Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurul Yulianti
Abstrak :
Hubungan sibling (antara saudara kandung) memberikan pengaruh yang penting pada kehidupan keluarga dan dalam perkembangan seseorang. Hal ini disebabkan karena hubungan antara saudara kandung merupakan hubungan yang paling lama (longest-fasting) dimiliki oleh individu (Papalia, 1998). Dalam hubungan dengan saudara kandung terdapat empat hal yang muncul, yaitu adanya kehangatan (warmth), status/kekuatan (relative power / status), ada konflik dan juga ada persaingan (rivalry) antara sesama saudara kandung Furman & Buhrmester (dalam Brody, 1996). Hubungan saudara kandung yang dikatakan sibling rivalry, yaitu bila terdapat adanya persaingan, kecemburuan, kemarahan dan kebencian yang menyangkut pada banyak hal seperti dalam pendidikan, kasih sayang orang tua atau lainnya. Hubungan antara saudara kandung dipengaruhi oleh beberapa hal. Furman, W. & Lanthier, (1996) antara lain variabel konstelasi keluarga dan juga peran orang tua. Beberapa variabel konstelasi keluarga yang mempengaruhi hubungan antara saudara kandung, antara lain jarak usia antara saudara kandung, persamaan / perbedaan jenis kelamin, besar kecilnya keluarga dan urutan kcluarga. Sedangkan peran orang tua yang mempengaruhi adalah pola asuh orang tua dan perlakuan / treatment dari orang tua. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk mengetahui bagaimanakan gambaran pola asuh orang tua, perlakuan orang tua dan variabel konstelasi keluarga pada anak yang mengalami sibling rivalry. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan studi kasus. Sampel pada penelitian ini adalah dua orang kakak adik yang mengalami sibling rivalry yang diambil dengan metode pengambilan sampel incidental purposif sampling. Penelitian ini mcnggunakan metode pengambilan data yaitu wawancara dengan pedoman wawancara, dan juga menggunakan alat bantu lainnya seperti alat perekam serta alat tes HTP, SSCT dan family drawing. Hasil dari penelitian ini yaitu pola asuh orang tua pada anak yang mengalami sibling rivalry pada kedua pasang subyek yaitu pola asuh autoritarian dan pola asuh autoritatif. Perlakuan orang lua pada anak yang mrngalami sibling rivalry pada kedua pasang subyek yailu terdapat perlakuan / treatment khusus yang dilakukan oleh orang Lua pada salah salu saudara kandung mercka. Dua pasang subyek menyadari bahwa perlakuan yang berbeda / khusus pada Salah satu anak tersebut kemudian mempengaruhi pada penenluan anak favorit, pemberian perhatian, pembagian waktu yang diberikan oleh orang tua dan kedekatan antara anak dengan orang tua. Variabel konstelasi keluarga pada anak yang mengalami sibling rivalry pada kedua pasang subyek memiliki kesamaan pada jenis kelamin yang berbeda dan besar kecil keluarga; serta memiliki perbedaan pada variabel jarak usia dan urutan kelahiran.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T16827
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilyas Sukarmadijaya
Abstrak :
Menghadapi persaingan yang ketat khususnya di industri otomotif, para pelaku industri dituntut untuk memperkuat elemen-elemen yang ada di dalamnya, terutama sumber daya manusia (SDM)nya. Untuk itu, perusahaan perlu mengelola kinerja SDMnya secara optimal untuk mencapai hasil yang diinginkan oleh perusahaan. Indikator putting bahwa suatu perusahaan otomotif dapat dikatakan lebih unggul dibandingkan pesaingnya tercermin dari tingkat kepuasan pelanggan dan penjualan kendaraan setiap bulannya, di mana kedua fungsi tersebut dijalankan oleh tenaga sales officer. Sehubungan dengan kriteria tersebut, Penulis menemukan indikasi adanya masalah pada posisi sales officer di PT X, yang terlihat dari (1) tingkat turn-over yang dirasakan cukup tinggi sehingga perusahaan harus selalu melakukan seleksi tenaga sales yang baru, (2) rendahnya produktivitas sales officer dalam menjual mobil. Pada tugas akhir ini diajukan usulan mengenai wawancara berdasarkan kompetensi sebagai salah satu tahapan dalam proses seleksi tenaga sales officer dengan melakukan wawancara BEI pada sales yang memiliki kinerja superior dengan sales yang memiliki kinerja efektif. Usulan wawancara berdasarkan kompetensi ini meliputi (1) penyusunan model kompetensi, (2) menyusun rancangan pedoman wawancara berdasar kompetensi. Usulan yang diberikan menggunakan pendekatan kompetensi yang dikemukakan oleh Spencer & Spencer (1993).
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17292
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Dewi
Abstrak :
Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial membuat manusia tidak pemah lepas dari interaksinya dengan orang lain di lingkungan sekitarnya. Salah satu bentuk hubungan interpersonal yang sering terjalin dan merupakan hubungan yang unik adalah hubungan cinta. Bagi individu yang berada di tahap usia dewasa muda, hubungan tersebut dipandang menjadi sesuatu yang lebih bermakna karena terkait dengan tugas perkembangan yang menuntut mereka untuk mampu menjalin intimacy dalam hubungannya dengan lawan jenis. Sulivan (Steinberg, 1999) menyatakan bahwa keintiman dengan lawan jenis umumnya terjadi dalam konteks berpacaran. Hubungan pacaran yang dilakukan oleh individu pada tahap dewasa muda cenderung lebih bersifat serius, intim dan eksklusif dibandingkan hubungan yang dilakukan pada tahap remaja. Keintiman tersebut diantaranya ditandai dengan komitmen untuk meneruskan hubungan meski memerlukan pengorbanan dan kompromi. Didasarkan pada hal itu maka hubungan pacaran di tahap tersebut seringkali dipandang sebagai prakondisi pernikahan (Basow, 1992). Hal yang kemudian penting untuk dilakukan setelah individu dewasa muda mulai menjalin hubungan pacaran adalah mempertahankan kelangsungan hubungan itu sendiri hingga dapat mencapai jenjang pernikahan. Upaya tersebut tidak mudah karena masing-masing individu, sebagai pria dan wanita, telah memiliki sejumlah perbedaan yang mendasar atau built-in differences (Buss, dalam Baron & Byrne, 1994). Sebagai contoh, kaum wanita lebih mencari pasangan yang mampu memberikan kasih sayang dan perlindungan, dimana jika hal itu tidak mampu dipenuhi maka mereka akan merasa sangat kecewa. Seorang pria akan dianggap sebagai pria sejati bila ia kuat, tidak mengenal takut, bertanggung jawab, reaktif dan tidak bersinggungan dengan hal apapun yang terkait dengan feminitas, termasuk seperti pengekspresian emosi (Home & Kiselica, 1999). Sementara itu, kaum pria dianggap lebih memilih pasangan dengan mengutamakan daya tank fisik, seperti berusia muda dan sehat. Peneliti kemudian menjadi tertarik untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai hubungan pacaran yang dijalani oleh pria dewasa muda yang berstatus sebagai anak bungsu sekaligus anak laki-laki satu-satunya. Meski merupakan anak laki-laki namun dengan statusnya sebagai anak bungsu, pria tersebut seringkali juga dipandang sebagai individu yang tidak ambisus, lebih mengharapkan wanita untuk menyayangi dan memanjakannya, kurang bertanggung jawab, serta kurang mampu menjadi pemimpin atau pelindung yang baik (Taman, dalam Shipman, 1982). Dengan sejumlah karakteristik itu maka pria dengan status seperti diatas nampak memiliki sejumlah kesulitan untuk memenuhi harapan atau tuntutan kaum wanita pada umumnya mengenai pria yang akan menjadi pasangan hidupnya. Kondisi tersebut, dalam perkembangannya dapat pula memunculkan stres pada pria yang bersangkutan. Lazarus (1976) menyatakan bahwa stres muncul bila suatu tuntutan, baik berupa tuntutan internal (dalam diri) maupun eksternal (lingkungan fisik & sosial), sudah terasa membebani atau menekan bagi individu yang bersangkutan. Ketidaknyamanan yang dirasakan akibat stres pada umumnya akan membuat individu melakukan upaya untuk mengatasi hal tersebut, atau melakukan coping stres. Dalam penelitian ini, gambaran mengenai stres dalam hubungan pacaran dari subjek akan dilihat dari sembilan aspek intimacy yang dikemukakan oleh Orlofsky, sementara gambaran mengenai coping yang dipilih subjek akan mengacu pada jenis coping menurut Lazarus & Folkman. Dalam pelaksanaan penelitian ini akan digunakan metode kualitatif, dengan metode pengumpulan data melalui wawancara, dengan menggunakan pedoman wawancara umum, dan observasi. Adapun individu yang menjadi partisipan dalam penelitian adalah pria dewasa muda, berusia 18 - 35 tahun, merupakan anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, dan sedang menjalani hubungan pacaran. Dari penelitian yang dllkukan, diperoleh gambaran secara umum bahwa dari ketiga subjek yang menjadi partisipan, subjek pertama dan kedua mengalami stres yang berbentuk konflik dan terkait dengan aspek komitmen, yaitu dalam upaya memenuhi kebutuhan pasangan untuk menjalankan sejumlah peran gender tradisional bagi pria dewasa. Selain itu, kedua subjek tersebut juga cenderung menggunakan emotion focused coping sebagai cara menghadapi masalah yang dipersepsi sebagai masalah berat. Sementara subjek ketiga juga mengalami stres berbentuk konflik, namun terkait dengan aspek yang berbeda, yaitu aspek perspective-taking, dan lebih menggunakan jenis problem focused coping.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T16810
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Salis Yuniardi
Abstrak :
Masa remaja sering dianggap sebagai masa yang rentan masalah. Salah satu wujud dari masalah-masalah tersebut adalah apa yang kemudian dikenal sebagai perilaku antisosial. Ada banyak faktor yang diduga berperan pada timbulnya perilaku antisosial pada remaja, di antara faktor-faktor tersebut adalah faktor psikososial. Salah satu faktor yang tercakup dalam psikosial adalah faktor keluarga. Namun berbicara mengenai keluarga dan kaitannya dengan anak, seringkali fokus kita akan langsung menengok pada peran ibu. Namun pola di dalam keluarga berubah seiring dengan perubahan masyarakat dunia pasca revolusi industri pada tahun 1950-an. Seiring perubahan tersebut, peran ayah dalam keluarga-pun mendapat perhatian dalam kajian-kajian ilmiah terbaru. Beberapa penelitian diantaranya dilakukan oleh Lamb (1971), Heteringthon (1976), Baruch & Barnett (1981), serta US Departement of Justice yang pada tahun 1988 menyatakan bahwa ketidakadanya peranan ayah dalam pendidikan anak menjadi prediktor yang paling signifikan bagi tindak kriminal dan kekerasan anak-anaknya (Fathering Interprises: 1995-1996, dalam http:11artikel_uslslameto2.htm1) Selanjutnya sangatlah menarik untuk mengkaji hal yang sebaliknya, yaitu bagaimana persepsi, penerimaan, dan identifikasi remaja sendiri, secara kuusus remaja laki-laki dengan perilaku antisosial, terhadap peran ayah dalam keluarga. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan bentuk strategi yang dipilih adalah studi kasus. Penelitian ini mengambil subyek penelitian yaitu remaja laki-laki yang berusia antara 16-19 tahun yang berperilaku anti sosial sehingga mendapat atau pernah mendapat hukuman pidana yang saat ini sedang mendapat rehabilitasi atau mengikuti kursus di PSMP Handayani. Subyek yang diambil sebanyak lima orang. Dari hasil analisis data, dapat disimpulkan beberapa poin, yaitu : 1) Para subyek memiliki persepsi jika peran ayah dalam sebuah keluarga sangat penting. la adalah kepala, pemimpin, dan tiangnya keluarga. Dalam perannya ini, tugas paling utamanya adalah sebagai pencari nafkah bagi keluarga dan juga diharapkan dapat memberi perhatian, kasih sayang, dan bimbingan bagi anakanaknya. 2) Kesemua subyek melihat ayah mereka belum menjalankan seluruh peran sebagai ayah yang baik. Ada beberapa ayah yang sudah menjalankan fungsinya sebagai economic providers, namun hampir semua ayah subyek kurang mampu dengan baik menjalankan fungsi : caregivers, friend and playmate, teacher and role model, monitor and disciplinarian, protector. Hampir semua ayah dari subyek masih menjalankan fungsi advocate, namun hanya beberapa dari ayah subyek yang juga menjalankan fungsi resource. Kurangnya kelengkapan dalam menjalankan peran tersebut menimbulkan berbagai perasaan negatif pada para subyek, seperti merasa tidak diperhatikan, tidak dekat, kurang merasa diawasi, bahkan perasaan kesal dan dendam. Pada akhirnya perasaan-perasaan negatif tersebut berujung pada munculnya perilaku anti sosial. 3) Para subyek ingin meniru apa yang positif dari ayahnya, seperti sikap kerja kerasnya. Sebaliknya, mereka ingin memperbaiki apa yang mereka rasa salah dari perilaku - perilaku ayahnya di dalam menjalankan perannya sebagai ayah, seperti masalah pembagian waktu antara kerja dengan keluarga.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T16813
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paulina Renny Oktora
Abstrak :
Keberadaan Pekerja Seks Komersial (PSK) merupakan salah satu profesi yang sudah ada di masyarakat kita sejak dahulu dan semakin menjamur seiring dengan berkembangnya zaman dan kesulitan ekonomi yang dialami bangsa. Profesi ini membawa banyak dampak tidak hanya pada masyarakat dan keluarga tetapi juga pada para pelakunya sendiri, dalam hal ini PSK. Mereka akan mengalami kecemasan untuk terjun kedalam lingkungan masyarakat karena label dan stigma yang diberikan oleh masyarakat kepada mereka cenderung bersifat negatif. Label, stigma dan pandangan masyarakat ini diinternalisasi oleh para PSK sehingga secara sadar mereka menganggap dirinya seperti yang di labelkan masyarakat itu, yaitu antara lain merasa kotor, nista, bermoral rendah dan penuh dengan dosa (Wahyudin, 2002). Bagaimana individu memandang dirinya sendiri disebut dengan konsep Perubahan konsep diri ini akan sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian dan secara tidak langsung akan berperngaruh juga pada bagaimana PSK melihat orientasi masa depannya, karena seperti yang dikatakan oleh Tim Yayasan Kakak (2002) bahwa para PSK pada umumnya mengalami kebingungan akan masa depannya Pada PSK kebingungan yang akan sangat dirasakan adalah ketika mereka berniat akan membentuk keluarga karena tidak dapat dipungkiri pandangan masyarakat yang negatif membuat mereka khawatir tidak akan diterima oleh lingkungan masyarakat termasuk juga orang yang mereka cintai, yaitu laki-laki yang diharapkan menjadi suaminya kelak dan juga keluarga calon suaminya itu. Oleh karma itu penelitian yang dilakukan dengan metode kualitatif ini mencoba mengungkapkan bagaimana konsep diri dan orientasi masa depan para PSK sesungguhnya dan bagaimana pula konsep tersebut berpengaruh terhadap orientasi masa depannya. Melalui observasi dan wawancara yang dilakukan diperoleh hasil penelitian bahwa dari keempat subyek penelitian, seluruh subyek memiliki konsep diri yang negatif. Namun tidak seluruhnya memiliki orientasi masa depan yang negatif pula. Bahkan dari keempat subyek terdapat tiga subyek yang tetap memiliki orientasi masa depan yang baik untuk membentuk keluarga dan hanya satu orang yang merniliki orientasi masa depan yang buruk untuk membentuk keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa konsep diri para PSK tidak terlalu berpengaruh terhadap orientasi masa depannya untuk membentuk keluarga.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T16814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Wulandari
Abstrak :
Organisasi yang efektif turut ditentukan dan dipengaruhi oleh performa individu dalam organisasi. Untuk dapat mengenali individu yang kompeten, diperlukan suatu sistem seleksi yang dapat memilah tenaga kerja yang berkualitas dan berpotensi mendatangkan keunggulan bagi perusahaan. Seleksi adalah proses mencocokkan karakteristik individual dengan apa yang dibutuhkan oleh pekerjaan tertentu (Robbins, 2005). Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam sistem seleksi ialah melakukan seleksi berdasarkan kompetensi. Kompetensi dapat diartikan sebagai aspek-aspek pribadi dan seorang pekerja yang memungkinkannya untuk mencapai kinerja yang superior (LOMAs Competency Dictionary, 1998). Dalam meraih kesuksesan dalam suatu pekerjaan atau suatu situasi, kompetensi yang harus dimiliki oleh individu tidaklah cukup bila hanya satu kompetensi saja. Kumpulan kompetensi yang dimiliki pun harus sesuai dengan apa yang dipersyaratkan oleh pekerjaan, kumpulan kompetensi ini disebut sebagai model kompetensi. Permasalahan yang terjadi di PT. X adalah tingginya turn-over karyawan Call Center Representative yang mencapai 25% sebelum tahun pertama pengangkatan mereka. Call Center Representative merupakan komponen yang panting dalam menjalankan operasional bisnis jasa pengiriman barang PT. X, karena 90% kegiatan operasional berlangsung melalui telepon yang ditangani oleh Call Center Representative. Dan permasalahan tersebut yang harus dilakukan adalah menyusun suatu rancangan seleksi berdasarkan kompetensi. Menurut Spencer dan Spencer (1993) serta Shermon (2004), seleksi berbasis kompetensi dapat meningkatkan kinerja dan mengurangi turnover karyawan (Sherman, 2004; Spencer & Spencer, 1993).
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17876
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahli Rumekso
Abstrak :
Sebagai garda terdepan dalam penanganan keamanan dan ketertiban di suatu negara maka anggota Polri harus selalu siap untuk ditugaskan dalam situasi apapun dan di waktu kapanpun, bahkan harus rela mengorbankan kepentingan diri dan keluarganya. Anggota Polri yang tergabung dalam BKO (Bawah Kendali Operasi) bertugas untuk mendukung tugas Kepolisian di daerah konflik dan bertugas minimal selama enam bulan. Banyak masalah yang harus dihadapi mereka, misalnya : minimnya informasi tentang wilayah baru baik situasi sosial maupun kondisi fisik sehingga menimbulkan stres, dan juga harus berpisah dari keluarga, baik itu orang tua maupun anak istri. Banyak dari mereka yang BKO tersebut sudah berkeluarga. Ketika bertugas tersebut, mereka tidak boleh membawa keluarganya sehingga mereka harus rela untuk berpisah dari orang -orang yang mereka cintai. Bagi keluarga yang ditinggalkan dalam hal ini adalah istri, di mana secara langsung mempunyai kedekatan emosional, selain harus memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa kehadiran suami, mereka juga mengkhawatirkan keberadaan suami di daerah rawan konflik bersenjata. Seorang istri harus berperan ganda, selain ibu juga sebagai ayah sedangkan dia sendiri mengalami goncangan emosi, cemas terhadap situasi kerja suami dan kekhawatiran akan perilaku suami di daerah konflik. Bertolak dari fenomena tersebut diperoleh garnbaran permasalahan baik suami yang sedang menjalankan tugas serta istri dan keluarga yang ditinggalkan. Situasi yang menekan, tersebut memunculkan perilaku untuk menghadapinya atau perilaku coping. Semua individu akan berusaha keluar dari situasi yang menekan dan tidak menyenangkan dengan cara menyesuaikan diri terhadap situasi tersebut. Usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi keadaan yang menekan, menantang atau mengancam, serta menimbulkan emosi-emosi yang tidak menyenangkan disebut sebagai lingkah laku coping (Lazarus, 1976). Sarafino (1990) mengatakan bahwa individu melakukan perilaku coping sebagai usaha untuk menetralisir atau mengurangi styes, kecemasan yang terjadi dalam suatu proses. Menurut Lazarus, dick (dalam Sarafino, 1990), coping memiliki dua fungsi utama, yaitu : 1) merubah permasalahan - permasalahan yang menjadi penyebab timbulnya stres dan 2) mengatur respon - respon emosional yang muncul sebagai akibat timbulnya permasalahan - permasalahan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan bentuk strategi yang dipilih adalah studi kasus. Penelitian ini mengambil subyek penelitian yaitu istri anggota Polri yang ditinggal suaminya dalam penugasan di daerah konflik dan anggota Polri yang pemah bertugas di daerah konflik dalam rangka bawah kendali operasi. Subyek yang diambil sebanyak tiga orang istri anggota Polri yang ditinggal BKO dan tiga anggota Polri yang pernah bertugas BKO. Jenis coping yang dipilih subyek dalam merespon satu masalah yang dihadapi dapat berbeda-beda hal ini berhubungan dengan penilaian subyektif terhadap masalah, intensitas dan waktu stres, dan adanya stresor lain, pengalaman sebelumnya, karakteristik individu, dll. Terdapat kesamaan coping yang dipilih pada subyek istri terhadap masalah yang berkaitan dengan peran ganda yaitu seeking social support for instrumen reason dan emotional reasons. Sedangkan masalah yang berkaitan dengan dinas, coping acceptance digunakan oleh istri dan anggota Polri. Dalam menghadapi permasalahan, individu bisa menggunakan kedua jenis coping diatas, yaitu penggunaan jenis coping yang berorientasi pada masalah maupun coping yang berorientasi pada emosi. Namun seberapa sering penggunaan dari masing - masing jenis coping tersebut tergantung pada tuntutan atau permasalahan- permasalahan yang timbul serta bagaimana individu menilai tuntutan - tuntutan atau permasalahan-permasalahan tersebut.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18625
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Prabowo
Abstrak :
ABSTRAK
Tugas akhir ini adalah suatu rancangan program yang penulis tawarkan sebagai pelengkap program pembinaan kemandirian pada keterampilan kerja di Lapas Klas II A Bogor serta Lapas di Indonesia pada umumnya.

Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan (WBP) berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina dan yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas WBP agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat.

Walaupun sudah ada program pembinaan kemandirian tetapi masih berdasarkan pada keterampilan kerja teknis saja (paham materi pelatihan dan ada hasil kerja), sebenarnya pada diri WBP yang perlu diamati adalah : a. Kondisi psikis dari diri WBP, karena mereka tinggal di lingkungan penjara. Maka ia mengalami hilangnya kemerdekaan bergerak dan disertai hilangnya kebutuhan lain yaitu lost of heterosexual relationship, lost of goods service, lost of autonomy, lost of security (Greshan M Skyes, 1974) b. Kondisi status-status yang dimiliki sebelumnya, karena mereka mempunyai kegiatan-kegiatan atau suatu pekerjaan yaitu mahasiswa, pengemudi angkot, pegawai swasta dan masih usia remaja/belum punya tuntutan kebutuhan. Hal inilah yang menimbulkan situasi konflik diri pada masing-masing persepsi mereka. c. Dari kedua pengaruh tersebut, sehingga terjadi dorongan-dorongan spontanitas adalah dimana saat mereka memilih, dan ingin mendaftarkan diri menjadi anggota kelompok keterampilan kerja di Lapas Bogor.

Oleh karena itu, pada WBP perlu dianalisa baik dari sisi kondisi psikis, kondisi status sebelumnya dan bentuk kompetensi (minat, bakat dan pengalamanpengalamannya), bahwa mereka sebenarnya ada usaha tetapi tidak paham mengenai jalan keluarnya (hambatan atau bantuan), hal inilah mereka merasa keraguan dalam mengikuti keterampilan kerja di Lapas Bogor

Pada penelitian penulis tentang kondisi WBP dalam mengikuti pelatihan keterampilan kerja, baik yang diselenggarakan oleh LSM/Ormas, dan pihak petugas pemasyarakatan maka perlu dilaksanakan Program Pelatihan Analisis Sahabat (PAS).

Diakhir pelatihan PAS diharapkan WBP memahami dan mengendalikan suatu ambisi dan kenyataan yang cenderung menemui adanya hambatan yang juga ada bantuan (pendukung ambisi). Berharap WBP dengan dorongan bukan spontan saja terhadap keterampilan kerja tetapi punya n-ach yang tinggi, dan punya dorongan mental yang merupakan daya gerak di dalam dirinya sehingga dalam meraih dengan cepat dan efektif mencapai keberhasilan.
2007
T17800
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devina Alfarani Ghautami
Abstrak :
Kepribadian Qnersonaliry memiliki pengaruh yang signilikan terhadap pikiran, tindakan, motivasi, emosi, dan hubungan interpersonal seseorang. Pada dasamya kepribadian didefinisikan oleh para pakar dengan menggunakan konsep tertentu untuk mendeskripsikan atau memahami perilaku manusia. Ada berbagai macam pendekatan yang digunakan untuk mendefinisikan kepribadian. Secara umum, ada empat pendekatan utama yang digunakan sejak awal perkembangan teori kepribadian di abad XIX (Hall & Lindzey, 1985). Keempat pendekatan itu antara lin Observasi klinis, Gestalt, Eksperirnental, dan Psikometri. Dari keempat tradisi pendekatan tersebut, teori kepribadian Eysenck akan dikaitkan dengan penelitian tugas akhir ini. Menurut Eysenck, pengukuran perilaku merupakan hal mendasar dalam psikologi. Namun, karena perilaku itu bukan merupakan sesuatu yang mudah diukur, maka Eysenck berpendapat bahwa perlu dilakukan pengklasifikasian perilaku dengan cara analisis faktor (Hall & Lindzey, 1985). Dalam mengumpulkan data, Eysnck banyak menggunakan kuesioner, atau se$ra!ing. Salah satunya adalah Eysenck Personalily lnvenrory (EPI) yang dibuat pada tahun 1964. Inventori ini mengukur dua dimensi utama dalam kepribadian menurut Eysenck, yaitu Exlraversion-Inlroversion dan Neuroticism-Stability. Ada sejumlah penelitian yang menggunakan inventori ini sebagai alat ukur (Budjanovac, 1996; Kendler, dkk, 1993, Riggio dan Friedman, 1986). Dari berbagai penelitian tersebut, dapat dilihat bahwa EPI memang merupakan salah satu inventori yang dianggap dapat menggolongkan kepribadian manusia dalam 2 dimensi utama tersebut. Namun tampaknya alat ini kurang begitu populer digunakan di Indonesia. Mungkin hal ini disebabkan karena pembagian dimensi kepribadian Eysenck begitu sederhana, sehingga keakuratannya dipertanyakau. Sampai saat ini peneliti belum berhasil menemukan penelitian di Indonesia yang menggali lebih dalam mengenai hal ini. Inilah yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan studi apakah EPI memang benar-benar dapat diandalkan sebagai inventori yang mampu secara tepat mengelompokkan individu dalam dua dimensi kepribadian tersebut. Dalam studi ini populasi yang akan dipilih adalah penyiar radio swasta. Asumsi di balik pemilihan kelompok subyek ini adalah penyiar radio merupakan enterrainer yang hams tampil ekstravert pada saat sedang siaran. Namun penampilan mereka tersebut juga dibantu oleh adanya naskah yang meinandu mereka agar tidak keluar dari tema/topik pembicaraan yang sudah ditentukan. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah mereka memang benar-benar ekstravert? Di sini akan dilihat bagaimana sebenarnya gambaran tipe kpribadian para penyiar radio tersebut berdasarkan EPI. Penelitian dilakukan pada 65 subyek dengan karakteristik penyiar radio, berusia 20 - 40 tahun, yang merupakan kelompok dewasa-rnuda (Papalia & Olds, 1995), dengan menggunakan incidental sampling. Setiap subyek mernperoleh dua buah kuesioner, yaitu kuesioner Eysenclc Personality Invenlory (EPI) Format-A dan Skala 0 - Social Imroversion dari MMPI. Data hasil perolehan dalam penclitiau diolah dengan menggunakan Coejflicient Aibha dari Cronbach, frekuensi dan proporsi, Chi-square, sorta r-tes: untuk sampel independen dan dependen, yang terdapat di dalam program SPSS for MS Windows Release 11.0. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini untuk dimensi Ekstraversi-Introversi, proporsi terbesar dari sampel penelitian merniliki tipe kepribadian Ekstravert (36,3%); sedangkan untuk dimensi Neuroricism-Srabiliry proporsi terbesar dan sampel memiliki tipe kepribadian Neurotik (47,7%). Namun walaupun proporsi Ekstravert lebih besar daripada proporsi Introvert, perbedaan ini tidak signiiikan. Hasil uji Chi-square juga membuktikan bahwa tidak ada kecenderungan tipe kepribadian tertentu (Ekstravert) pada penyiar radio di sampel ini. Perbedaan jenis kelamin juga temyata tidak mempengaruhi tipe kepribadian. Karena ditemukan adanya ketidakkonsistenan antara Skor E-EPI dan Skor Skala O - MMPI, maka uji reliabilitas dilakukan pula pada item-item E-EPI. Hasil yang diperoleh temyata hanya 55,87% dari item-irem tersebut yang mengukur dimensi Ekstraversi-Imroversi. Dari hasil keseluruhan dapat diambil kesimpulan bahwa, tidak ada kecenderungan tipe kepribadian tertentu pada penyiar radio di populasi yang diteliti_ Selain itu dapat disimpulkan juga EPI, khususnya item Ekstraversi, kurang mampu membedakan dimensi tipe kepribadian Ekstraversi-Introversi. Saran untuk penelitian selanjutnya, perlu dilakukan uji reliabilitas dan validitas EPI format-A dengan skala besar, juga analisis item lebih lanjut terhadap item-item Ekstraversi pada EPI format-A. Disarankan pula untuk merevisi item-item tersebut agar lebih valid dan menjadi alat ukur yang lebih baik. Selain itu, untuk memperoleh hasil yang lebih baik hendaknya penelitian selanjutnya dilakukan dengan inventori Eysenck lainnya dan pada subyek dengan jumlah yang lebih besar serta karakteristik yang berbeda. Karena penelitian ini lebih memfokuskan pada dimensi Ekstraversi-lntroversi, ada bajknya dilakukan juga penelitian pada dimensi Neuroticism-Stabiliay, karena dimensi ini juga diukur oleh EPI format-A.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T38340
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wesmira Parastuti
Abstrak :
Tingkah Iaku yang ditampilkan individu salah satunya ditentukan oleh motif yang ada dalam dirinya. Tidak semua motif disadari oleh individu, bahkan sebagian besar motif tidak disadari individu. Motif intimacy merupakan salah satu dari sejumlah motif yang dimiliki individu. Motif intimacy merupakan dorongan intemal individu dalam berbagi keterbukaan, kontak, komunikasi timbal balik, kesenangan Kasih saying dan perhatian pada orang lain. Intimacy semakin stabii saat inividu memasuki tahapan usia dewasa muda Pada S881 temebut motif dan kebutuhan untuk intimacy menjadi hal yang disadari penuh. Karena ini, individu mulai mencari pasangan yang tetap untuk mempersiapkan dalam tugas perkembangan selanjutnya, yaitu berkeluarga. Adanya perbedaan stereotipi gender yang mengatakan bahwa wanita memiliki karakteristik yang lebih bisa menampilkan intimacy dibandingkan pria Untuk mengukur perbedaan motif intimacy ini dapat digunakan sistem skoring dari McAdams (1980) melalui suatu asesmen yang diesebut dengan Hiemaric' Apperception Test, yang berusaha mengungkap motif yang sifatnya beium tentu disadari sepenuhnya Sistem skoring ini terdiri dari 10 kategori motif intimacy. Dalam penelitian ini penulis berusaha melihat apakah motif intimacy yang terungkap pada TAT juga dapat terungkap dalam bentuk lapor diri (wawancara) yang bentuknya lebih disadari individu dan juga sebaliknya, apakah basil wawancara yang temngkap mendukung apa yang telah idapatkan berdasarkan TAT. Penulis juga ingin mlihat apakah benar bahwa wanita pada umumnya memiliki motif intimacy yang lebih tinggi daripada pria Sesuai penelitian yang dilakukan McAdams, penulis memakai 7 kartu TAT, dan ditambah dengan metode kualitatif (wawancara) untuk mengungkapkan motif intimacy yang bentuknya iebfih disadari individu Jumlah subyek sebanyak 8 orang, yang terdiri dari pasangan pacaran pria dan wanita kelompok usia dewasa muda (4 orang wanita, dan 4 orang pria). Hal ini ditujukan untuk dapat sekaligus melihat dinamika keinginan untuk intimacy yang berbeda pada wanita dan pria pasangan yang sedang pacaran. Hasil yang didapatkan sesuai dengan pandangan umum gender, yaitu rata-rata skor motif inrimacy berdasarkan TAT pada pasangan pacafan usia dewasa muda menunjukkan bahwa subyek wanita memiliki skor motif intimacy yang Iebih tinggi darioda subyek pria Ini menunjukkan bahwa pada subyek wanita umumnya memiliki dorongan intemal (yang bentuknya kurang/tidak disadari) yang lebih besar dalam berbagi keterbukaan, kontak, komunlkasi timbal balik., kesenangan, kasih sayang dan perhatian pada orang lain. Motif intimacy berdasarkan wawancam secara umum terungkap bahwa pada setiap subyek wanim secara sadar mengemukakan keinginan untuk lebih banyak menikmati kebersamaan dengan paaangannya (union) dan daiam bentuk escape to im'fmak.y. Hal ini tidak terungkap pada subyek laki-Iaki pasangannya. Hampir seluruh kategori motif intimacy yang muncul pada TAT juga muncul pada wawancara Ini menunjukkan bahwa pada umumnya semua motif intimacy yang sifatnya tidak disadari dapat terungkap secara disadari. Sedangkan, ada banyak kategori motif intimacy yang hanya muncul pada wawancara, namun tidak muncul berdasarkan TAT. Ini menunjukkan bahwa wawancara mengungkapkan kategoli motif intimaqf yang tidak terungkap melalui TAT- Hal ini dapat te|jadi karena biasanya dalam bentuk laporan biografi dari individu (wawancara) banyak muncul Iapor diri yang diterima secafa sosial dan terlihat "normal". Sehingga keinginan/dorongan inrimacy -yang merupakan keinginan yang sangat diterima secara sosial dan terlihat "normal"~ lebih banyak muncul dari wawancara yang diperoleh Terlebih lagi subyek penelitian yang digunakan adalah kelompok usia dewasa muda yang memiliki kebutuhan untuk intimaqy yang disadari penuh. Untuk penelitian selanjutnya, penulis menyarankan agar memperbanyak jumlah sampel agar dapat lebih digeneraiisasikan, membuat standarisasi motif intimacy dari McAdams, sehingga dapat ditentukan motifintimaqy yang tergolong tinggi, sedang atau rendah, dan mélihat perbedaan tingkah laku antara individu yang bermotif tinggi, sedang dan rendah melalui setting yang menyerupai kehidupan sehari-hari (misalnya psikodrama). Penulis juga menyarankan agar memperdaiam pertanyaan wawancara yang diberikan pada subyek penelitian, dengan menambahkan butir pertanyaan mengenai pandangan subyek wanita terhadap pasangannya, dan sebaliknya. Hai ini ditujukan unmk lebih memahami dinamika motif intimacy pada pasangan, sehingga hasil yang diperoleh lebih kaya dan mendaiam Penulis menyarankan agar melakukan penelitian ini pada berbagai kelompok usia, untuk mengetahui apakah motif intimacy (seperti juga motif-motif lainnya yang dapat diterima secara sosial) memang biasanya lebih banyak terungkap melalui wawancara (lapor diri yang disadari) dibandingkan melalui TAT. Iuga disarankan untuk penyekor scoring dengan memakai beberapa pemeriksa, sehingga reliabilitas penyekoran lebih sahih (dengan menggunakan inter rarer reliability), dan mempertimbangkan jangka waktu pacaran pada subyek penelitian. Terakhir, penulis menyarankan melakukan penelitian pada sejumlah kelompok yang dinilai memiliki sifat androgini untuk mengetahui apakah pada umumnya wanita dalam kelompok tersebut juga memiliki motif imimacy yang lebih tinggi daripada pria.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T38207
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>