Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sanri Pramahdi
Abstrak :
Asma merupakan penyakit intiamasi kronik saluran napas, gejala umumnya sangat bervariasi dan dapat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Pada dekade terakhir ini prevalensi asma meningkat bahkan di beberapa negara dilaporkan telah terjadi kenaikan prevalensi morbiditi dan mortaliti penderita asma. Hal ini diduga karena keterlambatan diagnosis dan pemberian terapi yang kurang adekuat. Kematian karena asma di Amerika Serikat tahun 1988 adalah 1,9/100.000 penduduk terutama lebih tinggi pada usia < 45 tahun, tahun 1979 di Kolombia angka kematian 2,06/100.000 dan menurun tahun 1994 menjadi 1,61/100.000. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia tahun 1992 menyimpulkan bahwa asma, bronkitis dan emfisema merupakan urutan ke 7 penyebab kematian atau 5,6% dari total kematian. Data di RS. Persahabatan tahun 1993-1997 mendapatkan 10 kematian yang dihubungkan dengan asma, 9 diantaranya disertai komplikasi seperti pneumonia, gagal jantung, gagal ginjal dan tumor paru. Peniiaian dan penanganan yang adekuat merupakan kunci pokok yang menentukan apakah seorang pasien dapat teratasi serangannya, berlanjut atau harus dirawat di rumah sakit. Beberapa pasien saat serangan dapat terancam jiwanya bahkan tidak dapat tertolong. Penderita yang berisiko tinggi mengalami kematian adalah penderita yang datang dengan serangan berat, penyakit asmanya jarang dikontrol, respons sebagian atau tidak respons terhadap pengobatan, keterlambatan penggunaan steroid dan keterlambatan penilaian berat serangan baik oleh dokter atau penderita. Menurut konsensus intemasional tahun 1992 dianjurkan 6 Iangkah dalam penanganan dan penatalaksanaan asma yaitu: 1. Partisipasi pasien dalam pengelolaan asma 2. Dapat dinilai perburukan penyakit dengan peak flow meter 3. Mengenal faktor-faktor pencetus serangan 4. Penggunaan obat-obatan 5. Penanganan serangan 6. Kontrol teratur. Dalam penanganan serangan asma akut, agonis 132 merupakan terapi pilihan utama baik pada serangan ringan, sedang dan berat. Peranan antikolinergik dalam penatalaksanaan asma akut tergantung berat ringan serangan. Pada asma akut berat pemberian agonis 132 dianjurkan ditambah dengan antikolinergik, pada asma akut sedang pemberian kombinasi ini masih kontroversi, beberapa peneliti mengatakan pemberian kombinasi ini memberikan perbaikan yang berbeda bermakna dan sebagian lagi mengatakan tidak terdapat perbedaan bermakna dalam pemberian kombinasi ini sedangkan pada asma akut ringan pemberian kombinasi ini disebutkan tidak bermanfaat. Seperti kita ketahui antikolinergik seperti ipratropium bromida mempunyai efek bronkodilator meskipun tidak sekuat dan secepat respons pemberian agonis 132, kelebihannya adalah mempunyai masa kerja yang lama. Kecenderungan meningkatnya angka morbid iii dan mortatiti asma merupakan permasalahan tersendiri. Salah satu yang diduga menyebabkan meningkatnya angka tersebut adalah keterlambatan diagnosis dan penanganan yang tidak adekuat di gawat darurat. Penanganan asma di gawat darurat disesuaikan dengan derajat berat serangan. Penggunaan antikolinergik dengan agonis 132 hanya diindikasikan pada serangan asma berat, sementara untuk serangan sedang dan ringan tidak diberikan antikolinergik, walau pada beberapa kepustakaan lain menuliskan manfaat antikolinergik tersebut.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T58454
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Alamsyah
Abstrak :
Tujuan : Mengetahui pengaruh latihan pernapasan diafragma diikuti atau tanpa latihan sepeda statik terhadap tingkat kebugaran pasien asma persisten sedang. Disain : Uji klinis paralel membandingkan dua perlakuan kelompok kasus diberikan latihan pernapasan diafragma (LPD) diikuti latihan sepeda statik, sedangkan kelompok kontrol hanya diberikan LPD saja. Tempat : Departemen Rehabilitasi Medik FKUI Perjan RSCM Jakarta. Subyek : 57 pasien asrija persisten sedang dari Poli AIergi-Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI - Perjan RSCM Intervensi : Antara bulan Januari 2005 sampai dengan Maret 2005. Empat puluh dua pasien asma persisten sedang yang masuk dalam !criteria inkiusi dibagi dalam dua kelompok (kasus dan kontrol). Melakukan LPD tiga kali seminggu dengan latihan atau tanpa latihan erobik disertai pengawasan selama enam minggu. Hasil peningkatan VO2maks antara kedua kelompok dibandingkan pada akhir penelitian. Hasil : Hasil penelitian selama enam minggu menemukan adanya peningkatan VO2maks yang bermakna (p <0,01) baik pada kelompok kasus dan kelompok kontrol. Demikian juga dijumpai perbedaan yang bermakna (0,0218) pada selisih kenaikan VO2maks pada kedua kelompok. Kesimpulan : Latihan pernapasan diafragma diikuti latihan erobik meningkatkan kebugaran fisik pasien asma persisten sedang lebih baik dibandingkan hanya diberikan LPD saja.
Objective : To know the influence diaphragm breathing exercise with or without ergometer cycle exercise toward level of physical fitness of moderate asthma persistent patient. Design : Paralel clinical test compare two interventions. Case group is given diaphragm breathing exercise with ergometer while control group is given diaphragm breathing exercise only. Setting : Department of Medical Rehabilitation FMITI Jakarta. Subject : 57 patient of moderate asthma persistent from Allergic-Immunologic Department of Internist FMUI - Cipto Mangunkusumo Hospital. Intervention : Between January 2005 up to March 2005. 42 moderate asthma persistent patients which fulfill the condition are divided into two groups (case and control). Perform diaphragm breathing exercise with or without ergometer cycle exercise with supervision for six weeks. The result of V02max increment is compare at the end of the research. Result : In the result of research for six weeks we find V02max significant increment (p <0.01) in two groups. We also find V02max significant (p <0.0218) increment in different increment in two groups. Conclusion : Diaphragm breathing exercise with ergometer cycle exercise increase the level of physical of fitness moderate asthma persistent patient is better than diaphragm breathing exercise only.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58468
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Frits Gosana
Abstrak :
Penelitian dilakukan terhadap 38 penderita asma (laki-laki dan perempuan) yang dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok kasus terdini dari 19 orang (14 orang laki-laki dan 5 orang perempuan), umur rata-rata 52,5 t 12.5 tahun, tinggi badan rata-rata 160.5t 10.5 cm Kelompok kontrol terdiri dari 19 orang (15 orang laki-laki dan 4 orang perempuan), umur rata rata 48,5 ±8,5 tahun., tinggi badan rata-rata 160± 10 cm. Selama 12 minggu kedua kelompok mendapat perlakukan sebagai berikut. Kelompok kasus melakukan senam asma dua kali perminggu dan mendapat terapi obat (ila perlu). sedangkan kelompok kontrol tidak melakukan senam asma hanya diberikan terapi obat (bila perlu). Gejala klinis (batuk, mengi, sesak napas, terbangun karena asma malam hari), jumlah pemakaian obat dan nilai APE (Arus Puncak Ekspirasi) sebelum dan sesudah penelitian diperiksa dan dibandingkan antara kedua kelompok. Pada kelompok kasus sesudah penelitian didapatkan perbaikan gejala klinis, jumlah pemakaian obat dan nilai APE yang bermakna (p < 0,01). Pada kelompok kontrol sesudah penelitian juga didapatkan perbaikan gejala klinis dan nilai APE yang bermakna (p <0,01), tetapi penurunan jumlah pemakaian obat tidak bermakna (p > 0,01). Jika diandingkan antara kedua kelompok sebelum penelitian tidak berbeda bermakna (p > 0,05), sedangkan sesudah penelitain gejala klinis dan jumlah pemakaian obat berbeda bermakna (p< 0,05), tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna perbaikan nilai APE antara kedua kelompok (p> 0,05).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57288
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Fransius
Abstrak :
Terapi penyakit asma dengan inhaled corticosteroid (ICS) dosis tinggi yang berjangka panjang berpotensi menimbulkan efek samping. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah menggunakan senyawa turunan tumbuhan sebagai alternatif. Fisetin merupakan senyawa flavonoid yang menunjukkan berbagai efek farmakologis. Hambatan utama keberhasilan terapi dengan fisetin adalah bioavailabilitas yang rendah dan lipofilisitas yang tinggi. Beberapa pendekatan digunakan untuk meningkatkan bioavailabilitas obat dengan lipofilisitas tinggi, yaitu menggabungkan obat ke dalam matriks lipid. Solid lipid microparticles (SLM) adalah metode mikroenkapsulasi obat ke dalam lipid yang memungkinkan pelepasan obat terkendali, peningkatkan stabilitas obat, dan tetap aman bagi tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi solid lipid microparticle fisetin dry powder inhalation fisetin berbasis lipid Glyceryl tristearate serta surfaktan Poloxamer 188 dan Tween 80 sebagai obat terapi inhalasi penyakit asma. Pada penelitian ini, peneliti telah mengamati variasi kandungan obat, konsentrasi surfaktan, dan kecepatan putar. Serbuk inhalasi menghasilkan ukuran 1,2 – 4 µm dan menunjukkan 34% antiinflamasi pada konsentrasi 1.000 ppm. Selain itu, persentase yield formulasi berada dalam rentang 81 – 96%, drug loading 2 – 5%, dan entrapment efficiency 82 – 87%. Profil pelepasan menunjukkan sistem pelepasan sustained release. Formulasi yang terbaik adalah FIS6 dengan variasi kandungan obat, surfaktan, dan kecepatan putar paling tinggi. ......Long-term high-dose inhaled corticosteroid (ICS) for asthma therapy has the potential to cause side effects. One approach that can be taken is to use plant-derived compounds as an alternative. Fisetin is a flavonoid compound that exhibits various pharmacological effects. The main obstacle to successful therapy with fisetin is its low bioavailability and high lipophilicity. Several approaches are used to increase the bioavailability of drugs with high lipophilicity is to incorporate the drug into the lipid matrix. Solid lipid microparticles (SLM) is a method of microencapsulating drugs into lipids that allows the drug to be released slowly, improves drug stability, and remains safe for the body. This study has obtained a fisetin SLM formulation as dry powder inhalation with Glyceryl Tristearate as lipid as well as Poloxamer 188 and Tween 80 as the surfactants. The dry powder inhalation is in the form of inhaled therapy drugs for asthma. This study also observes variations in drug content, surfactant concentration, and rotational speed. The inhalation powder has a particle size ranged 1,2 – 4 µm and showed 34% anti-inflammatory at a concentration of 1,000 ppm. In addition, the yield is in the range of 81 – 96%, drug loading is 2 – 5%, and entrapment efficiency is 82 – 87%. The winning profile shows the sustain release pulmonary drug delivery profile. The best formulation is FIS6 with the highest variation of drug, surfactant, and rotational speed.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Penelitian kegunaan makrolid pada asma eksaserbasi menunjukkan bahwa di samping memiliki efek antimikroba, makrolid juga memiliki aktivitas sebagai imunomodulator. Penelitian ini bersifat kuasi-eksperimental untuk menilai efek klaritromisin yang diberikan secara intravena dilanjutkan terapi oral klaritromisin pada 37 pasien asma eksaserbasi akut yang disebabkan infeksi saluran napas selama periode Januari sampai dengan Desember 2005. Pasien asma akut ringan dan sedang yang memenuhi kriteria diberikan klaritromisin intravena 2 x 500 mg selama maksimal 5 hari dilanjutkan klaritromisin oral 2 x 500 mg selama 7 hari. Dilakukan evaluasi perbaikan klinis sesuai skor serangan asma, dan arus puncak ekspirasi (APE). Sesudah 10 hari, hasil pengobatan menunjukkan perbaikan signifikan perbaikan skor serangan asma dan APE pagi dan sore sebelum dan sesudah pengobatan pada 35 subjek yang diteliti, sedangkan hari sulih didapatkan kurang dari 3 hari pada 21 subjek dan 3-5 hari pada 14 subjek. Kuman yang paling banyak ditemukan adalah golongan S. β-haemolyticus dan Streptococcus sp. Disimpulkan bahwa pengobatan dengan klaritromisin intravena yang dilanjutkan secara oral dapat memberikan perbaikan gejala klinis dan nilai APE pada eksaserbasi asma akibat infeksi saluran napas.
Abstract
n addition to its antimicrobial activity, macrolides have an immunomodulatory effect that may be beneficial to patients with asthma. This quasi-experimental study aimed to determine the effect of intravenous clarithromycin followed by oral administration in 37 patients with acute exacerbations asthma caused by respiratory tract infection during January - December 2005. Patients with mild to moderate exacerbations of asthma with respiratory tract infection meeting the inclusion and exclusion criteria were given intravenous clarithromycin 2 x 500 mg/day for not more than 5 days and followed by oral clarithromycin 2 x 500 mg/day for 7 days. Outcome variables were improvement of clinical symptoms according to the asthma exacerbation score and peak expiratory flow rate (PEFR). After 10 days, treatment resulted significant improvement in total asthma exacerbation score and morning PEFR in 35 patients enrolled this project. Based on clinical improvement and laboratory findings, the number of days required for intravenous clarithromycin was less then 3 days for 21 subjects, 3-5 days in 14 subjects. The most common causative pathogens were S. β-haemolyticus and Streptococcus sp. It was concluded that clarithromycin improved clinical symptoms and PEFR in exacerbation of asthma caused by respiratory tract infection.
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2007
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Rogayah
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh penyuluhan dan Senam Asma edonesia terhadap pengetahuan, sikap, perilaku dan gejala klinik penderit asma. Jumlah subiek penelitian ini sebanyak 40 orang yang terdiri dari 20 orang kelompok kasus dan 20 orang kelompok kontrol. Penderita berusia 15-55 tahun dengan umur rata-rata pada kelompok kasus 46 ±11,71 tahun dan kelompok kontrol 37 ±8,99 tahun. Pada kelompok kasus penderita mengikuti penyuluhan dan melakukan Senam Asma Indonenesia 77,3% selama 6 bulan, sedangkan kelompok kontrol adalah penderita yang tidak mengikuti penyuluhan dan Senam Asma Indonesia. Dari penelitian didapatkan pada kelompok kasus peningkatan pengetahuan 12,5%, sikap 53,9% dan perilaku 53,5% sedangkan pada kelompok kontrol peningkatan pengetahuan 5,6%, sikap 9,1% dan tidak ada perubahan terhadap perilaku. Pada kelompok kasus terdapat penurunan skor gejala klinik yaitu jumlah batuk 71,33%, gangguan tidur 75,4%, gangguan aktivitas 80,5%, napas berbunyi 84,6%. Pada kelompok kontrol terdapat penurunan skor gejala klinik yaitu jumlah batuk 43,6% gangguan tidur 40,9%, gangguan aktivitas 35,8% dan napas berbunyi 40,6%. Peningkatan faal paru KVP,VEP dan APE pada kelompok kasus yaitu KVP dari 1733 ± 231,06 ml menjadi 1842 ± 300,03 ml, VEP dari 1349,5 ± 169,94 ml menjadi 1469,2 ± 190,19 ml dan APE dari 325,9 ± 45,89 Vmnt menjadi 352,6 ± 64,73 l/mnt. Peningkatan faal paru KVP, VEP, dan APE pada kelompok kontrol yaitu KVP dari 1762 ± 307,59 ml menjadi 1840 ± 332,79 ml, VEP, dari 1389,5 ± 214,36 ml menjadi 1482 ± 252,59 ml dan APE dari 323,65 ± 53.51 V/mnt menjadi 348,5 ± 58,23 l/mnt.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57312
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariadna Chitrarasmi Maharani
Abstrak :
Penyakit pernapasan kronis menjadi salah satu penyakit tidak menular yang paling umum di seluruh dunia. Asma merupakan salah satu penyakit pernapasan kronis yang banyak diderita oleh masyarakat. Penyakit ini seringkali dikaitkan dengan beban yang besar. Asma yang tidak terkontrol berhubungan dengan peningkatan pengeluaran, peningkatan utilisasi pelayanan kesehatan dan penurunan produktivitas. Kondisi penyakit asma yang kronis memerlukan peranan pasien dalam pengendalian penyakit. Hal tersebut dapat dimungkinkan melalui adanya self-management. Perkembangan teknologi di masa kini dapat dimanfaatkan melalui penggunaan mHealth untuk mendukung penerapan self-management asma. Penelitian ini menggunakan metode literature review. Pencarian studi dilakukan dengan menggunakan online database yaitu PMC, ScienceDirect, dan LinkSpringer. Terdapat 13 studi yang termasuk ke dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 11 studi menghasilkan perubahan positif yang signifikan dalam pengendalian asma yang dapat diketahui melalui asthma control, kualitas hidup, penggunaan SABA, symptom free days, dan CACG symptom benchmark. Selain itu, terdapat 4 studi yang menghasilkan perubahan positif dalam meningkatkan kepatuhan mengonsumsi obat. Sehingga, dapat dikatakan bahwa penggunaan mHealth efektif dalam penerapan self-management asma. ......Chronic respiratory diseases are becoming one of the most common non-communicable diseases worldwide. Asthma is one of the chronic respiratory diseases that many people suffer from. This disease is often associated with a large burden. Uncontrolled asthma is associated with increased spending, increased utilization of health services and decreased productivity. Chronic asthma conditions require the patient's role in Disease Control. This can possible through self-management. Technological developments in the present can be utilized through the use of mHealth to support the implementation of asthma self-management. This study uses the literature review method. Study searches were conducted using online databases namely PMC, ScienceDirect, and LinkSpringer. There are 13 studies included in this study. The results of this study showed that a total of 11 studies resulted in significant positive changes in asthma control that can be known through asthma control, quality of life, use of SABA, symptom free days, and CACG symptom benchmark. In addition, there are 4 studies that produce positive changes in improving adherence to asthma medication. Thus, it can be said that the use of mHealth is effective in the application of asthma self-management.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Darmawan
Abstrak :
Latar belakang: Asma merupakan penyakit ditandai peradangan saluran napas kronik. Satu dari tiga kasus tidak memberikan respon adekuat. Modalitas alternatif terapi  asma adalah magnesium inhalasi. Inhalasi magnesium memiliki efek samping sistemik minimal. Oleh karena itu, peran magnesium inhalasi perlu diteliti lebih lan Tujuan: Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan keamanan pemberian magnesium inhalasi pada pasien dewasa mengalami  asma akut. Metode: Penelusuran literatur dilakukan dua peneliti independen melalui: PubMed/ MEDLINE, Google Scholar, ProQuest, dan Cochrane dengan kata kunci “magnesium inhalasi” dan “serangan asma” dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pencarian manual dan snowballing dilakukan di portal data nasional. Studi yang dimasukkan adalah uji acak terkontrol mengenai perbandingan magnesium inhalasi dengan terapi standar pada serangan asma akut. Penilaian efektivitas berdasarkan parameter readmisi, tanda vital, perbaikan klinis, serta fungsi paru, sedangkan keamanan berdasarkan parameter efek samping. Protokol telaah sistematis didaftarkan pada PROSPERO. Hasil: Lima artikel diikutsertakan dalam telaah sistematis. Dua artikel diikut-sertakan menilai aspek  readmisi. Tiga studi  menilai hubungan magnesium terhadap tanda vital pasien. Dua studi menilai tingkat keparahan penyakit dan perbaikan klinis. Studi menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna pemberian magnesium inhalasi pada aspek readmisi pasien (RR 1; IK 95% 0.92 - 1,08; p= 0,96), dan saturasi oksigen (MD  1,82; IK 95%: -0.89 - 4.53; p= 0.19). Ada penurunan bermakna laju napas pasien  (MD -1,72; IK 95% -3,1 -0.35; p= 0.01), dan perbaikan gejala pada pasien  (RR 0.29; IK95% 0.18 - 0.47; p <0.001). Ada peningkatan bermakna efek samping pasien magnesium inhalasi (HR 1.56; IK 95% 1.05 – 2.32; p= 0.32). Efek samping relatif ringan  berupa hipotensi dan rasa mual.  Kesimpulan: Magnesium inhalasi memperbaiki  klinis pasien asma terutama gejala, laju napas, dan fungsi paru.  Magnesium inhalasi dikatakan aman jika diberikan pada pasien, namun hati-hati penggunaan pada pasien hipotensi. ......Background:  Asthma is a disease characterized by chronic airway inflammation. Asthma occurs to many people worldwide. One third of asthmatic case did not respond adequately to standard therapy (Short Acting Beta Agonist, Anticholinergic, Corticosteroid). One of alternative treatment of asthma is inhaled magnesium.  Theoretically, inhaled magnesium is thought to have less systemic side effect and could act directly to respiratory tract. However, the role of inhaled magnesium therapy is not established yet. Objective: This review is made to evaluate the effectiveness and safety of nebulized magnesium in adult with acute asthma attack. Methods: Literature search was conducted by two independent investigators through online databases: PubMed/MEDLINE, Cochrane, ProQuest, and Google scholar using the keywords “inhaled magnesium” and “asthma” in English and Indonesian. Manual searches and snowballing were carried out through national data portals and medical faculty e-libraries. Journal articles included in this study are randomized controlled trials that observed inhaled magnesium in adult with acute asthma attack. All the protocol of this systematic review has been registered in PROSPERO. Result: There are five articles included in this review. Two of them evaluate the effect of magnesium in term of readmission, three of the studies measures effect of magnesium in vital sign, and two of them evaluate the effect of magnesium in term of severity of asthma There is no significant difference in readmission rate and oxygen saturation in magnesium group compared to control (RR 1; 95% CI 0.92 to 1,08; p= 0,96 and MD 1,82; 95% CI -0.89 to 4.53; p= 0.19, respectively). There is significant reduction of respiratory rate and clinical severity in magnesium (MD -1,72; 95% CI   -3,1 to 0.35; p= 0.01, RR 0.29; 95% CI 0.18 to 0.47; p <0.001, respectively). There was a higher risk of side effect in magnesium group (HR 1.56; 95%CI 1.05 to 2.32; p= 0.03). However, the side effect is relatively mild such as hypotension and nausea. Conclusion: Inhaled magnesium improves clinical outcome for patient with asthma attack especially lung function, improvement of clinical outcome, and lung function. Moreover, Inhaled magnesium is considered safe to be given to asthmatic patient. However, the inhaled magnesium is given with caution in patient with hypotension.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gershwin, M. Eric, editor
Abstrak :
Bronchial asthma : a guide for practical understanding and treatment, sixth edition, is a fully updated version of a widely respected classic on the diagnosis and management of asthma. Discussing the disorder in all relevant patient groups, including a variety of patient subpopulations, this invaluable title continues to emphasize the definition, medications, and practical use of asthma treatment plans. Importantly, this comprehensive reference also discusses the common side effects found in the full range of medications used for asthma treatment.
New York: Springer Science, 2011
e20420738
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Isnainy Soengkono
Abstrak :
ABSTRAK
Asthma is a common chronic inflammatory condition of the lung airways whose cause is incompletely understood. A variety of disorders can result in asthma. The most common is an inheritet immunologic abnormality that allows inhalet antigens (allergens) to trigger a hypersensitivy response mediated by immunoglobulin E (Ig F) and thus produce bronchial narrowing. The circumstances leading to an episode of asthma should be analyzed to identify possible precipitating factors. In oral infection focus may be important in precipitating attacks. Asthma medications can contibute to xerostomia making individuals who use medications more susceptible to caries and periodontal disease. The goal of the dental management of the patient asthma is to avoid precipitating an acute attack. Report of case: Oral treatment for an elamination of the causes of infection focus for girls at 11 years old.
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>