Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 64 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kartini Mayelly
Abstrak :
Dalam era reformasi hubungan komunikasi antara pemerintah, DPR dan masyarakat mengalami stagnasi kemacetan atau ketidakharmonisan itu akibat biasanya visi, isi dan interpretasi tentang arti sebuah negara demokrasi. Reformasi yang ingin memposisikan "Civil Society" dalam bingkai demokrasi diterjemahkan sebagai tindakan serba 'boleh'. Bahkan elite-elite politik pun tidak memiliki ofinitas bersama baik dengan sesama penyelenggara negara maupun dengan masyarakat pihak pentingnya suatu perubahan menuju negara yang lebih demokratis. Apalagi perbedaan kepentingan begitu tajam diantara elite-elite politik yang cenderung menanggalkan aturan main konstitusi (UUD 1945), maka tak heran pakar-pakar hukum ketatanegaraan juga ikut meramaikan polemik seputar sistem pemerintahan yang kita anut. Di satu pihak, ada pakar hukum ketatanegaraan yang menyatakan Indonesia menganut sistem presidensial tidak murni. Artinya, presiden dipilih oleh MPR dan Presiden memiliki hak perogatif untuk mengangkat atau memberhentikan pembantu-pembantunya (menteri) Pasal 17, UUD 1945 hasil amandemen kedua. Sedangkan dilain pihak, ada anggapan bahwa UUD '45 menganut sistem parlementer tidak murni. Anggapan ini berangkat dari beberapa Pasal UUD '45 yang menyatakan setiap kekuasaan presiden harus mendapati persetujuan DPR. Bahkan, dalam interpretasi ini presiden harus dipilih langsung oleh rakyat, dan pembentukan kabinet harus berkonsultasi dengan DPR. Nampaknya, interpretasi para pakar menimbulkan masalah tersendiri ketika pemerintah KH Abdurrahman Wahid kehilangan legitimasinya akibat sistem hubungan komunikasi antara lembaga tinggi dan tertinggi negara yang telah terbangun ditinggalkan. Padahal, dalam sistem hubungan itu telah terjalin komunikasi yang cukup efektif seperti terlihat dalam pasal-pasal UUD '45. Apalagi, dalam pasal-pasal tersebut cukup jelas otoritas atau kewenangan lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara. Dari sinilah kemudian muncul penafsiran seakan legislatif sedang membangun proses "Check and Balanced" agar eksekutif tidak terlalu 'kuat' seperti di era orde baru yang cenderung Powerful. Proses hubungan komunikasi antar lembaga-lembaga tinggi dan masyarakat di era transisi ini memang tidak terlepas dari pengaruh kultur politik. Artinya, untuk mengubah proses sosialisai politik masyarakat diperlukan pemahaman dan penghayatan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap dan tingkah laku politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal itu, dan bersamaan dengan itu lahir pulalah kebudayaan politik baru. Berangkat dari pemikiran di atas pertikaian pemerintah versus DPR, yang berimplikasi langgsung kepada masyarakat menjadi menarik ketika presiden bersikeras untuk mengeluarkan dekrit dan respon oleh MPR/DPR dengan segera melakukan Sidang Istimewa yang dipercepat. Tentu saja, kemacetan hubungan kemacetan hubungan komunikasi jadi di saat era reformasi menjaga konsolidasi demokrasi. Oleh karena itu, penulisan tesis ini akan meneliti lebih jauh subtansi masalah kemacetan hubungan komunikasi antara pemerintah dan DPR, serta implikasinya terhadap mesyarakat. Penelitian ini juga akan mengkaji peran media dalam pertikaian pemerintah-DPR yang disinyalir ikut memankan peran sehingga opini publik terbentuk untuk berpihak kepada salah satu kekuatan. Dan maksud mencari temuan-temuan dibalik pertikaian pemerintah versus DPR yang diduga ada perbedaan secara subtantif mengenai aktualisasi reformasi dan implementasi kekuasaan lintas pantai.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4427
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Ghoffar Nafchuka
Abstrak :
Ketentuan mengenai pemerintahan daerah di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia adalah desentralisasi, dimana daerah diberi kewenangan untuk mengatur pembangunan daerah, kecuali sejumlah urusan (diplomasi luar negeri, pertahanan keamanan, moneter, peradilan, agama, dan urusan lainnya) yang tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Di dalam menjalankan pemerintahan daerah tersebut, Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berperan sangat penting dan menentukan. Kepala Daerah dan DPRD berwenang menentukan pengaturan pembangunan daerah, melalui penetapan Peraturan Daerah (Perda) dan kebijakan strategis daerah. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa hubungan yang baik antara pihak eksekutif (Kepala Daerah - Bupati) dan DPRD (Kabupaten) sangat menentukan kinerja pembangunan daerah. Hubungan Bupati dengan DPRD Kabupaten diwujudkan dalam komunikasi politik. Dalam penelitian akan dilakukan penyelidikan komunikasi politik antara Bupati Sidoarjo dengan DPRD Sidoarjo. Secara khusus, penelitian akan terfokus pada empat hal, yaitu : (1) sikap dan perilaku eksekutif dan legislatif, (2) perkembangan interaksi eksekutif dengan legislatif, (3) perubahan struktur (pola-pola interaksi) eksekutif dengan legislatif, serta (4) deskripsi kendala hubungan tersebut. Penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara langsung terhadap 100 orang responden yang dianggap memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang komunikasi politik antara pihak eksekutif dan legislatif di Kabupaten Sidoarjo. Responden terdiri dari 60 orang aparatur Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan 40 orang anggota DPRD Sidoarjo. Selain itu dilakukan juga pengumpulan data sekunder termasuk keterangan dari sejumlah tokoh masyarakat, agama dan LSM di Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan data yang dikumpul, ditemukan bahwa kedua pihak (eksekutif maupun legislatif) melakukan komunikasi politik terhadap publik Sidoarjo. Mengingat bahwa Sidoarjo telah mengarah menjadi daerah industri, terlihat jelas bagaimana masalah-masalah yang terkait dengan kegiatan industri menjadi isu sentral termasuk dalam bidang politik. Tuntutan kenaikan gaji dari kelompok buruh merupakan isu yang popular di kalangan legislatif maupun eksekutif. Hubungan antara pihak eksekutif dan legislatif sendiri memperlihatkan gejala yang cukup menarik, dimana masing-masing pihak merasa lebih superior. Sadar atau tidak, kecenderungan ini mengakibatkan adanya tarik menarik kepentingan antara kedua institusi. Masing-masing insitusi saling mempengaruhi, karena kebetulan pihak Bupati Sidoarjo berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa, dan di DPRD Kabupaten Sidoarjo sendiri, fraksi PKB termasuk fraksi yang signifikan. Ketua DPRD Kabupaten Sidoarjo pun sebenarnya berasal dari fraksi PKB. Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa institusi eksekutif maupun legislatif memiliki kecenderungan untuk membenarkan diri sendiri. Pihak eksekutif lebih memahami kedudukan mereka sebagai pelaksana kebijakan, sehingga dengan sendirinya mereka lebih memiliki akses politik, khususnya terhadap publik. Di sisi lain, pihak legislatif merasa bahwa sesuai dengan kewenangannya, mereka dapat berada di atas pihak eksekutif. Mengingat bahwa DPRD-lah yang memilih Kepala Daerah, maka dengan sendirinya Kepala Daerah harus tunduk kepadanya. Dengan cara berfikir seperti ini, DPRD menjadi sangat kuat ketika berhadapan dengan Kepala Daerah. Hal ini sangat jelas terlihat saat Bupati Sidoarjo menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban Tahunan di hadapan Sidang Paripurna DPRD Kabupaten Sidoarjo. Dalam beberapa hal, penilaian terhadap LPJ Bupati tersebut telah dijadikan sebagai alat tawar menawar kepentingan antara DPRD dengan Bupati. Kuatnya kedudukan DPRD sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 di satu sisi bermakna sebagai pemberdayaan perwakilan rakyat. Akan tetapi ternyata tidak ada jaminan bahwa kedudukan DPRD yang kuat akan meningkatkan kinerja pembangunan di daerah. Dalam kasus di Sidoarjo terlihat bahwa kuatnya DPRD pada akhirnya hanya menguntungkan anggota DPRD itu sendiri, bukan menguntungkan kepentingan publik. Ditinjau dari perspektif ketahanan nasional, kedudukan DPRD yang kuat seyogyanya akan sangat positif, karena dengan demikian DPRD dapat memperjuangkan aspirasi rakyat tanpa perlu dibayang-bayangi rasa takut, seperti di-recall. Sebagai lembaga politik yang berfungsi menyalurkan aspirasi rakyat, DPRD sebenarnya dapat menjadi lembaga yang efektif untuk menentukan dan mengontrol jalannya pembangunan daerah. Berlangsungnya pemerintahan daerah yang baik pada gilirannya akan meningkatkan pembangunan di daerah, dan dengan sendirinya akan meningkatkan ketahanan nasional di daerah. Kenyataannya, kewenangan yang kuat pada DPRD ternyata hanya menguntungkan anggota DPRD itu sendiri. Fakta empirik ini semakin memperkuat pendapat yang menyatakan bahwa untuk terwujudnya ketahanan nasional di daerah, kedudukan DPRD dan Kepala Daerah sebaiknya sejajar (bermitra). Dalam keadaan seperti ini, pihak eksekutif dan legislatif berada pada posisi yang seimbang dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah. Di sisi lain, rekrutmen anggota DPRD perlu disempurnakan sehingga mereka yang duduk pada lembaga legislatif adalah mereka yang benar-benar memiliki komitmen terhadap kepentingan rakyat.
Political Communications Development between The Executive and Legislative in Perspective of National Resilience (Case Study in Sidoarjo District)The rule concerning regional government in Indonesia arranged in Act Number 22 of 1999. One of the principles in the running of regional government in Indonesia is decentralization, where a region is given an authority to arrange a regional development. A number of business (overseas diplomacy, security defense, monetary, jurisdiction, religion, and other business) remains to be held by central government. In running of the regional government, governor / district head and regional legislative assembly (DPRD) play an important role. The Governor / district head and the regional parliament determine the arrangement of the regional development through the stipulating of the regional regulation (Perda) and the regional strategic policy. Therefore, a good relationship between the executive (Governor - District Head) and the district parliament (DPRD Kabupaten) determines the performance of the regional / district development. The district head and district parliament relationship presented in political communications. There in the research will be conducted an investigation of political communications between the district head and district parliament. Peculiarly, it will be focused on the following (1) attitude and behavior of executive and legislative, (2) interaction development between executive and legislative, (3) structure change (interaction patterns) of executive and legislative, and (4) the description of the relationship constraint. The research done by conducting a direct interview to 100 people assumed own the adequate understanding and knowledge about political communications between executive and legislative in the district of Sidoarjo. The interviewed consisted of 60 governmental the district people apparatus and 40 people as the members of Sidoarjo parliament. Additionally, there also conducted the collecting of secondary data includes a number of elite figure, religion, and self-supporting institute of society of the Sidoarjo district. Pursuant to gathered data, found that both sides (executive and legislative) conducting political communications to the public of Sidoarjo. Considering that Sidoarjo has instructed to become the industrial area, standout how related problem with the industrial activity become the central issue included in political area. Increase salary demands from labor group represent the popular issue among legislative and also executive. Relation between executive and legislative itself show the interesting symptom where each side feels superior. Conscious or not, this tendency result the existence of drawing to draw the importance between both sides. Each side influencing each other, since district head side come from National Awakening Party (PKB), and in Sidoarjo district parliament itself, faction PKB is a significant faction. The Chairman of Sidoarjo district parliament is in fact come from faction PKB. The research's result also shows that executive institution and also legislative owns the tendency to agree them selves. The executive side is more comprehending to domicile them as policy executor, so that by itself they more owning to access the politics, especially to public. On the other side, legislative party feels that in accordance to its authority, they can reside in for executive party. Considering that the district parliament choosing Regional Leader, hence by itself Regional Leader have to bow to it. By way of thinking like this, the parliament becomes very strong when dealing with Regional Leader. This matter is very clear seen by moment of Sidoarjo district submit the Annual Responsibility Report before Plenary Conference of the District Parliament. In some cases, assessments to the Responsibility Report have been made as a means of drive a bargain the importance between the parliament and the district head. Its strong position of the parliament as arranged in Act Number 22 of 1999 in one side has a meaning of as empowerment of people delegation. However in the reality there is no guarantee that such strong parliament position will improve the development performance in the region. In case of Sidoarjo district seen that the strong parliament in the end only profit the member of the parliament itself not for the profit of public importance. Evaluated from national resilience perspective, the strong parliament position should be very positive because thereby the parliament is able to fight for the people aspiration without shadow need have cold feet, like be recalled. As the political institute which distributing the people aspiration, the parliament in fact could become the effective institute to determine and control the district development. Taking place of it good regional government in turn will improve development in the region, and by itself will improve the national resilience in the area. In reality, the parliament strong authority is in fact only profits the member of the parliament itself. These empirical facts progressively strengthen the opinion expressing that to existing of national resilience in the region, the parliament position and regional leader should be equal in position (partnership). Under the circumstances, .the executive and legislative sides are at the well-balanced position in determining policy of regional development. On the other side, recruitment of the parliament members need to be completed so that those who sit at legislative institute are those who really owning the commitment to people importance.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T11851
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Turnomo Rahardjo
Abstrak :
Penelitian fenomenologis tentang bahasa kampanye pemilu 1997 ini berangkat dari satu pengamatan terhadap bahasa kampanye yang terdapat dalam berbagai spanduk pada masa kampanye Pemilu 1997. Hasil dari pengamatan tersebut memperlihatkan kecenderungan adanya bentuk bahasa kampanye yang hegemonik melawan bahasa kampanye yang berbentuk rekayasa simbol yang bersifat hegemoni tandingan. Dalam pengertian yang lebih lugas, bahasa politik pemerintah Orde Baru yang memperlakukan kata "pembangunan" sebagai simbol ideologis, telah mendominasi bahasa kampanye Golkar. Dalam kampanye Pemilu 1997, bahasa kampanye Golkar yang lebih menekankan pada keberhasilan-keberhasilan pembangunan mendapatkan "perlawanan" dari PPP dan PDI melalui bahasa kampanye mereka yang mencoba mempertanyakan keberhasilan-keberhasilan pembangunan tersebut. Landasan teoritik yang digunakan untuk mengkaji persoalan bahasa kampanye tersebut adalah genre interpretive theory, yaitu teori yang berusaha mengungkapkan Cara-Cara orang dalam memahami pengalaman mereka sendiri. Dalam lingkup yang lebih sempit, penelitian ini ditelusuri melalui gagasan fenomenologi-hermeneutika yang menjelaskan bahwa realitas tentang sesuatu dapat diketahui melalui pengalaman alamiah yang diciptakan melalui penggunaan bahasa. Gagasan teoritik lain yang digunakan adalah pemikiran Jurgen Habermas mengenai Universal Pragmatics, yaitu prinsip-prinsip universal tentang bahasa atau studi mengenai aspek-aspek umum penggunaan bahasa. Disamping itu, penelitian ini juga dibahas dengan melihat bahasa dalam dimensi ontologis dan epistemologis. Dalam dimensi ontologis, bahasa bukanlah sesuatu yang transparan yang menangkap dan memantulkan segala sesuatu di luarnya secarajernih. Sedangkan dalam dimensi epistemologis, dinyatakan bahwa bukan manusia yang memakai bahasa, tetapi justru bahasa yang memakai manusia. Dalam tataran metodologis, penelitian ini secara ontologis berusaha mengkaji bahasa kampanye sebagal suatu realitas yang hadir sebagai konstruksi mental dan dipahami secara beragam oleh individu-individu. Sedangkan dalam dimensi epistemologis, peneliti dan realitas yang ditelitinya menyatu ke dalam suatu entitas. Dan dalam asumsi metodologis, konstruksi mental digali secara fenomenologishermeneutik, yaitu melalui proses pemahaman. Data penelitian ini diperoieh dari 25 co-researchers yang terdiri dari praktisi politik (13 orang), pengamat politik (4 orang), dan subjek yang terlibat dalam pemaknaan bahasa kampanye (8 orang) melalui kegiatan wawancara mendalam Temuan dari penelitian ini menegaskan, bahwa telah terjadi konflik melalui bahasa (kampanye) antar OPP (Golkar dan Partai Politik) yang bersumber pada persoalan kekuasaan. Dalam pengertian yang lebih konkret, bahasa kampanye Golkar yang formal dan berusaha untuk melakukan pembenaran-pembenaran terhadap kebijakan pembangunan seperti yang sudah digariskan oleh penguasa harus berhadapan dengan bahasa kampanye partai politik yang terungkap secara spontan dan kritis. Dalam konteks konflik kekuasaan tersebut, bahasa kampanye tidak sekadar dipahami sebagai instrumen atau alat propaganda dari OPP tertentu untuk menegakkan citra dirinya dihadapan masyarakat dan juga untuk meraih simpati massa yang sebanyak-banyaknya. Namun lebih dari itu, bahasa kampanye perlu dipahami sebagai representasi dari berbagai macam kuasa. Bahasa kampanye juga merupakan salah satu ruang bagi konflik berbagai kepentingan dan kekuasaan dinyatakan. Karenanya, tidak berlebebihan bila dikatakan bahwa bahasa {kampanye} adalah kuasa (language is power).
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasrullah
Abstrak :
Pemberitaan KLB PDI-Munas PDI dan naiknya Megawati di kursi kepemimpinan PDI, menyita perhatian media massa untuk menggelar peristiwa trsebut. Momen berita KLB PDI menjadi menarik karena hadirnya Megawati, baik sebagai kandidat maupun setelah terpilih menjadi ketua umum PDI. Di mana figur Mega merupakan figur yang dianggap kontraversial dalam percaturan politik nasional. Hal ini terjadi karena, Megawati merupakan simbol perlawanan rakyat yang anti kemapanan dan mendapat dukungan arus bawah. Di samping itu juga ia merupakan tokoh yang kharismatik pada saat pasca-KLB. Hal ini merupakan tahapan yang krusial bagi Mega, terutama setelah menyatakan dirinya terpilih secara De Facto. Pemberitaan media secara kontinyu, menyebabkan media turut andil untuk membentuk opini publik, termasuk mempengaruhi atau berdampak terhadap pengambil keputusan di tingkat hirarki yang lebih tinggi dalam sistem politik Indonesia. Keberhasilan Megawati menduduki pucuk pimpinan PDI tidak terlepas dari peran media massa selama KLB-Munas PDI merupakan fokus penelitian ini, terutana tentang keperkasaan media massa dalam mengakat kasus PDI dan Megawati. Pisau analisis yang digunakan terletak pada pembentukan opini publik dengan konsep keampuhan Media Massa, khususnya dilihat dari kajian komunikasi politik. Analisis juga meminjam kerangka pemikiran dari Walter Lippman, the World Outside and The Picture in Our Heads, dihubungkan dengan media massa sebagai salah satu saluran komunikasi politik. Lebih khusus lagi analisis dipertajam dengan meminjam kerangka pemikiran Klapper (1960) dan Patterson (1980) dengan menperhatikan kepada manfaat media, potensi media, dan eksposure media dalam melihat peristiwa KLB dan Megawati. Metode yang digunakan adalah analisis isi dengan pemilihan populasi berdasarkan purporsive sampling yang meliputi harian Kompas, Republika, dan Suara Harya. Jumlah tiras dipakai sebagai acuan di dalam menentukan sample frame dengan menghasilkan 114 tiras, dan ini di amati dalam kurun waktu satu minggu sebelum KLB-PDI dan satu minggu sesudah Munas PDI. Hasil temuan thesis ini menunjukkan bahwa ada kecendrungan dari ketiga Surat kabar telah memanfaatkan saluran komunikasi politik untuk membentuk opini publik. Dalam kasus PDI dan Megawati surat kabar telah berfungsi ganda yaitu di samping berfungsi sebagai saluran komunikasi politik juga berfungsi sebagai komunikator politik. Ini menunjukkan keperkasaan media telah mampu mempengaruhi pengambil kebijaksanaan politik pemerintah, cendrung "terpaksa" mengakui kehadiran Megawati untuk memimpin PDI. Pemberitaan Megawati di arena KLB dan Munas PDI, telah menjadi berita utama, bahkan ada kecendrungan media berada dibelakang Mega. Ini terlihat dari penempatan berdasarkan letak halaman, analisa isi berita dan opini, maupun dengan memperhatikan kecendrungan berita dan opini yang bernada mendukung. Yang jelas, pemberitaan PDI dan Megawati telah memberikan nuansa baru dalam proses demokratisasi melalui media massa. Pemberitan arus bawah yang berpaham kerakyatan selain mampu membentuk opini, tetapi juga tidak lepas dari political will yang dilakukan pemerintah dalam menangkap proses demokratisasi dan keterbukaan yang telah dicanangkan sebelumnya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Heintje Hendrik Daniel
Abstrak :
Partai Kebangkitan Bangsa [PKB] adalah partai bentukan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama [PBNU]. Pada Pemilu 1999 lalu PKB menjadi partai terbesar ketiga di bawah PDIP dan Golkar. Dukungan besar dari warga Nahdlatul Ulama [NU] merupakan salah satu kunci sukses disamping kharisma yang dimiliki oleh oleh tokoh-tokoh pendirinya, khususnya Gus Dur. PKB bertekad untuk menjadi partai pemenang Pemilu 2004 dengan target perolehan suara di atas 20%. Menghadapi Pemilu 2004 tantangan yang dihadapi PKB lebih berat mengingat pemilih inti PKB, yaitu warga NU, bisa saja berkurang ditambah lagi adanya konflik internal yang terjadi pasca kejatuhan Gus Dur. PKB identik dengan partainya warga NU, sementara tidak semua warga NU memilih dan menjadi pengurus PKB. Salah satu cara untuk mencapai target minimal perolehan suara adalah dengan merangkul massa diluar kalangan NU. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif. Penelitian ini memaparkan strategi komunikasi PKB dalam memenangi Pemilu 2004. Kerangka teori dan penelitian ini adalah bagaimana prinsip-prinsip humas [research, objectives, strategies, implementation, evaluation] diterapkan oleh humas PKB. Positioning sebagai partai advokasi dan citra sebagai partai terbuka dan modern dikembangkan oleh PKB. Strategi komunikasi sudah terencana dan terpadu dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi. PKB mengkategorikan para calon pemilih mereka kedalam 25 kelompok sasaran. Untuk menjangkau warga muslim, khususnya NU, PKB mengandalkan peran para kiai. Dalam menjangkau masyarakat PKB mengandalkan opinion leaders [kiai, tokoh adat, pemuka agama]. Slogan dan tema kampanye PKB banyak dan beragam disesuaikan dengan sasaran kelompok. Tema dan slogan kampanye tersebut sebenamya bisa difokuskan hanya pada issue-issue yang sedang berkembang dan menjadi pusat perhatian masyarakat. Media relations, press agentry, dan issues management perlu mendapat perhatian lebih dari humas PKB. Penelitian yang berkaitan dengan humas PKB selanjutnya sebaiknya menggunakan metode kuarrtitatif untuk melengkapi penelitian yang kualitatif ini.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13852
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Santoso Martono
Abstrak :
Pemilihan umum sebagai suatu jembatan aktualisasi infrastruktu politik, khususnya partai politik untuk menempatkan wakil-wakilnya pada lembaga perwakilan suprastruktur politik, merupakan sesuatu yang harus selalu ada dalam suatu negara bangsa yang demokratis. Indonesia sebagai salah satu negara bangsa yang demokratis, secara formal sejak Orde Baru telah lima kali mengadakan pemilihan umum, yaitu 1971, 1977, 1982, 1987 dan 1992. Pada Pemilu 1992, yang diikuti 3 (tiga) Organisasi peserta Pemilu yakni PPP. Golkar, dan PDI. Penelitian yang tersaji dalam bentuk tesis ini meliputi DPP Golkar di wilayah Kecamatan Legok Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang. Aspek yang diteliti adalah sampai seberapa jauh tenaga inti Golkar yaitu kader Golkar mampu memainkan perannya dalam berkomunikasi politik yang tepat sehingga mampu mempengaruhi tindakan calon pemilih untuk memilih Golkar pada Pemilu 1992, yang selanjutnya mengakibatkan Golkar di Kecamatan Legok mampu meningkatkan jumlah suara pemilihnya dibandingkan Pemilu 1987. Faktor-faktor komunikasi politik kader Golkar yang diteliti mencakup isi pesan atau informasi yang disampaikan, media yang digunakan untuk berkomunikasi politik serta kondisi dan kemampuan kader Golkar itu sendiri. Isi pesan kader Golkar yang berisi realita permasalahan yang dihadapi masyarakat di daerah tempat responden berada dan berisi harapan bagi kepentingan masyarakat berpengaruh besar terhadap tindakan calon pemilih untuk memilih Golkar pada pemilihan umum 1992. Media komunikasi politik yang digunakan kader Golkar melalui agen keluarga, pendekatan hirarkhi/status, kesebayaan usia dan teman sepergaulan dengan responden tidak mernpunyai pengaruh yang besar terhadap tindakan calon pemilih untuk memilih Golkar pada Pemilu 1992. Kondisi dan kemampuan kader Golkar yang terkait penilaian responden tentang kejujuran kader Golkar mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap tindakan calon pemilih untuk memilih Golkar pada Pemilu 1992.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Chandra Oktaviani
Abstrak :
Tesis ini membahas adanya kelemahan komunikasi politik dilevel daerah yaitu ditingkat kabupaten Bekasi tahun 2012. Khususnya yang dilakukan dalam proses melakukan kampanye. Beberapa diantaranya adanya gejala less argumentation, lack of credibility dan kurangnya kemampuan berkomunikasi melalui debat. Melihat permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui metode analisis diskursus. Untuk meninjau permalasahan ini digunakan teori The Fungsional Debate Campaign yang dikemukakan oleh William, L. Benoit. Termasuk penggunaan metode penelitian serta teknik analisis yang dikembangkan oleh Benoit. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa semua kandidat Bupati untuk periode 2012-2017 mengarahkan wacana politiknya kedalam bentuk kebijakan dari pada karakter, namun dalam menyampaikan pesan politiknya masih dinilai kurang baik pada aspek verbal maupun nonverbal. Sedangkan dari strategi fungsional dinilai sudah cukup memadai karena sudah menggunakan beberapa teknik, namun belum merata ditampilkan oleh semua kandidat, kelemahan yang nampak pada semua kandidat dilihat dari strategi berdebat adalah kurang mampu membangun acclaim untuk membangun keterpilihan oleh kandidat dengan berusaha menyerang dan bertahan ketika mendapat serangan. Implikasi penelitian pada tingkat lokal ini, menunjukan penggunaan debat di televisi sebagai forum komunikasi politik daerah sebenarnya masih belum menjadi sarana utama yang ideal untuk para pemilih lokal melihat kredibilitas dan kapabilitas calon pemimpin daerahnya.
This thesis discusses the weakness of political communication in district level region in Bekasi2012, Jawa Barat. Especially those committed in the process of campaigning. Several symptoms are observed including the less argumentation, lack of credibility and lack of communication ability through debate program. This research is done to analyze those symptoms using a qualitative approach with discourse analysis methods. Theory of The Functional Debate Campaign by William, L. Benoit is used as the basic theory to investigate the problem; also the methodology and analysis technique developed by Benoit is then used in this research. The result notes that all of the candidates of Bupati in the period of 2012-2017 directing the political discourse more on the policy than on the character, however they are still inadequate in delivering their political message. In term of functional strategy, they are considered to be adequate since they have used some techniques, although still not shown in all candidates. The weakness which is appeared in all candidates in term of debate strategy is the weak ability to build the acclaim which attempt to attack and defense when they are under attack. The implication of this research is to showing the using of debate program in television as a political communication forum is still not suitable as the main ideal media for the local voters to perceive the credibility and capability of their leader candidate.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Haswan Boris Muda
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini mendiskripsikan stategi komunikasi Presiden SBY dengan rakyat melalui PO BOX & SMS 9949. Strategi komunikasi politik yang digunakan melalui PO BOX & SMS 9949 adalah menjalin komunikasi dengan rakyat dengan pesan persuasif yang dilakukan dengan metode penyampaian yang informative dan persuasive, yaitu bentuk dan isi pesan yang bertujuan mempengaruhi khalayak dengan cara memberi penerangan dengan menyampaikan pesan yang sesuai kepentingan politik SBY. PO BOX dan SMS 9949 menjadi salah satu media komunikasi interpersonal Presiden SBY, yang berupaya mengelola citra diri (self image) atau pencitraan. Upaya memanfaatkan SMS dan POX 9949 sebagai pencitraan, antara lain dapat dilihat dari surat jawaban Staf Khusus Presiden kepada pengirim surat, dan pidato yang sangat persuasif dan menggiring opini bahwa presiden telah bekerja sesuai dengan harapan rakyat. Dalam konteks komunikasi presiden dengan rakyat melalui media SMS dan PO BOX 9949, unsur attention (perhatian), interest (minat), desire (hasrat) sudah terpenuhi. Namun, pada tataran decision (keputusan) dan action (tindakan) sangat minim atau tidak optimal sehingga tidak menimbulkan efek politik yang tinggi kepada rakyat. Bahkan, komunikasi interpersonal yang face to face, SBY juga tidak dapat membuktikan decision dan action dari komunikasinya, sehingga komunikasi SBY hanya memberikan harapan belaka tapi minim realisasi.
ABSTRACT
This thesis describes the communication strategy of the President to the people through SMS & PO BOX 9949. The Political communication strategies used by PO BOX & SMS 9949 is to establish communication with people with persuasive messages carried by delivery methods informative and persuasive, that influencing audiences. SMS and PO BOX 9949 become the President interpersonal communication media, which seeks to manage self-image or political imagery. Efforts to utilize SMS and POX 9949 as imaging, among others, can be seen from a letter of response to the President's special staff sending letters, and speeches were very persuasive and lead opinion that the president has been working in accordance with the expectations of the people. In the context of presidential communication with the people through the medium of PO BOX and SMS 9949, elements of attention, interest, desire are submitted. However, at the level of decision and action is minimal or not optimally. In fact, face to face communication, also can not prove the decision and action of the communication.
2013
T37666
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farida Dewi Maharani
Abstrak :
Penyelenggaraan pemilihan legislative 2014 di ramaikan oleh pengusaha multimedia yang terjun ke politik praktis. Salah satunya adalah Hary Tanoe selaku pemilik MNC Group. Hal ini sangat menarik untuk diamati ketika media cetak SINDO di bawah kepemilikan Hary Tanoe menjalankan peran politiknya sebagai corong pencitraan tokoh Hary Tanoe, Wiranto dan Partai Hanura. Dengan menggunakan paradigma kritis, penelitian ini bermaksud untuk mengetahui sejauh mana Hary Tanoe memanfaatkan media cetak SINDO untuk kepentingan politik praktisnya. Fokus penelitian ini mencoba untuk mengetahui komunikasi politik pencitraan apa yang ada dalam teks dan konteks media cetak SINDO, terutama dalam pemberitaan teks politik selama masa kampanye pileg terbuka 2014. Analisis wacana kritis, literasi dokumen dan juga in-depth interview digunakan sebagai metode untuk memperoleh data tentang dominasi kekuasaan di dalam struktur media cetak SINDO dan tentang citra apa yang sedang dibangun oleh Hary Tanoe, Wiranto dan Hanura. Secara metodologis, penelitian ini melakukan multilevel analysis untuk mendapatkan analisi yang komprehensif dan kontekstual. Dalam hal ini peneliti menempatkan diri sebagai partisipan yang dijembatani nilai-nilai tertentu sehingga proses transformasi sosial tercapai. Secara epistemologi, peneliti masih merasa banyak kekurangan, di antaranya tidak mencakup sisi konsumsi teks. Sejatinya konsumsi teks diperoleh melalui in-depth interview dengan khalayak pembaca Koran SINDO terkait berita politik selama periode masa kampanye terbuka pemilihan legislative 2014. Melalui teori critical discourse analysis milik Fairclough, peneliti menemukan bahwa terdapat sejumlah realitas yang tersembunyi atau realitas maya dibalik sebuah teks pemberitaan politik media cetak SINDO selama kampanye terbuka pileg 2014. Tesis ini juga menunjukkan bahwa kepemilikan media akan sangat mempengaruhi produksi teks media tersebut untuk kepentingan politik praktis. Penelitian ini menyimpulkan eksistensi pemberitaan politik media SINDO selama masa kampanye terbuka pileg 2014 sangat dipengaruhi oleh menghegemoninya kapitalis monolitik Hary Tanoe melalui berbagai penguasaan struktur dan modal dalam industri media. Akibatnya, seluruh ekspresi kebebasan jurnalis media cetak SINDO tidak lagi dapat dilihat sebagai peristiwa yang mengacu atau merepresentasikan realitas sosial.
Legislative Elections 2014 is filled with multimedia entrepreneurs who jumped into practical politics. One of them is Hary Tanoe, the owner of MNC Group. It is an interesting thing to see when SINDO print media, under the ownership of Hary Tanoe, run its political role as the "image cover" of Hary Tanoe himself, Wiranto and Hanura Party. By using the critical paradigm, this study intends to determine how far Hary Tanoe used SINDO print media for his own practical political purpose. The focus of this research is trying to figure out what kind of Political Imagery Communication that is used within the text and the context of SINDO, especially in political news during the campaign of Legislative Elections 2014. Critical discourse analysis, document literacy and also in-depth interviews are used as a method to obtain data about the power dominance in the structure of SINDO and what image is being built by Hary Tanoe, Wiranto and Hanura Party. Methodologically, this study uses multilevel analysis to obtain a comprehensive and contextual analysis. In this study, the researcher put herself as a participant that is bridged by certain values so that the process of social transformation is achieved. Epistemologically, the researcher still has some minuses, some of them is the absent of the text consumption side. It should be obtained through in-depth interviews about the political news with the reader of SINDO during the open campaign period of legislative elections 2014. Through Fairclough’s critical discourse analysis theory, researcher found that there are a number of hidden realities or virtual realities behind a SINDO’s text of political news during the open campaign period of legislative elections 2014. The thesis also shows that media ownership would greatly affect the production of media texts for political interests. This study concluded that the existence of political news of SINDO during the open campaign period of legislative elections 2014 is strongly influenced by the hegemony of Hary Tanoe’s monolithic capitalist through various dominations of structure and capital in the media industry. As the result, the entire freedom express of SINDO’s journalists is no longer be seen as an event that refers to or represents social reality.
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T41658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lu`Lu Firaudhatil Jannah
Abstrak :
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh isu pragmatisme yang diperbincangkan oleh media massa menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan manifestasi ajaran pragmatisme yang tampil melalui cara perilaku pragmatis ? dalam pesan politik calon legislator pada pemilu 2014. Subjek penelitian ini adalah para calon anggota legislatif DPRD DKI Jakarta 2014 dari gender, partai dan dapil yang berbeda dan media yang digunakan oleh caleg untuk mengirim pesan politik tersebut kepada masyarakat. Subjek penelitian ini diteliti menggunakan konsep komunikasi politik untuk melihat bagaimana komunikator politik mengirimkan pesan politiknya. Penelitian ini juga menggunakan konsep pragmatisme dan komunikator politik pragmatis untuk melihat apakah para informan merupakan seorang komunikator politik yang pragmatis. Selanjutnya pesan politik yang dikirim caleg sebagai komunikator politik diteliti untuk melihat apakah pesan tersebut merupakan pesan politik pragmatis. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dimana data diperoleh melalui hasil wawancara dan studi dokumentasi yang diteliti menggunakan Analisis semiotika Barthes. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa komunikator politik pragmatis menghasilkan pesan politik pragmatis dalam perpolitikan yang liberal.
This research is motivated by pragmatism issues are discussed by the media ahead of the General Election 2014. This study aims to explain the manifestation of the doctrine of pragmatism that appear through pragmatic behavior ? in the political message legislative candidates in the legislative election 2014. The subjects of this research are legislative candidates city council 2014 from different gender, political party and different constituencies and media used by candidates to send a political message to the public. The subjects studied using the concept of political communication to see how the political communicator to send political messages. This study also uses the concept of pragmatism and pragmatist political communicators. This research is qualitative research. Research data was obtained through interviews and documentation studies that examined use Barthes semiotic analysis. The results of this analysis indicate that pragmatic political communicator produce pragmatic political messages in liberal politics.
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>