Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Fikri Cahyadi
Abstrak :
Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong sebagai perhatian Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan persoalan di Wilayah Papua. Tetapi kebijakan pembentukan DOB Provinsi Papua Tengah berdasarkan Undang-Undang tersebut batal dan pembentukaanya tidak terealisasi sampai saat ini. Penelitian ini bertujuan membahas faktor apa saja yang membatalkan kebijakan pembentukan DOB Provinsi Papua Tengah. Penelitian ini menggunakan Teknik purposive untuk menentukan informan yang kompeten terhadap permasalahan, kemudian dilakukan pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan dokumentasi yang berkaitan dengan permasalahan. Penulis mencari dan mengumpulkan fakta-fakta dan data. Kemudian Penulis hubungkan dan kaitkan dengan teori-teori yang ada pada kerangka teori. Selanjutnya dilihat apakah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan berkaitan dengan teori-teori dan pendapat para ahli. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang membatalkan pembentukan DOB Provinsi Papua Tengah yaitu proses pembuatan kebijakan tidak sesuai prosedur, kesalahan Penjabat Gubernur yang ditunjuk, pertentangan elit di Papua, pembentukan tidak melibatkan masyarakat dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 018/PUU-I/2003.

Kata Kunci: Otonomi Khusus, Papua Tengah, Pembentukan DOB, Timika ......The Central Government together with the House of Representatives of the Republic of Indonesia have ratified Law Number 45 of 1999 concerning the Establishment of Central Irian Jaya Province, West Irian Jaya Province, Paniai Regency, Mimika Regency, Puncak Jaya Regency, and Sorong City as the attention of the Central Government to resolve problems in the region. Papua region. However, the policy for the formation of the new autonomous regions of the Province of Central Papua based on the law was canceled and its formation has not been realized to date. This study aims to discuss what factors invalidate the policy of establishing new autonomous regions in the province of Central Papua. This study uses a purposive technique to determine competent informants to the problem, then collect data with in-depth interviews and documentation related to the problem. The writer searches for and collects facts and data. Then the author connects and relates it to the existing theories in the theoretical framework. Furthermore, it is seen whether it is in accordance with the provisions of the legislation and is related to the theories and opinions of existing experts. The results of this study indicate that the factors that canceled the formation of the new autonomous regions of Central Papua Province, namely the policy-making process that was not in accordance with the procedures, the mistakes of the appointed Governor, elite conflicts in Papua, the formation did not involve the community and the Constitutional Court Decision Number 018/PUU-I/2003.

Key words: Special Autonomy, Central Papua, Establishment of new autonomous regions, Timika

Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosita Candrakirana
Abstrak :
Disertasi ini membahas mengenai Kewenangan Pemerintahan Daerah Di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Pada Era Reformasi Di Indonesia. Permasalahan mengenai kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan ini muncul dengan adanya perubahan kewenangan yang terdapat dalam Pasal 27 dan 28 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan kewenangan tersebut berimplikasi terhadap  kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan yang diserahkan kepada pemerintah Provinsi untuk dikelola. Sehingga pemerintah kabupaten/kota hanya memilki sebagian kecil kewenangan dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh Pasal 18 UUD Negara RI 1945 terkait otonomi daerah. Dampak ini terlihat pada kewenangan dan kelembagaan pengelolaan oleh pemerintah daerah dengan provinsi di wilayah laut dan provinsi berciri Kepulauan. Penulisan ini menggunakan penelitian hukum normatif yang dilengkapi dengan data primer dan data sekunder yang dilakukan secara deskriptif kualitatif untuk menjawab pertanyaan mengenai : 1) bagaimanakah kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan di indonesia? 2) bagaimanakah pembagian kewenangan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota di bidang pengelolaan sumber daya perikanan dalam penyelenggaraan otonomi daerah pada era reformasi di indonesia? 3) bagaimanakah konsep kewenangan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota di bidang pengelolaan sumber daya perikanan dalam penyelenggaraan otonomi daerah di indonesia?. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan diperlukan peran kembali dari pemerintah kabupaten/kota dalam bentuk pemberian tugas pembantuan untuk melaksanakan tugas yang bersifat operasional dengan tujuan untuk mendekatkan pemerintah kepada masyakat yang berada di daerahnya (bringing the state closer to the people). Hal ini dapat diatur dalam peraturan pelaksana yang mengatur mengenai kewenangan provinsi di wilayah laut dan provinsi berciri kepulauan. Selanjutnya,diperlukan penguatan fungsi kelembagaan cabang dinas untuk melakukan tugas administrasi dan koordinasi dalam menjaga harmonisasi hubungan dengan pemerintah kabupaten/kota. Dalam optimalisasi peran masyarakat diperlukan adanya koperasi perikanan dan Program Community Based Coastal Resource Management (CB-CRM) khusus di bidang perikanan yang melibatkan masyarakat pesisir khususnya nelayan dan bekerja sama dengan pemerintah daerah, LSM, akademisi dan lembaga-lembaga penelitian This dissertation discusses the regional government authority on fishery resource management in the implementation of regional autonomy during the reform era in Indonesia. The issue of authority on fishery resource management has arisen from the change of authority stated in Articles 27 and 28 of Law Number 23 of 2014 Concerning Regional Government. The authority change has implications on the fishery resource management authority, which is handed over or delegated to the Regional (Provincial) Governments. As a result, the lower governments, city/regency governments, possess only a little portion of the fishery resource management authority. This contradicts the mandate contained in Chapter 18 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia regarding Regional Autonomy. The impacts of the change are shown in the fishery resource management authorities and institutions between the City/Regency Governments and the Regional Governments in marine areas and provinces characterized by islands. This study is normative legal research with primary and secondary data. It used a descriptive qualitative research method to answer the following questions: (1) how is the fishery resource management authority in Indonesia?; (2) how was the division of fishery resource management authority between the City/Regency Governments and the Regional Governments in the regional autonomy implementation during the reform era in Indonesia?; and 3) how is the concept of fishery resource management authority between the City/Regency Governments and the Regional Governments in the regional autonomy implementation during the reform era in Indonesia? The results of the research show that the role of the City/Regency Governments is essentially required through providing assistance tasks to execute operational tasks in an attempt to bring the state/the government (s) closer to the people. This can be included in the implementing regulations, which regulate the authority of the Regional Governments in marine areas and provinces characterized by islands. Furthermore, the institutional functions of regional branch offices to conduct administrative tasks and inter-coordination shall be strengthened to maintain the harmony of relations between the Regional Governments and the City/Regency Governments. In the community role optimization, fishery cooperatives and Community Based Coastal Resource Management (CB-CRM) programs, especially in the fishery sector that involves the coastal community, particularly fishermen, and cooperation with city/regency governments, non-governmental organizations, academicians, and research institutions are required.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasta Budiratna
Abstrak :
Indonesia telah  menerapkan  kebijakan  desentralisasi,  tidak  saja  yang  berlaku  umum untuk seluruh wilayah di Indonesia, tapi juga sudah mengadopsi desentralisasi asimetris, utamanya untuk wilayah-wilayah tertentu seperti Aceh, Papua, dan Papua Barat. Kebijakan desentralisasi asimetris ini, melimpahkan kewenangan yang lebih besar untuk fungsi tertentu kepada wilayah terkait, yang juga didukung melalui alokasi dana transfer Otonomi Khusus dari pemerintah pusat. Transfer Dana Otonomi Khusus ini telah berjalan belasan tahun dan akan segera berakhir pada 2022 (untuk Papua dan Papua Barat) dan 2028  (untuk  Aceh).  Transfer  Dana  Otonomi  Khusus  diantaranya  digunakan  untuk membiayai  program-program  pengentasan  kemiskinan  dan  pendidikan.  Kedua  hal tersebut merupakan dua indikator penting dalam capaian pembangunan daerah, terutama dikaitkan  dengan  kondisi  capaian  pembangunan  yang  relatif  belum  baik  apabila dibandingkang  daerah  lain  di  Indonesia.  Angka  kemiskinan,  secara  rata-rata  untuk periode 2015-2018, di ketiga daerah tersebut masih berada di atas rata-rata nasional, termasuk juga untuk partisipasi pendidikan khususnya di Papua dan Papua Barat. Oleh sebab itu, studi ini bertujuan untuk mengetahui besaran pengaruh Dana Otonomi Khusus terhadap angka kemiskinan dan Angka Partisipasi Murni jenjang pendidikan SMP di Aceh, Papua, dan Papua Barat. Menggunakan regresi data panel, studi ini mencakup 23 kabupaten/kota di Aceh dan 11 kabupaten/kota di Papua Barat  pada tahun 2013-2018. Sedangkan Papua dilakukan pada 29 kabupaten/kota tahun 2015-2018. Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa Dana Otonomi Khusus pada kabupaten/kota di Papua Barat secara signifikan berkorelasi dengan penurunan  angka kemiskinan, dan  peningkatan angka Partisipasi Murni jenjang SMP, namun studi ini belum menemukan korelasi yang cukup  kuat  untuk  konteks  Dana  Otonomi  Khusus  yang  diterima  kabupaten/kota di Papua dan Aceh.


Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shendy Ristandi
Abstrak :
ABSTRACT
Power relations yang sistemik menyebabkan pemaknaan anak children dan terhadap masa kanak-kanak childhood sebagai kelompok masyarakat hanya dilihat sebagai kelompok rentan. Implikasinya adalah perdebatan tentang pendefinisian anak itu sendiri, masalah representasi, dan praktik pemenuhan hak anak. Definisi anak dalam Convention on the Right of the Child 1989 merupakan definisi yang dangkal, padahal masa kanak-kanak lebih kompleks daripada sekadar itu. Dengan memetakan literatur kritis terhadap wacana anak dalam hubungan internasional, Tugas Karya Akhir ini mencoba melihat bagaimana diskursus power relations dalam sistem internasional memaknai anak. Tulisan ini bertujuan untuk melihat kesenjangan yang dirasakan dalam literatur yang ada dalam memaknai status dan identitas anak. Pada kesimpulannya, anak dalam hubungan internasional merupakan isu yang masih dikontestasikan secara politik dan sosial. Keberpihakan aktor internasional menjadi kuncinya. Diantara mereka, akademisi dan NGOs yang memiliki potensi besar terhadap pemberdayaan anak dalam hubungan internasional.
ABSTRACT
The systemic power relations cause meaning of children and childhood as a community group that considered only as a vulnerable group. The implications shows the debates on defining the child it self, the issue of representation, and the practice of the fulfillment of the right of the child. The definition gives by the 1989 Convention on the Rights of the Child is a supercial understanding, whereas the children and the childhood are more complex. By mapping the literature on children rsquo s discourse in International Relations, these final paper have to looked at how power relations of discourse in the international system positioning the children and childhood. This paper aims to see where is in the literature gap that exists in interpreting the status and identity of children. In conclusion, international actors are the key. They are scholar and NGOs who could be potentially place children as empowered groups.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library