Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 90 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jofizal Jannis
"BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Beberapa tahun terakhir ini dengan meningkatnya arus lalulintas di tanah air kita, khususnya Jakarta, maka terjadi pula peningkatan jumlah penderita cedera kepala yang seringkali berakibat cacad (skwele) berupa hemiparesis, afasia, epilepsi, dan kerusakan saraf kranial dengan keluhan seperti diplopia, anosmia dan kaburnya penglihatan, atau bahkan kematian. Dari tahun 1983 dan 1984 misalnya, dimana jumlah penderita cedera kepala yang dirawat di RSCM adalah 3315 orang dan 2959 orang, tanpa tendensi kenaikan, tetapi dicatat kenaikan cedera kepala berat terjadi sebesar 5% (12). Data tersebut tidak mengungkapkan angka kecacatan yang menjadi keluhan sejak selesai perawatan.
Selain itu kecacatan akibat cedera kepala juga merupakan aspek tertentu yang penting dilihat dari sudut kehidupan sosial penderita. Penderita kecacatan akan mendapat kesulitan dalam melakukan pekerjaanya dengan baik bahkan mungkin tidak bisa bekerja sama sekali.
Suatu pengamatan tentang akibat cedera kepala di Inggris (7) memberi gambaran yang sangat memprihatinkan. Menurut catatan sekitar 50% dari penderita pasca cedera kepala terpaksa menganggur disebabkan ketidakmampuan berfungsi dengan baik dalam melaksanakan tugasnya.
Kerusakan-kerusakan yang timbul akibat cedera kepala pada umumnya akan mengenai kulit kepala berupa luka atau penumpukan darah di subgaleal, fraktur linier/impresi pada tulang tengkorak disertai cedera otak, disertai penurunan tingkat kesadaran dan adanya perdarahan dalam rongga kepala (4,27,43).
Sampai saat ini memang belum banyak ditemukan penelitian yang agak spesifik untuk menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi disfungsi dan kelumpuhan saraf kranial. Tetapi banyak hasil studi telah memberikan petunjuk kuat bagaimana kelumpuhan saraf kranial secara korelatif terkait dengan faktor-faktor tertentu.
Berikut ini, beberapa hasil studi yang telah dilakukan Para ahli menyangkut faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan saraf kranial akan diuraikan secara ringkas.
Terjadinya cedera kepala dapat menyebabkan komplikasi kelumpuhan saraf kranial yang kemungkinan disebabkan oleh fraktur, hematom yang menekan, tarikan segera setelah otak tergeser akibat akselerasi dan tekanan serebral traunatik yang menekan batang otak. (24,41,47).
Soernargo (44) pada tahun 1983 mencatat kecacatan saraf kranial berupa kelumpuhan n.fasialis tipe perifer pada 9 orang periderita dan optalmoparesis pada 5 orang penderita. Tidak dilaporkan adanya kelumpuhan saraf kranial yang lain.
Jennet (22) mengamati 150 pasien dan melaporkan terjadinya kerusakan saraf kranial pada 37% penderita, dimana 50% diantaranya hemianopia. Sedangkan kelumpuhan n.fasialis pada fraktur ospetrosum transversus antara 30-50% dan 10-25% terjadi pada fraktur longitudinal.
Menurut kepustakaan lain (30,48) disebutkan bahwa kelumpuhan saraf kranial sering terjadi pada penderita cedera kepala. Yang paling sering terkena adalah n.olfaktorius, n.optikus, n.akustikus, n.okulomotorius dan n.fasialis.
Bannister dan Rovit (3,42) mencatat bahwa saraf kranial yang paling sering dikenai adalah: n.fasialis, n.optikus, n.abdusen, n.okulomotorius dan n.trokhlearis. Dari basil penelitiannya, kehilangan penciuman terjadi pada 5-77. dari semua pasien penderita yang dirawat.
Kelumpuhan saraf kranial lain yang pernah dilaporkan 7,41,42) adalah kelair. pr1 n.optikus don kh_asma 0.3 5.2% dan Optalmoparesis; 2.6% n.okulomotorius, 2.7% n.abdusen dan 1.3% kombinasi n.okulomotorius dan n.abdusen.
Hughes (4) pada penelitian dengan 1000 sampel pasien mengamati 34 orang dengan kelumpuhan n.okulomotorius, 55 orang mengalami kelumpuhan n.abdusen dan 23 orang dengan kelumpuhan n.trokhlearis. Lebih jauh Hughes?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58524
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kemal Imran
"Latar Belakang : Pada penelitian sebelumnya terdapat korelasi yang positif antara kemampuan deformabilitas, jumlah eritrosit dan shear rate yang rendah yang berakibat terhadap perfusi otak yang akhirnya akan mempengaruhi perburukan pasien stroke iskemik. Hal ini bisa dilihat dengan pemeriksaan Laju Endap Darah (LED). LED merupakan metode yang mudah dan merupakan petunjuk tidak langsumg terhadap deformabilitas eritrosit. Jika ada kondisi yang meningkatkan kadar fibrinogen atau makroglobulin lainnya akan menyebabkan eritrosit mengendap lebih cepat. Dengan melihat konsep ini kami melakukan penelitian untuk mengeksplorasi korelasi antara komponen eritrosit dengan keluaran klinis stroke iskemik.
Obyektif : Apakah LED ini mempunyai nilai prognostik klinis.
Desain dan Metode: Potong Lintang sesuai kriteria seleksi dan dieksplorasi apakah intensitas respon fase akut terdapat informasi keluaran klinis jangka pendek dengan melakukan uji korelasi antara LED pada pasien dalam 72 jam sejak onset stroke dengan keluaran Minis 7 hari kemudian yang diukur dengan National Institute of Health Stroke Scale (N1HSS).
Hasil: 51 pasien stroke iskemik akut ,dalam 72 jam dari onset klinis. semua pasien dilakukan neuroimejing and pemeriksaan darah rutin, tennasuk LED. 28 pasien (54,9%) terdapat peningkatan LED. LED meningkat (Laki-laki >13 dan wanita > 20) sebanding dengan penigkatan NIHSS. Dengan uji korelasi Spearman Koefisien korelasinya moderat (r=0,642) dan berhubungan bermakna (p < 0,001).

Background: In the recent study, there is a positive correlation among deformability, the amount of erythrocyte and low shear rate which impact to cerebral perfusion. By reducing the cerebral perfusion could increased the infarct size and clinical manifestation worse. The erythrocyte sedimentation rate (ESR) is a simple method and an indirect marker of erythrocyte deformability. If any conditions that increased the amount of fibrinogen and other macroglobulin will increase the ESR. By this concept we did the research to explore the correlation between erythrocyte component and the outcome of ischemic stroke.
Objective: To evaluate whether the ESR can be used as a clinical prognostic value.
Design and Methods: Consecutive Cross sectional study and explore the intensity of the acute-phase response by the correlation test between the ESR within 72 hour from the onset of stroke and the out come at day 7 measured by National ?Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) and whether provided further information concerning the short term out come.
Results: 51 acute ischemic stroke, within 72 hours from clinical onset. All patients had neuroimaging and routine blood tests, including erythrocyte sedimentation rate (ESR). 28 patients (54,9%) had increased ESR. The ESR was increased (men >13 and woman > 20) as the NIHSS was high. With Spearman Correlation test the coefficient correlation is moderate (r4,642) and was significant correlated (p < 0,001).
Conclusion: The ESR is a predictor of short term stroke outcome. These findings might be indicative the amount of fibrinogen, hyperviscosityand the erythrocyte deformability changes.
Key Words : ischemic stroke ; erythrocyte sedimentation rate ; prognosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21441
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hophoptua NM
"Latar Belakang : Cedera kranioserebral ada 2, yaitu cedera primer dan sekunder. PatofisioIogi cedera sekunder yang kompleks menyebabkan perlunya parameter tambahan untuk menilai perburukan klinis penderita cedera kranioserebral. Pada penelitian terdahulu didapat suatu hubungan antara kadar interleukin 6 serum dengan keluaran cedera kranioserebral. Dimana semakin tinggi kadar 11-6 akan semakin buruk keluaran cedera kranioserebral. Dengan melihat hal ini kami melakukan penelitian untuk mengeksplorasi hubungan antara kadar M-6 dengan penderita ceders kranioserebral.
Objektif : Mengetahui peranan IL-6 pada kondisi klinis penderita cedera kranioserebral 5KG 6-12
Desain dan Metode: Observasional dengan repeated measurement design sesuai dengan kriteria seleksi dan dieksplorasi apakah terdapat hubungan IL-6 dengan SKG hari 1,3,7 atau mortalitas.
Hasil : 63 penderita cedera kranioserebral SKG 6-12 dalarn 24 jam dari onset. Semua pasien dilakukan pemeriksaan IL-6 serum dan DPL rutin, Nilai rerata IL-6 tertinggi adalah pada SKG 6 508,938 ± 98,125 dan nilai rerata terendah adalah 11,725 ± 8,441. Dengan uji kai kuadarat didapati hubungan semakin tinggi nilai IL-6 semakin rendah nilai SKG (p<0,0001). Dengan uji kai kuadrat juga didapati semakin tinggi kadar M-6 semakin tinggi mortalitas (p<0,002).
Kesimpulan : IL-6 dapat dijadikan salah satu prediktor keluaran penderita cedera kranioserebral.

Background : Traumatic brain Injury (TBI) is divided in to primary and secondary injury. Complexities of the pathophysiology of secondary brain injury made additional parameters in to evaluation for observed the worsening effect of those mechanisms. In the current study there is a correlation between IL 6 serum concentration and the outcome of TBI. The higher 1L6 would be markedly worsening outcome. Based on this concept, we make the research to explore the correlation between IL 6 concentration and TBI patient.
Objective: To explore the rule of IL 6 on the worsening clinical condition of the TBI patient GCS 6-8 and GCS 9-12.
Design and methods: Observational study with repeated measurement design due to selection criteria and being explored whether any correlation between IL 6 and GCS on day 1,3,7 or mortality.
Results: 63 TBI patients with GCS 6-12 and the onset are 24 hours enrolled to this study. All the patient had IL 6 serum and routine blood test. The highest mean of IL 6 is 508,938 + on GCS 6 and the lowest mean is 11,725 + 8,441 on GCS 12. Result of the chi square test showed there was correlation the higher IL 6 and the lower GCS (p<0,0001). The other analyzed the chi square test showed there were also correlation between the higher IL 6 and mortality (p<0,002).
Conclusion : IL- 6 could be used as one of TBI outcome predictor.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T58482
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Istiana Sari
"LATAR BELAKANG: Pemeriksaan Sken CT kepala adalah Baku emas untuk mendiagnosa perdarahan intrakranial traumatik pada anak. Di Indonesia belum semua fasilitas kesehatan memiliki Sken CT kepala sehingga panting untuk mengetahui gejala klinis yang berhubungan dengan perdarahan intrakranial traumatik pada anak.
TUJUAN: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gejala klinis dan radiologis sederhana yang dapat digunakan sebagai indikator adanya perdarahan intrakranial traumatik pada anak.
METODE: Penelitian dilakukan secara potong lintang dengan menggunakan data primer dan sekunder dari catatan medik pasien usia < 15 tahun dengan cedera kepala dan telah dilakukan pemeriksaan foto kepala dan Sken CT kepala yang dirawat di bangsal Neurologi RSCM dalam kurun waktu Januari 1998 hingga Juli 2004.
HASIL: Dari 338 kasus yang diteliti didapatkan 117 kasus perdarahan intrakranial traumatik (34,61%): 33 (28,20%) epidural hematom, 34 (29,05%) subdural hematom, 26 (22,22%) perdarahan intraserebral, 12 (10,25%) perdarahan campuran, 11 (9,40%) perdarahan subarachnoid. Pasien terdiri dari 82 laki-laki (70,08%) dan 35 perempuan (29,91%), rentang usia terbanyak yang mengalami perdarahan intrakranial traumatik 11-15 tahun (53/45,29%), mekanisme tersering kecelakaan lalu Iintas (62,39%). Gejala: fraktur tengkorak (62/52,99%), Gangguan THT (26/22,22%), muntah (82/70,08%), lama penurunan kesadaran terbanyak 10 merit-6 jam (51/43,58%). Gejala neurologis: Skala Koma Glasgow (SKG) terbanyak 12-14 (63/53,84%), kelainan saraf kranial (9/7,69%), gangguan motorik (15/12,82%), kejang (13/11,11%), pupil anisokor (7/5,98%). Terdapat hubungan bermakna antara perdarahan intrakranial traumatik dengan SKG, kelompok umur, gangguan motorik, kejang, fraktur tengkorak dan lama penurunan kesadaran (p<0,05)
KESIMPULAN: Indikator adalah SKG, gangguan motorik, kelompok umur, kejang, fraktur tengkorak dan lama penurunan kesadaran. Dengan analisis multivariate SKG, kelompok umur dan gangguan motorik merupakan indikator kuat dan dapat digunakan sebagai formula klinik dalam memperkirakan perdarahan intrakranial traumatik pada anak.

BACKGROUND: Brain CT Scan is one of the evaluation methods for traumatic brain hemorrhage in children. However, not all Indonesian hospitals have these radiologic examination tools. Clinical features and skull x ray as an indicators have to be used as a predictor for traumatic brain hemorrhage cases in children.
OBJECTIVE: To predict traumatic brain hemorrhage in children using clinical features and skull x ray.
METHODOLOGY: 338 acute head trauma children,
RESULTS: Traumatic brain hemorrhage occurred in 117 children ( 34,61%), whereas 62 (52,99%) had skull fracture, 26 (22,22%) ENT bleeding,, 82 (70,08%) had vomiting. There was 43,58% had duration of loss of consciousness mostly between 10 minutes to 6 hours. In Neurological examination findings there were Glasgow Coma Scale (GCS) mostly 12-14 (53,84%), 9 (7,69%) cranial nerves deficit, 15 (12,82%) hemiparesis, 13 (11,11%) seizure and 7 (5,98%) pupillary anisocoria. Brain CT scan image findings, 33 (28,20%) epidural hematoma, 34 (29,05%) subdural hematoma, 26 (22,22%) intraparenchymal bleedings, 12 (10,25%) combined intracranial hemorrhage and 11 (9,40%) subarachnoid hemorrhage. Variables of Glasgow Coma Scale, age, hemiparesis, seizure, skull fracture and duration of loss of consciousness were significant correlation (p<0,05) in traumatic brain hemorrhage cases in children.
CONCLUSION: There were some predictor variables, including Glasgow Coma Scale, hemiparesis, age, seizure, skull fracture and duration of loss of consciousness were analyzed. In multivariate analysis, there were three variables, Glasgow Coma Scale, age and hemiparesis have highly correlation with traumatic brain hemorrhage in children and could be made probability table of those traumatic brain hemorrhage cases in children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumawas, Ashwin Marcel
"LATAR EELAKANG
Kejadian stroke menimbulkan kerusakan sel otak. Berbagai faktor risiko telah dikenal meliputi faktor risiko mayor dan minor. Kadar magnesium endogen sebagai salah satu faktor risiko kerusakan set otak masih belum banyak dianalisa dengan berbagai hasil penelitian yang masih kontroversial.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian prospektif longitudinal (retreated measurement design) dengan data printer diperoleh dari penderita stroke iskemik yang berobat ke RSCM yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Diagnosis stroke iskemik dilakukan melalui pemeriksaan klinis dan CT Scan atau MRI kepala. Dilakukan pemeriksaan laboratorium darah, analisa urin, EKG, dan foto thoraks pada saat masuk. Dilakukan pemeriksaan magnesium serum, plasma, eritrosit pada hari ke-2, ke-4 dan ke-7 dan skor NIHSS pada hari dan saat yang sama.
HASIL
Jumlah objek penelitian 53 orang. Sebagian besar rerata magnesium serum dan plasma dalam batas normal (1,4-2,0 mmEq/l) pada tiap hari pengambilan (Mg serum 67,9% - 90,6%, Mg plasma 75-5% - 88,7%) sedangkan ditemukan hipoMg eritrosit pada hari ke-4 dan ke-7 onset stroke (81,1 % dan 73,6%). Ditemukan hubungan sangat bermakna antara Mg serum dengan Mg plasma pada tiap hari pengambilan (p=0,000) dan hubungan bermakna antara Mg serum dengan Mg eritrosit (p=0,02) dan Mg plasma dan Mg eritrosit (p=0,033) pada hari ke-4. Ditemukan hubungan bermakna independen antara Mg plasma hari ke-4 dengan NIHSS hari ke-4 (p=0,005) di samping faktor risiko riwayat stroke /TIA, aritmia jantung dan hiperkoleslerolemia dengan NIHSS.
KESIMPULAN
Penderita iskemik serebral menunjukkan perubahan kadar Mg serum, plasma, eritrosit yang dipengaruhi berbagai faktor risiko lain dan hubungan bermakna antara kadar Mg plasma dan skor NIHSS hari ke-4.
KATA KUNCI: Stroke iskemik, hipertensi, magnesium serum, plasma, eritrosit, NIHSS.

PREFACE
Stroke causes damage to brain cells. Many risk factors of stroke are known like mayor and minor risk factors. Endogen magnesium level as one of risk factor of brain cell damage is analyzed rarely with the controversially results of its studies.
METHOD
The design of this study was repeated measurement with its primary data were collected from ischemic stroke patients in Cipto Mangunkusumo hospital who fulfilled inclusion and exclusion criteria. Diagnosis of stroke was made by physical exam, CT scan or head MRI and completed by blood and urine analysis, echocardiography and chest photo. Serum, plasma and erythrocyte Mg were collected on the 2nd, 4th, aid 7th days after onset and compared with NIHSS scores at the same times.
RESULT
There are 53 persons of subjects studied. Almost all means of the serum Mg and plasma Mg were in normal limits (1,4-2,0 mEq/l) on every days of data collection (serum Mg : 67,6%-90,6%, plasma Mg : 75,5%-88,7%), but there were erythrocyte hipoMg on the 4th and 7th days of stroke onset (81,1% and 73,6%). There were very significant relationship between serum Mg with plasma Mg (p=0,000) on every days of data collection and significant relationship between serum Mg with erythrocyte Mg (p=0,02) and plasma Mg with erythrocyte Mg (p 1,033) on the 4th day onset. There were significant independent relationship between plasma Mg on the 4th day onset with NIHSS in the same day (p=0,005), besides between the history of stroke/TIA, aritmia and hypercholesterolemia with NIHSS.
CONCLUSION
Cerebral ischemic patients showed changes of serum, plasma and erythrocyte Mg levels which were influenced by other risk factors and there was significant relationship between plasma Mg and NIHSS score in the 4th day.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58471
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putra Yudhistira Pratama
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yoga Putra
"Latar Belakang. Kuesioner Boston Carpal Tunnel Syndrome (BCTQ) merupakan kuesioner yang dikembangkan untuk menilai keluhan pasien sindrom terowongan karpal dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji validasi dan reliabilitas kuesioner BCTQ ke dalam bahasa Indonesia. Metode. Melakukan adaptasi dan translasi transkultural, kemudian dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas kuesioner BCTQ versi bahasa Indonesia. Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien dewasa dengan sindrom terowongan karpal yang datang ke Poliklinik Neurologi RSUPNCM yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil. Tiga puluh lima pasien memenuhi kriteria inklusi. Sebagian besar adalah perempuan (88,6%). Usia berkisar antara 45 tahun sampai 71 tahun, dengan prevalensi tertingi > 50 tahun (91,4%), pekerjaan sebagian besar subjek adalah sebagai ibu rumah tangga (77,1%). Pada uji validitas domain derajat keparahan gejala pada uji pertama memiliki nilai antara 0,484-0,781, pada retes didapatkan nilai 0,482 sampai 0,760, untuk domain status fungsional didapatkan nilai antara 0,495 sampai 0,825, dan nilai 0,615 sampai 0,783 pada retes. Hasil uji reliabilitas domain derajat keparahan gejala 0,876 pada uji pertama dan 0,874 pada uji kedua, untuk uji reabilitas domain status fungsional pada uji pertama sebesar 0,857 dan pada retes 0,854. Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi kuesioner oleh semua subjek kurang dari 10 menit, Kesimpulan. Kuesioner BCTQ versi Bahasa Indonesia valid dan reliabel dalam mengevaluasi keluhan serta gejala pada pasien dengan sindrom terowongan karpal.

Introduction. Boston Carpal Tunnel Syndrome Questionnaire (BCTQ) is a questionnaire developed to assess complaints and symptoms of carpal tunnel syndrome patients in carrying out daily activities. Aim of this study is to gain a valid and reliable Indonesian version of BCTQ. Methods. Trancultural adaptation and translation from the original version to Indonesian version, then validation and reliability test are carried out. The population of this study was adult patients with carpal tunnel syndrome who came to the neurology department RSUPNCM and met the inclusion criteria. Thirty-five patients met the inclusion criteria, majority are women (88,6%). Age ranged from 45-71 years, with the highest prevalence >50 years old. Most of the subjects were housewife. The value of symptoms severity scale domain between 0,484-0,781 for first test, 0,482-0,760 on the retest. For domain functional status 0,495-0,825 in the first tests, and 0,615-0,783 for the retest. The reliability test for symptoms severity scale domain for the first test is 0,876 and 0,874 for the retest. The realiability test value for functional status 0,857 for the first test and 0,854 for the retest. The time needed to complete the questionnaire is under 10 minutes. Conclusion. Indonesian version of BCTQ is a valid and reliable instrument to be used as instrument in evaluate complaint and symptoms in patients with carpal tunnel syndrome."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rossy Yulianti
"ABSTRAK

Latar belakang. Meningkatnya usia harapan hidup menambah jumlah populasi dewasa dan usia lanjut yang menyebabkan meningkatnya gangguan fungsi kognitif, salah satunya adalah fungsi eksekutif. Pemeriksaan Trail Making Test merupakan salahsatu instrumen untuk pemeriksaan fungsi eksekutif. Trail Making Test dapat dipengaruhi faktor demografi seperti usia dan tingkat pendidikan, selain itu, saat ini belum ada nilai normal waktu rerata Trail Making Test di Indonesia.

Metode. Studi ini dilakukan secara potong lintang pada 200 subyek dengan kognitif normal yang terdiri atas 55 subyek laki-laki dan 145 subyek perempuan berusia >18 tahun.

Hasil. Pada penelitian ini, dari keseluruhan subyek didapatkan waktu rerata dari TMT-A adalah 41,39±17,877 detik dan TMT-B adalah 82,82±35,05 detik. Pada kelompok berdasar tingkat pendidikan, waktu rerata TMT-A &TMT-B kelompok dengan tingkat pendidikan ≤12 tahun adalah 47,21±17,97 detik & 98,12±33,70 detik dan kelompok dengan tingkat pendidikan >12tahun adalah 36,62±16,39 detik & 70,29±31.04 detik. Pemeriksaan TMT-A dan TMT-B berdasarkan kelompok usia dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok usia 18-39 tahun, 40-49 tahun, 50-59 tahun, 60-69 tahun dan ≥70 tahun. Untuk kelompok usia 18-39 tahun, waktu rerata TMT-A dan TMT-B adalah 22,85±6,15 detik dan 44,90±14,69 detik, kelompok usia 40-49 tahun 37,45±11,82 detik dan 71,60±25,51 detik, kelompok usia 50-59 tahun 44,15±16,39 detik dan 86,72±27,91 detik, kelompok usia 60-69 tahun 48,52±17,48 detik dan 98,50±27,26 detik, sedangkan kelompok usia ≥70 tahun 53,95±16,97 detik dan 112,35±33,35 detik. Tidak ada perbedaan bermakna waktu rerata TMT-A & TMT-B pada kelompok berdasar jenis kelamin.

Kesimpulan. Telah didapatkan rerata waktu Trail Making Test pada kognitif normal. Usia dan tingkat pendidikan secara bermakna mempengaruhi waktu rerata Trail making Test.


ABSTRACT

 


Background.  With a rapidly aging population would increase the incidence of cognitive impairment, which one of them was executive function. The Trail Making Test is among the most widely used neuropsychological assesment instrument as an indicator of executive functioning. The demografic factor such as age and level of eductaion could effect on the performance of the trail Making Test and this study would provide normative information in normal cognitive population in Indonesia

Method. The study was a cross sectional study involving 200 normal cognitive subject consist of 55 males and 145 females which age ranging more than 18.

Results. In this study, the whole mean score for TMT-A & TMT-B were  41,39±17,877 sec & 82,82±35,05 sec. Based on level of education, the mean score of TMT-A & TMT-B for education ≤12 years were 47,21±17,97 sec & 98,12±33,70 sec & for education >12 years were 36,62±16,39 sec & 70,29±31.04 sec. The mean score of TMT-A & TMT-B for age 18-39 year, were 22,85±6,15 sec & 44,90±14,69 sec, for 40-49 year were 37,45±11,82 sec & 71,60±25,51 sec,  for age 50-59 year were 44,15±16,39 sec & 86,72±27,91 sec, for age  60-69 year were 48,52±17,48 sec & 50±27,26 sec & for age ≥70 year were 53,95±16,97 sec & 112,35±33,35 sec. There is no significant differences of mean scores TMT between male and female.

Conclusion. The mean score of Trail Making Test in normal cognitive has been found. Age as well as level of education have significant effect on mean score of the Trail Making Test.

 

 

"
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bazzar Ari Mighra
"

Latar belakang : Penegakan miastenia gravis (MG) didasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, sampai saat ini belum ada pemeriksaan yang menjadi standar utama dalam penegakan MG. Pemeriksaaan dalam penegakan MG yang hasilnya cepat, tidak invasif dan mudah dilakukan serta biayanya murah yaitu ice pack test (IPT) dan Repetitive Nerve Stimulation (RNS).

Metode: Disain penelitian potong lintang menggunakan data primer dan rekam medis pasien yang dicuriga MG dengan ptosis di Poliklinik Saraf, Instalasi Gawat Darurat (IGD), dan Ruang Rawat Inap di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak Juli 2019 – November 2019.

Hasil: Dari 38 subjek penelitian dengan ptosis, didapatkan 35 subjek terkonfirmasi MG (SF-EMG/Achr antibodi/respon terapi), 19 di antaranya (54,29%) MG jenis okular dan 16 (45,71%) MG jenis general. Hasil ice pack test positif pada 29 subjek (76,3%). Hasil uji diagnostik pemeriksaan ice pack test diperoleh sensitivitas 80%, spesifisitas 66,67%, nilai AUC 73,3%; Hasil uji diagnostik pemeriksaan RNS diperoleh sensitivitas 60%, spesifisitas 100%, nilai AUC 80%; Sedangkan uji diagnostik kombinasi pemeriksaan diperoleh sensitivitas 94,28%, spesifisitas 66,67%, nilai AUC 80,5%.

Kesimpulan: Kombinasi pemeriksaan Ice Pack Test dan Repetitive Nerve Stimulation (RNS) memiliki nilai diagnostik yang baik, sehingga dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis MG di RSUPN Cipto Mangunkusumo.

 


Background: Diagnosis of myasthenia gravis (MG) is based on clinical symptoms, physical examination and supporting examination, so far there has been no examination that has become the main standard in the enforcement of MGSupporting  examination of MG that are fast, non-invasive and easy to do are ice pack test (IPT) and Repetitive Nerve Stimulation (RNS).

Methods: This study was conducted with cross-sectional design using primary data and medical records of suspicious MG patients with ptosis in Cipto Mangunkusumo General Hospital between july-november 2019.

Results: Of the 38  subjects with ptosis, 35 subjects were confirmed MG with SF-EMG/AChR antibodies/respon therapy, 19 (54,29 %) ocular type and 16 (45,71%) general type. The ice pack test was positive in 29 subjects (76,3 %). The diagnostic test results of the ice pack test has sensitivity 80%, Specificity 66,67%, AUC(area under the curve)  value 73,3%; the RNS has sensitivity 60%, Specificity 100%, AUC value 80%; while the combination test has sensitivity 94,28%, Specificity 66,67% and AUC(area under the curve) value 80,5%

Conclusions: The combination of IPT and RNS has good diagnostic value, so that it can be used as a supporting examination to diagnosis of MG in Cipto mangunkusumo general hospital.

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>