Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Royke Ferrari
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai permohonan penetapan ahli waris tanpa adanya sengketa. Setiap lembaga negara memiliki kewenangan dan batasan yang diatur secara jelas dalam peraturan yang mendasari dibentuknya lembaga tersebut dalam sistem pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Begitupun bagi lembaga kenotariatan dan lembaga peradilan, memiliki kewenangan dalam menjalankan tugasnya masing-masing dengan tidak melampaui kewenangan yang telah diberikan guna mencapai kepastian hukum. Dalam hukum waris, walaupun masih terjadi pruralisme hukum dalam pelaksanaan pembagian waris, namun tetap ada pemisahan yang telah diatur secara jelas berkaitan dengan kewenangan masing-masing lembaga dalam proses pembagian waris khususnya mengenai penetapan pembagian waris sehingga pelaksanaan pembagian waris harus dilaksanakan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif melalui studi kepustakaan dan menganalisis data sekunder melalui metode kualitatif serta tipe penelitian deskriptif analitis. Kesimpulan penelitian ini menunjukan bahwa notaris memiliki kewenangan hak mewaris atas
keturunan dari golongan tionghoa dan eropa dan dalam hal penetapan hak mewaris, notaris wajib berpedoman pada KUH Perdata sebagai pedoman pembagian waris. Surat keterangan mewaris merupakan kesepakatan pembagian waris oleh para ahli waris yang di tuangkan kedalam surat keterangan hak mewaris yang dibuat dihadapan notaris dengan disertai dengan pendapat hukum notaris. Dalam kasus waris, tidaklah tepat diajukan sebagai suatu permohonan sepihak. Untuk mengajukan persoalan waris ke pengadilan sebaiknya diajukan dalam bentuk gugatan sehingga pengadilan memiliki kewenangan untuk mengeluarkan putusan. Sedangkan dalam hal permohonan diajukan secara sepihak, maka pengadilan hanya memiliki kewenangan
dalam membubuhkan legalisasi atas pernyataan waris.

ABSTRACT
This study discusses the application for the determination of heirs without any dispute. Each state institution has authority and limits that are clearly regulated in the regulations that underlie the establishment of these institutions in government systems and community services. Likewise for notary institutions and judiciary institutions, have the authority to carry out their respective duties by not exceeding the authority that has been given in order to achieve legal certainty. In inheritance law, although legal pruralism still occurs in the implementation of inheritance distribution, there is still a clearly regulated separation relating to the authority of each institution in the process of inheritance distribution, especially regarding the determination of inheritance distribution so that the implementation of inheritance must be carried out by the competent institution to that. To answer this problem normative juridical legal research methods are used through literature study and analyzing secondary data through qualitative methods and analytical descriptive research types. The conclusion of this study shows that the notary has inheritance authority over descendants from Chinese and European groups and in the case of
determining inheritance rights, the notary is obliged to refer to the Civil Code as a guideline for the distribution of inheritance. Inheritance certificate is an agreement on the distribution of heirs by the heirs which is poured into a certificate of inheritance made before the notary accompanied by a notary's legal opinion. In the case of inheritance, it is not appropriate to submit it as a one-sided request. To submit an issue of inheritance to court, it should be submitted in the form of a lawsuit so that the court has the authority to issue a decision. Whereas if the application is submitted unilaterally, the court only has the authority to affix the legalization of the statement of inheritance."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Raziv Barokah
"Pergeseran kompetensi absolut dari peradilan umum (PN) ke peradilan tata usaha negara (PTUN) dalam mengadili gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad/OOD) secara tiba-tiba berdasarkan Perma 2/2019 memunculkan 2 (dua) persoalan utama yakni perbedaan parameter penilai tindakan pemerintah dari segi hukum perdata dengan hukum administrasi negara dan pengurangan jangka waktu mengajukan gugatan dari 30 (tiga puluh) tahun menjadi 90 (sembilan puluh) hari. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini menyimpulkan terdapat perbedaan parameter penilai Gugatan OOD di PN dan PTUN, dimana PN menggunakan 4 parameter alternatif berupa pertentangan dengan 1) peraturan perundang-undangan; 2) hak subjektif; 3) kesusilaan; atau 4) kepatutan, sedangkan PTUN menggunakan 5 parameter alternatif berupa 1) peraturan; 2) AUPB; 3) kewenangan; 4) prosedur; atau 5) substansi. Idealnya, PTUN menyerap parameter PN mengenai bersifat melawan hukum agar tolak ukur pengujian di PTUN mencakup hukum tidak tertulis. Jangka waktu pengajuan Gugatan OOD ke PTUN terbatas 90 (sembilan puluh) hari sejak tindakan tersebut dilakukan dan diketahui, konsep ini tidak memberikan perlindungan hukum yang tepat bagi warga masyarakat. Idealnya, Gugatan OOD dapat diajukan kapanpun sejak muncul kerugian nyata atau kerugian potensial yang sangat dekat bagi warga masyarakat.

The absolute competency-shifting in adjudicating a lawsuits against the law by authorities from the general court to the state administration court suddenly based on Supreme Court Regulation No. 2/2019 raises 2 (two) issues regarding differences in the parameters of evaluating government actions in terms of civil law with state administration law and a significant reduction in the time period for filing a lawsuit from 30 (thirty) years to 90 (ninety) days. This research takes the form of a normative juridical approach to the rule of law. This study concludes there are differences in the parameters of the OOD Claims between general and administrative court. PN uses 4 alternative parameters in the form of conflict against 1) law regulation; 2) other people subjective rights; 3) morality; or 4) propiety. Administrative court uses 5 alternative parameters in the form of 1) statutory regulations; 2) General Principle of Good Governance; 3) authority; 4) procedure; or 5) substance. Ideally, the Administrative Court absorbs parameter from the general court. The time period for filing an OOD Lawsuit to administrative court is limited to 90 (ninety) days from the time the action was taken and it is known, this concept does not provide proper legal protection for community members. Since the Administrative Lawsuit and the OOD Lawsuit have different loss characteristics, ideally, the expiration date of the OOD Lawsuit can be filed at any time since a real loss or potential loss is very close to the community members. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tony Hasyim
Jakarta: Yayasan Karyawan Forum Keadilan Wisma Fajar, 2003
347.077 KON
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Josias Anugrah
"Tulisan ini menganalisis bagaimana kesesuaian ketentuan hukum di Indonesia mengenai pilihan forum sebagai penyelesaian sengketa terhadap prinsip-prinsip pilihan forum secara umum dan keberlakuan pilihan forum tersebut dalam kasus yang melibatkan badan hukum Indonesia. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Pilihan forum merupakan pemilihan yang dilakukan terhadap instansi peradilan mana yang oleh para pihak ditentukan sebagai forum untuk menangani sengketa yang mungkin terjadi di kemudian hari. Para pihak dalam merumuskan klausul pilihan forum harus menerapkan prinsip-prinsip pilihan forum secara umum seperti kebebasan para pihak, iktikad baik, dan yurisdiksi eksklusif. Sejatinya, pilihan forum yang telah disepakati para pihak menjadi kewenangan absolut dari forum tersebut untuk mengadili sengketa. Namun, dalam praktiknya penerapan pilihan forum masih menimbulkan kekeliruan bagi pihak yang mengajukan perkara. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 287/Pdt.G/2020/PN Btm dan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 263/Pdt.G/2020/PN Btm, kedua kasus tersebut memiliki sengketa mengenai kewenangan absolut dan relatif dari pengadilan negeri. Dalam kasus pertama, pengadilan negeri menghormati pilihan forum yang telah disepakati berdasarkan penerapan prinsip kebebasan para pihak dan pacta sunt servanda yang dimiliki para pihak. Berbeda dengan kasus kedua, pengadilan negeri tidak menghormati kesepakatan pilihan forum para pihak dan menyatakan memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa, walaupun terdapat perjanjian arbitrase dalam kontrak. Walaupun yang disengketakan adalah mengenai pembatalan perjanjian yang diatur dalam Pasal 1265 KUHPerdata dan merupakan kewenangan pengadilan negeri, tetapi perjanjian arbitrase yang disepakati para pihak bersifat mutlak dan arbitrase memiliki kewenangan mengadili terhadap keabsahan perjanjian pokoknya.

This paper analyzes the compatibility of legal provisions in Indonesia regarding choice of forum for dispute resolution with the general principles of choice of forum and its applicability in cases involving Indonesian legal entities. The study employs a doctrinal research method. Choice of law entails the designation of a judicial authority by the parties to resolve potential disputes. In formulating the choice of forum clause, parties must adhere to general principles such as autonomy of the parties, good faith, exclusive jurisdiction. Ultimately, the agreed-upon forum holds absolute authority to adjudicate disputes. However, in practice, the application of choice of forum can lead to confusion for the parties involved. This is evidenced by the decision of District Court No. 287/Pdt.G/2020/PN Btm and District Court No. 263/Pdt.G/2020/PN Btm, which present disputes over absolute and relative jurisdiction of the district court. In the first case, the court upheld the choice of forum based on the principles of autonomy of the parties and pacta sunt servanda. In contrary, the second case, the district court did not honor the parties’ forum selection agreement and asserted its jurisdiction to adjudicate the dispute, despite the existence of an arbitration clause in the contract. Although the issue in question concerned the cancellation of the agreement as regulated in Article 1265 of the Civil Code, which falls under the jurisdiction of the district court, the arbitration agreement made by the parties is absolute and the tribunal has jurisdiction over the validity of the main agreement."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library