Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitriana Hidayati
"Sejak tanggal 6 Agustus 2001, Indonesia telah memiliki suatu Undang-Undang yang mengatur tentang yayasan. Akhirnya keberadaan yayasan yang selama ini didirikan berdasar atas kebiasaan dalam masyarakat dan jurisprudensi Mahkamah Agung memperoleh dasar pengaturan yang kuat dengan diundangkannya Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan. Pemisahan kekayaan yayasan dari kekayaan pribadi para pendirinya merupakan prasyarat penting bagi berdirinya suatu yayasan (Pasal 1 ayat(1), Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UUY).
Penulisan tesis ini memberikan gambaran mengenai tiga hal pokok yang dibahas yaitu Bagaimanakah cara perwakafan tanah dari pendiri sebagai modal awal kekayaan yayasan?, bagaimanakah pelaksanaan pengalihan hak milik mengenai modal awal kekayaan yayasan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan? serta bagaimanakah status modal awal kekayaan yayasan yang berasal dari wakaf, dalam hal yayasan bubar dan atau yayasan dinyatakan pailit? Penulis dalam melakukan penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik yaitumenggambarkan secara sistematis kedudukan hukum tanah wakaf akibat dibubarkannya yayasan dihubungkan dengan UUY.
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwa cara perwakafan tanah dari pendiri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 (1977 No.38) tentang Perwakafan Tanah Milik. Dalam hal ini berlaku prinsip Lex Spesialis Derogat Lex Generalis, karena Berdasarkan Pasal 26 ayat (3) UUY, dalam hal kekayaan yayasan yang berasal dari wakaf, maka berlaku ketentuan hukum perwakafan. UUY tidak menegaskan terjadinya peralihan hak milik atas kekayaan yang dipisahkan oleh pendirinya kepada yayasan. UUY tidak mewajibkan pemisahan kekayaan yang meliputi penyerahan hak milik kepada yayasan. UUY hanya menegaskan bahwa pendiri memisahkan (sebagian) kekayaannya untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan. Kekayaan yang berasal dari wakaf tidak dimasukkan dalam harta pailit, jika ketentuan perwakafan diberlakukan. Karena harta wakaf merupakan benda diluar perdagangan (res extra comrnercium) yang tidak dapat dijadikan objek jaminan dan oleh karena itu tidak dapat disita dan dieksekusi."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T18925
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Apridita S.
"Laju arus telekomunikasi yang semakin canggih membuat dunia bisnis pun terbangun Stasiun televisi tidak hanya didominasi oleh TVRI tetapi sudah dibagi antara 6 stasiun televisi swasta lainnya, yang paling muda adal ah Indosiar. Masya rakat kini semakin t erbuai dengan adanya layar kaca yang memberikan alternatif hiburan yang beraneka ragam. Tiap stasiun televisi berlomba-lomba merebut hati pemirsa. Salah satu acara yang digemari pemirsa televisi adalah adanya siaran langsung baik itu berupa siaran langsung olahraga hiburan ataupun berita. Untuk menyajikan acara siaran langsung tersebut PT. RCTI telah membeli satelit dish. Akan tetapi, menurut PP no. 8 tahun 1989 telekomunikasi hanya dipegang oleh badan penyelenggara, dalam hal ini adalah PT. Indosat yang berhak menjadi badan penyelenggara telekomunikasi di Indonesia termasuk telekomunikasi satelit Sehingga PT. RCTI akhirnya menghibahkan satelit dish itu kepada PT. Indosat. PT. Indosat kemudian meminjamkan satelit dish tersebut kepada PT. RCTI untuk dipakai bagi keperluan siaran langsungnya. Satelit dish itu sendiri terletak di kawasan PT. RCTI. Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, mereka sepakat untuk mengikatkan diri kedalam suatu Perjanjian Hibah dan Pinjam Pakaian antara PT. RCTI dan PT. Indosat. Penulis dalam skripsi ini berusaha untuk meninjau dan menganalisa perjanjian tersebut ditinjau dari segi hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
S20723
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Shannon Gabriella Pesik
"Pemberian hibah dengan objek harta bersama dalam perkawinan semestinya dilakukan melalui persetujuan antara kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Namun dalam beberapa kasus, pemberian hibah di mana tanah merupakan objek hibah yang juga merupakan harta bersama, tidak dilakukan dengan persetujuan salah satu dari pasangan dalam hubungan suami dan isteri, sebagaimana ditemukan dalam Putusan Nomor 167/Pdt.G/2019/PN.Cbi. Oleh karena itu permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini berkaitan dengan status hibah harta bersama yang diberikan tanpa persetujuan isteri dan tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam peralihan hak atas tanah melalui pemberian hibah yang dilakukan tanpa persetujuan isteri. Penelitian hukum doktrinal ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui studi kepustakaan. Data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum tersebut selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis, dapat dinyatakan bahwa status hibah atas harta bersama yang diberikan tanpa persetujuan isteri adalah dapat dibatalkan. Hibah terhadap objek harta bersama yang diberikan dengan tanpa persetujuan isteri adalah tidak sah karena melawan hukum. Pada dasarnya, hibah dapat diberikan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang terkualifikasi sebagai penerima hibah. Namun, terhadap objek harta bersama, pemberian hibah harus memiliki persetujuan dari kedua belah pihak yakni suami dan isteri. Selain itu, PPAT dalam peralihan hak atas tanah melalui pemberian hibah adalah untuk memastikan bahwa semua dokumen yang merupakan persyaratan dan ketentuan yang berlaku telah dipenuhi sebelum akta dibuat. Pembuatan akta harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memenuhi syarat-syarat dalam pembuatan akta hibah. Sebelum pembuatan akta, PPAT wajib dengan teliti mencek dokumen-dokumen yang diberikan penghadap kepadanya. Apabila, syarat subjektif dalam sebuah akta tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, maka akta tersebut dapat dibatalkan sehingga kekuatan pembuktian akta tersebut menjadi di bawah tangan. Batalnya suatu akta akan menimbulkan tanggung jawab PPAT yang membuat akta tersebut. Tanggung jawab PPAT terhadap pembatalan suatu akta hibah adalah sanksi perdata yakni batalnya akta itu sendiri dan ganti rugi terhadap kerugian yang timbul akibat akta tersebut.

Granting grants with the object of joint property in marriage should be done through the consent of both parties, both husband and wife. However, in some cases, the granting of grants where land is the object of the grant which is also joint property, is not made with the consent of one of the partners in the relationship of husband and wife, as found in Decision Number 167/Pdt.G/2019/PN.Cbi. Therefore, the issues raised in this research are related to the status of joint property grants given without the consent of the wife and the responsibility of the Land Deed Official (PPAT) in the transfer of land rights through grants made without the consent of the wife. This doctrinal legal research is conducted by collecting legal materials through literature study. Secondary data in the form of legal materials are then analyzed qualitatively. From the results of the analysis, it can be stated that the status of grants on joint property given without the consent of the wife is cancelable. Grants of joint property objects given without the consent of the wife are invalid because they are against the law. Basically, grants can be given freely to anyone who qualifies as a grantee. However, for the object of joint property, the grant must have the consent of both parties, namely the husband and wife. In addition, PPAT in the transfer of land rights through grants is to ensure that all documents that constitute the applicable requirements and conditions have been fulfilled before the deed is made. The making of the deed must comply with the applicable laws and regulations and fulfill the requirements in making the grant deed. Before making the deed, the PPAT is obliged to carefully check the documents provided by the confronter. If the subjective requirements in a deed do not match the actual facts, then the deed can be canceled so that the evidentiary power of the deed becomes under hand. The cancellation of a deed will lead to the responsibility of the PPAT who made the deed. The PPAT's responsibility for canceling a grant deed is a civil sanction, namely the cancellation of the deed itself and compensation for losses arising from the deed."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Aulia Muzhdalifah
"Dasar gugatan adanya pembatalan akta hibah yang dibatalkan oleh mertua kepada menantu adalah karena pemberi hibah menganggap bahwa akta hibah tersebut cacat hukum karena didasari oleh tidak terpenuhinya ketentuan-ketentuan mengenai tata cara atau prosedur yang harus dilalui sebelum diterbitkannya suatu akta atau karena suatu tindakan pemalsuan tanda tangan atau penggantian identitas. Pada dasarnya, hibah tidak dapat dicabut dan dibatalkan akan tetapi terdapat beberapa pengecualian hibah yang dapat ditarik kembali dan dapat dihapuskan oleh pemberi hibah yang diatur dalam Pasal 1688. Oleh karena itu Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 50/Pdt.G/2020/PA.Kupang menyatakan terhadap pemberi hibah yang ingin membatalkan akta hibah kepada anak menantu yang telah dibuat oleh PPAT tidak terbukti didalam persidangan serta bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan pemberi hibah untuk membatalkan akta hibah yang telah dibuat oleh PPAT tersebut. Melalui penelitian yuridis Normatif dan bersifat eksplanatoris ini, penelitian ini menggunakan data sekunder berusaha menganalisis putusan hakim serta upaya hukum yang dapat dilakukan untuk membatalkan akta hibah kepada menantu yang telah dibuat oleh PPAT. Hakim harus menjadikan akta autentik sebagai dasar fakta yang sempurna dan cukup untuk mengambil putusan atas penyelesaian perkara yang disengketakan karena akta autentik sifatnya sempurna dan mengikat serta upaya hukum yang dapat dilakukan untuk membatalkan akta hibah untuk membuktikan akta tersebut cacat yuridis adalah dengan melakukan pembuktian melalui upaya gugatan ke Pengadilan Negeri atau membuat akta pembatalan akta hibah kepada Notaris.

The basis for the lawsuit for the cancellation of the grant deed which was canceled by the in-laws to the son-in-law is because the grantor considers that the grant deed is legally invalid because it is based on the non-fulfillment of the provisions regarding the procedures or procedures that must be passed before the issuance of a deed or because of an act of forging signatures or change of identity. Basically, a grant cannot be revoked and canceled, but there are some exceptions to grants that can be withdrawn and can be canceled by the granter, which is regulated in Article 1688. Therefore, the main problem in this research is why the judge's consideration in the decision Number 50 / Pdt.G / 2020 / PA.Kupang stated that the plaintiff wanted to cancel the grant deed to the son-in-law that had been made by the PPAT because the procedures or procedures were not fulfilled. It must be done in the making of the grant deed, it is not proven in court as well as what legal remedies can be made by the grantee to cancel the grant deed that has been made by the PPAT. Through this Normative and explanatory juridical research, the writer uses secondary data to try to analyze the judge's decision and the efforts that can be made to cancel the grant deed to the sonin-law that has been made by the PPAT. The judge must make the authentic deed as a perfect and sufficient fact basis to make a decision on the settlement of a disputed case because the authentic deed is perfect and binding and the legal remedy that can be taken to cancel the grant deed to prove that the deed is legally flawed is to prove the proof is reversed. done through a lawsuit to the District Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Nabila
"Hubungan hukum yang timbul dari seseorang yang meninggal dunia perihal harta peninggalannya diatur dalam hukum waris, yang dibedakan ke dalam 2 (dua) macam yaitu menurut undang-undang (ab intestato) ialah ahli waris berdasarkan garis keturunan sedangkan, surat wasiat (testamentair) ialah penunjukkan seseorang sebagai ahli waris yang dituangkan dalam suatu wasiat dan terbagi 2 (dua) jenis yaitu, pengangkatan wasiat (erfstelling), bendanya tidak ditentukan sedangkan, hibah wasiat (legaat), penetapan khusus dengan ditentukan jenis bendanya, yang mana objek hibah wasiat itu harus dimiliki pada saat pemberi hibah wasiat meninggal dunia. Penelitian ini fokus pada hibah wasiat (legaat), pembuatannya dengan akta tertulis hal ini perlu peran Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat suatu akta autentik. Apabila dalam pembuatan akta mengalami penyimpangan dan/atau pelanggaran persyaratan pembuatan akta, maka hal tersebut membawa akibat terhadap tidak sahnya suatu akta yang dibuat oleh Notaris. Tujuan penelitian ini, untuk menganalisis akibat hukum terhadap akta hibah wasiat yang obyeknya bukan milik pihak dalam akta dan tanggung jawab pemegang protokol/protokol sementara notaris terhadap pembatalan akta hibah wasiat Nomor 122 yang dibuat oleh notaris purna bakti. Untuk menjawab perumusan masalah dalam penelitian ini maka penulis menggunakan metode penelitian hukum preskriptif dengan data sekunder yang mencakup bahan hukum berupa peraturan-peraturan, literatur dan buku kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian, akibat hukum terhadap akta hibah wasiat tersebut aktanya, mengandung objek milik pihak lain atau cacat hukum secara objektif, berakibat akta tersebut batal demi hukum. Dan tanggung jawab pemegang protokol/protokol sementara notaris terhadap pembatalan akta hibah wasiat Nomor 122, ia tidak bertanggungjawab sebagaimana Pasal 65 UUJNP serta tunduk dan patuh pada putusan majelis hakim yaitu untuk tidak memberlakukan lagi akta hibah wasiat tersebut dalam bentuk apapun juga.

The legal relationship arising from a person who dies regarding his inheritance is regulated in inheritance law, which is divided into 2 (two) types, namely according to law (ab intestato) an heir based on lineage, while a will (testamentair) is an appointment a person as an heir as outlined in a will and is divided into 2 (two) types, namely, the appointment of a will (erfstelling), the object is not determined, while, a testamentary grant (legaat), a special determination by determining the type of object, in which the object of the will must be when the grantor of the testament dies. This research focuses on will grants (legaat), making it with a written deed, this requires the role of a Notary as a public official who is authorized to make an authentic deed. If in the making of the deed there are deviations and/or violations of the requirements for making the deed, then this will result in the invalidity of a deed made by a Notary. The purpose of this study is to analyze the legal consequences of a testament grant deed whose object does not belong to a party in the deed and the responsibilities of the protocol/protocol holder while a notary to the cancellation of the will grant deed No. 122 made by a retired notary To answer the formulation of the problem in this study, the authors use prescriptive legal research methods with secondary data that includes legal materials in the form of regulations, literature and library books. Based on the results of the study, the legal consequences of the deed of will grant, contain objects belonging to other parties or are objectively legally flawed, resulting in the deed being null and void. And the responsibility of the holder of the protocol/protocol while the notary is against the cancellation of the will grant deed Number 122, he is not responsible as stated in Article 65 of the UUJNP and is subject to and obedient to the decision of the panel of judges, namely not to apply the will again in any form."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afifah Nabila Putri
"Tulisan ini menganalisis mengenai keabsahan Akta Pengikatan Hibah berdasarkan perpektif hukum Islam dan dampak yang mungkin terjadi sebelum dibuatkan Akta Hibah oleh PPAT. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode doktrinal. Akta Pengikatan Hibah dibuat dihadapan Notaris ditujukan sebagai alat bukti perjanjian para pihak dalam melaksanakan hibah dikemudian hari. Saat ini, belum ada pengaturan mengenai Akta Pengikatan Hibah yang membuat ambiguitas dikalangan masyarakat. Akta Pengikatan Hibah Nomor 7 yang dibuat dihadapan Notaris di Kota Bandung terdapat beberapa kejanggalan. Berdasarkan perspektif Hukum Islam, Akta Pengikatan Hibah dinilai melalui prinsip akad dan wa’ad. Akta Pengikatan Hibah berdasarkan prinsip akad dapat dipersamakan seperti Akta Hibah. Sedangkan, Akta Pengikatan Hibah berdasarkan prinsip wa’ad dipersamakan dengan Akta Pengikatan Hibah. Meskipun keabsahan penghibahan secara Hukum Islam belum dapat menjadi alat bukti pengalihan hak atas tanah berdasarkan yuridis di Indonesia. Dalam hal belum sempat dibuatkannya Akta Hibah, jika terdapat salah satu pihak meninggal dunia secara prinsip akad tidak membatalkan penghibahan. Namun, berdasarkan prinsip wa’ad, Akta Pengikatan Hibah dapat dijadikan bukti untuk melakukan mediasi kepada ahli waris penghibah. Apabila terjadi ingkar janji atau perizinan tidak bebas, pihak yang dirugikan dapat melakukan upaya penetapan pengadilan, meminta ganti rugi, atau pembayaran denda.

This writing analyzes the validity of the Deed of Gift Agreement from the perspective of Islamic law and the potential impacts that may arise before the creation of a Deed of Gift by a Land Deed Official (PPAT). The study employs a doctrinal method. The Deed of Gift Agreement, made before a Notary, serves as evidence of the agreement between the parties to carry out the gift in the future. Currently, there are no specific regulations regarding the Deed of Gift Agreement, which has created ambiguity among the public. Deed of Gift Agreement Number 7, drawn up before a Notary in Bandung, contains several irregularities. From the perspective of Islamic law, the Deed of Gift Agreement is assessed through the principles of akad (contract) and wa’ad (promise). Based on the akad principle, the Deed of Gift Agreement is comparable to a Deed of Gift. Meanwhile, based on the wa’ad principle, the Deed of Gift Agreement is considered equivalent to a promise of a gift. Although the validity of gifting under Islamic law does not yet serve as legal evidence for the transfer of land rights under Indonesian jurisdiction, it can still have implications. If a Deed of Gift has not yet been created and one of the parties passes away, the gifting process, under the akad principle, remains valid and is not annulled. However, under the wa’ad principle, the Deed of Gift Agreement can be used as evidence to mediate with the heirs of the donor. In cases of breach of promise or lack of free consent, the aggrieved party may pursue legal measures, such as a court ruling, compensation, or penalty payment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Tirta Kusuma
"Suatu akta hibah seharusnya tidak dapat dibatalkan apabila telah dilakukan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini disebabkan karena pemberian hibah merupakan hak dari pemilik barang sehingga ia memiliki kebebasan untuk memberikan barang tersebut kepada orang lain. Apabila hibah yang dilakukan semasa hidup menyebabkan terlanggarnya bagian mutlak (legitieme portie) dari ahli waris nya, maka pada saat harta pewarisan terbuka dapat dilakukan pemotongan atau pengurangan (inkorting). Hibah sendiri adalah suatu bentuk perjanjian dimana pemberi hibah menyerahkan suatu benda untuk keuntungan dari pemberi hibah secara cuma-cuma yang tidak dapat ditarik kembali dan penyerahan tersebut dilakukan pada saat pemberi hibah masih hidup. Sebuah hibah tidak dapat dibatalkan oleh ahli waris tanpa adanya alasan yang kuat. Penelitian ini membahas mekanisme inkorting sebagai cara pemenuhan legitieme portie yang terlanggar serta akibat hukum dari sebuah akta hibah yang digugat pembatalan oleh anak selaku ahli waris yaitu yang terjadi pada sebuah kasus yang telah diputus oleh hakim dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 1159/Pk/Pdt/2023 dimana hakim memutuskan untuk membatalkan akta hibah yang dilakukan oleh orang tua semasa hidup karena ternyata melanggar legitieme portie. Penelitian ini menerapkan metode penelitian doktrinal dengan menggunakan pendekatan yuridis-normatif. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian ini tidak dapat mendukung putusan hakim yang membatalkan akta hibah dengan alasan adanya legitieme portie dari ahli waris yang terlanggar. Pertimbangan tersebut adalah kurang tepat dikarenakan apabila terjadi pelanggaran legitieme portie dapat dilakukan inkorting untuk memenuhi kekurangan bagian tersebut.

A grant deed should not be invalidated if it has been carried out in accordance with the applicable laws and regulations. This is because the grant is the right of the owner of the goods so that he has the freedom to give the goods to others. If a grant made during life causes a violation of the absolute share (legitieme portie) of the heirs, then when the inheritance is open, a deduction or reduction (incorting) can be made. Grant itself is a form of agreement where the grantor hands over an object for the benefit of the grantor free of charge which is irrevocable and the handover is made when the grantor is still alive. Thus a grant cannot be canceled by the heirs without a strong reason. This research discusses the legal consequences of a grant deed that is sued for annulment by the child as the heir, which occurs in a case that has been decided by the judge in Judicial Review Decision Number 1159/Pk/Pdt/2023 where the judge decides to cancel the grant deed made by the parents during their lifetime because it violates legitieme portie. This research applies doctrinal research methods using a juridical-normative approach. This research uses secondary data obtained through library research in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials. The results of the research show that. The results of this study cannot support the judge's decision where the reason for the cancellation due to the violated legitieme portie of the heirs is incorrect because if there is a violation of the legitieme portie, incorting can be done to fulfill the shortage of the share."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kluyskens, Albert
"Dit boek bevat een uitleg van het burgerlijk recht."
Antwerpen: Standaard-Boekhandel, 1955
K 343.053 5 KLU b III
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Henny Dwi Indahsari
"Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilaksanakan ketika masih hidup. Pelaksanaan hibah hanya dibatasi sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta benda yang dimilikinya. Pemberian hibah sering kali menimbulkan dan membawa permasalahan diantara keluarga. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai pelaksanaan hibah kepada anak angkat terhadap kepemilikan tanah objek warisan yang dilakukan sebelum adanya pembagian waris menurut ketentuan hukum Islam; dan, kesesuaian pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2518 K/Pdt/2018 dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Untuk permasalahan tersebut digunakan metode penelitian yuridis normatif yang menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dengan tipe penelitian secara preskriptif. Hasil analisis dalam penulisan ini adalah pelaksanaan hibah kepada anak angkat terhadap kepemilikan tanah objek warisan yang dilakukan sebelum adanya pembagian waris tidak dapat dilakukan karena terdapat hak ahli waris dalam harta benda tersebut yang bersifat mutlak dan pembagian harta benda tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Pertimbangan Majelis Hakim di tingkat kasasi tidak sesuai dengan Pasal 210 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI). Majelis hakim hanya mempertimbangkan status tanah sawah sengketa tersebut tanpa mempertimbangkan hibah telah dinyatakan batal demi hukum karena di dalam objek hibah tersebut masih ada hak para ahli waris. Putusan Majelis Hakim di tingkat kasasi menyebabkan para ahli waris tidak dapat menerima haknya. Majelis Hakim sebaiknya dalam memutuskan suatu perkara harus melihat fakta-fakta dan mempertimbangkan putusan berdasarkan dokumen-dokumen secara menyeluruh untuk dijadikan bahan pertimbangan hukum.

A grant is a gift made by one person to another that is carried out while still alive. The implementation of the grant is only limited to a maximum of 1/3 (one third) of the assets it owns. Giving grants often creates and brings problems between families. The problems raised in this study are regarding the implementation of grants to adopted children to the ownership of the land object of inheritance which is carried out before the distribution of inheritance according to the provisions of Islamic law; and, the suitability of the considerations of the Panel of Judges in the Supreme Court Decision Number 2518 K/Pdt/2018 with the laws and regulations in Indonesia. For this reason, the normative juridical research methods are used for primary, secondary, and tertiary legal materials with prescriptive research types. The results of the analysis in this writing are the implementation of the granting to adopted children to the ownership of the land object of inheritance which was carried out before the distribution is not the right distribution of inheritance could not be carried out because there were rights in the property which were absolute and the distribution of the property had to be carried out in accordance with the predetermined part. The Panel of Judges at the cassation level is not accordance with the provisions of Article 210 paragraph (2) Compilation of Islamic Law (KHI). The panel of judges only considered the status of the disputed rice fields without any consideration that the grant had been declared null and void because in the object of the grant there were rights due to the decision of the Panel of Judges should in deciding a case must look at the facts and consider the decision based on the comprehensive documents as a whole to be used as legal considerations"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>