Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hutagalung, Johanna
Abstrak :
Sebagai mahluk sosial, manusia memiliki kebutuhan untuk membentuk dan mengembangkan hubungan interpersonal yang memuaskan. Kebutuhan ini disebut sebagai kebutuhan afiliasi (need for affiliation) [Nlaslow, 1986]. Salah satu bentuk hubungan yang dapat memenuhi kebutuhan afiliasi adalah hubungan persahabatan. Melalui persahabatan, seseorang mendapatkan perhatian, tempat untuk berbagi, keterikatan dengan orang lain, kebebasan untuk berkembang, penghargaan, kepercayan dan kesetaraan. Hubungan persahabatan dianggap penting oleh seseorang, karena persahabatan adalah suatu hubungan psikologis yang mencakup hubungan pertemanan, saling berbagi (sharing), saling mengerti pikiran dan perasaan, dan saling menyayangi serta memberikan kenyamanan satu sama Iain serta tidak lekang oleh waktu (Berk, 1994). Kebutuhan akan hubungan persahabatan ini telah berlangsung dari awal masa kecil dan menjadi semakin penting ketika memasuki masa remaja. Pada masa ini, remaja dihadapkan pada suatu proses pembentukan identitas diri dan diharapkan dapat menentukan siapa dirinya, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang Iain. Oleh sebab itu remaja membutuhkan orang Iain yang dapat memberikan pengertian dan simpati, dan orang yang paling tepat adalah remaja lain karena mereka berada dalam posisi yang sama (Conger & Peterson, 1995). Dalam sebuah persahabatan, penting adanya faktor sukarela, unik, kedekalan dan keintiman, persahabatan harus dipelihara agar dapat bertahan (Suzanne Kurth, 1970) dan rasa saling percaya (mutual trust) (Douvan dan Adelson, 1973). Selain meneliti kelima unsur yang ada dalam suatu persahabatan, peneliti juga ingin meneliti bentuk hubungan persahabatan antara dua orang, yaitu remaja dan sahabatnya (dyad). Hubungan 'dyad' itu sendiri adalah bentuk terkecil dan suatu kelompok yang terdiri dari dua orang. Pada bentuk hubungan ?dyad', hanya ada satu hubungan interpersonal yang terjadi, yaitu antara subyek dan sahabatnya (Farley, 1992). Dalam suatu hubungan interpersonal yang sifatnya 'dyadic', factor kecocokan sering dianggap sebagai faktor penentu keberhasilan hubungan. William C. Schutz mengemukakan teorinya mengenai faktor kecocokan ini melalui teori hubungan interpersonal. Teori ini menjelaskan hubungan interpersonal yang didasarkan pada keyakinan akan pemuasan kebutuhan interpersonal dalam kelompok. Kebutuhan interpersonal yang dimaksud meliputi kebutuhan akan inklusi, kontrol, dan afeksi. Penelitian ini dltujukan untuk melihat dimensi-dimensi persahabatan yang dlkemukakan oleh Suzanne Kurth serta Douvan dan Adelson pada remaja ditinjau melalui analisis kecocokan psikologis yang dikemukakan oleh William C. Schutz. Subyek pada penelitian ini adalah remaja menengah (Konopka Pikunas, 1976) dengan rentang usia antara 15-18 tahun. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode incidental sampling dan berhasil didapatkan 32 pasang subyek (64 orang remaja). Alat pengumpul data yang digunakan adalah kuesioner persahabatan, hasil elisitasi terhadap sejumlah subyek remaja, dengan didasarkan pada teori dari Suzanne Kurth serta Douvan dan Adelson, dan kuesioner Fundamental Interpersonal Relations Orientation-Behavior atau FIRO-B dan William C. Schutz (1960). Pengolahan data dilakukan dengan melakukan analisa deskriptif dan korelasi. Keseluruhan pengolahan data dilakukan dengan bantuan program SPSS. Hasil dan penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara faktor kebutuhan interpersonal akan kontrol yang diekspresikan dan diinginkan dengan faktor kedekatan dan keintiman dalam persahabatan. Selain itu, hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara factor kebutuhan interpersonal akan afeksi yang diekspresikan dan diinginkan dengan faktor unik dalam persahabatan. Selain hubungan antara faktor-faktor persahabatan dengan faktor kebutuhan interpersonal, tergambar pula perbedaan faktor-faklor persahabatan dan kebutuhan interpersonal antara remaja laki-laki dan perempuan, dimana hasil yang didapat menunjukkan hanya dua (2) factor saja yang memiliki perbedaan yang signifikan, yaltu faktor kebutuhan interpersonal akan wanted inclusion dan expressed affection. Uniuk penelitian lebih lanjut, peneliti menyarankan untuk menggunakan cara lain, seperti metode wawancara, sehingga didapatkan hasil yang lebih mendalam, menyeluruh, dan mungkin saja ditemukan faktor lain yang mempengaruhi persahabatan selain faktor kecocokan psikologis dan faktor-faktor persahabatan yang ada dalam penelitian ini.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S2966
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kumala Dewi
Abstrak :
Berbicara mengenai pergaulan remaja biasanya tidak lepas dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama teman sebaya, misalnya pesta-pesta, sekedar berkumpul bersama teman, bermain musik, berolahraga dan lain-lain. Pergaulan remaja juga sering dikaitkan dengan dimulainya hubungan pertemanan dengan lawan jenis dan meningkat pada hubungan pacaran atau kencan. Hampir semua remaja, dari keluarga kaya maupun miskin, mengalami hal serupa ini. Kini muncul dan berkembang suatu istilah yang disebut dengan begaul. Istilah tersebut memberikan pengertian bahwa dalam pergaulan di lingkungan remaja terdapat remaja yang tergolong anak gaul' dan bukan anak gaul. Begaul kini menjadi sebuah fenomena khas remaja Jakarta di era tahun '90-an, yang artinya tidak hanya mempunyai banyak teman dan melakukan kegiatan bersama tetapi juga menyangkut gaya hidup yang cenderung konsumtif dan materialistis. Mereka yang tergolong sebagai anak gaul biasanya memang berasal dari keluarga golongan ekonomi menengah atas dan sering menjadi sorotan negatif masyarakat. Menurut Andersson (1969) para tokoh pendidikan sejak lama telah mengemukakan bahwa seluruh proses sosialisasi merupakan proses pendidikan: Havighurst dan Neugarten (1957) menyebut keluarga dan peer group sebagai suatu lingkungan belajar, dan Sjostrand (1967) berpendapat bahwa sekolah hanya mencakup sebagian kecil dari proses pendidikan yang terjadi dalam masyarakat. Menurut Lewin, perilaku remaja yang begitu mementingkan peer group disebabkan oleh keadaan remaja yang berada pada periode transisi di mana mereka mengubah group membership (Lewin dalam Rice, 1990). Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep begaul menurut remaja dan bagaimana gambaran budaya remaja Jakarta. Konsep adalah ciri-ciri penting dari suatu obyek atau peristiwa tertentu dan aturan-aturan yang menghubungkan ciri-ciri im (Solso, 1979). Konsep begaul mencakup pemahaman seseorang tentang apa yang menjadi ciri-ciri atau unsur begaul tersebut, termasuk definisi, tujuan, manfaat dan kerugiannya. Subyek penelitian adalah remaja berusia 15-18 tahun yang tinggal di Jakarta minimal selama 1 tahun, dengan jumlah 102 orang. Pelaksanaannya dengan membagikan kuesioner secara insidental dengan porsi yang seimbang antara remaja Iaki-laki dan perempuan. Berdasarkan data yang diperoleh, penulis mengolahnya dengan teknik analisis kuantitatif berupa persentase dan teknik analisis kualitatif yaitu dengan melakukan teknik content analysis, dengan cara menganalisis dan menggolong-golongkan isi hasil jawaban subyek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep begaul meliputi unsur-unsur seperti sosialisasi, informasi, hura-hura, dan friendship. Gambaran budaya remaja yang terdiri dari unsur material dan non material menunjukkan adanya ciri khas pada remaja Jakarta yang dapat membedakannya dengan remaja yang tinggal di kota-kota lain di Indonesia. Dalam diskusi, hasil penelitian ini dikaitkan dengan tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja (Havighurst, 1972 dalam Rice, 1990) dan penelitian-penelitian mengenai konformitas pada remaja. Saran yang dapat dilakukan untuk penelitian berikutnya adalah menggunakan alat pengumpul data berupa wawancara terstruktur dan observasi agar dapat lebih mudah melakukan probing mengenai hal-hal yang masih belum jelas dan masih ingin ditanyakan lebih lanjut. Penulis juga menyarankan untuk melakukan penyebaran yang merata dari setiap wilayah Jakarta supaya dapat sekaligus memperoleh data perbandingannya. Teori mengenai popularitas pada masa remaja ternyata juga dibutuhkan untuk membahasnya lebih dalam.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umi Nur Kharimah
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbandingan kualitas hubungan pertemanan antara remaja laki-laki dan remaja perempuan serta melihat korelasi antara kualitas hubungan pertemanan dan tingkat depresi pada siswa SMA di wilayah DKI Jakarta. Friendship Quality Scale FQS dan Hopkins Symptom Checklist 25 HSCL-25 digunakan pada penelitian ini untuk mengukur kualitas hubungan pertemanan dan psychological distress dalam bentuk gejala depresi. Responden penelitian ini terdiri dari 746 siswa kelas X SMA yang tersebar di lima kotamadya di Provinsi DKI Jakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada kualitas hubungan pertemanan pada remaja laki-laki dan perempuan, dengan skor kualitas hubungan pertemanan pada remaja perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan remaja laki-laki. Berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu, pada penelitian ini ditemukan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara kualitas hubungan pertemanan dan tingkat depresi, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas hubungan pertemanan maka akan semakin tinggi pula tingkat depresi, dan begitu sebaliknya. Penelitian lanjutan dinilai perlu dilakukan untuk menggali dinamika hubungan positif antara kualitas hubungan pertemanan dan tingkat depresi. ......The aim of this study is to compare friendship quality between boys and girls, and also to investigate whether any correlation between friendship quality and depression among high school students in Jakarta. Friendship Quality Scale FQS and Hopkins Symptom Checklist 25 HSCL 25 are used to measure friendship quality and psychological distress in the form of depressive symptoms. Participants of this study were 746 tenth graders of high school from five urban cities in Jakarta. The result of the study shows that there is a significant difference of friendship quality between boys and girls, whereas girls tend to be higher than boys. Contradictory with previous studies, the result of this study shows that there is a positive correlation between friendship quality and depression, which means that higher friendship quality correlates with higher depressive symptoms, and vice versa. Future researches are needed to explore the dynamics of positive correlation between friendship quality and depression.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S67059
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Saraswati
Abstrak :
[ABSTRAKBR Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara resiliensi dan kualitas pertemanan pada remaja akhir dari keluarga utuh, bercerai, dan menikah kembali. Resiliensi didefinisikan sebagai perwujudan kualitas pribadi atau kemampuan individu dalam melakukan coping untuk menghadapi dan dapat bertahan dari kesulitan atau perubahan. Kualitas pertemanan adalah penilaian individu terhadap seberapa baik teman dalam memenuhi fungsi-fungsi pertemanan. Pengukuran resiliensi dilakukan dengan menggunakan alat ukur Resiliency Attitudes and Skills Profile (RASP) yang dikembangkan oleh Hurtes dan Allen (2001). Pengukuran kualitas pertemanan dilakukan dengan menggunakan alat ukur McGill Friendship Questionnaire-Friends' Function (MFQ-FF) yang dikembangkan oleh Mandelson & Aboud (2012). Partisipan penelitian berjumlah 75 remaja akhir yang tinggal bersama keluarga kandung, bercerai, dan atau tiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara resiliensi dan kualitas pertemanan pada remaja akhir dari keluarga utuh, bercerai, dan menikah kembali. Implikasi dari penelitian ini adalah perlunya pemeliharaan kualitas pertemanan bagi remaja dalam mengalami perceraian atau pernikahan kembali orang tua untuk mengembangkan resiliensinya.;This research was conducted to find the relationship between resiliency and friendship quality among late adolescence. Resiliency defined as the manifestation of individual quality or the ability to cope and survive from adversity or change. Friendship quality is an individual judgement of the degree to which a friend fulfills friendship functions. Resiliency was measured by Resiliency Attitudes and Skills Profile (RASP) (Hurtes and Allen, 2001). Friendship quality is measured by McGill Friendship Questionnaire-Friends' Function (MFQ-FF) (Mandelson & Boud, 2012). Participants of this research were 75 late adolescents living with biological, divorced, or step family. Results shows a positive significant correlation between resiliency and friendship quality among late adolescence from intact, divorced, or remarried families. The implication of this study is the importance of maintaining a good friendship quality for late adolescence who has experienced parental divorce or remarriage in order to develop their resiliency., This research was conducted to find the relationship between resiliency and friendship quality among late adolescence. Resiliency defined as the manifestation of individual quality or the ability to cope and survive from adversity or change. Friendship quality is an individual judgement of the degree to which a friend fulfills friendship functions. Resiliency was measured by Resiliency Attitudes and Skills Profile (RASP) (Hurtes and Allen, 2001). Friendship quality is measured by McGill Friendship Questionnaire-Friends' Function (MFQ-FF) (Mandelson & Boud, 2012). Participants of this research were 75 late adolescents living with biological, divorced, or step family. Results shows a positive significant correlation between resiliency and friendship quality among late adolescence from intact, divorced, or remarried families. The implication of this study is the importance of maintaining a good friendship quality for late adolescence who has experienced parental divorce or remarriage in order to develop their resiliency.]
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S59145
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dayanara Turangga
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara dorongan memaafkan dan coping remaja dalam hubungan pertemanan. Penelitian ini dilakukan terhadap 412 remaja. Instrumen yang digunakan dalam mengukur dorongan memaafkan adalah Transgression-Related Interpersonal Motivations Inventory (TRIM-18) dari McCullough, Worthingthon, dan Rachals (2006) dan coping diukur dengan menggunakan Brief COPE dari Carver, dkk (1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara dorongan memaafkan dan coping pada hubungan pertemanan remaja (r = -0.019; p > 0.05). Berdasarkan empat belas subskala coping, dorongan memaafkan juga tidak memiliki korelasi yang signifikan negatif dengan setiap jenisnya. ...... This research was conducted to examine the correlation between forgiveness and coping in adolescent friendship. The participants of this research were 412 adolescence. This study used two measurements tools. Forgiveness was measured by instrument that called Transgression-Related Interpersonal Motivations Inventory (TRIM-18) by McCullough, Worthingthon, dan Rachal (2006) and coping was measured by Carver, et al. (1997), using Brief COPE. The main result of this research showed no significance correlation between forgiveness and coping (r = -0.019; p > 0.05). The result also indicated that there is no significant and negative correlation between forgiveness and fourteen subscales of copings.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S64973
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gendis Sekar Pitaloka
Abstrak :
Kualitas pertemanan yang baik merupakan hal penting untuk dimiliki oleh remaja, terutama remaja akhir. Adanya interaksi antara anak dan ayah akan meningkatkan kemampuan anak dalam menjalin hubungan pertemanan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara keterlibatan ayah dan kualitas hubungan pertemanan pada remaja akhir. Dalam penelitian ini, keterlibatan ayah diukur dengan menggunakan alat ukur Nurturant Fathering Scale dan Father Involvement Scale yang dikembangkan oleh Finley dan Schwartz 2004 , sedangkan alat ukur digunakan untuk mengukur kualitas hubungan pertemanan adalah McGill Friendship Questionnaire-Friend 39;s Functions yang dikembangkan oleh Mendelson dan Aboud 2012 . Partisipan penelitian ini adalah remaja akhir berusia 17 hingga 21 tahun N = 635 . Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara keterlibatan ayah dan kualitas hubungan pertemanan pada remaja akhir. Dengan kata lain, semakin tinggi keterlibatan ayah, maka semakin tinggi pula kualitas hubungan pertemanan yang dimiliki.
A good friendship quality is important for adolescence, especially late adolescence. Interaction between father and his children will increase children rsquo s ability to develop friendship. The aim of this study was to examine the relationship between father involvement and friendship quality among late adolescence. In this study, father involvement was measured with Nurturant Fathering Scale and Father Involvement Scale developed by Finley and Schwartz 2004 , meanwhile friendship quality was measured with McGill Friendship Questionnaire Friend 39 s Functions developed by Mendelson and Aboud 2012 . Participants of this study consisted of late adolescence with aged between 17 and 21 years N 635 . This study was a correlational study which was conducted with a quantitative approach. The result of this study showed a positive and significant relationship between father involvement and friendship quality among late adolescence. In other words, the higher the father involvement, the higher their friendship quality is.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zani Afrinita
Abstrak :
Kerja merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan dewasa muda. Seorang dewasa yang normal adalah orang yang mampu untuk mencintai dan bekerja (Freud dalam Craig, 1986). Yang dimaksud dengan kerja adalah pekerjaan dimana individu mendapatkan bayaran sebagai imbalan. Dalam bekerja, individu pada umumnya mempunyai tujuan-tujuan tertentu namun kadangkala tujuan ini tidak selalu dapat dipenuhi. Tidak terpenuhinya tujuan ini dapat menimbulkan stres bagi individu (Quick & Quick, 1983). Stres yang dialami individu dalam dunia kerja ini disebut sebagai stres kerja (Soewondo, 1991). Stres kerja dapat dibedakan menjadi stres yang bersumber dari pekerjaan dan kehidupan sehari-hari (Greenberg 8. Baron, 1993). Salah satu hal yang dapat digunakan untuk mengatasi stres kerja adalah dukungan sosial (Quick & Quick, 1983). Lobel (1994) mengemukakan dukungan sosial ini dapat diberikan dalam 4 bentuk, yaitu dukungan emosional, instrumental, informasional dan penilaian. Adanya dukungan sosial dapat menurunkan stres pada individu karena dengan mempersepsi adanya orang lain yang dapat dan akan membantunya maka individu akan menilai bahwa ancaman yang tadinya berada di luar kemampuannya dapat diatasi sehingga individu tidak lagi memandang hal tersebut sebagai ancaman. Di tempat kerja dukungan sosial ini dapat diperoleh individu dari sahabat. Yang dimaksud dengan sahabat di sini adalah sahabat ditempat kerja. Mengingat pentingya fungsi dukungan sosial dalam mengatasi stres dan salah satu sumber dukungan sosial di tempat kerja adalah sahabat, maka penalitian ini bertujuan untuk melihat persepsi dewasa muda mengenai fungsi sahabat sebagai sumber dukungan sosial dalam menghadapi stres kerja. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data melalui skala yang mengukur persepsi dewasa muda mengenai fungsi sahabat sebagai sumber dukungan sosial dalam menghadapi stres kerja. Subyek penelitian adalah dewasa muda dengan pendidikan minimal SLTA dan bekerja purna waktu sekurang-kurangnya selama 6 bulan pada perusahaan swasta. Jumlah keseluruhan subyek adalah 119 orang yang terdiri dari 55 subyek pria dan 64 subyek wanita. Hasil pengolahan data dengan menggunakan metode statistik deskriptif menunjukkan bahwa dewasa muda mempersepsi sahabat sebagai sumber dukungan sosial dalam menghadapi stres kerja. Dukungan sosial ini dipersepsi diberikan dalam bentuk dukungan emosional, informasional dan penilaian dalam menghadapi stres kerja yang bersumber dari pekerjaan. Sedangkan pada stres kerja yang bersumber dari kehidupan sehari-hari, subyek mempersepsi sahabat memberikan dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional, informasional, penilaian dan instrumental. Di samping itu uji perbedaan dengan menggunakan teknik t-test diperoleh hasil bahwa pada persahabatan lawan jenis subyek pria dan wanita tidak mempersepsi adanya perbedaan dukungan sosial yang diberikan oleh sahabatnya, namun pada persahabatan sesama jenis subyek wanita mempersepsi sahabatnya lebih tinggi memberikan dukungan emosional dibandingkan dengan persepsi subyek pria terhadap dukungan emosional yang diberikan oleh sahabatnya. Hal ini tampaknya dipengaruhi oleh pola persahabatan yang berbeda antara pria dan wanita dimana persahabatam wanita lebih menekankan pada aspek emosional. Namun pada pesahabatan lawan jenis, perbedaan ini tidak muncul karena baik subyek pria maupun subyek wanita mempersepsi adanya dukungan sosial yang sama diberikan oleh sahabat pria maupun wanita.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2760
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Novelia
Abstrak :
Di Indonesia pada saat ini sedang terjadi krisis ekonomi dimana harga semua barang menjadi naik, tak terkecuali harga kendaraanpun ikut naik dua kali lipat disbanding harga sebelumnya. Semakin tinggi harga barang ternyata tidak diikuti oleh daya beli yang tinggi pada masyarakat. Untuk mengantisipasi masalah diatas maka para pemilik kendaraan berusaha merawat dan memperbaiki kendaraannya ke bengkel agar umur kendaraan Iebih panjang. Keterampilan merawat dan memperbaiki kendaraan di bengkel diberikan pada Mekanik. Menurut Levisque (1992) perusahaan menuntut para karyawannya agar bekerja secara produktif, begitupun Mekanik dituntut juga agar dapat bekerja secara produktif dengan alasan supaya penyerahan kendaraan tepat waktu, adanya persaingan antar bengkel yang ketat dan untuk mendapatkan kepuasan dan kepercayaan konsumen. Ada beberapa macam hal yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja, salah satunya adalah stres (dalam Organizational Behavior, 1993). Datangnya stres dalam kerja dipicu oleh penyebab stres dalam kerja juga yang terdiri dari lima aspek (Hurrel Dkk, 1988). Kemudian ada penelitian dari Cooper & Straw (1995) menyebutkan bahwa bidang teknik merupakan salah satu bidang pekerjaan yang dapat menyebabkan stres. Oleh karena itu peneliti hendak mengetahui bagaimana mekanik yang bekerja di bidang teknik mempersepsi aspek-aspek penyebab stres dalam kerja. Daiam penelitian ini juga akan dilihat perbedaan yang muncul antara empat bagian unit kerja di bengkel dalam mempersepsi aspek intrinsik dalam kerja. Penelitian ini dilakukan pada 65 Mekanik di beberapa bengkel kendaraan di Bogor, yang diambil dengan menggunakan teknik incidental-purposive sampling. Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner yang terdiri dari tiga kuesioner yang disusun sendiri oleh peneliti dengan cara menyebarkan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari kelima aspek penyebab stres dalam kerja, ada tiga aspek yaitu 2 aspek intrinsik dalam kerja, aspek hubungan daiam kerja dan aspek struktur dan iklim organisasi yang dipersepsikan agak menyebabkan stres oleh Mekanik. Sedangkan dua aspek lainnya yaitu aspek peran individu dalam organisasi dan aspek pengembangan karir dipersepsikan tidak menyebabkan stres oleh Mekanik. Kemudian berdasarkan pembagian unit kerja di bengkel dibagi menjadi empat kelompok yaitu : pengecatan, pengelasan, perawatan dan perbaikan mesin dan finishing. Ke empat unit kerja ini mempersepsi aspek-aspek penyebab stres dalam kerja, dan hasilnya unit kerja bagian pengelasan lebih merasa stres dibandingkan ketiga unit kerja lainnya. Hasii penelitian ini diharapkan memberi masukkan pada bengkel mengenai hal-hal penyebab stres kerja pada Mekanik khususnya di Bogor.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S2980
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titiana Rahma Ramadan
Abstrak :
Banyaknya faktor risiko yang mungkin dialami oleh remaja yang tinggal di panti asuhan, membuat well-being pada mereka penting untuk diperhatikan. Salah satu faktor risiko tersebut adalah mereka tidak tinggal bersama orang tua. Oleh karena itu, peer attachment diasumsikan berperan penting dalam kehidupan mereka. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara peer attachment dan subjective well-being pada remaja panti asuhan di Jakarta. Penelitian ini bersifat korelasional dengan melibatkan responden remaja berusia 12 hingga 18 tahun yang tinggal menetap di panti asuhan, di 5 wilayah di Jakarta N=132, L= 66. Terdapat tiga instrumen penelitian yang digunakan, yaitu Satisfaction with Life Scale SWLS untuk mengukur kepuasan hidup, Positive and Negative Affect Schedule PANAS untuk mengukur afek positif dan negatif, serta Inventory of Parent and Peer Attachment Revised Version IPPA untuk mengukur peer attachment. Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara peer attachment dan kepuasan hidup ,250, p0,01 serta afek negatif -,025, p>0,01. ......The well being of orphanage adolescents is important to be considered as there are numbers of risk factors that they may experience throughout their life. One of those risk factors is that they do not live with their parents. Therefore, peer attachment is assumed to take an important role in their life. The aim of this study is to find out whether there is a relationship between peer attachment and subjective well being of orphanaged adolescents in Jakarta. This is a correlational study with adolescents from age 12 to 18 years living in orphanage in 5 area in Jakarta as a respondents N 132. Instruments used in this study are, Satisfaction with Life Scale SWLS to measure life satisfaction, Positive and Negative Affect Schedule PANAS to measure positive and negative affect, and Inventory of Parent and Peer Attachment Revised Version IPPA to measure peer attachment. The results show that there is a positive and significant relationship between peer attachment and life satisfaction ,250, p0,01 and negative affect ,025, p 0,01.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library