Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Martalena
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Hiperglikemia admisi sebagai prediktor MACE pada SKA telah banyak diteliti, namun belum ada yang memperhatikan kesintasannya. Indonesia (ICCU RSCM khususnya), belum memiliki data epidemiologis mengenai hiperglikemia admisi pada SKA maupun pengaruhnya terhadap MACE dan kesintasannya. Penelitian ini dilakukan agar menjadi landasan untuk stratifikasi risiko selama perawatan.

Tujuan: Mengkaji hiperglikemia admisi sebagai prediktor MACE dan mengetahui kesintasan terhadap MACE pada berbagai kelompok hiperglikemia admisi pada SKA selama perawatan.

Metode: Kohort retrospektif dengan pendekatan analisis kesintasan terhadap 442 pasien SKA yang dirawat di ICCU RSCM Januari 2008-Mei 2012, terbagi 3 kelompok berdasarkan gula darah admisi (GD ≤140mg/dl, 141-200mg/dL, >200mg/dL). Kurva Kaplan Meier digunakan untuk mengetahui kesintasan masing-masing kelompok. Analisis bivariat mengunakan uji log-rank, analisis multivariat menggunakan cox proportional hazard regression. Besarnya hubungan variabel hiperglikemia admisi dengan MACE dinyatakan dengan crude HR dan IK 95% serta adjusted HR dan IK 95% setelah memasukkan variabel perancu.

Hasil dan pembahasan: 63 (14,25%) pasien mengalami MACE dengan kesintasan rata-rata 6,373 hari; SE 0,076 dan IK 95% 6,225-6,522. Analisis bivariat menunjukkan hubungan bermakna antara hiperglikemia admisi dengan kesintasan MACE (p<0,001). MACE tercepat terjadi berturut-turut pada GD admisi >200mg/dL, 141-200mg/dL, dan ≤140mg/dL dengan rata-rata kejadian secara berturut-turut pada hari perawatan ke-5,989; 6,078; 6,632. Analisis multivariat menunjukkan hiperglikemia admisi merupakan prediktor independen MACE selama perawatan (Adjusted HR 2,422; IK 95% 1,049-5,588 untuk GD admisi 141-200mg/dL dan Adjusted HR 3,598; IK 95% 1,038-12,467 untuk GD admisi >200mg/dL).

Simpulan: Kesintasan MACE pada pasien SKA selama 7 hari perawatan di ICCU RSCM adalah 85,7%, dan terdapat perbedaan kesintasan antara berbagai kelompok hiperglikemia admisi terhadap terjadinya MACE. Semakin tinggi kadar gula darah, semakin buruk kesintasannya (semakin tinggi risiko dan semakin cepat pula terjadi MACE)
ABSTRACT
Background: Hyperglycemia on admission as a predictor for MACE in ACS has been studied for several circumstances, but none had seen it’s importance for survival. Cipto Mangunkusumo Hospital’s ICCU, had not have any epidemiological data about hyperglycemia on admission in ACS nor it’s influence to MACE and survival. This study was conducted to provide a platform for risk stratification during hospitalisation

Aim: To evaluate hyperglycemia on admission as a predictor for MACE and, to describe survival according to hyperglycemia on admission status in patients with ACS.

Methods: Retrospective cohort design and survival analysis was used to 442 ACS patients hospitalised at Cipto Mangunkusumo hospital’s ICCU between Januari 2008 and May 2012 that divided into 3 groups according to admission BG (≤140 mg/dL, 141-200 mg/dL and >200 mg/dL). Kaplan Meier curve utilised to evaluate the survival of each group. Bivariate analysis was conducted using Log-rank tes. Multivariate analysis was conducted using Cox proportional hazzard regression. The extend of relation between admission hyperglycemia and MACE was expressed with crude HR with 95% CI and adjusted HR with 95% CI after adjusting for confounders.

Results and discussion: MACE was found to happen to 63 (14.25%) patients with average survival of 6.373 days, SE 0.076 and 95% CI 6.225-6.522. Bivariate analysis found statistically significant relation hyperglycemia on between admission and MACE survival (p<0.001). MACE was significantly earlier in admission BG of >200 mg/dL, 141-200 mg/dL and ≤140 mg/dL respectively, with mean hospitalisation day at 5.989, 6.078 and 6.632 in that order. Multivariate analysis shown that hyperglycemia on admission was an independent predictor for MACE during hospitalisation (Adjusted HR 2.422; 95% CI 1.049-5.588 for BG 141-200 mg/dL and Adjusted HR 3.598; 95% CI 1.038-12.467 for BG >200 mg/dL).

Conclusion: Survival of MACE in ACS patient during 7 days hospitalisation in ICCU RSCM is 85,7%, and there was a survival difference between different admission hyperglycemia groups. The higher the blood glucose level, signify a worse survival and also faster and higher risk for MACE.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Widya Khorinal
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Hiperglikemia yang terjadi selama masa perawatan di rumah sakit pada pasien dengan penyakit kritis telah diketahui akan memberikan luaran klinis yang buruk bahkan dapat berujung pada kematian. Hiperglikemia yang terjadi pada pasien sindrom koroner akut (SKA) akan berakibat pada gangguan regenerasi sel endotel dan pembentukan pembuluh darah kolateral (revaskularisasi). Sayangnya, manajemen hiperglikemia sampai saat ini masih belum dicapai kata sepakat terutama perbedaan dalam menentuksn nilai potong dalam evaluasi glukosa lanjutan.

Tujuan. Untuk mengetahui pengaruh hiperglikemia selama perawatan terhadap kesintasan (mortalitas) enam bulan pasien SKA dan mencari nilai potong ideal jntuk evaluasi lanjutan dan target kendali selama perawatan

Metodologi. Penelitian dilakukan secara kohort retrospestif pada pasien SKA di dirawat di instalasi ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, dengan melibatkan pasien yang dirawat sampai dengan Desember 2011. Pengambilan data subjek penelitian dilakukan melalui data sekunder dengan pendaraan rekam medis dan dilakukan secara konsekutif.

Hasil. Kami mendapatkan 807 pasien SKA selama periode Januari tahun 2000 sampai dengan Desember tahun 2011 yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Hiperglikemia selama perawatan terjadi 242 (30 %) subjek penelitian. Hiperglikemia yang memberikan pengaruh pada kesintasan enam bulan dengan meningkatkan resiko kematian (HR 2,16 dengan IK 95% 1,77 sampai 2,63). Nilai potong glukosa darah yang memberikan kemaknaan pada kesintasan berada pada nilai 142,5 mg/dL.

Kesimpulan. Pasien dengan hiperglikemia memiliki kesintasan yang lebih buruk dibandingkan pasien tanpa hiperglikemia. Nilai glukosa darah 142,5 mg/dL dapat dipergunakan sebagai nilai potong untuk evaluasi glukosa darah lanjutan selama masa perawatan.
ABSTRACT
Background. Hyperglicemia during hospitalization especially on critically ill patients has worse clinical outcome and deadly. Patient with hyperglicemiain in acute coronary syndrome (ACS) will hamper endotelial regeneration and revascularization of coronary blood vessels. Unforrtunately, up until now rate of blood glucose cut off in hyperglycemia management had not reached any consession although we undoubtfully agree that this concept is very important in evaluation and choosing goal treatment.

Aim. To determine the impact of hyperglicemia during admission in six month mortality rate of ACS patients and the best blood glucose cut off for evaluation and goal treatment.

Method. This research used retrospective cohort on ACS patients admitted in ICCU, Cipto Mangukusumo Hospital, Jakarta, untill December 2011. Subjects' data were collected through medical records consecutively.

Results. This research found that there were 807 ACS patients admitted during Januari 2000 to December 2011 that met inclusion and exclusion criterias. Hyperglicemia during admission was found on 242 (30 %) subjects. This condition statistically proven to increase six month mortality rate (HR 2, 16 with CI 95% 1,77 till 2,63). The best rate of Blood Glucose cut of for evaluation and management was 142,5mg/dL.

Conclussion. There was significant difference mortality rate between hyperglicemia patients and non hyperglicemia.Blood glucose level on 142, 5 mg/dL could be used as cut off evaluation during admission.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Setya Ardiningsih
Abstrak :
Hiperglikemia merupakan masalah di Indonesia yang jumlahnya semakin meningkat dan berdampak pada tingginya angka kematian penduduk. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan hiperglikemia pada orang dewasa di Kota Depok dan Kabupaten Lampung Tengah. Kedua daerah tersebut memiliki prevalensi hiperglikemia cukup tinggi, yaitu sebesar 14.4% di Kota Depok dan 7.7% di Kabupaten Lampung Tengah. Desain penelitian adalah crossectional menggunakan data penelitian Strategi Nasional mengenai Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular 2010 dengan jumlah sampel 362 orang dewasa. Analisis data dilaksanakan dengan Regresi Logistik Ganda dan pada permodelan akhir menunjukkan variabel lokasi penelitian (OR=11.9, 95% CI 2.04 – 69.39), tingkat pendidikan (OR= 11.25, 95% CI 1.99 – 63.44), dan asupan lemak (OR=3.44, 95% CI 1.04 – 11.44) memiliki hubungan signifikan terhadap hiperglikemia. Lokasi penelitian memiliki nilai OR tertinggi sehingga merupakan faktor yang paling dominan terhadap hiperglikemia pada orang dewasa di Kota Depok dan Kabupaten Lampung Tengah. Kemudian terdapat enam variabel perancu (konfounder) yaitu variabel usia, variabel obesitas berdasarkan lingkar pinggang, variabel asupan energi, variabel konsumsi nasi, konsumsi mi, dan konsumsi singkong. ......Hyperglycemia is a problem in Indonesia, which is increasing and contributes to the high mortality rate of the population. This study aimed to identify factors associated with hyperglycemia in adults in Depok and Central Lampung regency. Both of these areas have a high prevalence of hyperglycemia, which amounted to 14.4% in Depok and 7.7% in Central Lampung regency. The study design was cross-sectional study used data on the National Strategy for Communicable Diseases Risk Factors in 2010 with 362 samples of adults. Data analysis was performed with logistic regression modeling and the result shows the location of the study (OR = 11.9, 95% CI 2.04 - 69.39), educational level (OR = 11.25, 95% CI 1.99 - 63.44), and fat intake (OR = 3.44, 95% CI 1.04 to 11.44) have statistical relationship with hyperglycemia. Location of the study had the highest OR value that is the most dominant factor for hyperglycemia in adults in Depok and Central Lampung regency. Then there are six confounding variables include age, obesity based on waist circumference, energy intake, rice consumption, noodle consumption, and cassava consumption.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S52528
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pittara Pansawira
Abstrak :
ABSTRAK
Hiperglikemia sering terjadi pada pasien sakit kritis dan dapat menimbulkan volume residu lambung tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status hiperglikemia dengan status volume residu lambung tinggi pada pasien dewasa sakit kritis dalam 24 jam I dan II di ICU. Rancangan studi potong lintang, consecutive sampling, pada 96 subjek. Hasil penelitian, terdapat 45,8% subjek mengalami hiperglikemia pada 24 jam I dan 35,4% pada 24 jam II. Terdapat 28,1% subjek mengalami volume residu lambung tinggi pada 24 jam I dan 25% pada 24 jam II. Kesimpulannya, pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara status hiperglikemia dengan status volume residu lambung tinggi.
ABSTRAK
Hyperglycemia commonly occurs in critically ill patients and can cause high gastric residual volume. The aim of this study is to determine the relationship between hyperglycemia status and high gastric residual volume status in adult critically ill patients within the first and second 24 hours of admission in ICU. The design was cross sectional with consecutive sampling in 96 subjects. There were 45.8% subjects who had hyperglycemia in the first 24 hours and 35.4% in the second. There were 28.1% subjects who had high gastric residual volume in the first 24 hours and 25% in the second. In conclusion, there was no significant relationship between hyperglycemia status and high gastric residual volume status in this study.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thoeng Ronald
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Hiperglikemia dalam kehamilan ditemui pada 25% kehamilan di Asia Tenggara, dan jika tidak terkontrol dapat menimbulkan komplikasi serius. Hemoglobin glikat (HbA1c) merupakan penanda standar status glikemik, namun dapat meningkat palsu pada kehamilan lanjut. Albumin glikat sebagai indikator status glikemik baru yang tidak dipengaruhi oleh anemia dapat menjadi alternatif dalam kehamilan. Tujuan: Mengetahui penggunaan HbA1c dan albumin glikat pada kehamilan dengan status glikemik normal. Metode: Sampel darah diambil dari 60 ibu hamil dengan usia kehamilan 21-36 minggu. Dilakukan pemeriksaan HbA1c, Hb, MCV, MCH, RDW, albumin glikat, albumin, besi serum, glukosa darah, saturasi transferin, dan TIBC. Parameter-parameter tersebut dibandingkan antara empat kelompok usia kehamilan (I: 21-24 minggu, n=17; II: 25-28 minggu, n=16; III: 29-32 minggu, n=16; dan IV: 33-36 minggu, n=11) menggunakan uji ANOVA atau Kruskal-Wallis dengan uji post-hoc. Hasil: Kadar albumin glikat tidak berbeda bermakna antara keempat kelompok (p=0.061). Kadar HbA1c lebih tinggi pada kelompok IV (4.59 ±0.28 %) daripada kelompok I (4.24 ± 0.27%, p=0.009). Kadar Hb kelompok II {10.9 (7.9 ? 11.6) g/dL} lebih rendah dibandingkan III (11.68 ± 0.84 g/dL, p=0.004) dan IV (11.74 ± 0.66 g/dL, p=0.001). Kadar albumin pada kelompok IV (3.59 ± 0.22 g/dL) lebih rendah dibandingkan kelompok I (3.82 ± 0.19 g/dL, p=0.006). Tidak ada perbedaan bermakna MCV, MCH, RDW-CV, besi serum, TIBC, dan saturasi transferin antar kelompok usia kehamilan (semua p>0.05) Kesimpulan: Kadar HbA1c berbeda menurut usia kehamilan, sedangkan pemeriksaan albumin glikat tidak terpengaruh dengan usia kehamilan. Albumin glikat dapat menjadi penanda status glikemik pada usia kehamilan 21-36 minggu.
ABSTRACT
Introduction: Hyperglycemia during pregnancy is found in 25% of pregnancy in Southeast Asia, and when uncontrolled may cause serious complications. Glycated hemoglobin (HbA1c) is a standard indicator for glycemic status, but can show false increase during late pregnancy. Glycated albumin, a new glycemic status indicator which is unaffected by anemia, may be an alternative for pregnancy. Purpose: To examine the usefulness of HbA1c and glycated albumin during pregnancy with normal glycemic status. Method: Blood samples were taken from 60 pregnant women between 21-36 weeks of pregnancy. Tests were done for HbA1c, Hb, MCV, MCH, RDW, glycated albumin, albumin, serum iron, blood glucose, transferrin saturation, and TIBC. These parameters were compared among four groups of age of pregnancy (I: 21-24 weeks, n=17; II: 25-28 weeks, n=16; III: 29-32 weeks, n=16; and IV: 33-36 weeks, n=11) using ANOVA or Kruskal-Wallis test with post-hoc tests. Results: Glycated albumin was not statistically different among the groups (p=0.061). HbA1c level was higher in group IV (4.59 ± 0.28%) compared to group I (4.24 ± 0.27%, p=0.009). Hb level of group II {10.9 (7.9 ? 11.6) g/dL} was lower than group III (11.68 ± 0.84 g/dL, p=0.004) and IV (11.74 ± 0.66 g/dL, p=0.001). Albumin level of group IV (3.59 ± 0.22 g/dL) was lower than group I (3.82 ± 0.19 g/dL, p=0.006). No statistically significant difference was found for MCV, MCH, RDW-CV, serum iron, TIBC, and transferin saturation among pregnancy age groups (all p>0.05) Conclusion: HbA1c was different with different pregnancy age, but glycated albumin was not affected by pregnancy age. Therefore glycated albumin may be used as glycemic status indicator during pregnancy age of 21-36 weeks.
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Tjandra
Abstrak :
Latar Belakang: Hiperglikemia akut maupun kronis dapat menyebabkanperubahan patalogis pada lapisan serabut saraf retina RNFL . Pada tahap dinilapisan sel ganglion GCs mengalami apoptosis, yang diregulasi oleh proteinBrn3b. Proses ini diketahui terjadi lebih awal sebelum perubahan histopatologispada RNFL terjadi pada diabetes. Proses apoptosis ditandai dengan, peningkatanstres oksidatif, peningkatan NO, NF-??, TNF-?, dan Caspase 3 pada patogenesisglaukoma primer sudut terbuka GPSTa . Asumsi klinis saat ini bahwa penderitadiabetes melitus dalam jangka waktu lama lebih dari 5 tahun kemungkinan besarberisiko terjadinya glaukoma. Namun kenyataannya dalam pengalaman klinistidak semua pasien diabetes melitus dapat terjadi GPSTa. Berdasarkan temuanklinis tersebut diduga ada peran faktor genetik yang mendasari etiologi dariGPSTa pada pasien diabetes melitus. Tujuan: Mengetahui peran gen Brn3b pada apoptosis di RGCs dan kaitannyadengan perubahan kuantitas NO, Caspase 3, NF-?B, dan TNF-? sebagai prediksiglaukoma dini pada tikus diabetes. Metode: Penelitian ekperimental in vivo menggunakan tikus jantan SpraqueDawleyusia ge; 2 bulan dengan berat 150-200 gram diambil secara random sejakNopember 2015 hingga Juli 2016. Hewan coba dibagi menjadi 2 kelompok yaitu: kelompok perlakuan diinjeksi intraperitoneal STZ 50 mg/kg dalam 0.01M buffersitrat dalam ph 4.5 dan kelompok kontrol tidak ada perlakuan. Glukosa darahpuasa diperiksa 3 hari setelah injeksi STZ, dan dikonfirmasi ge; 250 mg/dL.Jaringan retina dibagi menjadi dua bagian pada kelompok perlakuan maupunkontrol yakni retina kanan untuk IHK Caspase 3 dan TNF-? dan retina kiridibagi dua bagian yaitu untuk pemeriksaan quantitative Real-time PCR RNAdiekstraksi untuk analisis ekspresi gen Brn3b dan pemeriksaan ELISA NO danNF-?B. Hasil: Terjadi penurunan ekpresi gen Brn3b pada tikus perlakuandibandingkan ekspresi gen Brn3b kontrol sebesar 1.2677 kali bulan kedua, 1.1348kali bulan keempat, dan 2.4600 kali bulan keenam. Disisi lain terjadi penurunankuantitas NO dan peningkatan kuantitas Caspase 3, NF-?B, dan TNF-?. Kesimpulan: Ekspresi mRNA Brn3b berbanding terbalik dengan apoptosis padaRGCs. Kuantitas NO, Caspase 3, NF-?B, dan TNF-? dipengaruhi oleh ekspresiBrn3b pada RGCs akibat hiperglikemia pada tikus diabetes.
Background: Acute and chronic hyperglycemia may pathologically changeretinal nerve fiber layer RNFL . At early stage, ganglion cells GCs undergoapoptosis, which is regulated by a Brn3b protein. This change is known to occurat earlier time before retinal histological changes can be detected in diabeticpatients. The apoptosis process is marked by an increase in oxidative stress, a risein NO, NF-??, caspase 3, and TNF-? levels in pathogenesis of primary open angleglaucoma POAG . Current clinical assumption proposes that individualssuffering from diabetes mellitus for more than 5 years have greater risk ofglaucoma. Nonetheless, clinical experience shows that not all diabetic patientsdevelop POAG. Based on clinical examinations it is suspected that there is agenetic factor that caused the etiology of POAG in diabetes mellitus patients. Purpose: To learn the role of Brn3b gene in apoptosis of RGCs and its effect onthe changing of quantity of NO, Caspase 3, NF-?B, and TNF-? as early predictorof glaucoma in diabetic rats. Methods: Experimental in-vivo study was carried out using male SpraqueDawleyrats with age ge; 2 months, weighing 150-200 grams. The rats wererandomly selected from November 2015 to July 2016. The animals were dividedinto two groups. Group receiving intraperitoneal injection of STZ 50 mg/kg in0.01M citric buffer and pH 4,5; 2 and control group with no treatment. Fastingblood glucose was checked 3 days after injection of STZ and hyperglycemia wasdetermined as fasting blood glucose ge; 250 mg/dL. Retinal tissue was divided intotwo parts both experimental and control groups respectively : a right retina forIHC Caspase 3 and TNF-? ; b left retina was divided into two parts for thepurpose of quantitative Real-Time PCR test RNA extraction for Brn3b geneexpression analysis and ELISA test NO and NF-?B. Results: Experimental group showed a decrease in Brn3b expression compared tocontrol group 1.2677-fold lower on 2nd month; 1.1348-fold lower on 4th monthand 2.4600-fold lower on 6th month . On the other hand, there was a decrease ofNO and there was increased of Caspase 3, NF-?B and TNF-? quantity. Conclusion: The expression of mRNA Brn3b is inversely proportional toapoptosis in RGCs. The quantity of NO, Caspase 3, NF-?B and TNF-? isinfluenced by expression of Brn3b in RGCs caused by hyperglycemia in diabeticrats.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tamrin
Abstrak :
Diabetes melitus merupakan sekelompok gangguan metabolisme tubuh, ditandai dengan hiperglikemik kronis yang dapat mengakibatkan komplikasi akut dan kronis. Prevalensi penyakit DM meningkat pada agregat dewasa sebagai kelompok rentan. Karya Ilmiah akhir Spesialis ini menggunakan integrasi teori manajemen, community as partner, family centre nursing, dan health promotion model. Pelaksanaan intervensi dengan pendekatan asuhan keperawatan keluarga pada 10 keluarga binaan dan asuhan keperawatan komunitas pada 65 diabetesi dewasa dengan purposive sampling. Terjadi peningkatan tingkat kemandirian keluarga dalam merawat agregat dewasa dengan DM. 90% kemandirian keluarga setelah intervensi adalah Tingkat kemandirian III dan 10% Tingkat Kemandirian IV. Terjadi peningkatan pengetahuan sebanyak 18,3%, sikap sebesar 22% dan perilaku sebesar 56% pada agregat dewasa dengan DM. Intervensi Dialatama merupakan suatu bentuk intervensi latihan yang efektif untuk mengatasi masalah gaya hidup kurang gerak, dan diagnosis keperawatan seperti ketidakefektifan pemeliharaan Kesehatan, perilaku Kesehatan cenderung berisiko, risiko ketidakstabilan gula darah, risiko disfungsi neurovaskuler perifer dan beberapa diagnosis lainnya. Intervensi Dialatama ini dapat diberikan kepada individu, kelompok maupun komunitas. Intervensi bisa dilakukan oleh masyarakat secara umum, baik yang memiliki masalah aktual maupun yang berisiko. Diharapkan Program Dialatama dapat terus dijalankan oleh diabetes secara aktif dan mandiri. ......Diabetes Mellitus is metabolic disease because alter secretion, act of insulin or both, showed by hyperglycemia. The prevalence of DM increased in the aggregate of adults as a susceptible group. This specialist's final scientific work uses the integration of management theory, community as partner, family center nursing, and health promotion model. Implementation of the intervention with the approach of family nursing care in 10 assisted families and community nursing care for 65 adult diabetics with purposive sampling. There was an increase in the level of family independence in caring for the aggregate of adults with DM. 90% of family independence after the intervention is Level III independence and 10% Independence Level IV. There was an increase in knowledge as much as 18.3%, attitudes by 22% and behavior by 56% in the aggregate of adults with DM. Dialatama intervention is an effective form of exercise intervention to overcome sedentary lifestyle problems, and nursing diagnoses such as ineffective health maintenance, health behaviors that tend to be at risk, risk of blood sugar instability, risk of peripheral neurovascular dysfunction and several other diagnoses. This Dialatama intervention can be given to individuals, groups or communities. Interventions can be carried out by the general public, both those who have actual problems and those who are at risk. It is hoped that the Dialatama Program can continue to be run by diabetics actively and independently
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Marselina
Abstrak :
Pembedahan dapat memicu respons stres metabolik yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Mekanisme hiperglikemia pascaoperasi dihubungkan dengan resistensi insulin, peningkatan glukoneogenesis, dan glikogenolisis, serta penurunan glucose transporter-4. Hiperglikemia diduga sebagai respons adaptasi fisiologis “fight or flight” tetapi juga dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pascaoperasi. Risiko hiperglikemia pascaoperasi dan potensi bahaya yang ditimbulkan belum banyak disadari oleh para dokter. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien pascaoperasi di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, insidens hiperglikemia pada anak pascaoperasi, dan faktor-faktor yang memengaruhi hiperglikemia pascaoperasi. Penelitian ini merupakan suatu studi potong lintang terhadap 199 pasien di RSCM yang dirawat di ruang PICU pascaoperasi sepanjang Januari – Desember 2020. Data demografi serta gula darah pascaoperasi diambil dari rekam medis. Kejadian hiperglikemia pascaoperasi dalam 24 jam pertama adalah 42%. Faktor-faktor yang memengaruhi hiperglikemia pascaoperasi pada penelitian ini adalah usia > 60 bulan (rasio odds 1,92 (95% IK 1,08-3,41) p=0,025) dan median durasi operasi>5 jam (p=0,001) ......Surgery can trigger metabolic stress response that can lead to hyperglycemia. Mechanism of postoperative hyperglycemia is associated with insulin resistance, increased gluconeogenesis, and glycogenolysis, and decreased glucose transporters-4. Hyperglycemia is thought to be a physiological “fight or flight” adaptive response but also associated with increased postoperative morbidity and mortality. The risk of postoperative hyperglycemia and the potential dangers that it causes have not been widely realized by doctors. This study aims to determine the characteristics of postoperative patients at the Pediatric Intensive Care Unit (PICU) at Ciptomangunkusumo Hospital (RSCM), incidence of hyperglycemia in postoperative children, related factors of postoperative hyperglycemia. This study is a cross-sectional study of 199 patients at RSCM who admitted in PICU postoperative during January – December 2020. Demographic data and postoperative blood sugar were taken from medical records. The incidence of postoperative hyperglycemia in the first 24 hours was 42%. Related factors of postoperative hyperglycemia in this study were age > 60 months (Odds ratio 1,92 (95% CI 1,08-3,41); p=0,025 and median operative duration > 5 hours (p=0,001).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anne Suwan Djaja
Abstrak :
Latar Belakang: Normal saline adalah cairan yang selama ini digunakan dan terbukti memiliki efek samping yang merugikan yaitu asidosis metabolik hiperkloremik. Balanced Electrolyte Solution (BES) merupakan cairan kristaloid isotonus yang memiliki kandungan lebih menyerupai plasma darah dan memiliki kandungan klorida lebih rendah. Tujuan: Membandingkan rerata SBE pasien ketoasidosis diabetikum (KAD) yang diresusitasi dengan menggunakan normal saline dan balanced electrolyte solution (BES). Metode: Tiga puluh subyek KAD, usia 18-65 tahun, yang sesuai dengan kriteria inklusi dan tidak dieksklusi, secara berturut-turut dimasukan menjadi sampel penelitian. Pembagian kelompok ditentukan secara acak berdasarkan undian. Sampel dikelompokan menjadi dua, yaitu kelompok kontrol (normal saline) dan kelompok perlakuan (BES). Kedua kelompok kecuali dalam hal jenis cairan resusitasi. Pemeriksaan kesadaran, gula darah sewaktu, dan tanda-tanda vital dilakukan setiap jam selama enam jam pertama, dan setiap 12 jam hingga jam ke 48. Pemeriksaan analisa gas darah, laktat dan elektrolit dilakukan setiap dua jam selama enam jam pertama, dan setiap 12 jam hingga jam ke 48. Pemeriksaan keton dilakukan setiap enam jam hingga jam ke 48. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental terbuka consecutive sampling. Hasil: rerata SBE kelompok BES selalu lebih tinggi daripada kelopok NS. Rerata SBE kelompok BES lebih tinggi bermakna daripada rerata SBE kelompok NS pada jam ke 24 dan 48. SID kelompok BES selalu lebih tinggi secara bermakna di setiap jam yang diukur daripada kelompok NS. Kesimpulan: SBE kelompok BES lebih mendekati normal daripada kelompok NS di setiap jam yang diukur. ......Background: Normal saline is the resuscitation solution which is regularly used in diabetic ketoacidosis management. This solution has negative side effect causes hyperchloremic acidosis. Balanced Electrolyte Solution (BES) is isotoniccrystaloid solution, more resembling plasma than normal saline, and it has less chloride than normal saline. Objectives: This study compares the SBE mean in diabetic ketoacidosis, using normal saline and BES. Methods: Thirty diabetic ketoacidosis patients, 18-65 years age, who full filled the inclusion criteria and were not excluded, were consecutively enrolled to this study. Group was determined by tossed. Both groups received the same treatment except the kind of resuscitation fluid. The consciousness, blood sugar, and vital sign were recorded every hour until first six hour and every 12 hour until 48 hour. the blood gas analysis, lactate, and electrolyte were recorded every two hour until six hour, and every 12 hour until 48 hour. Blood ketones ware recorded every six hour until 48 hour. This is an open experimental consecutive study. Result: Mean SBE value in BES group was higher in every record. Mean SBE value in 24th and 48th hour were significantly higher in BES group than in NS group. Conclusion: SBE in BES group were closer to normal limit than in NS group.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58922
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Puspita
Abstrak :
Latar belakang. Pemberian cairan intravena pada pasien anak yang menjalani tindakan bedah berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan metabolik tubuh. Pemilihan cairan perioperatif yang tidak tepat dapat menimbulkan komplikasi berupa asidosis metabolik, hiponatremia, hipoglikemi, atau hiperglikemia. Tujuan. Mengetahui profil pemberian cairan perioperatif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) serta pengaruhnya terhadap keseimbangan asam basa serta kadar elektrolit dan gula darah serum. Metode. Studi deskriptif kohort prospektif pada pasien anak (1 bulan ? 18 tahun) yang menjalani tindakan bedah elektif di RSCM. Jenis dan jumlah cairan perioperatif yang diberikan dicatat, serta dilakukan pemeriksaan laboratorium (analisis gas darah, elektrolit dan gula darah serum) sesaat sebelum tindakan bedah, setelah tindakan bedah, serta 6 jam setelah pemberian cairan postoperatif. Hasil penelitian. Dari 61 subyek yang diteliti, 65,6% tidak mendapat cairan preoperatif. Cairan yang paling banyak digunakan sebagai cairan intraoperatif adalah Ringer asetat malat (RAM) yaitu 77% dan cairan postoperatif adalah kristaloid hipotonik (83,6%). Jumlah cairan preoperatif dan postoperatif sebagian besar sesuai formula Holliday-Segar. Subyek yang mendapat cairan preoperatif D10 1/5 NS + KCl (10) lebih banyak mengalami hiponatremia (13,4% vs 5%) dan gangguan kadar gula darah (20% vs 0%) dibandingkan dengan subyek yang tidak mendapat cairan. Asidosis metabolik terjadi pada kelompok cairan intraoperatif RAM (36,2%) maupun Ringer asetat (36,4%). Hiponatremia pasca pemberian cairan postoperatif terjadi pada 57,1% subyek yang tidak mendapat cairan, 44,4% pada kelompok KA-EN3B®, dan 21,9% pada kelompok D10 1/5 NS + KCl (10). Hiperglikemia terjadi pada 15,6% subyek yang mendapat D10 1/5 NS + KCl (10). Simpulan. Pemberian cairan perioperatif di RSCM bervariasi. Angka kejadian hiponatremia pasca pemberian kristaloid hipotonik adalah 13,4 - 44,4%. Hiponatremia dan gangguan kadar gula darah terjadi pada subyek yang mendapat cairan D10 1/5 NS + KCl (10).
Background. Intravenous fluid in pediatric surgery patients aimed to maintain acid-base balance and also normal serum electrolyte and blood glucose. Inappropriate perioperative fluid management may cause complications such as metabolic acidosis, hyponatremia, hypoglycemia, or hyperglycemia. Objects. To study the profile of perioperative fluid for pediatric patients in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) and its effects on acid-base balance, electrolyte, and blood glucose. Method. A descriptive prospective cohort study in children aged 1 month to 18 years old who underwent elective surgery in CMH. The intravenous perioperative fluid given to the patients and their amount were recorded. Laboratory examinations were done 3 times (right before surgery, right after surgery, and 6 hours after postoperative fluid was started), which are blood gas analysis, serum electrolyte, and blood glucose. Results. Among 61 subjects, 65,6% did not receive any preoperative fluid. The most common intravenous fluid were Ringer?s acetate malate (RAM) which is 77% as intraoperative fluid and hypotonic crystalloids (83,6%) as postoperative fluid. The amount of preoperative and postoperative fluid was mostly in accordance with Holliday-Segar formula. Subjects who had D10 1/5 NS + KCl (10) as preoperative fluid had more hyponatremia (13,4% vs 5%) and blood glucose disturbance (20% vs 0%) compared to subjects without preoperative fluid. Metabolic acidosis occurred in subjects who had either RAM (36,2%) or Ringer?s acetate (36,4%) as intraoperative fluid. Hyponatremia 6-hours after postoperative fluid occurred in 57,1% subjects without intravenous fluid, 44,4% subjects who had KA- EN3B®, and 21,9% subjects who had D10 1/5 NS + KCl (10). Hyperglycemia occurred in 15,6% subjects who had D10 1/5 NS + KCl (10). Conclusion. There is a variety in perioperative fluid in CMH. Hyponatremia incidence after receiving hypotonic crystalloid is 13,4 - 44,4%. Hyponatremia and blood glucose disturbances occured in subjects who had D10 1/5 NS + KCl (10).
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>