Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nicholas Hardi
Abstrak :
Latar Belakang Game online berpotensi menimbulkan masalah perilaku berupa internet gaming disorder (IGD). Gangguan ini berdampak terhadap kesehatan fisik dan psikologis, termasuk hendaya kognitif berupa hendaya kontrol inhibisi dan fleksibilitas kognitif. Dewasa muda merupakan usia pematangan otak prefrontalis yang mengatur perilaku. Prevalensi adiksi game di Jakarta sebesar 30,8% pada fakultas kedokteran (FK). Belum ada studi yang menilai fungsi kognitif pada populasi ini di Indonesia. Studi ini mencari hubungan antara IGD dengan fungsi kognitif pada mahasiswa FK. Metode Penelitian dilakukan secara potong lintang. Sebanyak 664 subjek berasal dari mahasiswa FK Universitas Indonesia ditentukan dengan stratified random sampling. Penegakkan diagnosis IGD menggunakan kuesioner self rating Ten-Item Internet Gaming Disorder. Subjek yang memenuhi kriteria akan menjalani wawancara terstruktur dengan Mini International Neuropsychiatric Interview for International Classification of Disease-10 untuk menyingkirkan komorbiditas gangguan psikiatri. Pemeriksaan kognitif menggunakan trail making test B (TMT-B) virtual. Pemeriksaan kognitif dilakukan pada 12 subjek dengan IGD dan 12 subjek tidak IGD. Hasil Ditemukan prevalensi IGD sebesar 2,4%. Proporsi laki – laki sebanyak 62,5%, durasi bermain game 20 jam atau lebih setiap minggu dan yang bermain game pertama kali sebelum 12 tahun sebanyak 93,8%, bermain game online sebanyak 81,3%, yang bergabung dalam komunitas game sebanyak 31,3%, dan subjek bermain dengan ponsel pintar sebanyak 87,5% pada kelompok IGD. Tidak ada hubungan IGD dengan fungsi kognitif yang signifikan secara statistik. Kelompok IGD memiliki rerata durasi menyelesaikan TMT-B yang lebih panjang dibandingkan kelompok tanpa IGD. Nilai reratanya adalah 52,25 detik (SB 16,1) dan 44,67 detik (SB 14,2). Terdapat tiga subjek dari kelompok IGD yang mengalami hendaya fungsi kognitif. Diskusi Temuan studi ini sejalan dengan studi lainnya yang tidak menemukan hubungan yang bermakna antara IGD dan TMT-B secara statistik. Namun secara klinis, kelompok IGD memiliki fungsi kognitif yang lebih buruk dibandingkan kelompok tidak IGD. Hendaya kognitif pada kelompok IGD dalam studi ini tidak berasal dari gangguan psikiatri lain. Studi ini tidak menilai hubungan tingkat keparahan IGD dengan fungsi kognitif. ......Introduction Online game potentially evokes behavioral problems called internet gaming disorder (IGD). This disorder inflicts physical and psychological consequences, including cognitive impairments such as inhibition control and cognitive flexibility impairment. Early adulthood is the prime time for prefrontal cortex maturation. The prevalence of medical students with game addiction in Jakarta was 30.8%. There was no data regarding cognitive function in this population in Indonesia. This research aims to identify the association between IGD and cognitive functions in Indonesian medical students. Methods We conducted cross-sectional research. A considerable size of 664 medical students of Universitas Indonesia was selected by stratified random sampling. Self-rated Ten-Item Internet Gaming Disorder was used to screen for IGD. Subjects who met IGD criteria were systematically interviewed with Mini International Neuropsychiatric Interview for International Classification of Disease-10 to exclude any psychiatric comorbidities. Cognitive functions were measured by virtual trail making test B (TMT-B). The test was performed on 12 subjects with IGD and 12 without. Results The prevalence of IGD was 2.4%. The proportion of male subjects was 62.5%, gaming duration 20 hours per week or more and onset of gaming before 12 years old were 93.8%, engaging in online games was 81.3%, joining game community was 31.3%, and gaming using a mobile phone was 87.5% in IGD group. There was no statistically significant association between IGD and cognitive function. IGD group took longer to finish TMT-B than the control group. The mean times were 52.25 seconds (SD 16.1) and 44.67 seconds (SD 14.2), respectively. Three subjects in IGD group had cognitive impairment. Discussion The study results were consistent with other studies that found no statistical significance between IGD and TMT-B. However, clinically, the IGD group showed worse cognitive performance than the without IGD group. Cognitive impairment in the IGD group was not better explained by other psychiatric disorders. This study did not analyze further whether the severity of IGD corresponds to cognitive functions.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Tobing, Jocelyn Odelia
Abstrak :
Kegagalan kognitif adalah kegagalan individu dalam mengerjakan tugas yang biasanya secara sukses dapat dilakukan oleh individu. Kegagalan kognitif merupakan hal yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari mahasiswa, sebagai contoh melupakan suatu jadwal janji bertemu dengan teman dan dosen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat besaran peran kemampuan metakognisi dan neuroticism terhadap kegagalan kognitif pada mahasiswa program sarjana (S1). Penelitian ini merupakan penelitian noneksperimental dengan pendekatan kuantitatif. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cognitive Failures Questionnaire (CFQ), Metacognitive Skills Scale (MSS), dan IPIP-BFM-25. Penelitian ini dilakukan kepada 249 sampel mahasiswa program sarjana di Indonesia (83 laki-laki dan 166 perempuan) dengan rentang usia 18––25 tahun. Hasil penelitian dengan analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa kemampuan metakognisi dan neuroticism secara simultan dan signifikan berperan terhadap kegagalan kognitif pada mahasiswa program sarjana, (F(2, 246) = 41.778, p < 0.001, R² = 0.254). Neuroticism (β = 0.419, p < 0.001) memiliki peranan yang lebih besar dalam memprediksi terjadinya kegagalan kognitif dibandingkan dengan kemampuan metakognisi (β = -0.202, p < 0.001). Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam menanggulangi masalah kegagalan kognitif yang dialami oleh mahasiswa ......Cognitive failure is an individual's failure to complete a task that normally executed successfully. Cognitive failure occurs in undergraduate students' daily lives, such as forgetting an appointment with supervisor or friend. The objective of this study is to look at the role of metacognitive skills and neuroticism towards cognitive failures among undergraduate students. This research is a non-experimental research with a quantitative approach. The measuring tools used in this study were the Cognitive Failures Questionnaire (CFQ), Metacognitive Skills Scale (MSS), and IPIP-BFM-25. This research was conducted on a sample of 249 undergraduate students in Indonesia (83 males and 166 females) with an age range of 18––25 years. The study was analyzed using multiple linear regression analysis and showed that metacognitive skills and neuroticism simultaneously and significantly contributed to cognitive failures in undergraduate students, (F(2, 246) = 41.778, p < 0.001, R² = 0.254). Neuroticism (β = 0.419, p < 0.001) has a greater role in predicting cognitive failures than metacognitive skills (β = -0.202, p < 0.001). This research is expected to contribute to overcoming the problem of cognitive failures experienced by undergraduate students.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oryza Eureka
Abstrak :
Latar Belakang: Disfungsi kognitif pascabedah adalah salah satu komplikasi pembedahan jantung yang telah diketahui. Hipoperfusi jaringan otak diduga sebagai penyebabnya, terutama dihubungkan dengan penggunaan mesin pintas jantung-paru. Near-infrared spectroscopy muncul sebagai alat pemantauan saturasi oksigen otak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara nilai NIRS dan kandungan oksigen intrabedah dengan kejadian disfungsi kognitif pascabedah jantung terbuka. Metode: Penelitian ini merupakan kohort prospektif yang dilakukan di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia. Sebanyak 60 pasien elektif yang akan menjalani bedah jantung terbuka dilakukan uji neurokognisi pada 1 hari sebelum pembedahan dan hari ke 5 pascabedah. Disfungsi kognitif pascabedah dinyatakan jika terdapat penurunan >20% dari nilai uji prabedah, pada 2 dari 3 ranah kognisi. Pemantauan saturasi oksigen regional (rSO2¬) menggunakan probe NIRS yang ditempel pada dahi subjek penelitian. Nilai rSO2¬ secara kontinu direkam sepanjang pembedahan. Desaturasi rSO2 adalah penurunan rSO2>20% nilai baseline, nilai terendah, durasi desaturasi rSO2, luas area under the curve rSO2 yang dihitung oleh INVOS 5100 dalam satuan min% dicatat pada berbagai fase pembedahan. Analisis bivariat variabel numerik menggunakan Independent T-test atau Mann-Whitney dengan SPSS 20.0. Variabel-variabel dengan nilai p<0.25 pada analisis bivariat selanjutnya dimasukkan dalam regresi logistik. Hasil: Sebanyak 31 dari 60 pasien (51,6%) mengalami POCD. Durasi desaturasi rSO2>20% secara signifikan lebih lama pada kelompok POCD dibandingkan non-POCD, terutama pada fase intraCPB dan pascaCPB. Didapatkan desaturasi total rSO2 dan nilai AUC rSO2 yang lebih panjang pada kelompok POCD dibandingkan kelompok non-POCD (median 55 [0-245] vs 0 (0-140) menit, p= 0.007) dan (412 [0-4875] vs 0 [0-472], p= 0,003). Hasil analisis multivariat menunjukkan AUC rSO2 sebagai variabel yang paling berpengaruh terhadap POCD. Kualitas persamaan regresi logistik baik dengan AUC 83,5% (CI 95%; 72,8%-94,2%).
Introduction. Cardiac surgery has been known to cause postoperative cognitive dysfunction (POCD). Cerebral hypoperfusion is suspected as the cause, mainly related to the use of cardiopulmonary bypass (CPB) machine. Near infrared spectroscopy had been introduced as a method to monitor cerebral oxygen saturation. This study aims to investigate the role of near infrared spectroscopy (NIRS) monitoring in preventing POCD after cardiac surgery. Purpose: To evaluate association between intraoperative Near-Infrared Spectroscopy value and arterial oxygen content with POCD in open heart surgery Methods. This prospective cohort study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia. We included sixty adult patients scheduled for elective open-heart surgery and assessed their cognitive function 1 day before surgery and postoperative day 5. To measure regional oxygen saturation (rSO¬¬2), NIRS probe was placed on the subjects forehead, the values were recorded until the end of surgery. A decrease in rSO2 >20% of baseline value was considered as rSO2 desaturation. The lowest rSO2 value and duration of desaturation were recorded before, during, after CPB. Another variable of NIRS value was Area under the curve of rSO2; an output measured by INVOS 5100 labelled as AUC rSO2 in min%. Data were compared using Students t test or the Mann-Whitney U test with SPSS 20.0 software. Logistic regression was applied to variables with p-value above 0.25 on bivariate analysis. Results: In this study 31 out of 60 patients (51.6%) developed POCD. Duration of rSO2 desaturation 20% baseline was significantly higher in POCD group, espescially during and after CPB phase. We observed a median of 55 (0-245) minutes of total desaturation time in POCD group, compared to the non-POCD group, who experienced a median desaturation time of 0 (0-140) minutes (p = 0.007). Quality of regression equity based on good discrimination with AUC was 83.5% (CI 95%; 72.8%-94.2%). From multivariate analysis, it was found that variables of NIRS AUC could affect logistic regression equity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yoshua Baktiar
Abstrak :
Latar Belakang: Disfungsi kognitif pascabedah (postoperative cognitive dysfunction/POCD) merupakan komplikasi pascabedah yang sering ditemui pada pasien yang menjalani bedah jantung terbuka yang mengganggu fungsi sosial dan ekonomi serta berkaitan dengan peningkatan mortalitas. Patofisiologi POCD belum diketahui secara jelas, namun diperkirakan melibatkan hipoksia serebral. Penurunan kandungan oksigen dan penurunan ekstraksi oksigen perioperatif diperkirakan berkontribusi terhadap POCD. Penggunaan pemantauan nearinfrared spectroscopy (NIRS) memungkinkan pengukuran status oksigenasi pada jaringan otak. Protein S100B adalah penanda biologis kerusakan jaringan otak. Penelitian ini bertujuan meneliti pengaruh kandungan oksigen dan ekstraksi oksigen intra dan pascabedah, desaturasi serebral dan peningkatan kadar protein S100B terhadap kejadian POCD. Metode: Rancangan penelitian ini adalah kohort prospektif di unit Pelayanan Jantung Terpadu RS dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian dimulai setelah mendapatkan persetujuan komite etik dan ijin lokasi. Kriteria penerimaan adalah pasien berusia ≥18 tahun yang dijadwalkan menjalani bedah jantung terbuka dengan menggunakan mesin cardiopulmonary bypass (CPB), sehat secara mental, dapat membaca dan berbahasa Indonesia. Pasien akan menjalani evaluasi kognitif menggunakan 6 tes psikometrik pada 1 hari prabedah dan diulang pada 5 hari pascabedah. POCD didefinisikan sebagai penurunan >20% skor kognitif pascabedah dibandingkan prabedah pada 2 atau lebih tes. Sampel darah arteri dan vena diambil untuk menilai kandungan dan ekstraksi oksigen pada 5 waktu: (1) sebelum induksi, (2) intra-CPB, (3) pasca-CPB, (4) enam jam pascabedah, dan (5) 24 jam pascabedah. Pemantauan saturasi serebral menggunakan NIRS dilakukan sepanjang pembedahan. Kadar protein S100B diukur pada 2 waktu: sebelum induksi dan 6 jam pascabedah. Data dianalisis dengan uji statistik yang sesuai menggunakan piranti lunak SPSS versi 20. Hasil:Lima puluh lima subyek mengikuti penelitian ini. POCDditemukan pada 31 (56,4%) subyek. Kandungan oksigen dan ekstraksi oksigen ditemukan tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok pada seluruh waktu. Desaturasi serebral ditemukan lebih lama (55 [0-324] vs. 6 [0-210], p=0,03) dan nilai AUC rScO2 lebih tinggi (228 [0-4875] vs. 33 [0- 1100], p <0,01) pada pasien yang mengalami POCD dibandingkan yang tidak. Dengan analisis ROC ditemukan nilai AUC rScO2 >80 menit% berpengaruh terhadap kejadian POCD (RR 3,38, IK 95%: 1,68-6,79, p <0,01). Kadar protein S100Bmeningkat 1,5x lebih tinggi pada pasien POCD, namun tidak mencapai kemaknaan statistik. Simpulan:Desaturasi serebral yang diukur menggunakan NIRS berpengaruh pada kejadian POCD. ......Background: Postoperative cognitive dysfunction/POCD is commonly found postoperative complication after cardiac surgery with profound social and economic effect and also known correlated with mortality. The pathophysiology remains unclear and multifactorial, but hipoxia have been postulated as one of the mechanisms. Reduced arterial oxygen content (CaO2) and reduced oxygen extraction perioperatively may contribute to POCD. Use of near-infrared spectroscopy (NIRS) monitoring may provide oxygenation status on brain tissue. S100B protein is known brain injury biological marker. This trial aims to investigate effects of perioperative oxygen content and extraction, cerebral oxygenation status and S100B protein level changes to POCD. Methods: This prospective cohort study was conducted at Integrated Heart Service unit of RS dr. Cipto Mangunkusumo, a tertiary teaching hospital in Jakarta, Indonesia. This study was started after ethical approval obtained. Inclusion criteria was 18 years old or above patients scheduled for open-heart surgery using cardiopulmonary bypass machine, healthy mental status, and can speak/read Indonesian language. Subjects were undergone 6 psychometric evaluation on day prior to surgery and 5 days after surgery. POCDdefined as decrease of >20% score from baseline on 2 or more tests. Arterial and venous blood samples were taken on 5 moments: (1) before induction of anesthesia, (2) during CPB, (3) After separation of CPB, (4) six hours after surgery, and (5) 24 hours after surgery. NIRS monitoring was applied continously during surgery. S100B protein level was measured on before induction of anesthesia and 6 hours after surgery.Data was analyzed with appropriate statistical tests using SPSS 20 software. Results: Fifty-five subjects were included in this study. POCD was found in 31 (56.4%) subjects. Oxygen contents and extractions were found not differ in both groups at all times. Cerebral desaturation was found more longer (55 [0-324] vs. 6 [0-210]mins, p = 0.03) and severe (AUC rScO2 228 [0-4875] vs. 33 [0-1100] min%, p <0,01) in subjects with POCD compared to non-POCD. Using ROC analysis, it is determined subjects with AUC rScO2 >80 min% were exposed with higher risk of POCD(RR3.38x, 95%CI: 1.68-6.79, p <0.01). S100B protein level increased higher in subjects with POCDbut no statistical significant was found. Conclusion: Cerebral desaturation measured by NIRSmonitoring contributes to POCD.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Allan Pascana
Abstrak :
Latar Belakang: Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah gangguan neurodevelopmental pada anak dan remaja. Prevalensi ADHD di seluruh dunia pada usia 3-12 tahun, mencapai 7,6%, di Indonesia mencapai 15,8 % pada anak usia 3-18 tahun, dan sebesar 15,5% di Jakarta. ADHD adalah peringkat pertama penyebab anak dibawa ke psikolog di Indonesia, yang terkait dengan gangguan fungsi kognitif hingga menyebabkan terganggunya prestasi akademis dan kualitas hidup anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik gangguan kognitif pada anak ADHD di Indonesia dan hubungannya dengan faktor demografis. Metode: Penelitian ini memiliki desain potong lintang yang dilakukan pada anak SD usia 7-12 tahun dengan menggunakan metode total sampling pada populasi terjangkau. Hasil: Subyek penelitian ini terdiri dari 34 anak dengan rata-rata usia subjek 9,68 (1,32) tahun, dengan 25 anak (73,5%) memiliki tipe inatensi. Delapan anak (23,5%) tipe kombinasi inatensi dan hiperaktivitas, dan 1 anak (2,9%) hiperaktif. Total skor rata-rata SYSTEMS-R yang diukur adalah 24,94 (8,21), 18 anak (52,9%) memiliki kemampuan kognitif normal, 16 anak (47,1%) defisit kognitif. Terdapat perbedaan bermakna pada domain atensi, kalkulasi, remote memory, bahasa, abstraksi dan visuospasial (p < 0,05) dengan abstraksi (91,2%), atensi (79,4%), kalkulasi (76,5%) dan bahasa (61,8%) adalah domain yang paling banyak memiliki angka di bawah rata-rata populasi umum. Faktor usia menunjukkan variasi signifikan (nilai p 0,024) berhubungan dengan skor total SYSTEMS-R pada anak ADHD. Tidak terdapat faktor demografis yang berhubungan secara statistik. Kesimpulan: Domain yang paling banyak memiliki nilai dibawah rata-rata populasi umum adalah domain atensi, domain yang termasuk dalam fungsi eksekutif yaitu abstraksi dan kalkulasi, Fungsi kognitif hanya berhubungan bermakna dengan faktor demografis usia dan subtipe ADHD. ......Background: Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) is a neurodevelopmental disorder in children and adolescents. The prevalence of ADHD worldwide in children aged 3-12 years 7.6%, while in Indonesia it reached 15.8%, and 15.5% in Jakarta. ADHD is the number one reason children are taken to psychologists in Indonesia, which is related to impaired cognitive function, causing disruption to children's academic performance and quality of life. The aim of this research is to determine the characteristics of cognitive disorders in ADHD children in Indonesia and their relationship with demographic factors. Method: This study had a cross-sectional design which was conducted on elementary school children aged 7-12 years using a total sampling method in an accessible population. Results: The subjects of this study consisted of 34 children with an average subject age of 9.68 (1.32) years, with 25 children (73.5%) having the inattention type. Eight children (23.5%) showed a combination of inattention and hyperactivity, and only 1 child (2.9%) as hyperactive. The total mean SYSTEMS-R score measured was 24.94 (8.21), 18 children (52.9%) has normal cognitive abilities, while 16 children (47.1%) has cognitive deficits. There is significant differences in attention, calculation, remote memory, language, abstraction dan visuospasial (p < 0,05) with the domains of abstraction (91.2%), attention (79.4%), calculation (76.5%) and language (61.8%) are the domains that have the most numbers below the general population average. The age factor is a demographic factor showing significant variation (p value 0.024) associated with the total SYSTEMS-R score in ADHD children. When associated with cognitive function deficits in ADHD children, there were no demographic factors that were statistically related. Conclusion: The domain that has the most scores below the general population average is the attention domain, a domain that is included in executive function, namely abstraction and calculation. as well as the language and visuospatial domains. Cognitive function was only significantly related to age in demographic factors and ADHD subtype.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library