Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 44 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Patsy Sarayar Djatikusumo
Abstrak :
Tujuan :untuk mendapatkan data kadar vitamin C plasma dan humor akuos penderita katarak senilis dan faktor-faktor yang berhubungan. Tempat : Bagian Ilmu Penyakit Mata RSUPN Cipto Mangunkusumo Metodologi : suatu studi korelasi, dengan subjek 123 penderita katarak senilis yang menjalani operasi katarak, dipilih secara consecutive sampling. Data meliputi data umum, gradasi katarak, pola dan asuhan makan ditentukan dengan metode tanya ulang 2x24jam dan FFQ serta pemeriksaan kadar vitamin C plasma dan humor akuos menggunakan spektrofotometri. Hasil : Kebiasaan mengkonsumsi suplemen vitamin C terdapat pada 26% subjek. Pola makan dan asupan vitamin C dengan kriteria kurang pada 62,6% dan 52,9% subjek. Median kadar vitamin C plasma 0,545 (0,203 - 1,986) mgldL dan humor akuos 16,753 (3,528 - 37,505) mg/dL, Penderita katarak gradasi III mempunyai kadar vitamin C plasma yang tertinggi, sedangkan di humor akuosnya terendah. Terdapat korelasi positif antara vitamin C plasma dengan asupan zat gizi (energi, protein dan serat) dan vitamin C humor akuos. Terdapat hubungan antara pola makan, asupan zat gizi, kebiasaan mengkonsumsi suplemen vitamin C dengan gradasi katarak. Kadar vitamin C plasma > 0,7 mg/dL (batas risiko katarak) yang diperoleh dari asupan vitamin C 140 mg/hari mempunyai hubungan dengan gradasi katarak. Kesimpulan : Tidak( ada subjek penelitian yang menderita defisiensi vitamin C. Kadar vitamin C humor akuos pada katarak gradasi III lebih rendah dibanding gradasi lanjut kemungkinan dikarenakan sejumlah serat-serat lensa masih aktif menggunakannya. Pola makan yang baik, asupan vitamin C > 140 mg/hari dan kebiasaan mengkonsumsi suplemen vitamin C lebih banyak ditemukan pada penderita katarak gradasi awal. Dibutuhkan asuhan vitamin C lebih tinggi dari AKG untuk menunda progresivitas katarak.
Purpose: to identify the plasma and aqueous humor level of vitamin C in senile cataract patient and related factors. Setting: Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Material and Method: A correlation study of 123 consecutive samples of senile cataract patients who underwent cataract surgery. Data were collected include demographic profiles, cataract grades, assessment of dietary profile and intake by food recall 2x24 hours question and FFQ, vitamin C level in plasma and aqueous humor, analyzed by spectrophotometer method. Result: Subject who regularly consumed vitamin C supplement was up to 26%. Poor dietary profile and vitamin C intake were found on 62.6% and 52.9% of the subject respectively. The median of vitamin C level in plasma was 0.545 (0.203-1.986) mg/dL and in aqueous humor was 16.753 (3.528-37.505) mg/dL. The highest median plasma level along with the lowest median aqueous humor level of vitamin C was found on cataract grade 3. Plasma level of vitamin C had a positive correlation with a variety of nutrient intake (energy, protein and fiber) and vitamin C level in aqueous humor. The grade of lens opacities was associated with dietary profile, intake of nutrient, vitamin C supplement consumption. Plasma level of vitamin C higher than 0.7 mg/dL during vitamin C intake of 140 mg per day was related with the grade of lens opacities. Conclusion: None of these senile cataract patients was vitamin C deficient. The aqueous humor level of vitamin C in cataract grade 3 was lower than in other grades. It is assumed that numerous healthy lens fibers are still active utilizing the vitamin C in aqueous humor. Fine dietary profile, high vitamin C intake (>140 mg/dL) and regular consumption of vitamin C supplement were associated with grades of cataract. It is suggested to increase vitamin C intake higher than RDA in order to prevent the progression of cataract.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T1414
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Rauf
Abstrak :
PENDAHULUAN Berdasarkan hasil survei morbiditas mata dan kebutaan yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1962, prevalensi kebutaan dua mata adalah 1,2 % dari populasi penduduk, dan katarak merupakan penyebab kebutaan yang terbanyak, yaitu 66,9% dari total kebutaan(1).

Pada kongres pertama Persatuan Dokter Ahli mata Indonesia di Jakarta pada tahun 1968, menteri Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan bahwa kebutaan adalah merupakan bencana nasional, dan adalah merupakan kewajiban setiap warga negara untuk menanggulangi sesuatu bencana nasional (2).

Katarak merupakan penyebab kebutaan yang tak dapat dicegah tetapi dapat ditanggulangi (3). Cara untuk menanggulangi kebutaan karena katarak adalah dengan pembedahan. Pada setiap pembedahan katarak, sebagaimana pembedahan intra okular lainnya dibutuhkan tekanan bola mata yang rendah dengan tujuan untuk mempermudah jalannya pembedahan maupun menghindarkan penyulit-penyulit yang mungkin terjadi(4,5,6).

Usaha-usaha untuk menurunkan tekanan bola mata ada bermacam-macam, antara lain; pemberian manitol intra vena, penghambat karbonik anhidrase, digital oressure, kantong air raksa, balon Honan dan Bantal tekan modifikasi Sidarto (7,8,9,10,11).

Pemakaian balon Honan dengan tekanan 30 mmHg selama 30 menit pada penderita-penderita yang akan dilakukan pembedahan katarak, sebagaimana yang biasa dilakukan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, dapat menurunkan tekanan bola rata rata-rata 5,9-10,9 mmHg (9,10,12).

Prolaps badan kaca yang merupakan salah satu komplikasi pembedahan katarak didapatkan 7-2 % pada penderita-penderita yang tidak dilakukan usaha penurunan tekanan bola mata sebelum operasi (13), sedangkan menurut Syarifuddin (10), yang mempergunakan balon Honan 30 nmHg selama 30 menit pada penderita katarak yang akan dilakukan pembedahan, dari 15 penderita yang telah dilakukan pembedahan tidak ada satupun yang mengalami prolaps badan kaca. Tetapi usaha untuk menurunkan tekanan bola mata dengan penekanan tidak selamanya aman, karena secara teori dapat menyebabkan okiusi arteri sentralis retina dengan resiko kebutaan(4).
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58496
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mariati S. Muchlis
Abstrak :
ABSTRAK
Sayatan pada operasi katarak biasanya menyebabkan beberapa tingkat pendataran meridian kornea pada "right angle" ke arah sayatan tersebut. Dengan sayatan di bagian superior berarti adanya pendataran pada meridian vertikal.
Perjalanan yang lambat dan progresif dari penyembuhan luka operasi menyebabkan regangan jaringan parut sehingga terjadi pendataran dari bagian atas kornea yang menghasilkan astigmatisme "Againts the rule".
Dikatakan bahwa astigmatisme yang terjadi segera setelah operasi disebabkan oleh karena jahitan yang terlalu kencang dan akan berkurang selama periode pasca bedah ( 9 ).
Sing (7) berpendapat bahwa astigmatisme yang terjadi segera setelah operasi lebih tinggi dibandingkan pasca pembedahan setelah 6 minggu di mana akan menurun hampir separuhnya.
Yaffe (10) menganjurkan pemberian kaca mata afakia segera setelah hasil keratometer dan refraksi stabil, biasanya pada minggu ke-6 sampai minggu ke-8 pasca bedah.
Dia malah memberikan kaca mata afakia setelah 4 minggu dan kadang-kadang setelah 8 minggu, hal ini tergantung dari tehnik pembedahan.
Menetapnya hasil keratometer atau refraksi selain tergantung dari teknik pembedahan, juga dipengaruhi oleh proses penyembuhan luka yang bervariasi secara individual, di samping itu berbagai faktor lain seperti operator, benang yang dipakai, pengobatan pasca bedah dan lain-lain mempunyai peranan penting, sehingga pemberian kaca mata afakia sebaiknya ditinjau kasus perkasus.
Selama ini di RS Cipto Mangunkusumo pemberian kaca mata afakia setelah 2 bulan pasca bedah di mana dianggap luka operasi sudah tenang dan hasil refraksi objektif dan subjektif sudah optimal.
Timbul masaalah pada penderita-penderita yang masih aktif bekerja agar dapat menjalankan fungsinya sedini mungkin sehingga mereka sangat mengharapkan kaca mata afakia secepatnya.
Kapan sebaiknya kaca mata afakia dapat diberikan merupakan hal yang perlu dikemukakan mengingat faktor-faktor tersebut diatas. Dalam hal ini penulis ingin mencoba untuk menentukan suatu kriteria, kapan sebaiknya diberikan kaca mata afakia pada penderita pasca bedah katarak yang tentu saja disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang tersedia.
Pada penelitian ini penulis membatasi diri dengan hanya melakukan penelitian pada penderita yang dilakukan operasi katarak intrakapsuler dengan tehnik operasi yang sesuai protokol yang telah dianjurkan pada resider tingkat terakhir di Bagian Ilmu Penyakit mata RSCM.
1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hermansyah
Abstrak :
ABSTRAK
Katarak adalah suatu keadaan dimana terdapat gangguan pa- da lensa berupa hilangnya transparansi lensa (1,2,3,4). Katarak ini dapat digolongkan dalam bentuk developmental seperti kata - rak kongenital dan katarak yuvenil , katarak degeneratif , kata rak komplikata , dan katarak traumatika (5,6).

Dalam keadaan sehari-hari yang paling sering kita jumpai adalah katarak senil , yaitu katarak yang terjadi setelah usia perte - ngahan , dan ini merupakan salah satu proses ketuaan (aging pro ces). Oleh karena itu , maka katarak ini merupakan penyebab ke- butaan pada orang tua yang tidak dapat dicegah , tetapi dapat ditanggulangi (7,8).

Uji dikriminasi dua sinar merupakan salah satu uji untuk menilai fungsi makula secara kasar . Pemeriksaan ini cukup se- derhana dengan hanya menggunakan 2 sumber cahaya yang berasal dari 2 sentolop kecil yang diletakkan dalam jarak tertentu da- ri penderita , dan akan lebih baik lagi hasilnya bila mengguna kan dua sinar berwarna (5,17). Shahab dari Penelitiannya berke- simpulan bahwa uji diskriminasi dua sinar berwarna ternyata le- bih baik dibandingkan uji diskriminasi dua sinar tidak berwar- na dalam menilai fungsi makula (19) .

Pada penelitian ini akan dicoba membandingkan ketepatan uji diskriminasi 2 sinar berwarna terhadap uji laser interfero- meter untuk menilai fungsi makula dalam meramalkan tajam peng- lihatan pasca bedah katarak .

Tujuan : Untuk membandingkan ketepatan uji laser interferometer ter- hadap uji diskriminasi dua sinar berwarna dalam meramalkan ta - jam penglihatan pasca bedah katarak .
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryanti
Abstrak :
Tujuan: Mengetahui prevalensi katarak senilis dan faktor-faktor risiko yang berperan pada kejadian katarak di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional cross-sectional, pada 2550 subyek dari 85- klaster. Semua subyek dilakukan kunjungan rumah untuk pemeriksaan visus secara kasar dengan pin-hole, pemeriksaan lensa serta segmen posterior mengunakan senter dan oftalmoskop langsung. Setelah itu dilakukan wawancara faktorfaktor risiko katarak. Faktor-faktor risiko yang berperan dicari dengan memakai analisis statistik multivariat. Hasil: Subyek yang dapat diperiksa secara lengkap sebesar 95% dari semua target, Prevalensi katarak senilis di kabupaten Kutai Kartanegara adalah 31,7%. Faktor-faktor yang berperan pada kejadian katarak antara lain faktor usia, suku dan letak geografi. Kesimpulan: Prevalensi katarak senilis di Kutai Kartanegara masih tinggi, diperlukan penanganan yang komprehensif dan Iintas sektoral. Suku Dayak dan penduduk yang tinggal di daerah pegunungan inempunyai risiko katarak lebih besar di bandingkan dengan keseluruhan pupulasi yang tinggal di Kabupaten Kutai Kartanegara. ...... Objective: To determine the prevalence rates and contribution of risk factors cause of senile cataract in east Kalimantan. Method: An observational cross-sectional study was carried out involving 2550 subjects aged 50 years and over divided into 85 clusters. Home visits were conducted for ophthalmology examination including visual acuity evaluation with pin-hole, inspection of posterior segment and lens using flash light, and direct ophthalmoscopy. Major risk factors were analized using multivariate statistical method. Results: Ninety five percent subjects were examined completely. Prevalence of senile cataract in Kutai Kartanegara was 31,7%. The factors influent cataract prevalence were age, ethnic and geographic. Dayaknis and people living in mountain range have higher cataract risks than others population in this study. Conclusion: Prevalence of senile cataract in Kutai Kartanegara is quite high. More comprehensive cataract management is needed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wida Setiawati
Abstrak :
Tujuan: menilai prevalensi katarak terinduksi radiasi, serta menghubungkannya dengan dosis paparan radiasi dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi. Metode: Studi potong lintang dan studi kasus-kontrol. Seratus delapan puluh subyek berpartisipasi dalam penelitian. Prevalensi katarak terinduksi radiasi dinilai menggunakan analisis Scheimpflug pada alat Pentacam® Oculus. Dosis paparan radiasi kumulatif dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi pada subyek diidentifikasi melalui kuesioner dan personal dosimeter
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chintya Dhias Fitri Fathonah
Abstrak :
ABSTRAK
Penderita dengan gejala rabun senja akibat penyakit katarak memiliki sensitivitas terhadap cahaya dan objek yang dilihat. Oleh karena itu, dilakukan penelitian awal untuk mengkaji intensitas cahaya dan color temperature dari pencahayaan buatan, yang dapat membantu aktivitas dan pergerakan untuk penderita dengan gejala rabun senja akibat penyakit katarak. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan penelitian survey dan eksperimen. Lima responden penderita gejala rabun senja akibat penyakit katarak usia 55 ? 70 tahun diuji dengan 5 tes uji coba. Eksperimen dilakukan pada laboratorium uji coba khusus pencahayaan buatan skala 1:1. Responden diuji pada 3 color temperature yang berbeda (6500 K, 2700 K, dan 2500 K), dan 5 intensitas cahaya yang berbeda (50 lux, 80 lux, 110 lux, 140 lux, dan 170 lux). Pada intensitas cahaya 170 lux dan color temperature 6500 K, kesalahan yang dibuat oleh responden semakin kecil, dan tulisan yang mampu dibaca oleh responden meningkat. Pada pergantian intensitas cahaya yang tinggi ke rendah dan color temperature rendah (2500 K dan 2700 K), kemampuan responden dalam melihat menjadi melemah.
ABSTRACT
Patients with symptoms of night blindness because cataract has a sensitivity to light and visual objects. Therefore, initial research done to examine the intensity of light and color temperature of artificial lighting for help activity and movement for people with symptoms of night blindness because cataract. This research uses a quantitative method with survey research and experiment. Five respondents patient symptoms of night blindness because cataract disease aged 55- 70 years were tested with 5 test trials. Experiments conducted on laboratory testing of artificial lighting scale 1:1, with the simulation Relux Professional 2007 program. Respondents were tested on 3 different color temperatures (6500 K, 2700 K, and 2500 K), and 5 different light intensity (50 lux, 80 lux, 110 lux, 140 lux, and 170 lux). At light intensity of 170 lux and color temperature of 6500 K, the mistakes made by respondent gets smaller and writing that is able to be read by respondents more. At the turn of the light intensity is high to low and low color temperature (2500 K and 2700 K), the ability of respondents to see being weakened.
2016
T45989
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arcci Pradessatama
Abstrak :
Latar Belakang: Meningkatnya resistensi bakteri okular terhadap levofloxacin mendorong perlunya disiapkan agen alternatif untuk antibiotik intrakamera. Moxifloxacin, golongan florokuinolon generasi baru, memiliki potensi. Metode: Desain penelitian berupa randomized controlled trial (RCT) dengan lengan perlakuan: 0.1 cc moxifloxacin 0.5% dan 0.1 cc levofloxacin 0.5% intrakamera tanpa dilusi pada akhir operasi katarak. Luaran utama penelitian: endothelial cell density (ECD), central corneal thickness (CCT), central macular thickness (CMT), tekanan intraokular (TIO), tingkat peradangan segmen anterior, serta kejadian tidak diinginkan. Hasil: Dari 68 subjek penelitian, tidak didapatkan perbedaan signifikan pada parameter dasar. Pada pengukuran satu hari pascaoperasi, didapatkan TIO yang signifikan lebih tinggi pada lengan moxifloxacin (p=0.004; mean diff=4.9; IK95%=1.7 – 8.2). Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada luaran utama lain pada hari pertama pascaoperasi. Hasil pengukuran satu minggu dan satu bulan tidak didapatkan perbedaan parameter yang signifikan antara kedua kelompok perlakuan. Kesimpulan: Pada penelitian ini, didapatkan penggunaan 0.1 cc moxifloxacin intrakamera 0.5% menunjukkan profil keamanan yang mayoritas sebanding dengan levofloxacin. Namun, didapatkan parameter tekanan intraokular hari pertama pascaoperasi yang lebih tinggi secara signifikan pada kelompok yang menerima moxifloxacin.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Setiadi
Abstrak :
ABSTRAK
Katarak merupakan sebab kebutaan utama di seluruh dunia. Sebab timbulnya katarak, baik katarak senilis (KS), maupun katarak diabetik (KD) belum jelas. Oleh karena itu pencegahan dan pengobatannya belum dapat dilaksanakan dengan sempurna.

Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui apakah radikal bebas, diukur sebagai peroksida lipid (PL), berperan pada timbulnya KS dan KD. Untuk mencapai tujuan ini dibandingkan kadar FL serum kelompok KS1 KD dan kontrol nonkatarak (K). Dibandingkan pula kadar FL aqueous humor (AO) kelompok KS dan KD. Darah kelompok KS dan KD diperoleh dari pasien sebelum operasi katarak, sedangkan A0 sewaktu operasi oleh dokter bedah mata. Kadar PL ditetapkan dengan Cara Stringer, berdasarkan pengukuran malondialdehida (MDA), hasil penguraian PL.

Kelompok KS terdiri dari 51 orang dengan umur 43-85 tahun ( X = 60,93, SP = 8,84); kelompok KD terdiri dari 22-orang dengan umur 42-75 tahun (X = 61,68, SD = 9,74), sedangkan kelompok K terdiri dari 24 orang dengan umur 40-82 tahun (X = 58,42, SB = 13,84). Tidak ada perbedaan bermakna antara umur kelompok KS, KD dan K. Oleh karena lebih dari 30. (16 orang) dari kelompok KS berumur kurang dari 60 tahun, kelompok ini lebih tepat disebut kelompok non-diabetik.

Hasil PL darah KS = 7,23 ± 2,31, KD = 7,24 ± 1,61 dan K 6,19 {- 1,91 (X -4. SB) vmol/L, tanpa perbedaan bermakna antara ketiga kelompok (p 0,05). Kadar PL AO KS ( 2,54 t 1,98 vmol/L, n = 12) dan KD ( 2,29 ± 1,00 vmol/L, n - 4) juga tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p > 0,05). Tidak ada korelasi antara kadar PL darah dan AG . Dari data tersebut tidak dapat disimpulkan bahwa PL berperan pada timbulnya KS dan KD, namun belum dapat disingkirkan kemungkinan terganggunya metabolisme oksidatif pada tingkat lensa.

Kami sarankan teknik pengambilan An disempurnakan dan penetapan PL AO pada katarak non-diabetik dan KD( IDDM dan NIDDM) dilakukan dengan sampel yang lebih banyak.
ABSTRACT
Lipid Peroxide Level In Blood And Aqueous Humor Of Patients With Senile And Diabetic CataractCataract is the main cause of blindness all over the world. The cause of both senile and diabetic cataract are still unknown; consequently no appropriate therapy and prevention of cataract formation are presently known.

The aim of this study is to get information on the possible role of free radicals, measured as lipid peroxide (LP), on the formation of senile (SC) and diabetic cataract (DC).

We compaired the serum LP level of patients with SC, DC and noncataract controls; also the LP level of aqueous humor (AO) of patients with SC and DC. Blood of cataract patients was drawn before the cataract operation, while AO was collected during the operation by the ophthalmic surgeon. Estimation of LP was performed by the method of Stringer, which measured , the malondialdehyde concentration.

The SC group consisted of 51 persons, aged 43--85 years (X - 60.93, SD = 8.84); the DC group of 22 persons aged 42-75 years (X = 61.69, SD = 9.74) and the control group (C) of 24 noncataractous persons. As more than 30% of the SC group were younger than 60 years, this group should be more appropriately classified as the nondiabetic cataract group. The blood LP level of the SC, DC and C group were 7.2,E - 2.31, 7.24 ± 1.61 and 6.19 ± 1.91 ( X ± SD) vmol/L respectively. These results showed no significant difference. The aqueous LP levels of the SC ( 2.54 ± 1.9B, n = 12) and the DC ( 2.29 ± 1.00) group were also not significantly different. No correlation was found between the LP levels in blood and AO of the SC and DC patients. The results mentioned above did not show that LP were involved in the development of SC and DC and that a systemic disturbance in oxidative metabolism existed in the SC and DC patients. However, an increase of oxidative metabolism or defect in the anti-oxidative mechanism at lens level could be present.

We propose to improve the AO sampling technique and estimate the AO LP levels, using a larger number of samples from non diabetic and diabetic (IDDM and NIDDM) cataract patients.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Satu uji klinik batu tunggal untuk membandingkan efektivitas biaya teknik pembedahan antara ekstraksi katarak ekstrakapsular (ECC) dan fakomuksifikasi (PEA) telah dilakukan di hospital Universiti Kebangsaan Malaysia (HUKM) antara Maret 2000 sampai Agustus 2001.
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>