Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tiara Rahadian Putri
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui secara spesifik apakah terdapat hubungan antara keterlibatan ayah dan social problem solving pada remaja. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian. Nurturant Fathering Scale (NFS) dan Father Involvement Scale digunakan untuk mengukur keterlibatan ayah, sementara social problem solving diukur menggunakan Social Problem Solving Inventory-Revised (SPSI-R). Responden yang terlibat berjumlah 165 remaja berusia 13 hingga 21 tahun di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Dari tiga dimensi keterlibatan ayah yang ada (Finley & Schwartz, 2004), hasil penelitian ini mengungkap bahwa hanya dimensi reported father involvement yang berkorelasi secara signifikan dengan social problem solving (r = 0,178, p < 0,05, one tailed).
This reseach was conducted to know specifically whether there is a correlation between father involvement and social problem solving in adolescence. This is a quantitative research and using questionnaire as research instrument. Nurturant Fathering Scale (NFS) and Father Involvement Scale were used to measure father involvement, while Social Problem Solving Inventory-Revised (SPSI-R) was used to measure social problem solving. The sample are adolescents in Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi) with age range from 13 to 21 years old. Result showed that only one of three dimension of father involvement significantly correlated to social problem solving (r = 0,178, p < 0,05, one tailed).
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S56629
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chong Sung Woo
Abstrak :
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat perbedaan keterlibatan ayah pada remaja berdasarkan jenis kelamin dan budaya remaja. Sampel penelitian ini adalah imigran Korea (n=106) yang saat ini tinggal di Jakarta dan orang Indonesia (n=343) yang saat ini tinggal di JABODETABEK, dengan usia antara 15 sampai 18 tahun. Penelitian ini menggunakan Nurturant Fathering Scale (Affective domain), Reported Father Involvement Scale (Behavioral domain), dan Desired Father Involvement Scale (Desired domain) untuk mengukur keterlibatan ayah. Data diperoleh secara luring dan daring dengan kuesioner yang disebar pada SMA, baik nasional dan internasional. Data dianalisis menggunakan Two-way ANOVA. Hasil menunjukkan keterlibatan ayah tidak berbeda pada remaja laki-laki dan perempuan. Namun, terdapat perbedaan keterlibatan ayah berdasarkan budaya, di mana imigran Korea menunjukkan tingkat keterlibatan ayah yang lebih tinggi pada Behavioral domain dibandingkan orang Indonesia, khususnya pada "menyediakan penghasilan" dari Ayah kepada remaja imigran Korea. Sedangkan, orang Indonesia menunjukkan tingkat keterlibatan ayah yang tinggi pada Desired domain dibandingkan imigran Korea, khususnya pada "menyediakan penghasilan" dari Ayah kepada remaja Indonesia. Lebih lanjut, tidak ditemukan efek interaksi antara jenis kelamin dan perbedaan budaya kepada keterlibatan ayah. ...... The aim of this research is to discover whether father involvement in adolescents differs basedontheiradolescents’genderandculturaldifferences. Thesamplesforthisresearch are immigrant Koreans (n=106) who currently live in Jakarta and Indonesians (n=343) who currently live in JABODETABEK, with an age range between 15-18 years old. This research used Nurturant Fathering Scale (Affective domain), Reported Father Involvement Scale (Behavioral domain) and Desired Father Involvement Scale (Desired domain) to measure father involvement. The data was taken through both offline and online questionnaires in high schools (both National and International). The statistic of Two-way ANOVA was used to analyze the data. This research found that father involvement did not differ between male and female adolescents. However, father involvement did differ based on the culture, immigrant Korean showed higher levels of father involvement in the Behavioral domain than Indonesians (Jabodetabek), especially in “Providing Income” of the father towards immigrant Korean adolescents. However Indonesian (Jabodetabek) showed much higher levels of father involvement in the Desired domain than immigrant Korean, especially in “Providing Income” of the father towards Indonesian (Jabodetabek) adolescents. Moreover, the interaction effect of gender and cultural differences towards father involvement were not found as well.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
L. Mawar Nusantari
Abstrak :
ABSTRAK
Ketika seseorang menginjak usia 18-22 tahun, ia memasuki masa transisi dari remaja menuju dewasa muda (Kail & Cavanaugh, 2000; Smolak, 1993). Menurut Smolak (1993), seseorang pada usia ini bukan anak-anak, dan dianggap bukan remaja lagi, namun mereka juga belum memiliki kriteria dewasa. Banyak ahli yang meyakini bahwa krisis pembentukan identitas terjadi pada masa remaja, namun studi cross sectional dan longitudinal menunjukkan bahwa krisis identitas terjadi pada masa transisi ini (Smolak, 1993). Kail & Cavanaugh (2000) mengemukakan bahwa transisi itu tergantung pada faktor kebudayaan dan beberapa faktor psikologis. Pada budaya timur, patokan yang dipakai untuk menentukan apakah seseorang menjadi dewasa lebih -jelas daripada budaya barat. Pada kebudayaan timur, pernikahan menjadi determinan yang paling penting dalam status kedewasaan (Schlegel & Barry, 1991). Berbicara mengenai menikah dan kemudian memiliki anak akan dikaitkan dengan kematangan dan tanggung jawab seseorang. Oleh karena itu untuk memasuki pernikahan seseorang akan dipertanyakan apakah ia sudah cukup matang atau apakah ia sudah cukup dewasa. Badan Pusat Statistik DKI Jakarta (BPS, 2002) menunjukkan bahwa, kurang lebih 11 % dari penduduk yang berusia 18-22 tahun telah menikah. Data tersebut menunjukkan bahwa banyak orang yang memutuskan untuk menikah di usia muda. Padahal setelah menikah mereka akan dihadapkan pada masalah baru ketika mereka mempunyai anak. Menjadi orang tua juga merupakan krisis dalam hidup, karena menyebabkan perubahan besar dalam sikap, nilai, dan peran seseorang. Mempunyai anak juga berarti mendapatkan tekanan untuk terikat pada tingkah laku peran jender sebagai ayah dan ibu (Carstensen, dalam Kail & Cavanaugh, 2000). Oleh karena itu untuk menjadi orangtua diperlukan persiapan yang matang baik secara finansial, mental, maupun emosional. - Laki-laki yang berperan sebagai ayah dituntut untuk bertanggung jawab yang besar sebagai pemimpin keluarga serta bertanggung jawab sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga sehingga memerlukan perlu persiapan yang matang untuk memasuki jenjang perkawinan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana seorang pria yang berada pada usia transisi dewasa muda (18 - 22 tahun) yang telah menikah dan memiliki anak menghayati perannya sebagai seorang ayah. Penghayatan yang dimaksud dalam penelitian ini termasuk alasan seorang pria berusia transisi dewasa muda memutuskan untuk menikah, pemahaman tentang peran ayah, bagaimana mereka menghayati tuntutan perannya sebagai seorang ayah, serta interaksi yang mereka lakukan dalam memenuhi tugasnya sebagai seorang ayah, serta bagaimana penghayatan peran sebagai ayah tersebut mempengaruhi perkembangan kepribadian mereka. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perkembangan usia transisi dewasa muda, teori peran dikhususkan pada teori peran ayah dalam keluarga. Peneliti mengambil 5 orang sampel dengan kriteria seorang pria, berusia 18 - 22 tahun, telah menikah dan memiliki anak, serta pendidikan minimal SMU atau sederajat untuk diwawancara secara mendalam. Sampel berasal dari kota Jakarta dan Cirebon. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Sebagian besar subjek, yaitu 4 dari 5 orang subjek penelitian ini menikah di usia muda karena terpaksa. Karena melakukan pacarnya terlanjur hamil, maka subjek pun bertanggung jawab untuk menikahi pacarnya. Maka menjalani peran sebagai seorang ayah pun tidak dapat dihindari, walaupun mereka mengaku merasa belum siap menjadi seorang ayah. Menjalani peran sebagai seorang ayah memerlukan tanggung jawab yang besar dan memerlukan kesiapan baik secara materi maupun mental. Walaupun subjek merasakan adanya tuntutan peran sebagai ayah dari lingkungan namun yang berperan lebih besar dalam tingkah laku subjek dalam menjalani peran sebagai ayah adalah tuntutan peran yang ada dalam diri subjek sendiri. Tuntutan peran yang ada dalam diri subjek tersebut diperoleh dari konsep subjek mengenai ayah yang ideal serta berpatokan pada tingkah laku dan pendidikan orangtuanya dulu, terutama ayah mereka. Walaupun subjek merasa belum sesuai dengan konsep ayah yang ideal tersebut, namun mereka semua berusaha menuju ke arah sana. Sebagian besar subjek penelitian ini sudah menyadari betapa penting perannya sebagai ayah terhadap perkembangan anak. Dalam penelitian ini terlihat bahwa selain melakukan aktivitas mendidik dan bermain, mereka juga merasa bertanggung jawab untuk ikut terlibat dalam aktivitas merawat anaknya terutama kegiatan memandikan, menina-bobokan, serta melindungi saat anak bermain. Mereka menyadari bahwa dalam aktivitas merawat tersebut merupakan saat yang tepat untuk membangun kedekatan emosional dengan anak mereka. Setelah menikah dan memiliki anak, banyak perubahan yang terjadi pada diri subjek, terutama mengenai cara subjek memandang tentang hidup. Subjek yang sebelumnya merupakan orang-orang yang selalu berorientasi pada kesenangan diri sendiri dan selalu mengikuti hati nurani dalam bertindak. Setelah menikah dan memiliki anak, timbul rasa tanggung jawab yang besar pada diri mereka, mereka mulai berpikir bahwa hidup tidak selamanya santai dan ada yang perlu diperjuangkan, terutama mengenai anak. Mereka mulai berpikir panjang sebelum bertindak dan mulai berpikir tentang masa depan. Selain itu mereka juga merasa hidupnya lebih baik dan lebih teratur serta lebih termotivasi dalam melakukan sesuatu.
2003
S3219
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fidia Mei Sari Tyas
Abstrak :
Risiko kesehatan reproduksi remaja didapatkan remaja melalui kegiatan seksual saat mereka berpacaran, mulai dari berpegangan tangan hingga melakukan hubungan seksual. Selama ini di Indonesia studi tentang peran ayah masih terbatas pada perilaku antisosial remaja, pencapaian akademis remaja. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan peran ayah dengan praktek pacaran remaja. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain Cross Sectional. Jumlah sampel sebanyak 160 orang yang pernah berpacaran dan masih memiliki ayah. Hasil dari penelitian ini yaitu sebanyak 14 responden (10%) melakukan praktek pacaran berisiko. Variabel peran ayah yang berhubungan dengan praktek pacaran remaja adalah kualitas hubungan ayah-anak dan fasilitas yang diberikan. ...... Adolescent reproductive health risk obtained through the adolescent sexual activity when they were dating, ranging from holding hands to sexual intercourse. During this time in Indonesia a study of the role of the father is still limited to the adolescent?s antisocial behavior, adolescent?s academic achievement. This study aims to determine the relationship of father?s role with adolescent courtship practices. This research is quantitative research with cross sectional design. A total sample of 160 people who had a relationship and still have a father. Results from this study as many as 14 respondents (10%) courtship practice risky. Variables related to father?s role and adolescent courtship practices are a father-child relationship quality and facilities provided.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
S59119
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shabrina Ambarsari Sadono
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara keterlibatan ayah dengan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada oleh mahasiswa tahun pertama. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya masalah penyesuaian diri mahasiswa yang baru masuk ke perguruan tinggi. Ketidakmapuan untuk menyesuaikan diri dapat mengakibatkan putus studi. Pengukuran keterlibatan ayah dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan instrumen The Father Involvement and Nurturant Fathering Scales: Retrospective measures for adolescent and adult yang dikembangkan oleh Finley dan Schwartz (2004). Sementara pengukuran penyesuaian diri di perguruan tinggi menggunakan Student Adaptation to College Questionnaire (SACQ) yang dikembangkan oleh Baker dan Siryk (1984). Responden penelitian ini berjumlah 326 orang mahasiswa tahun pertama yang berusia 16-22 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara keterlibatan ayah dengan penyesuaian diri di perguruan tinggi (r = 0.194 untuk Nurturant Father Involvement dan r=0.197 untuk Reported Father Involvement; p<0.05; two-tailed).
This study examined the relationship between father involvement with college adjustment in first year college students. This research is motivated by the problem of adjustment of new students into college. Inability to adjust can lead to dropping out of the study. Measurement in this study is using two instruments, The Father Involvement and Nurturant Fathering Scales: by Finley (2004) and college adjustment is using Student Adaptation to College Questionnaire (SACQ) by Baker dan Siryk (1984). Respondents of this study consists of 326 college students aged 16-22 years old. The results showed a significant relationship between father involvement with college adjustment (r = 0194 to Nurturant Father Involvement and r = 0197 for Reported Father Involvement; P <0.05; two-tailed).
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S59110
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barus, Farah Sarayusa
Abstrak :
Skripsi ini membahas ikumen sebagai bentuk perubahan konsep ayah dalam masyarakat Jepang masa kini. Dengan menggunakan teori fatherhood milik LaRossa, penulis menganalisa bagaimana perubahan konsep ayah yang terjadi di Jepang. Hasil analisis menunjukan bahwa telah terjadi perubahan konsep ayah dalam masyarakat Jepang, yaitu dari konsep patrialkal menjadi konsep berkesetaraan gender. Hal itu disebabkan karena para ayah berkesetaraan gender di Jepang memiliki aspirasi untuk mernjadi ayah yang lebih berperan aktif dalam keluarga. ...... This undergraduate thesis examines about ikumen as the change of fatherhood concept among Japanese modern society. By using LaRossa rsquo s fatherhood theory, writer analyzed how the concept of fatherhod changed in Japan. The analysis shows that there has been a change regarding fatherhood concept in Japanese society, which is, from patriarchal concept to gender equality concept. It rsquo s caused by Japanese fathers who have embraced gender equality concept have aspirations to become a father with more active role in their family.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S66504
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ester Inne Yosevin Purba Dasuha
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara keterlibatan ayah dengan pemenuhan kebutuhan dasar psikologis, yang terdiri dari tiga kebutuhan yakni kebutuhan otonomi, kebutuhan kompeten, kebutuhan keterhubungan. Variabel keterlibatan ayah diukur dengan menggunakan alat ukur yang dikembangkan Finley dan Schwartz 2004 yakni Father Involvement Scale FIS dan Nurturant Fathering Scale NFS . Variabel pemenuhan kebutuhan dasar psikologis diukur dengan alat ukur Basic Psychological Needs in General yang diadaptasi oleh Gagne 2003 . Responden penelitian adalah siswa SMA dan SMK yang berdomisili di Jabodetabek. Jumlah semua responden penelitian ini adalah 416 yang diperoleh secara offline dan online. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keterlibatan ayah dengan pemenuhan kebutuhan dasar otonomi, kompeten, keterhubungan. Selain itu, keterlibatan ayah juga memiliki hubungan yang signifikan dengan pemenuhan kebutuhan dasar psikologis secara keseluruhan.
ABSTRACT
This study was conducted to examine the correlation between father involvement and basic psychological needs satisfaction, which consists of the need for autonomy, need for competence and need for relatedness. Father Involvement was measured by the Father Involvement Scale FIS and the Nurturant Fathering Scale NFS developed by Finley and Schwartz 2004 , whereas the Basic Psychological Needs Scale in General developed by Gagne 2003 was administered to measure basic psychological needs satisfaction. Participants of this study are students of high school and vocational high school who live in Jabodetabek area. There were a total number of 416 students who filled out the offline and online questionnaire. Results of this study show that there are significant correlations between father involvement and need for autonomy, need for competence, and need for relatedness. Furthermore, this study also shows that there is a significant correlation between father involvement and basic psychological needs satisfaction.
2017
S68764
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsa Dhiya M
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara interaksi ayah-orang dewasa keterikatan dengan orang dewasa baru yang berada dalam hubungan romantis. Keterlibatan Ayah memiliki dua aspek yaitu aspek afektif dan aspek perilaku. Aspek afektif dari interaksi ayah menggunakan Nurturant Fathering Scale (NFS), sedangkan aspek perilaku Interaksi ayah diukur menggunakan Skala Keterlibatan Ayah (FIS). Keduanya adalah alat ukur dikembangkan oleh Finley dan Schwartz (2004). Kemelekatan orang dewasa memiliki dua dimensi, yaitu dimensi kecemasan dan penghindaran. Untuk mengukur kedua dimensi orang dewasa attachment, digunakan untuk mengukur Experience dalam bentuk Close-Short Relations (ECR-S) Milik Wei, Russell, Mallinckrodt, dan Vogel (2007). Sebanyak 551 responden dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan aspek afektif Interaksi ayah memiliki hubungan dengan kecemasan lampiran (r = -0,129, p <0,01, dua sisi) tetapi tidak memiliki hubungan dengan menghindari keterikatan. Kemudian Ditemukan bahwa perilaku interaksi ayah tidak berhubungan kecemasan atau menghindari keterikatan. ...... This study aims to examine the relationship between father-adult interactions with new adults who are in romantic relationships. Father's involvement has two aspects, namely affective aspects and behavioral aspects. The affective aspect of the father's interaction uses the Nurturant Fathering Scale (NFS), while the behavioral aspects of the father's interaction are measured using the Father's Involvement Scale (FIS). Both are measuring tools developed by Finley and Schwartz (2004). Adult attachment has two dimensions, namely the dimensions of anxiety and avoidance. To measure both dimensions of adult attachment, it is used to measure Experience in the form of Close-Short Relations (ECR-S) by Wei, Russell, Mallinckrodt, and Vogel (2007). A total of 551 respondents in this study. The results of this study indicated that the affective aspect of the father's interaction had a relationship with attachment anxiety (r = -0.129, p <0.01, both sides) but had no relationship with attachment avoidance. Later it was found that the father's interaction behavior was not related to anxiety or attachment avoidance.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benson, Leonard
New York: Random House , 1968
301 BEN f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>