Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 631 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rezky Aulia Nurleili
Abstrak :
Latar belakang: Laporan mengenai hubungan obesitas dan GERD semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Dengan meningkatnya pemahaman mengenai mekanisme GERD, diketahui terdapat peran sitokin proinflamasi dan adipositokin yang banyak terdapat di jaringan lemak viseral. Pada beberapa populasi di dunia, ketebalan lemak viseral diketahui berhubungan dengan meningkatnya insiden esofagitis erosif. Tujuan: Mengetahui profil ketebalan lemak viseral pasien GERD di RSCM. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada 56 subyek GERD. Subyek direkrut secara konsekutif pada bulan April hingga Oktober 2018 di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pemilihan subyek GERD berdasarkan Gastroesophageal Reflux Disease Questionnaires(GERDQ) dan pengukuran tebal lemak viseral menggunakan ultrasonografi. Erosi esofagus ditegakkan berdasarkan hasil endoskopi saluran cerna bagian atas. Analisis bivariat digunakan untuk menentukan perbedaan ketebalan lemak viseral antara grup esofagitis dan non-esofagitis. Hasil: Lebih dari separuh subyek penelitian ini menderita erosive reflux disease(ERD) (55,4%), didominasi oleh pasien dengan esofagitis kelas A berdasarkan klasifikasi Los Angeles sebanyak 64,5%. Rerata ketebalan lemak viseral grup NERD sedikit lebih rendah daripada grup ERD (47,9 mm untuk NERD dan 49,0 mm utk ERD). Terdapat kecenderungan peningkatan rerata ketebalan lemak viseral seiring dengan peningkatan derajat esofagitis (47,6 mm untuk esofagitis derajat A, 50,0 mm untuk esofagitis derajat B, dan 53,5 mm untuk esofagitis derajat C). Kesimpulan: Subjek ERD lebih banyak daripada NERD pada populasi GERD di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Rerata ketebalan lemak viseral subjek NERD lebih rendah daripada ERD. Terdapat kecenderungan peningkatan rerata ketebalan lemak viseral seiring dengan peningkatan derajat esofagitis. ......Background: Reports about thecorrelation between obesity and GERD had been increasedin the past few years. Along with the increasing understanding of GERD, there are roles of proinflammatory cytokines and adipocytokines which are mostly contained in abdominal fat tissue. In several populations, visceral fat thicknessis associated with the increased incidence of erosive esophagitis. Objective: To determine visceral fat thickness profile in GERD population in Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Methods: A cross-sectional study of 56 adult patients with GERD symptoms was conducted. The subjects were recruited consecutively between April and Oktober 2018 at Cipto Mangunkusumo National Hospital in Jakarta. Gastroesophageal Reflux Disease Questionnaires (GERDQ) were used to select research subjects and Ultrasonography examination was used to determine visceral fat thickness. Esophageal erosions were diagnosed using upper gastrointestinal endoscopy. Bivariate analysis was used to determine visceral fat thickness difference between esophagitis and non-esophagitis group. Results: More than half of this research subject were patients who suffer erosive reflux disease(55,4%), which dominated by patient with esophagitis class A, regarding to Los Angeles (LA) classifications, there were 64,5% of all ERD patients. The mean visceral fat thickness in erosive reflux disease (ERD) group slightly higher than in non-erosive reflux disease (NERD) group (49,0 mm vs 47,9 mm respectively). There is an increasing trend in mean visceral fat thickness as the esophageal erosion progresses (47.6 mm for grade A, 50.0 mm for grade B, and 53,5 for grade C). Conclusion: ERD is more common than NERD in Cipto Mangunkusumo General Hospital's GERD population. The mean visceral fat thickness in ERD group is higher than in NERD group. There is an increasing trend in mean visceral fat thickness as the esophageal erosion progresses.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peni Mutalib
Abstrak :
ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Pencapaian prestasi puncak seorang atlet ditentukan oleh faktor-faktor fisik dan non fisik. Salah satu faktor fisik adalah ciri anatomik yang khas; meliputi somatotipe, tinggi dan berat badan, persentase lemak, massa tubuh tanpa lemak, indeks skelik, panjang segmen bawah tungkai relatif, nilai bitrokanter relatif dan panjang lengan. Semua unsur ciri anatomik ini bila digambar dalam sebuah grafik sekaligus disebut sebagai profil anatomik. Tujuan penelitian adalah mencari dan melihat posisi profil atlet top kita, khususnya dibandingkan terhadap profil atlet dunia. Dengan ini dapat dilaksanakan usaha untuk menyusun profil unggul yang menunjang pencapaian prestasi. Subyek penelitian adalah 27 atlet SEA-Games '85 (kel. I), 27 atlet DKI yang tidak termasuk tim pelatnas (kel. II), dan mahasiswa FK Unika Atma Jaya yang tidak tercatat sebagai anggota pelatda atau pelatnas. Pengukuran dilakukan secara antropometrik, somatotipe dinilai dengan cara Heath & Carter. Analisis data dilakukan dengan t-test, koefisien asosiasi antara variabel dan prestasi, serta koefisien variasi untuk menilai heterogenitas variabel.
Hasil dan Kesimpulan: Atlet tiap kategori kelompok I dan II mempunyai profil yang serupa, hanya atlet I lebih unggul dalam semua unsur kecuali nilai PSBT relatif. Keunggulan ini masih jauh di bawah keunggulan profil anatomik atlet dunia.
Telah disusun profil anatomik nyata untuk tiap kategori (pelempar, pelompat dan pelari) yang lebih unggul daripada yang ada kini. Terdapat kesan atlet asal Irian Jaya memiliki profil anatomik yang lebih mendekati profil unggul dibandingkan atlet asal non Irian Jaya. Kenyataan dominasi atlet Irian Jaya dalam cabang atletik (11 dari 27 atlet), dan pengamatan bahwa mereka mempunyai keunggulan profit dalam 6 unsur, sama unggul dalam 4 unsur, dan hanya 1 unsur kurang unggul dibandingkan atlet non Irian Jaya, penulis menyarankan agar kita berpaling ke daerah Irian Jaya guna menemukan atlet dengan profil anatomik.
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizasjah Daud
Abstrak :
ABSTRAK
Telah banyak disepakati bahwa analisis cairan sendi berperanan penting untuk menegakkan diagnosis kelainan sendi yang berhubungan dengan efusi cairan dalam ruang sendi. Dengan melakukan analisis cairan sendi, dapat diperoleh informasi yang tepat tentang kelainan sendi. Hasii uji serologis atau kimia darah yang abnormal seperti,f aktor reumatoid yang positif, terdapatnya antibodi antinuklir atau peningkatan kadar asam urat darah dapat menimbulkan interpretasi yang salah dan tidak dapat menentukan sifat kelainan yang terjadi di dalam persendian.

Pada beberapa kelainan sendi dengan efusi seperti yang terjadi pada artritis kristal, artritis septik, "systemic lupus erythematosus" serta beberapa kelainan sendi lainnya, diagnosis dan etiologi kelainan sendi dapat ditegakkan dengan analisis cairan sendi dalam waktu yang relatif singkat.

Pada keadaan tertentu, walaupun analisis cairan sendi tidak bersifat diagnostik, akan tetapi pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang. Analisis cairan sendi dapat digunakan untuk membedakan suatu kelainan sendi degeneratif dari berbagai kelainan sendi inflamatif. Dengan memeriksa cairan sendi, beberapa kemungkinan diagnosis banding ada kelainan sendi yang dihadapi akan dapat disingkirkan, sehingga arah penatalaksanaannya dapat ditentukan dengan lebih seksama. Selain itu aspirasi cairan sendi dapat mengurangi tegangan membran sinovial, sehingga penderita akan segera merasakan perbaikan kelainan sendi yang dideritanya.

Beberapa penelitian cairan sendi yang pernah dilakukan umumnya cenderung untuk mengevaluasi nilai diagnostik suatu parameter cairan sendi tertentu untuk menegakkan diagnosis kelainan sendi tertentu yang spesifik.

Pada pihak lain, sekalipun telah terdapat berbagai standard analisis cairan sendi, masih jarang dilakukan evaluasi nilai diagnostik pemeriksaan ini, walaupun analisis cairan sendi sangat penting untuk menunjang diagnosis klinis efusi sendi, terutama pada keadaan klinis yang meragukan.

Selain itu anggapan yang salah bahwa prosedur analisis cairan sendi merupakan pemeriksaan yang sukar dilakukan serta memerlukan biaya yang tinggi, menyebabkan prosedur yang dapat menghasilkan informasi yang sangat berharga dan mullah dikerjakan ini seringkali tidak dilakukan.

Dengan terdapatnya peningkatan automatisasi laboratorium, sebenarnya pada saat ini pemeriksaan beberapa parameter cairan sendi telah dapat dikerjakan sekaligus dalam waktu yang relatif singkat dengan menggunakan multi channel analyzer. Akan tetapi karena adanya berbagai keterbatasan dalam hal sarana peralatan, reagen, dana dan tenaga yang terlatih, agaknya perlu ditetapkan suatu pemeriksaan cairan sendi rutin yang mudah dilakukan dengan biaya yang terjangkau.
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sudiro Waspodo
Abstrak :
Pendahuluan Sirosis hati (SH) telah diketahui merupakan suatu keadaan yang ireversibel di dalam perkembangannya, SH dapat berakhir dengan gagal hati, hipertensi portal, atau dapat menunjukkan aktivitas yang dapat dikelompokkan menjadi kelompok yang mengalami progresi, regresi atau menetap. Keluhan subyektif pada stadium awal penyakit SH biasanya sangat sedikit dan tidak jelas. Sedangkan pemeriksaan jasmani sering tidak dapat dipakai sebagai ukuran kecuali bila telah terjadi tanda dekompensasi. Beberapa hasil pemeriksaan laboratorium dapat dipakai untuk pegangan mengikuti perjalanan penyakit seperti transaminase, bilirubin, kolesterol, BSP, dan Indocyanin green. Pemeriksaan tersebut mempunyai beberapa kelemahan seperti sifat tidak spesifik pada pemeriksaan transaminase, gambaran bilirubin tidak hanya mencerminkan kerusakan parenkim hati, penurunan kolesterol bare terjadi pada penyakit yang berat, sedangkan pemeriksaan BSP mengandung bahaya alergi. Akhir-akhir ini telah diperkenalkan kegunaan pemeriksaan kadar garam empedu serum sebagai alat penyaring adanya penyakit hati dan untuk mengikuti perjalanan penyakit hati. Berbagai hasil penelitian telah membuktikan pemeriksaan kadar garam empedu serum post prandial lebih sensitif sebagai alat penyaring adanya penyakit hati bila dibandingkan dengan pemeriksaan kadar garam empedu serum puasa. Namun sebaliknya telah dibuktikan bahwa nilai kadar garam empedu serum puasa lebih spesifik untuk penyakit hati. Juga dibuktikan bahwa tinggi rendahnya nilai rata-rata garam empedu serum puasa sesuai dengan berat ringannya penyakit Sirosis hati, meskipun masih didapatkan adanya angka-angka yang tumpang tindih. Kegunaan pengukuran kadar garam empedu serum puasa sebagai petanda prognostik penyakit SH telah dilaporkan di luar negeri dan Indonesia, meskipun penelitian di Indonesia memberikan hasil yang berbeda. Penderita SH dengan kadar garam empedu total serum puasa yang tinggi mempunyai risiko mati yang lebih besar pada tahun pertama dibandingkan dengan penderita SH dengan kadar garam empedu total serum puasa, yang rendah. Bertolak dari hal tersebut di atas ingin dikaji kembali manfaat lebih lanjut dari kadar garam empedu serum puasa sebagai salah satu alat prognostik dan sarana untuk mengikuti perkembangan penyakit sirosis hati.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsubrin Daramin
Abstrak :
Katarak adalah suatu keadaan patologis dimana pada lensa terjadi kekeruhan yang dapat berakibat menurunnya tajam penglihatan bahkan dapat menimbulkan kebutaan. Kebutaan yang disebabkan oleh katarak ini tak dapat dicegah akan tetapi dapat ditanggulangi dengan bedah katarak. Di RSCM pada penderita-penderita pasca bedah katarak lazimnya diberikan steroid topikal dengan frekuensi penetesan umumnya 3 kali. Hal ini bukan tidak mungkin akan membuka peluang terhadap pemakaian dalam jangka waktu lama dengan segala akibat yang dapat ditimbulkannya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh steroid topikal terhadap edema kornea pasca bedah katarak serta lama pemakaiannya.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T58495
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yassir
Abstrak :
LATAR BELAKANG. Progresifitas penurunan sekresi insulin sudah terjadi sebelum individu didiagnosis sebaai DM tipe-2 baru karena kelelahan sel beta pankreas untuk mengatasi resistensi insulin. Efek glukotoksisitas, Iipotoksisitas dan amiloidosis pada sel beta pankreas menyebabkan proses tersebut terus berlanjut walaupun pasien telah diterapi dengan baik. Berbagai penelitian memperlihatkan sebagian besar penyandang DM tipe-2 baru ditemukan dengan fungsi sel beta pankreas yang sudah rendah. Populasi tersebut lebih cepat mengalami kegagalan terapi dibandingkan populasi dengan fungsi sel beta pankreas yang masih baik akibat progresifitas penurunan sekresi insulin yang lebih cepat, sedangkan resistensi insulin dalam tingkatan yang sama. Akibatnya prevalensi kegagalan mencapai kontrol glukosa darah yang baik menjadi tinggi pada populasi tersebut, dan merupakan salah satu penyebab komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular yang semakin meningkat. Di poliklinik diabetes RSCM dan berbagai puskesrnas di Jakarta, sebagian besar penyandang DM tipe-2 sulit untuk mencapai kontrol glukosa darah yang baik dan tingginya prevalensi komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular. Apakah populasi tersebut sudah berada dalam fungsi sel beta pankreas yang rendah? Penelitian ¡ni bertujuan untuk mengetahui gambaran fungsi sel beta pankreas melalui perhitungan HOMA-B dan resistensi insulin melalui perhitungan HOMA-IR pada subyek penyandang DM tipe-2 baru yang berobat di poliklinik diabetes RSCM. METODOLOGI. Dirancang studi potong lintang dengan analisis deskriptif. Prosedur yang dilakukan adalah subyek dipuasakan selama 10 jam lalu diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa dan insulin puasa. Dari hasil tersebut dilakukan penghitungan HOMA-B dan HOMA-IR. HASIL. Telah dilakukan pengambilan data terhadap 100 subyek. Nilai median usia 52 tahun. 51% dan subyek mempunyai riwayat keluarga DM dan sebagian besar subyek adalah obes sebanyak 54%. Sebagian besar subyek dalam kelompok nilai HOMA-B yang sangat rendah yaitu kurang dari 25 pmol/mmol sebanyak 55% dengan nilai median 17,14 pmol/mmol, dan dalam kelompok nilai HOMA-IR yang rendah yaitu kurang dari 3 pmol-mmol/l2 scbanyak 61% dengan niai median 245 pmol-mmol/l2. SIMPULAN. Sebagian besar penyandang DM tipe-2 baru di poliklinik diabetes RSCM adalah obes dan manpunyai riwayat keluarga DM. Sebagian besar subyek berada dalam kelompok fungsi sel beta pankreas dan resistensi insulin yang rendah.
BACKGROUND. The declining of insulin secretion already happened before the patent diagnosed type 2 diabetic, caused by beta cell pancreas failure in order to compensate insulin resistance. The glucotoxicity and lipotoxicity effect combined with amyloidosis onì beta cell pancreas caused continuing declining process progessiveIy even though the patient has been treated. Most of the previous studies showed that many new type 2 diabetic patients have already had low beta cell finction. This population failed to achieve targeted therapy faster than population with good beta cell function, because faster the declining of insulin secretion. However, innsulin resistance was almost constant. Because of that, prevalence of failed to achieve good blood glucose control were high and one of the mechanisms cause micro and macro vascular complication will increase. Many type 2 diabetic who attended in endocrine metabolic clinic in Cipto Mangunkusumo hospital and Primary Health Care in Jakarta failed to achieve good blood glucose control and there were high incidence of macro and micro vascular complication We hypothesized that many new type 2 diabetIc patients in endocrine metabolic clinic in Cipto Mangunkusumo have already had low beta cells function. We investigated the profile of beta cells function by calculated IIOMA-13 and insulin resistance by calculated ROMA-IR in new type 2 diabetic patients who attenckxl in endocrine metabolic clinic ¡n Cipto Mangunkusumo hospital. METHOD. A descriptive-cross sectional study was conducted. After 10 hours fasting, new type 2 diabetic patients were checked for fasting blood glucose and fasting insulin concentration. Based on those numbei, The HOMA-B and HOMA-IR were calculated. RESULT. Based on the results of 100 patients. Median value of age was 52 years old. 51% of the subjects had family history of diabetic and most of them were obese in 54% subjects. Most of the subjects were in lower HOMA-B value less than 25 Pmol/mmol in 55% of the subiects with median NOMA-B vahe was 17,14 pmol/mmol and wese in lower HOMA-IR less than 3 pmol-mmol,I2 in 61% of the subjects with median HOMA-ER value was 2,45 pmol-mmol/12 groups. CONCLUSION. Many new type 2 diabetic patients, who attended in endocrine metabolic Clinic in Cipto Mangunkusumo hospital, were obese and have already had family history of diabetic. Most of the subjects were in low pancreas beta cell function and insulin resistance groups.
2007
T23366
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erni Juwita Nelwan
Abstrak :
Latar Belakang Indonesia memiliki insidern kasus TB tertinggi di dunia setelah India dan Cina serta prevalensi kasus DM yang semakin meningkat. Infeksi aktif TB sangat ditentukan oleh status imun. Pada kondisi imunokompromis seperti adanya diabetes melitus akan didapatkan risiko TB yang lebih tinggi. Penelitian ini ingin mendapatkan perbedaan respons IFN-y pada pasien TB dengan DM (TB-DM) dibandingkan dengan pasien TB tidak DM (TB) dan responden sehat. Metodologi Secara potong lintang, pada pasien TB paru kasus baru BTA positif, dilakukan penapisan adanya diabetes melitus dan didapatkan 23 orang pasien TB-DM, dari pasien TB-DM ini, didapatkan kontrol 34 orang pasien TB dan 37 orang responden sehat yang secara umur dan jenis kelamin. Pada seluruh pasien dilakukan pemeriksaan klinis dan laboratoriurn. Untuk mendapatkan respons IFN-y pasien TB-DM, TB, dan responden sehat dilakukan pengambilan darah pagi hari yang kemudian distimulasi secara in vitro dengan M.tuberculosis (MTB) yang mati, lipopolisakarida (LPS) dan phytohaemagglutinin (PHA). Setelah diinkubasi pada 37°C selama 22-24 jam, lalu dilakukan disentrifugasi dan kadar IFN-y diukur dari supernatan yang didapat dengan metode ELISA. Hasil Karakteristik klinis pasien TB-DM dan TB secara proporsi tidak berbeda bermakna. Didapatkan derajat infeksi TB pada pasien dengan DM lebih ringan dibandingkan pasien TB tidak DM. Respons IFN-y setelah stimulasi MTB didapatkan rendah pada pasien TB dibandingkan TB-DM dan responden sehat (secara statistik tidak bermakna), pada stimulasi PHA, sebagai kontrol positif didapatkan respons lebih rendah pada pasien TB-DM dibandingkan pasien TB dan responden sehat (berbeda bermakna antara ketiga kelompok yang diuji, p<4,41). Kesimpulan. Pasien TB-DM memiliki respons IFN-y lebih tinggi dibandingkan pasien TB, hal ini disebabkan oleh perbedaan derajat beratnya infeksi TB pasien DM dan tidak DM.
Background Indonesia has the highest incidence of tuberculosis (TB) cases after India and China, also the fifth highest prevalence of diabetic cases in the world. Active tuberculosis infection is determined by host immune response, and in immunocompromized condition such as diabetic, the risk of having active TB is high. Our study objective looked on the response of IFN-y between diabetic lung TB patients compare to non diabetic lung TB and healthy controls. Methodology Among new cases of lung TB patients with positive AFB, we performed screening of diabetes mellitus and included 23 TB-diabetic patients, thirty four lung TB patients and 37 healthy controls matched for age and sex. We perform clinical and laboratories examinations. To identify IFN-y response of diabetic lung TB patients, TB and healthy controls, we drain morning blood and stimulated in vitro with sonicated M. tuberculosis (MTB), lipopolysaccharide (LPS) and phytohaemagglutinin (PHA). After incubation at 37°C for 22-24 hours, we centrifuged and IFN-y response was evaluated from the supernatant with ELISA. Results Clinical characteristic of TB-diabetic patients and TB patients was similar Severity of TB infections among diabetics were less severe compared to non diabetic. Lung TB patients have the lowest IFN-y response after MTB stimulation compared to diabetic lung TB and healthy controls (not statistically significant). And after PHA stimulation, diabetic lung TB patients have the lowest response compared to other groups (significant between all groups, p < 0.01). Conclusions Diabetic lung TB patients have higher IFN-y response than non diabetic TB patients, this might due to difference of disease severity among TB infection of diabetics and non diabetic. This difference was statistically not significant and co-morbidity of diabetes mellitus among moderately ill TB patients showed similar response as advance ill TB patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18159
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiq
Abstrak :
Latar Belakang: Studi epidemiologi menunjukkan bahwa DM merupakan salah satu faktor dalam proses terjadinya aterosklerosis dan mempengaruhi secara nyata kesaldtan dan kematian akibat PIK. Dibandingkan dengan penderita bukan DM, penderita DM 2-4 kali lebih banyak menderita P3K dan 2-4 kali lebih banyak mengalami kematian jangka pendek setelah menderita serangan infark miokard akut Dewabrata mendapati 23,2% penderita infark miokard akut yang di rawat di RSCM selama periode 1994-1999. Data di Indonesia tersebut belum banyak menggambarkan bagaimana karakteristik penderita DM tersebut saat terbukti menderita infark miokard akut. Dengan demildan, gambaran penderita DM yang mengalami sindrom koroner akut merupakan ha! yang renting untuk diketahui, baik karakteristik klinis maupun komplikasi yang muncul akibat S1CA tersebut. Tujuan. Penelitian ini ingin mengetahui prevalensi SKA pada penderita DM tipe-2. Penelitian ini juga ingin mengetahui karakteristik klinis dan komplikasi SKA pada penderita DM tipe-2 serta perbandingannya dengan penderita bukan DM. Metodologi. Studi potong lintang retrospektif untuk mengetahui prevalensi dan karakteristik klinis serta studi kohort retrospektif untuk mengetahui perbandingan komplikasi SKA pads penderita DM tipe-2 dan penderita bukan DM, terhadap penderita yang dirawat di ICCU RSCM periode 1 Januari 2001 s.d. 31 Desember 2005. Hasil. Didapatkan data: Prevalensi SKA penderita DM tipe-2: 34,2%. Awitan nyeri penderita DM lebih lama, 70,7% vs 53,4%, p=0,001; 1K 95%; DR=2,259 (1,372-3,719). Nyeri dada tidak khas, didapati penderita DM lebih banyak, 17,3% vs 9,8% p~ 0,041; 1K 95%; OR=1,713 (1,019-2,881)_ Komplikasi: Gagal jantung: penderita DM tipe-2 Iebih banyak: 39,35% vs 16,8%, p=0,001; 11(95%; RR-3,213 (1,992-5,182). Untuk komplikasi syok kardiogenik, didapati penderita DM tipe-2 Iebih banyak, 16,2% vs 8,9%, p= 0,031; IK 95%; RR==1,983 (1,057-3,721). Sedangkan komplikasi kematian didapati penderita DM tipe-2 lebih banyak, 17,3% vs 6,3%, dengan p= 0,001; 1K 95%; RR= 3,116 (1,556-6,239). Simpulan. Didapatkan perbedaan karakteristik klinis SKA antara penderita DM tipe-2 dengan penderita SKA bukan DM. Awitan nyeri lebih lama dan keluhan nyeri dada yang tidak khan, Iebih banyak didapati Dada penderita DM tipe-2. Didapatkan juga perbedaan dalam hat komplikasi SKA. Kejadian gagal jantung, syok kardiogenik dan kematian didapatkan lebih tinggi pada penderita DM tipe-2.
Background. Epidemiologic studies revealed diabetes mellitus (DM) as one of the factors involved in atherosclerosis process. DM also influence morbidity and mortality-related to coronary artery disease (CAD). Compared to non diabetic patients, type -2 DM patients suffer CAD 2-4 times more often and had increased short term mortality rate due to acute myocardial infarction 2-4 times more likely. During 1994-1999, Dewabrata found 23.2% of all acute myocardial infarction patients was diabetic patients treated in ICCU Cipto Mangunkusumo hospital. Unfortunately these data did not describe the clinical characteristic and complication ACS in type -2 DM patients. Therefore it is important to know the clinical characteristics and ACS related complications in type-2 DM patients. Objectives. To know the prevalence of type-2 DM among ACS patients, to learn clinical characteristics and ACS related complications in type-2 DM compared to non diabetic patients. Methods. A cross sectional retrospective study was performed to know the prevalence of ACS in type -2 DM patients and their clinical characteristics_ A retrospective cohort study was performed to compare the differences in ACS related complications in type -2 DM and non diabetic patients who were hospitalized in ICCU Cipto Mangunkusumo hospital during 5 years period (January 1st, 200I December 31st, 2005). Results. Prevalence of Type-2 DM among ACS patients : 34.2%. The onset of chest pain in type-2 DM patients was longer, 70.7% vs 53.4%, p=0.40l; CI 95%; OR=2.259 (1.372-3.719). Aypical chest pain were often in type-2 DM patients, 17.3% vs 9.8%; p= 0.041; CI 95%; OR 1.713 (L019 2.881). Heart failure as complications were more often found in type-2 DM patients, 39.35% vs 16.8%, p=0.001; CI 95%; RR=3.213 (1.992-5.182), cardiogenic shock were more often found in type-2 DM patients, 16.2% vs 8.9%, p= 0.031; CI 95%; RR 1.983 (1.057-3.721), and death were more often found in type-2 DM patients, 17.3% vs 6.3%, p= 0.001; CI 95%; RR= 3.116 (L556-6.239). Conclusions. There are differences in clinical characteristics of ACS between type-2 DM patients and non diabetic patients; which are longer onset of chestpain and atypical chestpain more often in type-2 DM patients. There are also differences in complications related ACS between Type-2 DM patients and non diabetic patients; heart failure, cardiogenic shock, and death more often in Type-2 DM patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Widya Khorinal
Abstrak :
Kanker telah diketahui sebagai faktor risiko kuat penyebab tromboemboli, baik emboli paru maupun trombosis vena dalam. Emboli paru sendiri seringkali tidak bergejala padahal angka mortalitas bisa mencapai 80%. Tipe histopatologi adenokarsinoma merupakan salah satu faktor risiko yang meningkatkan kejadian emboli paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi kejadian emboli paru dan trombosis vena pada kelompok kemungkinan tinggi menurut skor Revisi Geneva dan memperoleh besar kemungkinan kejadian emboli paru (EP) serta hubungannya dengan tipe histopatologi kanker padat. Penelitian menggunakan potong lintang dan didapatkan 124 subjek diikutkan dalam penelitian ini yang terdiri atas kelompok adenokarsinoma dan non adenokarsinoma masing-masing sebesar 62 subjek. Berdasarkan skor Revisi Geneva, sebanyak 11 (8,8%) subjek termasuk ke dalam kelompok kemungkinan rendah, 96 (77,4%) subjek termasuk ke dalam kelompok kemungkinan menengah dan 17 (13,8%) subjek ke dalam kelompok kemungkinan tinggi. Kejadian tromboemboli vena pada kelompok kemungkinan tinggi mencapai 94,1% dengan 58,8% mengalami emboli paru dan trombosis vena dalam secara bersamaan, 11,8% hanya mengalami emboli paru saja dan 23,6% mengalami thrombosis vena dalam saja. Tipe histopatologi adenokarsinoma memiliki risiko 2,58 kali lebih tinggi untuk masuk kedalam kelompok kemungkinan kejadian tinggi emboli paru menurut skor Revisi Geneva bila dibandingkan pada subjek dengan tipe histopatologi non adenokarsinoma. Sebagai kesimpulan, kanker padat dengan tipe histopatologi adenokarsinoma meningkatkan kemungkinan kejadian emboli paru bila dibandingkan dengan tipe non adenokarsinoma.
Cancer is widely known as a strong risk factor of thromboembolism, which consist of two kind are pulmonary embolism and deep vein thrombosis. We mainly focused on pulmonary embolism in this research. Pulmonary embolism is often asymptomatic which the mortality rate can reach 80%. Adenocarcinoma histopathological type has been proved as one of the risk factors that increase the occurance of pulmonary embolism. This research determine the proportion of pulmonary embolism and deep vein thrombosis events in high clinical probability group based on Revised Geneva score and the correlation with solid tumor histopathological type. This research used cross sectional method with 124 subjects participated in this research which consisted of 62 patients for each of adenocarcinoma and non-adeocarcinoma group. Mean of patient age was 52 years old and the sum of female participant was larger than male. Based on Revised Geneva score, 11 (8,8%) participants were in low risk clinical probability group, 96 (77,4%) participant were in middle risk clinical probability group and the rest of 17 (13,8%) participants were in high risk clinical probability group. The total event of vena thromboembolism in high risk clinical probability group reached 94,1% whereas 58,8% got both pulmonary embolism and deep vein thrombosis simultaneously, 11,8% with pulmonary embolism alone and 23,6% with vein deep vein thrombosis alone. Subjects with histopathological type of AC were 2.58 times greater to be a high-probability group of the Revised Geneva Score compared with NAC. As the conclusion, Solid cancer with histopathological type of AC increases the likelihood of PE incidence when compared with NAC.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58735
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Agung
Abstrak :
Latar Belakang. Status fungsional merupakan komponen esensial pengkajian paripuma pasien geriatri. Sesungguhnya pada usia lanjut bukan hanya usia harapan hidup yang penting, tetapi bagaimana usia lanjut dapat menjalani sisa kehidupannya dengan baik dan optimal. Untuk itu usia lanjut harus bisa melakukan ADL secara mandiri. Untuk menilai ADL dasar diperlukan alat ukur yang andal, sahih dan Iuas dipakai. Indeks ADL Barthel merupakan alat ukur yang banyak dipakai. Suatu alat ukur yang baik untuk dapat dipalcai luas hares melalui uji keandalan dan kesahihan. Di Indonesia Indeks ADL Barthel belum pernah diuji keandalan dan kesahihannya. Tujuan. Membuktikan bahwa kuesioner Indeks ADL Barthel merupakan intrumen ukur yang andal dan sahih untuk menilai status fungsional dasar usia lanjut Indonesia. Metodologi. Dirancang suatu studi validasi. Prosedur yang dilakukan adalah pada hari pertama kunjungan semua pasien dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pengisian formulir kuesioner indeks ADL Barthel dan indeks ADL Katz serta pada hari 7 --14 kunjungan dilakukan pengisian ulangan formulir kuesioner ADL Barthel. Hasil. Telah dilakukan pengambilan data dari 100 responden, nilai ICC ADL Barthel tiap-tiap butir, dan nilai total ADL Barthel didapatkan sangat baik (> 0,75), kecuali untuk butir mengendalikan rangsang buang air besar dengan ICC 0,645 hasilnya baik (0,4 -- 0,75). Keandalan internal consistency penelitian ini diperoleh nilai Cronbach a 0,938. Uji kesahihan eksternal ADL Barthel dibandingkan ADL Katz dianalisis dengan uji Spearman correlation coefficient menunjukkan hubungan bermakna (pc0,01), yaitu antara butir dan nilai total ADL Barthel dengan butir dan nilai total ADL Katz. Hanya hubungan butir mengendalikan rangsang buang air km-II ADL Barthel dengan butir makan ADL Katz yang bermalma dengan (p<0,05). Kesahihan konstruksi ADL Barthel diuji dengan Spearman correlation coefficient dan melihat nilai rho (r) masing masing butir. Hasil yang didapatkan semua butir berhubungan bermakna dengan nilai total (p<0,001). Semua butir mempunyai nilai r > 0,3. Simpulan. Kuesioner ADL Barthel merupakan instrumen ukur yang andal dan sahih serta dapat digunakan untuk mengukur status fungsional dasar usia lanjut Indonesia.
Background. Status functional is essential component of comprehensive geriatric assessment. Actually in addition to longevity, the important thing for elderly is to live the rest of their life as good and as optimal as possible. To live their life as good and as optimal as possible, the elderly should do the basic ADL independently. To measure basic ADL performance of elderly, measurement tool which is valid, reliable and commonly used is needed. Barthel index is the measurement tool which commonly used. For a good instrument to become commonly used, it should be tested for reliability and validity. In Indonesia Barthel index hasn't been tested for reliability and validity. Objectives. To verify that Barthel index form is an accurate tool to measure basic functional status in elderly population Indonesia. Methods. A validation study was arranged. On the first day of visit, all patients were subjected to anamnesis and physical examination. Barthel index form and Katz index form were filled on the first visit, which were repeated on day 7 through day 14 of visits. Results. There were 100 respondents in this study. Intra class correlation coefficient (ICC) Barthel index for each dimension, total score Barthel index were found to be excellent (>0.75) with the exception of controlling bowels with ICC 0.645 (good). The internal consistency was found to have Cronbach a 0.938. Compared to Katz index, the external validity of Barthel index was found to be significant (p<0.01) using Spearman correlation coefficient. The construct validity was found to be significant (p<0.001) Conclusion. Barthel index form is an reliable and valid tool which is recommended to measure basic functional status in elderly population Indonesia.
Jakarta: Universitas Indonesia, 2006
T18048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>