Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 60 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Matondang, June C
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1991
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Octaviani Indrasari Ranakusuma
Abstrak :
Studi ini bertujuan untuk melihat perbedaan pengaruh faktor individual dan faktor sosial terhadap rasa kesepian yang dialami oleh praremaja dan remaja korban peer victimization. Faktor individual terdiri dari set esteem dan temperamen. Empat faktor temperamen yang diukur dalam studi ini adalah surgency, effortful control, afliativeness dan negative affectivity. Faktor sosial terdiri dan penerimaan teman sebaya, kualitas persahabatan yang dimiliki, dan pola asuh orangtua. Subyek yang berpartisipasi dalam studi ini adalah murid kelas lima Sekolah Dasar dan kelas sembilan atau setara dengan kelas 3 Sekolah Menengah Pertama, yang menurut penilaian kelompok sebayanya mengalami viktimisasi atau kekerasan di lingkungan sekolah. Analisa dengan menggunakan ree-resi memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh kedua faktor individual dan sosial pada praremaja dan remaja korban viktimisasi. Self-esteem yang termasuk faktor individual merupakan satu-satunya variabel yang mempengaruhi rasa kesepian pada praremaja. Analisa lebih lanjut pada kelompok praremaja memperlihatkan peran self-esteem sebagai mediator antara dua faktor dari temperamen yaitu of ortful control dan aitiativeness dengan rasa kesepian. Tidak terlihatnya pengaruh pola asuh orangtua terhadap rasa kesepian diuraikan berdasarkan sudut pandang statitistik pada bagian diskusi. Sumbangan variabel yang minimal (9%) terhadap variabilitas rasa kesepian pada praremaja mengindikasikan bahwa terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi rasa kesepian pada kelompok yang tidak diperhitungkan dalam studi. Pada remaja korban viktirnisasi, surgency pada temperamen yang merupakan faktor individual, serta pain asuh yang welas asih (nurturing), dan kualitas persahabatan yang merupakan faktor sosial mempengaruhi secara negatif rasa kesepian. Dapat dikatakan remaja dengan faktor surgency yang tinggi, memiliki hubungan persahabatan yang memuaskan dirinya, serta memiliki orangtua yang welas asih, melaporkan rasa kesepian yang rendah walaupun is mengalami viktimisasi oleh kelompok sebayanya. Kualitas persahabatan yang memuaskan dimiliki oleh remaja yang memiliki negative affectivity yang rendah serta memiliki orangtua yang tidak punitif dalam berinteraksi dengan anak. Walaupun terdapat perbedaan pengaruh faktor individual dan faktor sosial terhadap rasa kesepian antara kelompok remaja dan praremaja korban viktimisasi, namun analisa yang dilakukan secara bersamaan terhadap kedua kelompok ini memperlihatkan bahwa rasa kesepian hanya dialami oleh mereka yang merasakan dirinya sebagai korban (self-report victimization). Penilaian kelompok sebaya bahwa individu menjadi korban viktimisasi tidak mempengaruhi timbulnya rasa kesepian pada kedua kelompok Hasil yang diperoleh dart studi ini mengindikasikan bahwa diperlukan programprogram pendidikan dan pelatihan untuk orangtua danl atau pendidik yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan (parenting skill) dan kesadaran (awareness) pentingnya pengaruh pola pengasuhan yang welas asih dari orangtua kepada anak terhadap kesejahteraan mental (psychological well-being) remaja yang akan menginjak masa dewasa. Dengan dukungan yang diperoleh dart orangtua dan sahabat, remaja tidak mengalami kesepian walaupun is mengalami viktimisasi.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanira
Abstrak :
ABSTRAK
Hubungan akrab dengan orang lain merupakan kebutuhan mutlak untuk hampir setiap individu. Hubungan akrab merupakan sarana individu untuk berbagi rasa, mengenal diri lebih mendalam dan juga sebagai tempat meminta bantuan di kala membutuhkannya. Tidak dimilikinya hubungan yang akrab tersebut merupakan pencetus timbulnya perasaan kesepian dengan sejumlah akibat buruknya.

Tuntutan untuk memiliki hubungan akrab dengan orang lain ternyata merupakan salah satu tugas penting bagi mereka yang berada di masa dewasa awal. Keadaan di masa tersebut menyebabkan dibutuhkannya hubungan khusus dengan orang lain terutama dengan pasangan atau lawan jenis sebagai tempat berbagi dan juga sebagai persiapan mereka untuk tuntutan selanjutnya yaitu membentuk keluarga. Namun tidak semua dewasa awal memiliki hubungan seperti itu. Mereka tidak ?memiliki' orang lain yang akrab dengan dirinya, yang dapat diajak berbincang dan berbagi dalam banyak hal. Keadaan ini merupakan keadaan yang tidak menyenangkan dan seperti telah dijelaskan sebelumnya, merupakan penyebab timbulnya perasaan kesepian.

Namun, untuk mendapatkan suatu hubungan yang berkualitas seperti itu, diperlukan proses dan usaha tertentu. Individu perlu saling mengungkapkan dirinya masing-masing secara jujur. Memberikan informasi yang sifatnya pribadi dan mengungkapkan diri kepada orang lain merupakan perilaku yang memiliki konsekuensi negatif. Akibat negatif yang mungkin timbul antara lain tidak ditanggapinya pengungkapan diri yang telah dilakukan maupun penyalahgunaan informasi yang telah diberikan melalui pengungkapan diri tersebut untuk tetap dapat melakukan hal itu walaupun terdapat kemungkinan adanya konsekuensi yang merugikan, individu harus memiliki rasa percaya terhadap orang lain. Rasa percaya membuat individu berkeyakinan bahwa orang lain merupakan orang yang baik dan pengungkapan diri yang ia lakukan tidak akan berefek negatif. Perkembangan menuju suatu hubungan yang akrab terjadi melalui proses keterbukaan diri yang dilandaskan rasa percaya tersebut. Dengan berkembangnya hubungan tersebut, diharapkan individu tidak mudah terserang kesepian.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka timbul pertanyaan apakah perasaan kesepian memiliki kaitan dengan rasa percaya terhadap orang lain. Penelitian yang dilakukan untuk menjawab permasalahan ini menggunakan sampel dewasa awal yang tidak memiliki pasangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara perasaan kesepian dengan rasa percaya pada orang lain. Semakin tinggi perasaan kesepian yang dialami, semakin rendahlah rasa percayanya pada orang lain. Sebaliknya bila perasaan kesepiannya rendah maka ia memiliki rasa percaya yang tinggi pada orang lain.

Dari hasil penelitian tersebut, maka saran yang dapat diberikan untuk mereka yang mengalami kesepian adalah agar mereka memperluas lingkup pergaulannya dengan ikut serta dalam berbagai kegiatan. Cara lainnya adalah melalui pelatihan tentang bagaimana meningkatkan rasa percaya dan mengungkapkan diri kepada orang lain dengan tingkatan yang sesuai sehingga timbul peluang untuk mengembangkan hubungan ke arah yang lebih akrab. Namun, untuk dapat mengetahui secara lebih tepat kaitan kedua hal tersebut maupun manfaat saran di atas, sebaiknya diadakan penelitian lain yang lebih baik.
1997
S2295
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febiani L. Samatha
2001
S2799
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wike Warzukni
Abstrak :
ABSTRAK
Sejak tahun 1964 sistem kepenjaraan di Indonesia digantikan dengan sistem pemasyarakatan Harsono, 1995). Walaupun upaya-upaya untuk memanusiawikan penjara telah diusahakan dalam sistem pemasyarakatan, ternyata hukuman pidana penjara masih menimbulkan dampak negatif bagi narapidana (napi), diantaranya kesepian. Kesepian merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan, yang muncul akibat berkurangnya hubungan sosial, baik secara kualitas maupun kuantitas (Peplau & Perlman, 1982). Ada pendapat yang mengatakan bahwa walaupun kesepian merupakan hal yang tidak menyenangkan, tetapi dapat membawa konsekuensi positif (Moustakas, 1972). Skripsi ini bertujuan untuk meneliti kesepian pada napi wanita, yaitu hal yang menyebabkan kesepian, perwujudan kesepian, coping terhadap kesepian, serta jenis kesepian yang dialami oleh napi wanita. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena kesepian merupakan hal yang subyektif. Pengambilan data pada empat orang napi wanita dilakukan dengan wawancara, serta observasi terhadap subyek dan tempat pada saat wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pemicu kesepian pada napi wanita adalah perpisahan dengan keluarga, terutama dengan anak dan ibu. Faktor predisposisi situasional yaitu jarang dikunjungi dan predisposisi personal yaitu tidak memiliki teman untuk berbagi selama di LP, ikut menyebabkan napi wanita tetap berada dalam kesepian. Pada waktu merasa kesepian umumnya subyek merasa sedih dan tegang, menurun motivasi untuk berinteraksi, dan ada yang susah berkonsentrasi pada apa yang dilakukan. Sedangkan cara coping yang dilakukan terhadap kesepian, napi wanita cenderung memilih kegiatan yang dapat dinikmati sendiri. Walaupun napi wanita juga mengalami kesepian sosial karena jauh dari teman-temannya, tetapi yang dominan terdapat pada napi wanita adalah kesepian emosional, yang disebabkan oleh jauhnya mereka dari orang-orang yang disayanginya, dan juga tidak ada teman berbagi selama di LP. Sebagai penutup, peneliti menyarankan agar pihak LP menyediakan psikolog atau konselor, dan agar petugas LP diberikan pelatihan psikologi. Dengan ini diharapkan dapat menjadi sumber dukungan sosial tersendiri bagi napi dalam menghadapi kesepian. Selain itu juga disarankan agar dibuat semacam program pengembangan diri bagi para napi, yang bertujuan untuk meningkatkan konsekuensi positif dari kesepian. Peneliti juga menyarankan agar pada penelitian selanjutnya, digunakan pedoman wawancara yang lebih baik dan memakai subyek dalam jumlah yang besar, sehingga hasilnya dapat digeneralisasi.
2001
S3044
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yastrianne Febriselvada
Abstrak :
ABSTRAK
Masa remaja merupakan masa untuk bertumbuh kembang (grow up), untuk bergerak dari ketidakmatangan masa kanak-kanak ke kematangan masa dewasa, dan untuk mempersiapkan masa depan (Larson dalam Steinberg, 2002). Transisi ini membuat remaja mengalami konflik Identity Crisis versus Identity Confusion (Erikson dalam Papalia, Olds, & Fsldman, 2001). Pencarian identitas pada remaja merupakan salah satu penyebab remaja mengalami derita loneliness (Mijuskovic dalam Rice, 1990). Satu hal yang memicu kemunculan loneliness adalah karakteristik personal (Peplau & Perlman, 1982). Ipdividu yang menderita loneliness dikatakan sebagai pemalu, introvert, kurang mau mengambil resiko sosial, dan kurang memiliki keahlian sosial (Peplau & Perlman, 1982). Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara loneliness dan komponen tipe kepribadian pada remaja akhir. Komponen tipe kepribadian yang dibahas dalam penelitian ini berdasarkan kerangka teori dari Cari Gustav Jung dan Isabel Briggs- Mycs & Katharine Briggs. Teori-teori yang dijadikan dasar penelitian adalah teori remaja, teori loneliness, dan teori kepribadian Jung serta Myers dan Briggs. Selain itu dibahas pula mengenai hubungan remaja dengan loneliness dan hubungan tipe kepribadian dengan loneliness. Subjek penelitian adalah mahasiswa perguruan tinggi tingkat pertama yang saat penelitian dilakukan merupakan angkatan 2003. Usia subjek ditetapkan antara 18 tahun hingga 20 tahun sesuai dengan rentang usia kelompok remaja akhir. Subjek beijumlah 103 orang dan berasal dari berbagai fakultas pada Universitas Indonesia, Universitas Gunadarma, dan Universitas Pancasila. Penelitian ini menggunakan dua macam alat ukur sebagai alat pengumpul data, yaitu Inventori Tipe Kepribadian yang merupakan adapatasi dari Myers-Briggs Type Indicator Form M Self-Scorable dan skala loneliness yang merupakan adaptasi dari The Revised UCLA Loneliness Scale versi 2 (1980) dari Daniel Russell, Letitia Peplau, dan Carolyn Culrona. Pengolahan data dilakukan dengan menentukan skor tiap komponen kepribadian subjek. Setelah itu dilakukan penghitungan korelasi skor loneliness dan skor tiap komponen tipe kepribadian. Teknik korelasi yang digunakan adalah pearson produet moment. Sebagian besar subjek (92.2%) memiliki tingkat loneliness rendah (skor 20-49). Hasil yang diperoleh dari perhitungan korelasi untuk skor loneliness dan skor komponen tipe kepribadian menunjukkan hubungan yang signifikan untuk komponen Extraversion (r =-0.477) dan komponen Introversion (r = 0.477) pada los 0.01. Analisis hasil tambahan yang dilakukan untuk mencari perbedaan mean skor loneliness pada subjek perempuan dan laki-laki dengan pengujian independent sample test menemukan terdapat perbedaan mean antara perempuan dan laki-laki. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikatakan bahwa komponen tipe kepribadian memiliki hubungan yang signifikan dengan loneliness. Disarankan agar melakukan penelitian dengan alokasi waktu lebih panjang dan dengan jumlah subjek yang lebih banyak. Pengalihbahasaan alat ukur agar dilakukan dengan lebih hati-hati. Perlu dilakukan konstruksi ulang pada Inventori Tipe Kepribadian.
2004
S3308
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
[Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan korelasi pada dimensi-dimensi loneliness yakni social loneliness, romantic emotional loneliness dan family emotional loneliness dengan penggunaan social network sites atau yang disingkat SNS seperti jumlah kepemilikan akun SNS, frekuensi penggunaan SNS serta durasi dalam mengakses SNS. Studi yang dilakukan merupakan studi kuantitatif. Partisipan merupakan dewasa muda, sejumlah 125 orang. Loneliness diukur dengan Social and Emotional Loneliness Scale for Adults (SELSA) versi yang telah diadaptasikan ke Bahasa Indonesia. Pengukuran penggunaan SNS diperoleh dari data penggunaan SNS seperti jumlah akun, frekuensi dan durasi penggunaan SNS yang dilaporkan oleh partisipan. Hasil utama penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi-dimensi loneliness tersebut dengan jumlah kepemilikan akun SNS, frekuensi penggunaan SNS serta durasi dalam menggunakan SNS. Hubungan yang tidak signifikan ini dapat diartikan bahwa peningkatan pada social loneliness, romantic emotional loneliness, dan family emotional loneliness tidak diikuti dengan perubahan pada jumlah kepemilikan akun SNS, frekuensi penggunaan SNS serta durasi penggunaan SNS., This study was conducted to prove the correlational relationship between loneliness’s dimensions which are social loneliness, romantic emotional loneliness, and family emotional loneliness, and social network sites or SNS usage as in numbers of SNS account being used, SNS usage’s frequency and duration. This study uses a quantitative method. The participants were 125 people on their early adulthood. Social loneliness, romantic emotional loneliness and family emotional loneliness were measured using the Social and Emotional Loneliness Scale for Adults (SELSA) that was adapted to Bahasa Indonesia. SNS usage such as mentioned above were measured by usage self-report items within the questionnaire. The main result shows that there is no correlation relationship between the loneliness’s dimensions and the number of SNS accounts being used, the SNS usage’s frequency and duration. This indicates that increase within the social loneliness, romantic emotional loneliness and family emotional loneliness scores won’t be followed by changes of the number of SNS account being used nor the frequency and duration of the SNS usage. ]
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S57334
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Ayu Intan Wahyuni
Abstrak :
Dampak negatif dari tingginya penggunaan telepon genggam dalam hal ini smartphone dikalangan remaja adalah munculnya kebergantungan akan alat ini. Saat ini berbagai studi menemukan penggunaan berlebih telepon genggam dihubungkan dengan kesehatan mental salah satunya yaitu kesepian. Tujuan penelitian ini yaitu melihat hubungan antara kesepian dengan kebergantungan telepon genggam. Desain yang digunakan adalah analitis korelasional cross-sectional dengan sampel penelitian yang diambil adalah remaja di kota Depok. Data dianalisis dengan analisis bivariat yakni chi-square dan mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara kesepian dan kebergantungan telepon genggam pada remaja (p = 0,008 ; α = 0,05). Rekomendasi yang diberikan peneliti yaitu menggunakan telepon genggam secara lebih bijaksana, selain itu pertimbangan beberapa keluhan fisik dan mental seperti kesepian berhubungan dengan kebergantungan telepon genggam penting dalam pengkajian keperawatan dan pendidikan kesehatan pada kelompok berisiko. ...... The negative effect as the use of smartphone has increased steadly among adolescents is emerging addiction in this device. Some studies revealed that people who addict to smartphone more likely to experience mental health problem, one of them is loneliness. The aimed in this study is determine relationship between loneliness and smartphone addiction. Method was used by analitic corelasional crosssectional design which participants were adolescents at Depok City. Data were analyzed by bivariat chi square. The result revealed that there was significant relationship in statictic between loneliness and smartphone addiction among adolescent (p = 0,008; α = 0,05). Recommendation, using smartphone more wisely, the other hand consideration some physical and mental problem in adolescent such as loneliness related to addictive behavior of smarthphone is important of nursing assessment and health education in aggregate.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S64300
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Yuthi Andrisha
Abstrak :
Periode stay-at-home dan terbatasnya interaksi yang dapat dilakukan akibat Pandemi COVID-19, membuat kelompok usia dewasa muda berisiko mengalami kesepian. Dalam keadaan seperti ini, peran keluarga menjadi sangat penting dalam membantu individu mengatasi rasa kesepiannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat peran keberfungsian keluarga sebagai prediktor dari kesepian pada dewasa muda di masa Pandemi COVID-19. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Pengambilan data dilakukan secara daring dengan menggunakan dua alat ukur, yaitu Family Assessment Device (FAD) untuk mengukur keberfungsian keluarga dan UCLA Loneliness Scale Short Version (ULS-6) untuk mengukur kesepian. Partisipan penelitian ini adalah 488 dewasa muda terdiri dari perempuan dan laki-laki belum menikah dengan rentang usia 18-25 tahun. Berdasarkan hasil analisis regresi berganda, ditemukan bahwa keberfungsian keluarga secara simultan dan signifikan dapat memprediksi kesepian pada dewasa muda di masa Pandemi COVID-19 (R2 = 0,203, p<0.05). Peneliti juga menemukan bahwa dimensi komunikasi, peran, dan keterlibatan afektif secara signifikan mampu memprediksi rasa kesepian pada dewasa muda. Hasil ini menandakan bahwa semakin baik keberfungsian keluarga maka semakin rendah tingkat kesepian yang dirasakan individu. Maka dari itu, keluarga dianjurkan untuk meningkatkan keberfungsian keluarganya dengan mengoptimalkan fungsi komunikasi, peran dan keterlibatan afektif untuk membantu dewasa muda dalam mengatasi rasa kesepian yang dirasakan selama Pandemi COVID-19. ......The stay-at-home period and the limited interaction that is caused by the COVID-19 Pandemic, puts the young adult at risk of experiencing loneliness. In these conditions, the role of the family becomes more important in helping young adults to overcome their loneliness. The aim of this study was to examine the role of family functioning as the predictor of young adults’ loneliness during the COVID-19 pandemic. This study is a quantitative study. Data were collected online using two measuring tools, Family Assessment Device (FAD) to measure family functioning and UCLA Loneliness Scale Short Version (ULS-6) to measure loneliness. The participants of this study were 488 young adults consisting of unmarried women and men with an age range from 18-25. Based on the multiple regression analysis, it was found that family functioning simultaneously and significantly predicts young adults’ loneliness during the COVID-19 pandemic (R2 = 0,203, p<0.05). Researcher also found that the communication, role, and affective involvement dimensions were significant to predict young adults’ loneliness. These results indicate that the better the family functioning, the lower loneliness felt by the young adults. Therefore, families are encouraged to improve their family functioning by optimizing communication, roles, and affective involvement functions to help young adults overcome their loneliness during the COVID-19 pandemic.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumaisha Nabilah
Abstrak :
COVID-19 menyebabkan berkurangnya interaksi individu yang dapat memunculkan kesepian. Dengan demikian, kesepian perlu diatasi dengan welas diri yang telah ditemukan pengaruhnya terhadap kesepian pada penelitian terdahulu. Namun, pengaruh welas diri terhadap kesepian perlu diuji kembali dengan mengontrol variabel gender karena terdapat penelitian serupa yang menemukan adanya kemungkinan bias gender dalam hasil yang ditemukan terkait pengaruh welas diri terhadap kesepian. Meta analisis juga menunjukkan adanya hubungan gender dengan welas diri maupun kesepian. Penelitian ini dilakukan untuk menguji peran welas diri terhadap kesepian setelah mengontrol variabel gender pada dewasa muda Indonesia pada masa pandemi COVID-19. Penelitian kuantitatif ini melibatkan 474 partisipan dengan kriteria laki-laki atau wanita minimal berpendidikan lulusan SMA/sederajat berdomisili Indonesia dan berusia 20 hingga 40 tahun. Pengukuran kesepian dilakukan dengan alat ukur UCLA Loneliness Scale (version 3) oleh Russell (1996) dan pengukuran welas diri menggunakan alat ukur Self-Compassion Scale (Neff, 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa welas diri secara umum memengaruhi kesepian secara negatif dan signifikan (b = -10,104, SE = 0,638, p = 0,000). Pengaruh negatif dan signifikan welas diri terhadap kesepian berkontribusi sebesar 34,3% setelah mengontrol variabel gender. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa makin tinggi tingkat welas diri yang dimiliki individu, akan makin rendah tingkat kesepian pada individu tersebut. Dengan demikian, penyebaran informasi terkait welas diri masih perlu dilakukan sebagai salah satu upaya mengurangi tingkat kesepian. ......COVID-19 causes reduction in individual interactions which can lead to the feelings of loneliness. Thus, loneliness needs to be overcomed by self-compassion which has been found to have an effect on loneliness in previous studies. However, the effect of self-compassion on loneliness needs to be re-examined with addition of control for the gender variable due to a possible gender bias in the results that have been found in similar studies regarding the effect of self-compassion on loneliness. Meta-analysis also shows a gender relationship with self-compassion and loneliness This study was conducted to examine the role of self-compassion on loneliness after controlling for gender variables in young Indonesian adults during the COVID-19 pandemic. This quantitative study involved 474 participants with the criteria of being male or female, at least having a high school graduate/equivalent, domiciled in Indonesia and aged 20-40 years. Loneliness was measured using the UCLA Loneliness Scale (version 3) by Russell (1996) and self-compassion was measured using the Self-Compassion Scale (Neff, 2003). The results showed that self-compassion generally negatively and significantly affected loneliness (b = -10.104, SE = 0.638, p = 0.000). The negative and significant effect of self-compassion on loneliness contributed 34.3% after controlling for the gender variable. Based on these results, it can be concluded that the higher the level of self-compassion an individual has, the lower the level of loneliness in that individual will be. Thus, the socialization of information related to self-compassion still needs to be done as an effort to reduce the level of loneliness.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>