Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mia Astridivia
"ABSTRAK
Pasien gagal ginjal kronis rentan mengalami stress dan ansietas karena hospitalisasi dan perubahan kehidupan selanjutnya. Kondisi tersebut berkontribusi terhadap peningkatan tekanan darah. Target tekanan darah bagi pasien dengan gagal ginjal kronis adalah <130/80 mmHg untuk mencegah morbiditas terhadap penyakit kardiovaskular. Penelitian sebelumnya telah menunjukan bahwa penggunaan teknik relaksasi otot progresif dan nafas dalam dapat menurunkan tekanan darah secara efektif. Studi kasus ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh pemberian kombinasi relaksasi otot progresif dan napas dalam pada pasien gagal ginjal kronis untuk mengontrol tekanan darah melalui penurunan tingkat stres dan ansietas. Hasil analisis pada kasus kelolaan di ruang rawat penyakit dalam Dr RSUPN Cipto Mangunkusumo menunjukan bahwa tekanan darah sistolik menurun 4-6 mmHg, namun tekanan diastolik tidak menurun. Skor DASS 21 menunjukan tingkat stres dan ansietas menurun setelah 7 hari implementasi relaksasi. Sosialisasi mengenai penggunaan teknik relaksasi otot progresif dan nafas dalam sebagai terapi tambahan selain medikasi dan mengatasi ansietas dan stress diperlukan untuk membantu pasien gagal ginjal kronis untuk menurunkan tekanan darah.

ABSTRACT
Patients with chronic kidney failure are susceptible to stress and anxiety due to hospitalization and subsequent life changes. This condition contribute in increasing blood pressure. The blood pressure target for patients with chronic renal failure is <130/80 mmHg to prevent morbidity against cardiovascular disease. Previous research has demonstrated the use of progressive muscle relaxation and deep breathing techniques are effective to reduce blood pressure. The purpose of this case study was to identify the effect of combination of progressive muscle and deep breathing relaxation in patients with chronic kidney failure to control blood pressure by reducing stress and anxiety levels. The results of case study of a patient in Internal Medicine Ward of RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo showed that systolic blood pressure decreased 4-6 mmHg, but the diastolic pressure did not decrease. Beside that, DASS 21 score shows that stress and anxiety levels decreased after 7 days of relaxation. Socialization on the use of relaxation and deep breathing techniques as adjuvant therapy of medication and to decrease stress and anxiety that related with increased blood pressure, were needed to control blood pressure of CKD patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Saila Hadayna
"Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat global yang menyumbang kenaikan angka morbiditas, mortalitas, beban biaya kesehatan, dan masalah kesehatan lainnya. Menurut Riskesdas 2018, prevalensi PGK di Indonesia mencapai 0,38% dan mengalami peningkatan 0,2% dibandingkan tahun 2013. PGK juga merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia berdasarkan data Global Burden of Disease tahun 2019. Meningkatnya insiden penyakit ginjal kronis turut mempengaruhi peningkatan jumlah pasien yang menjalani hemodialisis sebagai terapi pengganti fungsi ginjal untuk bertahan hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan hidup pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di RS Krakatau Medika tahun 2019-2021. Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien PGK yang menjalani hemodialisis di RS Krakatau Medika Tahun 2019-2021. Data pasien yang diambil meliputi usia, jenis kelamin, riwayat keluarga PGK, komorbid hipertensi, komorbid diabetes melitus, dan komorbid kardiovaskular. Analisis data menggunakan analisis survival dengan metode Kaplan-Meier dan Regresi Cox. Dari studi ini diketahui sebanyak 216 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan 84 pasien telah meninggal dan 132 pasien adalah sensor. Probabilitas ketahanan hidup satu, dua, dan tiga tahun pasien PGK yang menjalani hemodialisis sebesar 58%, 43%, dan 36%. Terdapat perbedaan yang signifikan pada ketahanan hidup pasien berdasarkan usia, komorbid hipertensi, dan komorbid diabetes melitus (log rank test, p<0,05). Hasil analisis regresi cox menunjukkan usia (HR=2,28, 95% CI 1,444—3,588, p<0,001) dan komorbid hipertensi (HR=0,40, 95% CI 0,245—0,668 p<0,001) mempengaruhi ketahanan hidup pasien. Usia dan komorbid hipertensi merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap ketahanan hidup pasien. Pasien PGK yang menjalani hemodialisis pada usia ≥ 55 tahun dan tidak terdapat komorbid hipertensi memiliki ketahanan hidup yang lebih rendah dibandingkan pasien dengan usia <55 tahun dan terdapat komorbid hipertensi. Diharapkan dapat meningkatkan peran keluarga dan petugas kesehatan dalam memberikan dukungan moril serta pengawasan pada pasien selama menjalani manajemen perawatan hemodialisis khususnya pada pasien berusia tua, memiliki komorbid hipertensi, dan komorbid diabetes melitus

Chronic kidney disease (CKD) is a global public health issue that contributes to rising morbidity, mortality, health costs, and other health issues. According to Riskedas 2018, the prevalence of CKD in Indonesia was 0.38% and increase by 0.2% compared to 2013. CKD is also the third leading cause of death in Indonesia based on Global Burden of Disease data 2019. The rising insidences of chronic kidney disease also affects the increasing number of patients undergoing hemodialysis as a replacement therapy for kidney function to survive. This study aims to identify the factors that affect the survival of patients with chronic kidney disease undergoing hemodialysis at Krakatau Medika Hospital in 2019-2021. The design of this study was a retrospective cohort using secondary data from the medical records of CKD patients undergoing hemodialysis at Krakatau Medika Hospital in 2019–2021. Age, gender, family history of CKD, comorbidities for hypertension, diabetes mellitus, and cardiovascular were among patient data collected. Data analysis used survival analysis with the Kaplan-Meier method and Cox regression. From this study, there were 216 samples met the inclusion and exclusion criteria with 84 patients had died and 132 patients were censored. The probability of one, two, and three-year survival of CKD patients undergoing hemodialysis were 58%, 43%, and 36%, respectively. There were significant differences in patient survival based on age, comorbid hypertension, and comorbid diabetes mellitus (log-rank test, p<0.05). The results of the Cox regression analysis showed that age (HR = 2.28, 95% CI: 1.444–3.588, p<0.001) and comorbid hypertension (HR = 0.40, 95% CI: 0.245–0.668, p<0.001) affected patient survival. The most significant factors affecting patient survival are age and comorbid hypertension. Patients with CKD undergoing hemodialysis at the age of ≥ 55 years old and no comorbid hypertension have lower survival rates than patients with age < 55 years old and comorbid hypertension. It is expected to increase the role of family and health workers in providing emotional support and monitoring of patients during hemodialysis care management especially in patients who are elderly, have comorbid hypertension, and comorbid diabetes melitus."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Ariani Effendy
"Anemia defisiensi besi merupakan salah satu komplikasi penyakit ginjal kronis (PGK) yang sering dijumpai terutama pada pasien yang menjalani hemodialisis rutin. Inflamasi merupakan kondisi yang selalu ada pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis, dengan salah satu markernya yaitu C-reactive protein (CRP). Marker besi yang rutin digunakan seperti feritin dan saturasi transferin dipengaruhi oleh inflamasi sehingga status besi pada pasien PGK menjadi sulit dinilai. Marker lain seperti persentase eritrosit hipokrom (%Hypo-He), reticulocyte haemoglobin content (Ret-He), soluble transferrin receptor (sTfR), indeks sTfR, dan persentase eritrosit mikrositik (%MicroR) dapat digunakan untuk menilai status besi, namun belum rutin digunakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh inflamasi terhadap %Hypo-He, Ret-He, sTfR, indeks sTfR, dan %MicroR pada pasien PGK dengan hemodialisis rutin dalam menentukan status besi. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan 123 pasien hemodialisis rutin berusia lebih dari 18 tahun di Unit Hemodialisis RS Cipto Mangunkusumo yang berlangsung pada bulan Agustus sampai September 2018. Setiap subjek diperiksakan parameter %Hypo-He, Ret-He, dan %MicroR menggunakan alat automated hematology analyzer Sysmex XN 3000, sedangkan sTfR, indeks sTfR, dan CRP diperiksa menggunakan alat Cobas c311. Didapatkan median CRP sebesar 3,99 (0,2- 129,97) mg/L dengan proporsi pasien PGK dengan hemodialisis rutin yang mengalami inflamasi sebanyak 45,5%. Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan %Hypo-He, Ret-He, sTfR, indeks sTfR, dan %MicroR pada pasien yang menjalani hemodialisis rutin yang mengalami inflamasi dan noninflamasi sehingga marker-marker tersebut dapat digunakan untuk menentukan status besi pada pasien PGK dengan hemodialisis rutin.

Iron deficiency anemia is one of the complications seen in chronic kidney disease especially in routine hemodialysis patients. Inflammation, marked by C-reactive protein (CRP), is often found in chronic kidney disease (CKD) patients with hemodialysis. Routine iron markers, such as ferritin and transferrin saturation, are influenced by inflammation. Hence the iron status in CKD patients is difficult to interpret. Other markers like hypochromic erythrocytes percentage (%Hypo-He), reticulocyte haemoglobin content (Ret-He), soluble transferrin receptor (sTfR), sTfR index, and microcytic erythrocytes percentage (%MicroR) can be used to evaluate iron status, but these markers are not commonly used. This study aims to evaluate the influence of inflammation in %Hypo-He, Ret-He, sTfR, sTfR index, and %MicroR in routine hemodialysis patients to determine the iron status. This study was a cross sectional study comprised of 123 routine hemodialysis patients, aged over 18 years old, in Hemodialysis Unit Cipto Mangunkusumo Hospital during August to September 2018. Blood samples from all subjects were evaluated using automated hematology analyzer Sysmex XN 3000 for %Hypo-He, Ret-He, and %MicroR, and Cobas c311 for sTfR, sTfR index, and CRP. Median CRP in all patients was 3,99 (0,2-129,97) mg/L with inflammation occurred in 45,5% patients. There were no differences found in %Hypo-He, Ret-He, sTfR, sTfR index, and %MicroR in routine hemodialysis patients with inflammation and noninflammation so these markers could be used to evaluate iron status in hemodialysis patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Aprizal Putera
"Latar Belakang: Penyakit ginjal kronis (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) didefinisikan sebagai adanya kerusakan ginjal atau perkiraan laju filtrasi glomerolus (LFG) kurang dari 60ml/menit/1,73m2 yang berlangsung selama 3 bulan atau lebih. Tindakan akses vaskular berupa arteriovenous fistula dapat dibuat pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalankan terapi hemodialisis. Latihan isometrik berupa handgrip exercise dilaporkan dapat meningkatkan diameter arteri radialis dan vena cephalica, peak systolic velocity (PSV), intima media thickness (IMT), dan volume flow arteri radialis (RAVF).
Tujuan: Menganalisis pengaruh handgrip exercise sebelum dan setelah tindakan pembuatan Arteriovenous Fistula Radiocephalica terhadap perubahan diameter arteri radialis dan vena cephalica, PSV, IMT, dan RAVF.
Metode: Desain pada penelitian ini adalah controlled trial yang dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Setelah tindakan pembuatan Arteriovenous Fistula Radiocephalica, pasien dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pada kelompok kontrol, pasien melakukan tatalaksana standar sedangkan pada kelompok intervensi, pasien melakukan tatalaksana standar dan handgrip exercise lalu kedua kelompok di follow up setelah 8 minggu.
Hasil: Total subjek penelitian sebanyak 53 orang, dimana terdapat 7 pasien yang masuk kriteria drop out, yang terdiri dari 2 pasien meninggal dan 5 pasien tidak kontrol. Usia median pada kelompok intervensi adalah 53 tahun dan pada kelompok kontrol adalah 56 tahun. Pada kelompok yang melakukan handgrip exercise, terdapat perbedaan bermakna antara sebelum dan sesudah latihan yaitu pada parameter diameter arteri radialis (p=0,022), diameter vena cephalica (p<0,001), PSV (p<0,001), dan volume flow arteri radialis (p<0,001). Di sisi lain, tidak terdapat perbedaan bermakna antara nilai IMT sebelum dan sesudah latihan hand grip (p=0,575). Sementara itu, pada kelompok kontrol ditemukan juga terdapat perbedaan signifikan antara sebelum dan sesudah masa follow-up terkait parameter diameter vena cephalica (p<0,001), PSV (p<0,001), dan RAVF (p<0,001). Pada parameter diameter arteri radialis (p=0,103) dan IMT (p=0,083) tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kelompok kontrol.
Simpulan: Handgrip exercise dapat meningkatkan perubahan diameter arteri radialis dan vena cephalica, PSV, dan RAVF. Tidak terdapat perubahan pada IMT setelah handgrip exercise.

Background: Chronic kidney disease (CKD) is defined as the presence of kidney damage or an estimated glomerular filtration rate (eGFR) less than 60ml/min per 1.73 square meters, persisting for 3 monts or more. Creating vascular access such as arteriovenous fistula can be done in hemodialysis therapy patients with chronic kidney disease. Isometric exercises in the form of handgrip exercise has been reported to increase the diameter of radial artery and cephalic vein, peak systolic velocity (PSV), intima media thickness (IMT), and radial artery volume flow (RAVF).
Objective: To analyze the effect of handgrip exercise before and after radiochepalic arteriovenous fistula creation on changes of the diameter of radial artery and cephalic vein, PSV, IMT, and radial artery volume flow.
Methods: The design of this research was controlled trial at Cipto Mangunkusumo Center National Hospital. After the creation of radiocephalic arteriovenous fistula, patients divided into two groups, control group and intervention group. The control group received usual care. Usual care and handgrip exercise was performed in the intervention group, both groups were assessed at 8 weeks post the creation of radiocephalic arteriovenous fistula.
Results: For 53 patients, 7 patients were dropped out, consist of 2 patients passed away and 5 patients lose control. Median age of this research subjects was 56 years old. A significant increase of diameter of radial artery (p=0,022) and cephalic vein (p<0,001), PSV (p<0,001), and radial artery volume flow (p<0,001) was observed in intervention group. Meanwhile there was no change of intima media thickness before and after handgrip exercise (p=0,575). Similarly, there was significant increase of cephalic vein diameter (p<0,001), PSV (p<0,001), and RAVF (p<0,001) and there was no significant change of radial artery diameter (p=0,103) and IMT in control group.
Conclusion: Handgrip exercise improved diameter of radial artery and cephalic vein PSV, and RAVF. There was no change of IMT after handgrip exercise
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Ginanjar
"Background: chronic kidney disease (CKD) increases the severity and risk of mortality in acute coronary syndrome (ACS) patients. The role of β2-M as a filtration and inflammation marker and FGF23 as a CKD-MBD process marker might be significant in the pathophysiology in ACS with CKD patients. This study aims to determine the association of β2-M and FGF23 with major adverse cardiac event (MACE) in ACS patients with CKD. Methods: we used cross sectional and retrospective cohort analysis for MACE. We collected ACS patients with CKD consecutively from January until October 2018 at Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital. Data were analyzed using logistic regression and Cox's Proportional Hazard Regression. Results: a total of 117 patients were selected according to the study criteria. In bivariate analysis, β2-M, FGF23, and stage of CKD had significant association with MACE (p = 0.014, p = 0.026, p = 0.014, respectively). In multivariate analysis, β2-M - but not FGF 23- was significantly associated with MACE (adjusted HR 2.16; CI95% 1.15-4.05; p = 0.017). Conclusion: β2-M was significantly associated with MACE, while FGF23 was not so. This finding supports the role of inflammation in cardiovascular outcomes in ACS with CKD patient through acute on chronic effect."
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2021
610 UI-IJIM 53:1 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Kuntarti Heruyanto
"ABSTRAK
Latar Belakang: Prevalensi penyakit ginjal kronik (PGK) meningkat pada usia lanjut. Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi PGK lebih tinggi pada usia 55-75 tahun dibandingkan usia kurang dari 55 tahun. Pada usia lanjut terjadi perubahan struktur dan fungsi ginjal, serta adanya riwayat penyakit komorbid seperti diabetes
melitus (DM), hipertensi, penyakit jantung dan pembesaran prostat, menjadi faktor risiko yang meningkatkan terjadinya PGK. Komplikasi yang dapat timbul pada penderita PGK antara lain frailty dan protein energy wasting, yang menyebabkan penurunan kapasitas fungsional dan kualitas hidup, serta peningkatan morbiditas dan mortalitas. Terapi nutrisi yang adekuat berperan penting untuk mencegah protein energy wasting dan komplikasi lain yang dapat timbul pada PGK.
Metode: Laporan serial kasus ini memaparkan empat kasus PGK pada pasien usia di atas 60 tahun. Dua pasien memiliki penyakit komorbid DM dan hipertensi, dan
dua lainnya hanya hipertensi. Keempat pasien dalam serial kasus ini termasuk PGK derajat IV dan V. Pada dua kasus dilakukan hemodialisis, sementara pada dua lainnya belum dilakukan. Masalah yang timbul pada keempat kasus adalah
terdapat gejala-gejala sindroma uremia yaitu mual, muntah, anoreksia, lemas, sesak, dan anemia sehingga asupan makanan tidak adekuat dan terjadi penurunan
kapasitas fungsional. Kebutuhan energi pasien dihitung dengan menggunakan persamaan Harris-Benedict ditambah faktor stres dan pemberian protein disesuaikan dengan sudah atau belum dilakukan hemodialisis. Komposisi
karbohidrat dan lemak disesuaikan dengan rekomendasi theurapeutic lifestyle changes (TLC) dan American Diabetes Association (ADA). Suplementasi mikronutrien diberikan sesuai dengan kondisi pasien. Pemantauan pasien
dilakukan setiap hari dengan memperhatikan perubahan gejala klinis, tanda vital, imbang cairan, kapasitas fungsional, analisis dan toleransi terhadap makanan,
serta hasil pemeriksaan laboratorium.
Hasil: Pemantauan yang dilakukan pada empat pasien selama perawatan di rumah sakit menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis serta peningkatan asupan makanan dan kapasitas fungsional.
Kesimpulan: Terapi nutrisi dapat mendukung terapi utama pada penderita PGK usia lanjut dalam memperbaiki keadaan klinis dan kapasitas fungsional, serta mencegah komplikasi lebih lanjut

ABSTRACT
Background: The prevalence of chronic kidney disease (CKD) increases in the elderly. Based on Riskesdas 2013, the prevalence of CKD is higher in the age of 55-75 years old compared to below 55 years of age. In the elderly, there are alterations in kidney structure and function, as well as history of comorbidities include diabetes mellitus, hypertension, heart disease and prostate hypertrophy that increase the factor CKD. Complication that may occur in patients with CKD including frailty and protein energy wasting, which can cause decreased
functional capacity and quality of life, and increased morbidity and mortality. Adequate nutrition therapy plays an important role in preventing protein energy wasting and other complications that may arise in CKD.
Methods: This case series report describes four cases of CKD in patients aged above 60 years old. Two patients have comorbid disease diabetes mellitus and hypertension and the others have only hypertension. The four patients in this case series are in CKD stage IV and V. Two cases with hemodialysis, while in the others has not done yet. Problems arising in all cases are uremic syndrome
symptoms such as nausea, vomiting, anorexia,fatigue, dypsnea, and anemia causing inadequate food intake and decreased functional capacity. Energy requirements of the patients calculated using the Harris-Benedict equation added by stress factor and the amount of protein depends on whether the hemodialysis has or has not been applied. Carbohydrate and fat composition appropriated to the
theurapeutic lifestyle changes (TLC) and the American Diabetes Association (ADA) recommendations. Micronutrients supplementation was given in
accordance to patient's condition. Patient monitoring is carried out every day by observing changes in clinical symptoms, vital signs, fluid balance, functional
capacity, dietary analysis and food tolerance, and laboratory resultsResults: Monitoring conducted in the four patients during treatment at the hospital showed the improvements in clinical symptoms, and increased in food
intake and functional capacity.
"
Ilmu Gizi Klinik, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Muhamad Firmansyah
"Masalah utama yang muncul pada klien gagal ginjal kronis yaitu kelebihan volume cairan akibat ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan. Ketidakpatuhan pada klien disebabkan oleh kurangnya kesadaran dan motivasi diri klien dalam melakukan pembatasan asupan minum. Intervensi keperawatan yang dilakukan berfokus pada kegiatan untuk meningkatkan kesadaran diri dan motivasi dalam pembatasan asupan cairan serta monitoring status cairan dalam rangka meningkatkan status kesehatan klien. Cognitive Behavioural Therapy CBT merupakan salah satu intervensi yang dapat diberikan untuk meningkatkan kesadaran klien tentang pentingnya program pembatasan asupan cairan. Namun, metode ini masih jarang dilakukan di lahan praktik. Intervensi CBT dalam studi kasus ini dilakukan dalam waktu satu minggu dengan melibatkan keluarga sebagai social support untuk mengontrol perilaku. Setelah dilakukan intervensi CBT, kesadaran diri dan motivasi klien meningkat ditunjukkan dengan klien berhasil melakukan pembatasan asupan cairan. Namun, secara klinis belum menunjukkan perbaikan dalam masalah kelebihan volume cairannya. Maka dari itu perlu dikaji lebih lanjut terkait faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan kondisi kelebihan cairan pada pasien gagal ginjal kronis.

The main problems that appears on clients of chronic renal failure are excess fluid volume due to noncompliance to fluid restriction. Noncompliance in the client due to lack of awareness and self motivation of the client in the limitation of fluid intake. Nursing interventions focused on activities to improve self awareness and motivation fluid restriction as well as monitoring fluid status in order to improve client rsquo s health status. Cognitive Behavioral Therapy CBT is one of the intervention that can be given to increase client awareness about the importance of fluid restriction program. However, this method is still rarely done in practice areas. Intervention CBT in this case study was done within one week by involving the family as a social support to control client rsquo s behavior. After administration of CBT,self awareness and client motivation increased this is indicated by client succeeded to restrict his fluid intake. However, client haven rsquo t shown an improvement of excess fluid volume problem clinically. Therefore it is necessary to do a further study related to other factors that can cause an excess fluid volume in chronic kidney disease patients.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitra Albana Wahyudi
"Chronic kidney disease atau gagal ginjal kronis merupakan gagal ginjal stadium akhir yang tidak dapat disembuhkan. Fungsi ginjal meliputi pengaturan cairan, detoksifikasi, dan produksi hormon. Penderita penyakit ginjal kronis perlu menjalani hemodialisis rutin sebagai terapi pengganti ginjal sementara. Penderita penyakit ginjal kronis seringkali mengalami masalah kelebihan cairan akibat disfungsi filtrasi glomerulus, oleh karena itu pengaturan cairan yang ketat dan efektif harus dilakukan untuk mencegah komplikasi seperti kelebihan cairan. Tugas akhir ini menggunakan metode studi kasus asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik terminal yang fokus pada intervensi manajemen cairan dengan tabel pemantauan intake dan output cairan.

Chronic kidney disease or chronic kidney failure is a terminal disease that changes slowly and is irreversible. Kidney function consists of fluid regulation, detoxification, and hormone production. Patients with crhonic kidney disease must undergo routine hemodialysis as temporary renal replacement therapy. Patients with chronic kidney disease often experience problems with excess fluid due to glomerular filtration dysfunction, so strict and effective fluid digestion must be carried out to prevent complications by monitoring fluid intake and output. The writing of this final assignment uses a case study method using fluid intake and output monitoring charts and this monitoring is effective in dealing with excess fluid volume, as evidenced by the reduction in manifestations of excess fluid in patients.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Firyanto Widjaja
"Latar Belakang: Hubungan antara hepatitis C dan penyakit ginjal kronik (PGK) sudah semakin jelas. Sirosis hati dan kadar virus pada hepatitis C dikatakan berhubungan dengan PGK, namun hal ini masih menjadi kontroversi.
Tujuan: Mengetahui prevalensi PGK serta hubungannya dengan sirosis hati dan kadar virus pada pasien hepatitis C.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong-lintang yang dilakukan pada Agustus 2018 sampai Januari 2019 di Poliklinik Hepatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia. Subjek dipilih secara konsekutif pasien dengan antiHCV positif dan ditanyakan kesediannya. Subjek dengan HIV, hepatitis B, riwayat hemodialisis, dan batu ginjal dieksklusi. Data diambil melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, elastrografi transien, pemeriksaan darah dan urin. Pasien didiagnosis PGK bila terdapat kelainan laju filtrasi glomerolus at au albuminuria atau hematuria persisten selama tiga bulan. Analisis statistik menggunakan kai kuadrat untuk data kategorik dan menggunakan regresi logistik untuk mengendalikan variabel perancu.
Hasil: Dari total 185 subjek yang mengikuti penelitian ini didapatkan prevalensi PGK sebesar 23,2% dengan 95% IK 17,12-29,28% pada subjek dengan hepatitis C. Sirosis hati berhubungan dengan terjadinya PGK pada hepatitis C dengan crude OR 2,786 (1,276-6,081) dan adjusted OR 2,436 (1,057-5,614) setelah mcngendalikan diabetes melitus, usia, dan jenis kelamin. Tidak didapatkan hubungan antara kadar virus dengan PGK (p=0,632).
Simpulan: Terdapat hubungan antara sirosis hati dengan PGK dan tidak terdapat hubungan antara kadar virus dengan PGK pada pasien dengan hepatitis C."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59185
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Tidara Poetri
"tudi ini bertujuan mengevaluasi masalah terkait obat di Ruang IRNA Teratai lantai 4 Selatan RSUP Fatmawati dengan menggunakan klasifikasi Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) V9.1 dan analisis kerasionalan penggunaan antibiotik berdasarkan alur Gyssens. Melalui pengkajian prospektif pada pasien ruang rawat inap, data diperoleh dari rekam medis pasien dan lembar instruksi harian pasien pada SIMGORS. Hasil menunjukkan permasalahan terapi pada efektivitas pengobatan, keamanan pengobatan, efektivitas biaya, pemilihan obat, dan durasi pengobatan. Ketidakrasionalan penggunaan antibiotik teridentifikasi pada moksifloksasin dan meropenem karena melebihi durasi peresepan formularium nasional. Namun, penggunaan antibiotik sefiksim ditemukan rasional sebagai terapi sulih saat pasien pulang. Saran dari studi ini melibatkan peran apoteker dalam memberikan masukkan berbasis evidence-based medicine dan edukasi formularium nasional kepada dokter. Hal ini bertujuan untuk mencegah resistensi antibiotik dan kerugian ekonomi rumah sakit.

This study aimed to evaluate drug-related issues in the IRNA Teratai Ward, 4th Floor South of Fatmawati Hospital using the Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) V9.1 classification and analyze the rationality of antibiotic use based on the Gyssens flowchart. Through a prospective assessment of in-patients, data were obtained from patient medical records and daily instruction sheets on SIMGORS. The results revealed therapy problems related to treatment effectiveness, drug safety, cost-effectiveness, drug selection, and treatment duration. Irrational use of antibiotics was identified in moxifloxacin and meropenem due to exceeding the national formulary prescription duration. However, the use of cefixime was found to be rational as a replacement therapy when the patient was discharged. Recommendations from this study involve the role of pharmacists in providing evidence-based medicine feedback and educating doctors on the national formulary. This aims to prevent antibiotic resistance and financial loss to the hospital."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library