNI telah mampu memberikan jaminan kepastian hukum terutama bagi penanam modal yang bidang usahanya diatur secara lebih restriktif/tertutup, meskipun masih menyisakan potensi conflict of law terkait dengan bidang usaha yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang dan program pemberdayaan UMKM melalui kemitraan. Selanjutnya penulis menyarankan agar Pemerintah dalam menyusun DNI harus lebih memperhatikan keterkaitan antara pengaturan bidang usaha yang diatur secara khusus melalui Undang-Undang. Selain itu, dalam membentuk Undang-Undang yang mengatur bidang usaha tertentu sebaiknya tidak diberlakukan retroaktif karena akan memberikan dampak negatif pada iklim investasi dan tidak memberikan kepastian hukum. ...... This study is intended to examine and analyze the application of the grandfather clause in granting investment licenses in the areas of business that is set in a more restrictive manner in the Negative Investment List (NIL), business sector which is specifically regulated in Law and business sectors which are being required to have partnership (with Micro, Small and Medium Enterprises (SMEs)). Furthermore, the main question in this study is whether the concept of grandfather clause (Article 9 of Presidential Decree concerning NIL 2014) can ensure legal certainty for investment. To answer this question, this study using normative legal research methods and empirical legal research methods as well. Government in determining the investment policy is expected to ensure legal certainty; certainty sought, and seeks security for investors since the licensing process until the end of the investment activities in accordance with the law and regulations. In investment activities in Indonesia, it can be said that the NIL is the first and most important reference for investors, both foreign investors and domestic investors before making an investment. In the NIL there is the term grandfather clause, which is actually a transitional clause. With the grandfather clause, investors, especially foreign investors do not have to worry to run its business even though there is a more restrictive/closed regulation in the NIL for the line of business being operated. However, for the business sector which is specifically regulated by Law, grandfather clause in the NIL is not applicable. Based on this study it can be concluded that the concept of grandfather clause in the NIL has been able to provide legal certainty, especially for investors who set up its business in a more restrictive/closed business sectors, although it still leaves a potential conflict of law related to business sector which is specifically regulated by Law and the empowerment of SMEs through partnership programs. Furthermore, the authors suggest that the Government in preparing the NIL should pay more attention to the relationship with the regulation in the business sectors that are specifically regulated by Law. Moreover, in forming a Law to regulate certain sectors should not be applied retroactively because it will have a negative impact on the investment climate and does not provide legal certainty.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T45417
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban, Retriani Damesysca
Abstrak :
Penelitian ini membahas mengenai kepastian hukum penanaman modal asing di Indonesia kemudian membandingkan Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia dan Vietnam. Pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana kepastian hukum penanaman modal asing di Indonesia serta bagaimana perbandingan undang-undang penanaman modal di Indonesia dan Vietnam. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, memahami dan menganalisi masalah kepastian hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia, dan perbandingan Undang-Undang Penanaman Modal antara Indonesia dan Vietnam. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder diantaranya peraturan perundang-undangan dan buku-buku. Penanaman Modal Asing memberi manfaat dan dampak yang positif untuk pertumbuhan ekonomi suatu negara, begitu juga untuk Indonesia dan Vietnam yang masih dianggap sebagai destinasi investasi Asia dan dunia. Banyak faktor yang menjadi bahan pertimbangan bagi penanam modal untuk menanamkan modalnya pada suatu negara, salah satunya adalah jaminan kepastian hukum. Masalah kepastian hukum seringkali menjadi penghambat masuknya investasi, khususnya di Indonesia karena ketidakpastian hukum menyebabkan iklim investasi menjadi tidak kondusif. Penelitian ini membandingkan Undang-Undang Penanaman Modal antara Indonesia dan Vietnam, kemudian menemukan beberapa persamaan dan perbedaan didalamnya. Undang-Undang Penanaman Modal harus bisa mengakomodir kepentingan penanam modal asing dengan memberi kepastian hukum, diikuti dengan penegakan hukum, tanpa mengurangi kepentingan nasion. ...... This research examines the legal certainty of foreign investment in Indonesia and subsequently compares the investment laws between Indonesia and Vietnam. The principal issue raised in this research is about the legal certainty of foreign investment in Indonesia as well as how the Indonesian laws of investment are compared to the laws of investment in Vietnam. As for the purpose of this research is to discover, comprehend and analyze the legal certainty problem of Foreign Investment in Indonesia, and the comparison of Investment Laws between Indonesia and Vietnam. This research is a legal research which is juridical normative using secondary data such as legislation and books. Foreign investment gives benefits and impact which are positive for economic growth of a country, as well as to Indonesia and Vietnam which are still regarded as the investment destination in Asia and in the world. There are many factors taken into consideration for investors to invest in a country, one of them is legal certainty assurance. Legal certainty problem often obstructs the entry of investment, especially in Indonesia because the legal uncertainty made it inconducive for investment. This research attempts to compare the laws of investment between Indonesia and Vietnam, and subsequently locate the similarities and differences between them. Investment laws should be able to accommodate the interests of foreign investors by providing legal certainty, followed by law enforcement, without jeopardizing national interest.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nevitsa Khairunnisa
Abstrak :
Tesis ini meneliti mengenai duplikasi akta pendirian yang terjadi dalam Sistem Administrasi Badan Hukum SABH yaitu suatu sistem yang dibuat oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang bertujuan untuk memudahkan tugas notaris dalam mendapatkan persetujuan pendirian badan hukum oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, tetapi seringkali adanya kesalahan pada sistem membuat munculnya kesalahan pada pendirian status badan hukum tersebut. Dalam penelitian ini, penulis mengangkat 2 dua pokok permasalahan, yang pertama adalah Bagaimana kepastian hukum terhadap eksistensi Yayasan Pendidikan Jakarta Utara sehubungan dengan terdapatnya duplikasi akta pendirian yayasan ditinjau dari ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Yayasan? Lalu yang kedua adalah Bagaimana upaya perlindungan hukum terhadap eksistensi Yayasan Pendidikan Jakarta Utara yang terdapat duplikasi dalam akta pendirian yayasan guna mendapatkan kepastian hukum?. Penelitian ini menggunakan metode yuridisnormatif yang menekankan pada norma-norma hukum tertulis dengan pendekatan yuridis yang mempergunakan sumber data sekunder, digunakan untuk menganalisa berbagai peraturan perundang-undangan di bidang hukum yayasan dan jabatan Notaris, buku-buku dan artikel-artikel yang mempunyai korelasi dan relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, Tidak adanya kepastian hukum bagi Yayasan Pendidikan Jakarta Utara dikarenakan terdapatnya duplikasi akta pendirian Yayasan yang seluruhnya disetujui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Lalu Upaya Hukum yang dapat dilakukan oleh Pendiri Yayasan Pendidikan Jakarta Utara adalah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara terkait pembatalan Surat Keputusan dan mengajukan pembatalan membatalkan Akta Pendirian membuat Akta Pembatalan Akta Pendirian. ......This thesis examines the duplication of the deed happened in the Sistem Administrasi Badan Hukum SABH is a system created by the Ministry of Lawa nd Human Rights, which aims to facilitate the task of the notary in the approval of incorporation by the Minister of Law and Human Rights, but often an error in the system creates the appearance of a mistake on the establishment of the legalentity status. In this study, the authors raised the two 2 main ideas, the first is howthe legal certainty of existence the Yayasan Pendidikan Jakarta Utara in connection with the presence of duplication deed establishing the foundation in terms of the provisions of Article 11 of Law Foundation The second is How to safeguard thelaw against the exixtence of Yayasan Pendidikan Jakarta Utara that there is noduplication in the deed of foundation in order to obtain legal certainty. Type of research method that will be used in this study is juridical normative. The results of this study indicate that, absence of legal certainty for the Yayasan Pendidikan Jakarta Utara due to the presence of the deed of establishment of the Foundation duplication entirely approved by the Minister of Law and Human Rights by not fulfilling the Principles of Good Governance. Then Remedies that can be done bythe Founder of the Yayasan Pendidikan Jakarta Utara is filed to the State Administrative Court to revoke the Decree, and has submitted cancel the Deed ofEstablishment makes Cancellation Deed of Establishment.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T46952
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Ayu Made Pratiwi I. H.
Abstrak :
ABSTRAK
Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, dengan bahan kepustakaan hukum sebagai sumber data primer. Permasalahan dalam penelitian adalah apakah ketentuan pelelangan kayu Perhutani melalui iPASAR sesuai dengan asas lelang yang berlaku di Indonesia, dan bagaimana akibat hukum dari lelang yang dilakukan oleh iPASAR tanpa dihadiri oleh Pejabat Lelang dan tanpa dibuatkan Risalah Lelang. Dalam prakteknya, lelang harus dilakukan sesuai dengan asas yang berlaku yaitu asas transparansi, kepastian hukum, kompetisi, efisiensi dan akuntabilitas. Penjualan secara lelang wajib dilaksanakan oleh atau dihadapan Pejabat Lelang, yaitu Pejabat Umum yang diangkat oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan pelelangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap penjualan umum yang dilakukan oleh Pejabat Lelang atau kuasanya, untuk tiap hari pelelangan atau penjualan harus dibuat berita acara tersendiri, yaitu Risalah Lelang. Risalah Lelang merupakan akta autentik, menurut Pasal 1868 KUH Perdata merupakan suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Hasil penelitian menunjukkan penerapan lelang secara elektronik melalui iPASAR kebijakan belum sepenuhnya sesuai asas lelang yang berlaku. Ketidakhadiran Pejabat Lelang dalam pelaksanaannya merupakan pengecualian yang diatur dalam Pasal 49 Vendu Reglement, akan tetapi kewajiban lain tetap harus dilakukan oleh Perhutani terutama dalam hal pembuatan Risalah Lelang untuk memenuhi asas kepastian hukum, serta kewajiban pembebanan bea lelang bagi penjual dan pembeli termasuk pelaporan pelaksanaan lelang kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara sebagai bentuk akuntabilitas dan sinergi antara stakeholder dalam pelaksanaan lelang sesuai ketentuan yang berlaku di Indonesia. Penulis juga memberi saran bahwa akan lebih baik apabila iPASAR melibatkan Pejabat Lelang dalam pelaksanaan lelang elektronik, sehingga Risalah Lelang yang dibuat nantinya bersifat autentik dan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Kata kunci: lelang elektronik, pejabat lelang, risalah lelang, kepastian hukum, akuntabilitas.
ABSTRACT
The thesis study uses using juridical normative research method with law literature as primary reference. The problem statement in this research is whether the provision of Perhutani timber auction through iPasar inline with the auction principles in Indonesia, and further how the legal consequences apply to an auction that conducts by iPasar without the presence of auctioneer and without auction deed is being made. In the common practices, auction should be conducted in lin with the principles of transparency, legal certainty, competition, efficiency and accountability. Selling by auction should be carried out by or in the presence of auctioneer, that is public official that appointed by the Minister of Finance to carry out the auction based on the prevailing legislation. Every public selling that being conducted by the auctioneer or their proxies, for daily auction or selling should made an official report, and namely as auction deed. Auction deed is an authentic certificate, based on Article 1868 of the KUH Perdata is a certificate that being made in the format that determined by the constitution or in the presence of authorize public official in place where the certificate is being made. The research results show the implementation of electronic auctions through iPasar policy is not fully inline yet with the current auction principles. The absence of auctioneer in the implementation is be an exception that set in Article 49 Vendu Reglement, but other obligations are still need to be done by Perhutani, especially in terms of providing the auction deed to comply with the principle of legal certainty, as well as liabilities of imposition of auction fee for sellers and buyers and be included reporting of the auction to Directorate General of State Treasury as a form of accountability and synergy among auction stakeholders in line with Indonesia regulation. In addition, writer suggests that it would be better if Perhutani iPASAR involves the auctioneer in their electronic auction implementation, so the auction deed that being made would be more authentic and having strength as perfect evidence. Keywords electronic auction, auctioneer, auction deed, legal certainty, accountability.
2017
T47057
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>