Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 764 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Arles
"Telah dilakukan penelitian secara before and after terhadap pasien HD kronik antara bulan Mei 1997 - Juli 1997 di Subbagian Ginjal Hipertensi, SMF llmu Penyakit Dalam FKUI / RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan sistem koagulasi akibat hemodialisis. Setelah melalui proses eksklusi terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sistem koagulasi, diteliti 30 subyek yang terdiri dari 20 laki-laki (66,6%) dan 10 perempuan (33,3%). Umur termuda 13 tahun dan tertua 71 tahun dengan rerata 45,5; 13,5 tahun.

A before and after study has been conducted on chronic HD patients between May 1997 - July 1997 in the Hypertension Kidney Subdivision, SMF llmu Internal Medicine FKUI / Dr.Cipto Mangunkusumo Hospital. This study aims to determine the changes in the coagulation system as a result of hemodialysis. After going through the process of exclusion of factors that can affect the coagulation system, 30 subjects consisting of 20 male (66.6%) and 10 female (33.3%). The youngest age is 13 years old and the oldest is 71 years old with an average of 45.5; 13.5 years."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rezky Aulia Nurleili
"Latar belakang: Laporan mengenai hubungan obesitas dan GERD semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Dengan meningkatnya pemahaman mengenai mekanisme GERD, diketahui terdapat peran sitokin proinflamasi dan adipositokin yang banyak terdapat di jaringan lemak viseral. Pada beberapa populasi di dunia, ketebalan lemak viseral diketahui berhubungan dengan meningkatnya insiden esofagitis erosif.
Tujuan: Mengetahui profil ketebalan lemak viseral pasien GERD di RSCM.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada 56 subyek GERD. Subyek direkrut secara konsekutif pada bulan April hingga Oktober 2018 di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pemilihan subyek GERD berdasarkan Gastroesophageal Reflux Disease Questionnaires(GERDQ) dan pengukuran tebal lemak viseral menggunakan ultrasonografi. Erosi esofagus ditegakkan berdasarkan hasil endoskopi saluran cerna bagian atas. Analisis bivariat digunakan untuk menentukan perbedaan ketebalan lemak viseral antara grup esofagitis dan non-esofagitis.
Hasil: Lebih dari separuh subyek penelitian ini menderita erosive reflux disease(ERD) (55,4%), didominasi oleh pasien dengan esofagitis kelas A berdasarkan klasifikasi Los Angeles sebanyak 64,5%. Rerata ketebalan lemak viseral grup NERD sedikit lebih rendah daripada grup ERD (47,9 mm untuk NERD dan 49,0 mm utk ERD). Terdapat kecenderungan peningkatan rerata ketebalan lemak viseral seiring dengan peningkatan derajat esofagitis (47,6 mm untuk esofagitis derajat A, 50,0 mm untuk esofagitis derajat B, dan 53,5 mm untuk esofagitis derajat C).
Kesimpulan: Subjek ERD lebih banyak daripada NERD pada populasi GERD di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Rerata ketebalan lemak viseral subjek NERD lebih rendah daripada ERD. Terdapat kecenderungan peningkatan rerata ketebalan lemak viseral seiring dengan peningkatan derajat esofagitis.

Background: Reports about thecorrelation between obesity and GERD had been increasedin the past few years. Along with the increasing understanding of GERD, there are roles of proinflammatory cytokines and adipocytokines which are mostly contained in abdominal fat tissue. In several populations, visceral fat thicknessis associated with the increased incidence of erosive esophagitis.
Objective: To determine visceral fat thickness profile in GERD population in Cipto Mangunkusumo National General Hospital.
Methods: A cross-sectional study of 56 adult patients with GERD symptoms was conducted. The subjects were recruited consecutively between April and Oktober 2018 at Cipto Mangunkusumo National Hospital in Jakarta. Gastroesophageal Reflux Disease Questionnaires (GERDQ) were used to select research subjects and Ultrasonography examination was used to determine visceral fat thickness. Esophageal erosions were diagnosed using upper gastrointestinal endoscopy. Bivariate analysis was used to determine visceral fat thickness difference between esophagitis and non-esophagitis group.
Results: More than half of this research subject were patients who suffer erosive reflux disease(55,4%), which dominated by patient with esophagitis class A, regarding to Los Angeles (LA) classifications, there were 64,5% of all ERD patients. The mean visceral fat thickness in erosive reflux disease (ERD) group slightly higher than in non-erosive reflux disease (NERD) group (49,0 mm vs 47,9 mm respectively). There is an increasing trend in mean visceral fat thickness as the esophageal erosion progresses (47.6 mm for grade A, 50.0 mm for grade B, and 53,5 for grade C).
Conclusion: ERD is more common than NERD in Cipto Mangunkusumo General Hospital's GERD population. The mean visceral fat thickness in ERD group is higher than in NERD group. There is an increasing trend in mean visceral fat thickness as the esophageal erosion progresses.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peni Mutalib
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Pencapaian prestasi puncak seorang atlet ditentukan oleh faktor-faktor fisik dan non fisik. Salah satu faktor fisik adalah ciri anatomik yang khas; meliputi somatotipe, tinggi dan berat badan, persentase lemak, massa tubuh tanpa lemak, indeks skelik, panjang segmen bawah tungkai relatif, nilai bitrokanter relatif dan panjang lengan. Semua unsur ciri anatomik ini bila digambar dalam sebuah grafik sekaligus disebut sebagai profil anatomik. Tujuan penelitian adalah mencari dan melihat posisi profil atlet top kita, khususnya dibandingkan terhadap profil atlet dunia. Dengan ini dapat dilaksanakan usaha untuk menyusun profil unggul yang menunjang pencapaian prestasi. Subyek penelitian adalah 27 atlet SEA-Games '85 (kel. I), 27 atlet DKI yang tidak termasuk tim pelatnas (kel. II), dan mahasiswa FK Unika Atma Jaya yang tidak tercatat sebagai anggota pelatda atau pelatnas. Pengukuran dilakukan secara antropometrik, somatotipe dinilai dengan cara Heath & Carter. Analisis data dilakukan dengan t-test, koefisien asosiasi antara variabel dan prestasi, serta koefisien variasi untuk menilai heterogenitas variabel.
Hasil dan Kesimpulan: Atlet tiap kategori kelompok I dan II mempunyai profil yang serupa, hanya atlet I lebih unggul dalam semua unsur kecuali nilai PSBT relatif. Keunggulan ini masih jauh di bawah keunggulan profil anatomik atlet dunia.
Telah disusun profil anatomik nyata untuk tiap kategori (pelempar, pelompat dan pelari) yang lebih unggul daripada yang ada kini. Terdapat kesan atlet asal Irian Jaya memiliki profil anatomik yang lebih mendekati profil unggul dibandingkan atlet asal non Irian Jaya. Kenyataan dominasi atlet Irian Jaya dalam cabang atletik (11 dari 27 atlet), dan pengamatan bahwa mereka mempunyai keunggulan profit dalam 6 unsur, sama unggul dalam 4 unsur, dan hanya 1 unsur kurang unggul dibandingkan atlet non Irian Jaya, penulis menyarankan agar kita berpaling ke daerah Irian Jaya guna menemukan atlet dengan profil anatomik.
"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizasjah Daud
"ABSTRAK
Telah banyak disepakati bahwa analisis cairan sendi berperanan penting untuk menegakkan diagnosis kelainan sendi yang berhubungan dengan efusi cairan dalam ruang sendi. Dengan melakukan analisis cairan sendi, dapat diperoleh informasi yang tepat tentang kelainan sendi. Hasii uji serologis atau kimia darah yang abnormal seperti,f aktor reumatoid yang positif, terdapatnya antibodi antinuklir atau peningkatan kadar asam urat darah dapat menimbulkan interpretasi yang salah dan tidak dapat menentukan sifat kelainan yang terjadi di dalam persendian.
Pada beberapa kelainan sendi dengan efusi seperti yang terjadi pada artritis kristal, artritis septik, "systemic lupus erythematosus" serta beberapa kelainan sendi lainnya, diagnosis dan etiologi kelainan sendi dapat ditegakkan dengan analisis cairan sendi dalam waktu yang relatif singkat.
Pada keadaan tertentu, walaupun analisis cairan sendi tidak bersifat diagnostik, akan tetapi pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang. Analisis cairan sendi dapat digunakan untuk membedakan suatu kelainan sendi degeneratif dari berbagai kelainan sendi inflamatif. Dengan memeriksa cairan sendi, beberapa kemungkinan diagnosis banding ada kelainan sendi yang dihadapi akan dapat disingkirkan, sehingga arah penatalaksanaannya dapat ditentukan dengan lebih seksama. Selain itu aspirasi cairan sendi dapat mengurangi tegangan membran sinovial, sehingga penderita akan segera merasakan perbaikan kelainan sendi yang dideritanya.
Beberapa penelitian cairan sendi yang pernah dilakukan umumnya cenderung untuk mengevaluasi nilai diagnostik suatu parameter cairan sendi tertentu untuk menegakkan diagnosis kelainan sendi tertentu yang spesifik.
Pada pihak lain, sekalipun telah terdapat berbagai standard analisis cairan sendi, masih jarang dilakukan evaluasi nilai diagnostik pemeriksaan ini, walaupun analisis cairan sendi sangat penting untuk menunjang diagnosis klinis efusi sendi, terutama pada keadaan klinis yang meragukan.
Selain itu anggapan yang salah bahwa prosedur analisis cairan sendi merupakan pemeriksaan yang sukar dilakukan serta memerlukan biaya yang tinggi, menyebabkan prosedur yang dapat menghasilkan informasi yang sangat berharga dan mullah dikerjakan ini seringkali tidak dilakukan.
Dengan terdapatnya peningkatan automatisasi laboratorium, sebenarnya pada saat ini pemeriksaan beberapa parameter cairan sendi telah dapat dikerjakan sekaligus dalam waktu yang relatif singkat dengan menggunakan multi channel analyzer. Akan tetapi karena adanya berbagai keterbatasan dalam hal sarana peralatan, reagen, dana dan tenaga yang terlatih, agaknya perlu ditetapkan suatu pemeriksaan cairan sendi rutin yang mudah dilakukan dengan biaya yang terjangkau. "
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sudiro Waspodo
"Pendahuluan
Sirosis hati (SH) telah diketahui merupakan suatu keadaan yang ireversibel di dalam perkembangannya, SH dapat berakhir dengan gagal hati, hipertensi portal, atau dapat menunjukkan aktivitas yang dapat dikelompokkan menjadi kelompok yang mengalami progresi, regresi atau menetap. Keluhan subyektif pada stadium awal penyakit SH biasanya sangat sedikit dan tidak jelas. Sedangkan pemeriksaan jasmani sering tidak dapat dipakai sebagai ukuran kecuali bila telah terjadi tanda dekompensasi. Beberapa hasil pemeriksaan laboratorium dapat dipakai untuk pegangan mengikuti perjalanan penyakit seperti transaminase, bilirubin, kolesterol, BSP, dan Indocyanin green.
Pemeriksaan tersebut mempunyai beberapa kelemahan seperti sifat tidak spesifik pada pemeriksaan transaminase, gambaran bilirubin tidak hanya mencerminkan kerusakan parenkim hati, penurunan kolesterol bare terjadi pada penyakit yang berat, sedangkan pemeriksaan BSP mengandung bahaya alergi.
Akhir-akhir ini telah diperkenalkan kegunaan pemeriksaan kadar garam empedu serum sebagai alat penyaring adanya penyakit hati dan untuk mengikuti perjalanan penyakit hati. Berbagai hasil penelitian telah membuktikan pemeriksaan kadar garam empedu serum post prandial lebih sensitif sebagai alat penyaring adanya penyakit hati bila dibandingkan dengan pemeriksaan kadar garam empedu serum puasa. Namun sebaliknya telah dibuktikan bahwa nilai kadar garam empedu serum puasa lebih spesifik untuk penyakit hati. Juga dibuktikan bahwa tinggi rendahnya nilai rata-rata garam empedu serum puasa sesuai dengan berat ringannya penyakit Sirosis hati, meskipun masih didapatkan adanya angka-angka yang tumpang tindih.
Kegunaan pengukuran kadar garam empedu serum puasa sebagai petanda prognostik penyakit SH telah dilaporkan di luar negeri dan Indonesia, meskipun penelitian di Indonesia memberikan hasil yang berbeda. Penderita SH dengan kadar garam empedu total serum puasa yang tinggi mempunyai risiko mati yang lebih besar pada tahun pertama dibandingkan dengan penderita SH dengan kadar garam empedu total serum puasa, yang rendah.
Bertolak dari hal tersebut di atas ingin dikaji kembali manfaat lebih lanjut dari kadar garam empedu serum puasa sebagai salah satu alat prognostik dan sarana untuk mengikuti perkembangan penyakit sirosis hati."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prijander L.B Funay
"Latar Belakang:Keterlambatan penanganan pasien STElevation Myocardial Infarction(STEMI)menjadi penyebab tingginya mortalitas dan kejadian MACE (Major Adverse Cardiac Events). Di Indonesia, pasien pasien STEMI sering mengalami keterlambatan penanganan. Upaya yang dapat dilakukan di fasilitas kesehatan dengan kemampuan Primary Percutaneous Coronary Intervention(PCI) adalah mencapai reperfusi tepat waktu pasien STEMI. Berbagai strategi dilakukan untuk mencapai reperfusi tepat waktu diantaranya dengan menerapkan program CODE STEMI. Program CODE STEMI merupakan notifikasi STEMI melalui sistem panggilan tunggal yang dapat mempercepat waktu reperfusi pasien STEMI di rumah sakit.
Tujuan:Mengetahui pengaruh penerapan program CODE STEMI terhadap Door to Balloon Time (D2BT) dan MACE pasien STEMI yang menjalani PrimaryPCI di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Metode:Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada 255 rekam medis pasien STEMI yang menjalani PrimaryPCI di RSUPN Cipto Mangunkusumo sebelum penerapan program CODE STEMI (2015-2016) dan sesudah penerapan program CODE STEMI (2017-2018). Analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan uji Mann whitney untuk D2BT dan chi square untuk MACE.
Hasil:Terdapat 111 pasien pada kelompok Non CODE STEMI dan 144 pasien pada kelompok CODE STEMI. D2BT berkurang bermakna 110 menit dari 275 (99-2356) menit pada kelompok Non CODE STEMI menjadi 165 (67-1165) menit pada kelompok CODE STEMI (p <0.001). Kejadian MACE (48,4% vs 51,6%; p = 0,120), gagal jantung (46,6% vs 42 %; p = 0,288), syok kardiogenik (27% vs 19,4%; p = 0,152), aritmia (12,6% vs 6,2%; p = 0,079), stroke (4,5% vs 5,6%; p = 0,705) dan angka mortalitas (7,2% vs 3,5%; p = 0,179) sama antara kedua kelompok.Kejadian infark berulang dan PCI ulang berkurang bermakna pada kelompok CODE STEMI (4,5% vs 0,7%; p = 0.047, 2,7% vs 0,0%; p = 0.047).
Simpulan:Program CODE STEMI memperbaiki D2BT. Program CODE STEMI tidak menurunkan kejadian MACE.

Background: Delay in the management of ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI)patients is a cause of high mortality and the incidence of Major Adverse Cardiac Events (MACE).In Indonesia, STEMI patients often experience delays in treatment. Efforts that can be made in health facilities with Primary PercutaneousCoronary Intervention(PCI)capability are achieving timely reperfusion of STEMI patients. Various strategies were carried out to achieve timely reperfusion including implementationthe CODE STEMI program. The CODE STEMI program is a STEMI notification through a single call system that can speed up the reperfusion time of STEMI patients in the hospital.
Objective:To determine the effect of the implementation of the CODE STEMI program on Door to Balloon Time (D2BT) and MACE of STEMI patients undergoing Primary PCI at Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital Jakarta.
Methods: This was a retrospectivecohort study on 255 medical records of STEMI patients undergoing Primary PCI at Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital before the application of the CODE STEMI program (2015-2016) and after the application of the CODE STEMI program (2017-2018). Data analysis was performed quantitatively by Mann Whitney test for D2BT and chi square for MACE
Results:There were 111 patients in the Non CODE STEMI group and 144 patients in the CODE STEMI group. D2BT decreased significantly 110 minutes from 275 (99-2356) minutes in the Non CODE STEMI group to 165 (67-1165) minutes in the CODE STEMI group (p <0.001). MACE events (48.4% vs 51.6%; p= 0.120), heart failure (46.6% vs 42%; p = 0.288), cardiogenic shock (27% vs 19.4%; p = 0.152), arrhythmia (12.6% vs 6.2%; p = 0.079), stroke (4.5% vs 5.6%; p = 0.705) and mortality rate (7.2% vs 3.5%; p = 0.179 ) were similar between the two groups. The incidence of reinfarction and repeated PCI was significantly reduced in the CODE STEMI group (4.5% vs 0.7%; p = 0.047, 2.7% vs 0.0%; p = 0.047).C
onclusions:The CODE STEMI program reduces D2BT. The CODE STEMI program did not reduce the overall MACE incidence but reduced the incidence of reinfarction and repeated PCI of STEMI patients undergoing Primary PCI at Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marsubrin Daramin
"Katarak adalah suatu keadaan patologis dimana pada lensa terjadi kekeruhan yang dapat berakibat menurunnya tajam penglihatan bahkan dapat menimbulkan kebutaan. Kebutaan yang disebabkan oleh katarak ini tak dapat dicegah akan tetapi dapat ditanggulangi dengan bedah katarak.
Di RSCM pada penderita-penderita pasca bedah katarak lazimnya diberikan steroid topikal dengan frekuensi penetesan umumnya 3 kali. Hal ini bukan tidak mungkin akan membuka peluang terhadap pemakaian dalam jangka waktu lama dengan segala akibat yang dapat ditimbulkannya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh steroid topikal terhadap edema kornea pasca bedah katarak serta lama pemakaiannya."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T58495
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yassir
"LATAR BELAKANG. Progresifitas penurunan sekresi insulin sudah terjadi sebelum individu didiagnosis sebaai DM tipe-2 baru karena kelelahan sel beta pankreas untuk mengatasi resistensi insulin. Efek glukotoksisitas, Iipotoksisitas dan amiloidosis pada sel beta pankreas menyebabkan proses tersebut terus berlanjut walaupun pasien telah diterapi dengan baik. Berbagai penelitian memperlihatkan sebagian besar penyandang DM tipe-2 baru ditemukan dengan fungsi sel beta pankreas yang sudah rendah. Populasi tersebut lebih cepat mengalami kegagalan terapi dibandingkan populasi dengan fungsi sel beta pankreas yang masih baik akibat progresifitas penurunan sekresi insulin yang lebih cepat, sedangkan resistensi insulin dalam tingkatan yang sama. Akibatnya prevalensi kegagalan mencapai kontrol glukosa darah yang baik menjadi tinggi pada populasi tersebut, dan merupakan salah satu penyebab komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular yang semakin meningkat. Di poliklinik diabetes RSCM dan berbagai puskesrnas di Jakarta, sebagian besar penyandang DM tipe-2 sulit untuk mencapai kontrol glukosa darah yang baik dan tingginya prevalensi komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular. Apakah populasi tersebut sudah berada dalam fungsi sel beta pankreas yang rendah? Penelitian ¡ni bertujuan untuk mengetahui gambaran fungsi sel beta pankreas melalui
perhitungan HOMA-B dan resistensi insulin melalui perhitungan HOMA-IR pada
subyek penyandang DM tipe-2 baru yang berobat di poliklinik diabetes RSCM.
METODOLOGI. Dirancang studi potong lintang dengan analisis deskriptif. Prosedur yang dilakukan adalah subyek dipuasakan selama 10 jam lalu diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa dan insulin puasa. Dari hasil tersebut dilakukan penghitungan HOMA-B dan HOMA-IR.
HASIL. Telah dilakukan pengambilan data terhadap 100 subyek. Nilai median usia 52 tahun. 51% dan subyek mempunyai riwayat keluarga DM dan sebagian besar subyek adalah obes sebanyak 54%. Sebagian besar subyek dalam kelompok nilai HOMA-B yang sangat rendah yaitu kurang dari 25 pmol/mmol sebanyak 55% dengan nilai median 17,14 pmol/mmol, dan dalam kelompok nilai HOMA-IR yang rendah yaitu kurang dari 3 pmol-mmol/l2 scbanyak 61% dengan niai median 245 pmol-mmol/l2.
SIMPULAN. Sebagian besar penyandang DM tipe-2 baru di poliklinik diabetes RSCM adalah obes dan manpunyai riwayat keluarga DM. Sebagian besar subyek berada dalam kelompok fungsi sel beta pankreas dan resistensi insulin yang rendah.

BACKGROUND. The declining of insulin secretion already happened before the patent diagnosed type 2 diabetic, caused by beta cell pancreas failure in order to compensate insulin resistance. The glucotoxicity and lipotoxicity effect combined with amyloidosis onì beta cell pancreas caused continuing declining process progessiveIy even though the patient has been treated. Most of the previous studies showed that many new type 2 diabetic patients have already had low beta cell finction. This population failed to achieve targeted therapy faster than population with good beta cell function, because faster the declining of insulin secretion. However, innsulin resistance was almost constant. Because of that, prevalence of failed to achieve good blood glucose control were high and one of the mechanisms cause micro and macro vascular complication will increase. Many type 2 diabetic who attended in endocrine metabolic clinic in Cipto Mangunkusumo hospital and Primary Health Care in Jakarta failed to achieve good blood glucose control and there were high incidence of macro and micro vascular complication We hypothesized that many new type 2 diabetIc patients in endocrine metabolic clinic in Cipto Mangunkusumo have already had low beta cells function. We investigated the profile of beta cells function by calculated IIOMA-13 and insulin resistance by calculated ROMA-IR in new type 2 diabetic patients who attenckxl in endocrine metabolic clinic ¡n Cipto Mangunkusumo hospital.
METHOD. A descriptive-cross sectional study was conducted. After 10 hours fasting, new type 2 diabetic patients were checked for fasting blood glucose and fasting insulin concentration. Based on those numbei, The HOMA-B and HOMA-IR were calculated.
RESULT. Based on the results of 100 patients. Median value of age was 52 years old. 51% of the subjects had family history of diabetic and most of them were obese in 54% subjects. Most of the subjects were in lower HOMA-B value less than 25 Pmol/mmol in 55% of the subiects with median NOMA-B vahe was 17,14 pmol/mmol and wese in lower HOMA-IR less than 3 pmol-mmol,I2 in 61% of the subjects with median HOMA-ER value was 2,45 pmol-mmol/12 groups.
CONCLUSION. Many new type 2 diabetic patients, who attended in endocrine metabolic Clinic in Cipto Mangunkusumo hospital, were obese and have already had family history of diabetic. Most of the subjects were in low pancreas beta cell function and insulin resistance groups."
2007
T23366
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>