Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hutauruk, Syahrial M.
Depok: Badan Penerbit FK UI, 2012
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muslim, translator
"ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) paru masih terus menjadi masalah kesehatan di dunia terutama di negara berkembang. Streptomisin adalah suatu antibiotik golongan aminoglikosida yang harus diberikan secara parenteral pada pasien TB paru kategori dua dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme ekstraselular. Kekurangan dari streptomisin adalah efek samping toksik pada saraf kranial kedelapan yang dapat menyebabkan disfungsi vestibular dan/atau hilangnya pendengaran. Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran dan dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih poten, daftar obat-obatan ototoksik makin bertambah. Tuli akibat ototoksik yang menetap dapat terjadi berhari-hari, berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah selesai pengobatan. Penggunaan obat ini masih menjadi dilema, karena efek samping streptomisin dapat menyebabkan tuli sensorineural, sedangkan obat ini perlu diberikan pada penderita TB paru kategori dua dalam jangka waktu tertentu. Pada penelitian ini, yang melibatkan 46 sampel, pasien TB paru setelah terapi Streptomisin sulfat yang mengalami penurunan pendengaran >15 dB pada frekuensi 8000 Hz sebanyak 12 sampel (26,1%) dan secara statistik bermakna.

ABSTRACT
Pulmonary tuberculosis is still a health problem in the world, especially in developing countries. Streptomycin is an aminoglycoside class of antibiotics that must be given parenterally in patients with category two of pulmonary tuberculosis and working to prevent the growth of extracellular organisms. Disadvantages of streptomycin is toxic side effects on the eighth cranial nerve that can cause vestibular dysfunction and / or loss of hearing. Ototoxic has long been known as a side effect of treatment with increasing medical and drugs more potent, ototoxic drugs list growing. Deafness due to ototoxic persistent can occur days, weeks or months after completion of treatment. The use of these drugs is still a dilemma, because the side effects of streptomycin can cause sensorineural hearing loss, whereas these drugs should be given to category two of pulmonary tuberculosis patients within a certain period. In this study, involving 46 samples, pulmonary tuberculosis patients after therapy Streptomycin sulfate experiencing hearing loss > 15 dB at a frequency of 8000 Hz as many as 12 samples (26.1%) and statistically significant.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Anggiaty Idris Gassing
"Latar Belakang: Kanker kepala dan leher terdapat 10 dari keseluruhan kasus kanker di seluruh tubuh. Efek samping akibat terapi kanker berdampak signifikan pada kualitas hidup pasien. Instrumen yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup pasien kanker kepala dan leher salah satunya adalah University of Washington Quality of Life UW-QOL. Hingga saat ini belum pernah dilakukan adaptasi kuesioner UW-QOL ke bahasa Indonesia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan mendapatkan instrumen UW-QOL adaptasi bahasa Indonesia yang valid dan reliabel untuk menilai kualitas hidup pasien kanker kepala dan leher.
Metodologi: Penelitian ini berdesain potong lintang, dilakukan di poliklinik THT FKUI/RSCM dr. Cipto Mangunkusumo terhadap pasien kanker kepala dan leher usia dewasa.
Hasil: Uji validitas menggunakan uji korelasi Spearman dengan korelasi bermakna pada seluruh butir pertanyaan di tingkat signifikansi p

Background: Head and neck cancer accounts for 10 of all cancer cases throughout the body.. Side effects due to cancer therapy have a significant impact on patient quality of life. The University of Washington Quality of Life UW QOL is the most frequent intruments used to assess the quality of life of head and neck cancer patients. At present, the Indonesian version of UW QOL questionnaire is not available.
Objective: This study aims to obtain a valid and reliable Indonesian adaptation of UW QOL to assess the quality of life of head and neck cancer patients.
Method: Cross sectional study was conducted in ORL HNS Department outpatient clinic dr. Cipto Mangunkusumo hospital towards 41 adult patients with head and neck cancer.
Result: The validity test using Spearman correlation test with significant correlation in all questions items at the level of significance p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zuki Saputra
"Latar belakang: Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan sebuah masalah kesehatan global. Berdasarkan keberadaan polip hidung, RSK dikategorikan menjadi RSK dengan dan tanpa polip hidung. Rinosinusitis yang memiliki gejala persisten walaupun mendapatkan tata laksana yang tepat disebut sebagai rinosinusitis refrakter. Kondisi ini dapat menyebabkan tatalaksana berlebih terkait kegagalan dalam tindakan pembedahan. Terdapat banyak faktor yang berperan dalam patogenesis RSK refrakter, seperti infiltrasi eosinofil, biofilm dan asma.
Tujuan penelitian: Mengetahui pengaruh infiltrasi eosinofil, biofilm dan asma terhadap RSK dengan polip hidung bilateral refrakter.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan melibatkan 37 pasien RSK dengan polip hidung bilateral di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Data diambil dari rekam medis (jenis kelamin, usia, atopi, dan asma) dan hasil pemeriksaan preparat blok paraffin polip hidung (infiltrasi eosinofil dan biofilm). Analisis data dilakukan menggunakan Statistical Program for Social Science (SPSS) for Windows versi 20.
Hasil: Kejadian refrakter ditemukan pada 29 subjek (78,4%). Berdasarkan analisis bivariat, tidak terdapat asosiasi yang bermakna antara infiltrasi eosinofil, biofilm, asma, atopi, usia, dan jenis kelamin dengan kejadian RSK dengan polip hidung bilateral refrakter (p>0,05). Kesimpulan: Tidak terdapat pengaruh signifikan dari infiltrasi eosinofil, biofilm dan asma terhadap RSK dengan polip hidung bilateral refrakter.

Background: Chronic rhinosinusitis (CRS) is a global health issue. Based on the existence of nasal polyps, CRS is further categorized into CRS with and without nasal polyps. Rhinosinusitis that show persistent symptoms despite suitable treatment is referred to as refractory rhinosinusitis. This condition could cause over-treatment due to failed surgery. There are a lot of factors that contribute towards the pathogenesis of refractory CRS, such as eosinophil infiltration, biofilm, and asthma
Aim: To assess the impact of eosinophil infiltration, biofilm, and asthma towards refractory CRS with bilateral nasal polyps.
Methods: This is a cross-sectional study involving 37 CRS with bilateral polyp nasal patients at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Data were obtained from medical records (sex, age, atopy, and asthma) and nasal polyp paraffin block examination (eosinophil infiltration and biofilm). Data analysis was performed using Statistical Program for Social Science (SPSS) for Windows version 20.
Results: 29 subjects (78,4%) had refractory CRS with bilateral nasal polyps. Based on bivariate analysis, no significant association was shown between eosinophil infiltration, biofilm, and asthma, age, and sex and refractory CRS with bilateral nasal polyps.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Handayani
"Latar belakang: Kualitas suara ditentukan oleh karakteristik elastisitas pita suara, resonansi dan struktur di saluran vokal. Produksi suara merupakan salah satu komponen yang berperan penting dalam komunikasi verbal, interaksi sosial serta merupakan identitas dan kepribadian tiap individu yang berkontribusi pada kesejahteraan dan kualitas hidup seseorang. Pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi tanpa adanya residu dapat mengalami fibrosis pada velofaring dan memicu gangguan penutupan velofaring selama bicara sehingga menimbulkan hipernasal.

Tujuan: Mengetahui karakteristik dan proporsi skor nasalance pada pasien KNF pasca radiasi dengan atau tanpa gangguan persepsi bicara.

Metode: Penelitian ini merupakan studi survei deskriptif dengan teknik cross sectional dan kemudian dilanjutkan pengambilan data retrospektif pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode Juli – Agustus 2023. Parameter yang dinilai adalah skor nasalance dengan menggunakan nasometer.

Hasil: Skor nasalance pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi pada uji gajah 1 didapatkan median 14 (7-22), rerata uji hantu 1 39,8% + 4,5, dan rerata uji sengau 62,2 + 6,9, dengan titik potong skor nasalance pada uji gajah 1 antara persepsi bicara normal dengan gangguan persepsi bicara hipernasal adalah 15.5% dan pada uji hantu 1 adalah 42.5%. Jenis kelamin dan dosis radiasi pada otot konstriktor faring memiliki kecenderungan hubungan yang bermakna terhadap gangguan persepsi bicara pada pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi.

Kesimpulan: Diperlukan studi prospektif pada pasien karsinoma nasofaring dengan penilaian sebelum dan sesudah radiasi serta evaluasi follow-up untuk menilai efek radiasi yang mencakup semua aspek fungsional suara dan ucapan yang relevan.


Background: Voice quality is determined by the elasticity of the vocal cords, resonance, and structures in the vocal tract. Voice production is a component that plays an important role in verbal communication and social interaction. It is the identity and personality of each individual that contribute to their welfare and quality of life. Post-radiation nasopharyngeal carcinoma patients without any residue can experience fibrosis in the velopharynx and trigger disruption of the velopharyngeal closure during speech, causing hypernasality.

Objective: To determine the characteristics and proportions of the nasalance score in post-radiation NPC patients with or without impaired speech perception.

Methods: This research is a descriptive study using cross-sectional techniques, followed by retrospective data collection of post-radiation nasopharyngeal carcinoma patients at CMGH Dr. Cipto Mangunkusumo for the period July–August 2023. The parameter assessed is the nasalance score using a nasometer.

Results: The nasalance score in the Gajah 1 test obtained a median of 14 (7-22), for the mean value of Hantu 1 test was 39.8% + 4.5, and for the mean value of Sengau test was 62.2 + 6.9, with a nasalance score cut point in Gajah 1 test between normal speech perception and hypernasal was 15.5% and in Hantu 1 test was 42.5%. Gender and radiation dose to the pharyngeal constrictor muscle tend to have a significant relationship with impaired speech perception in post-radiation nasopharyngeal carcinoma patients.

Conclusion: A prospective study is needed in nasopharyngeal carcinoma patients with pre- and post-radiation assessment and follow-up evaluation to assess radiation's effects, including all relevant functional aspects of voice and speech."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hasnan Habib
"Latar belakang: Difagia atau gangguan menelan merupakan gejala yang dapat memperburuk morbiditas dan mortalitas pasien yang mengalaminya baik yang bersifat mekanik maupun neurogenik. Keluhan ini sering ditemui pada poli rawat jalan THT RSCM terutama di poli THT divisi Bronkoesofagologi. Sampai saat ini belum ada instrumen yang bersifat patient reported outcome untuk skrining disfagia, sehingga dalam penelitian ini dilakukan adaptasi kuesioner EAT-10 ke bahasa Indonesia. Kuesioner ini dirancang untuk menilai keparahan gejala disfagia yang sudah banyak digunakan di berbagai negara yang sudah diadapatasi ke bahasa masing-masing negara.
Tujuan: Mengetahui validitas dan reliabilitas kuesioner EAT-10 versi bahasa Indonesia serta mengetahui nilai kepositifan EAT-10 versi bahasa Indonesia terhadap pemeriksaan FEES.
Metode: Pasien-pasien dengan gejala disfagia atau gangguan menelan yang terlebih dahulu didiagnosis dengan pemeriksaan FEES yang datang ke poli THT divisi Bronkoesofagologi. Pemeriksaan FEES dengan serat optik lentur untuk melihat kriteria objektif secara struktur anatomi dan gerakan refleks menelan daerah orofaring, kemudian dilakukan anamnesis dan diminta untuk mengisi kuesioner EAT-10 yang sudah diadaptasi ke bahasa Indonesia dengan metode WHO. Uji validitas dilakukan dengan uji korelasi spearman correlation coefficient, dianggap signifikan bila nilai p<0,05. Uji reliabilitas dengan konsistensi internal mencari nilai Cronbach α di atas 0,6 untuk masing-masing dan keseluruhan pertanyaan.
Hasil: Penelitian melibatkan 50 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Kuesioner EAT-10 ini memiliki nilai p dan korelasi yang signifikan (0,00) untuk setiap pertanyaan walaupun pada pertanyaan keenam yaitu “rasa sakit saat menelan” memiliki kekuatan korelasi yang lemah (0,408). Kuesioner ini juga memiliki Cronbach α di atas 0,6 untuk masing-masing pertanyaan (0,9) dan memiliki kepositifan 80% terhadap pemeriksaan FEES.
Kesimpulan: Instrumen EAT-10 versi bahasa Indonesia telah diadaptasi lintas budaya (transcultural), valid dan reliabel sebagai instrumen untuk menilai gejala pada disfagia serta memiliki nilai kepostifan yang baik terhadap pemeriksaan FEES.

Backround: Disphagia or swallowing disorder is a symptom that can exacerbate the morbidity and mortality of patients who experience it, both mechanical and neurogenic type. This complaint is often found in the RSCM ENT outpatient clinic, especially in the ENT polyclinic Bronchoesophagology division. Until now there was no patient reported outcome instrument that used for screening of dysphagia, so in this study an adaptation of the EAT-10 questionnaire to Indonesian version was carried out. This questionnaire is designed to assess the severity of dysphagia symptoms which have been widely used in various countries that have been adapted to the language of each country.
Objective: To determine the validity and reliability of the Indonesian version of the EAT-10 questionnaire and also to determine the positivity value between EAT-10 Indonesian version towards FEES examination.
Methods: Patients with symptoms of dysphagia or swallowing disorders diagnosed by FEES examination who came to the ENT Bronchoesophagology outpatient clinic and has been diagnosed with dysphagia by FEES examination. First of all FEES examination objectively evaluate anatomical structure and swallowing reflex in the oropharynx, then anamnesis was carried out and asked to fill out the EAT-10 questionnaire which had been adapted to Indonesian using the WHO method. The validity test was carried out using the Spearman correlation coefficient test. It was considered significant if the p value <0,05. The reliability test with internal consistency looks for a Cronbach α value above 0,6 for each and all questions.
Results: The study involved 50 subjects who met the inclusion criteria. This EAT-10 questionnaire has a significant p-value (0,00) and correlation for each question even though the sixth question “pain when swallowing” has a weak (0,408) correlation strength. This questionnaire also has a Cronbach α above 0,6 for each question (0,9) and has 80% positivity value towards FEES examination.
Conclusion: The Indonesian version of the EAT-10 instrument has been adapted cross-culturally, is valid and reliable as an instrument for assessing symptoms of dysphagia and also has a good positivity value towards FEES examination
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Vania Valentine Handoko
"Latar belakang: Atresia aural kongenital dengan mikrotia merupakan gangguan perkembangan daun telinga dan sering dikaitkan dengan malformasi saluran pendengaran eksternal serta telinga tengah. Pembedahan pada atresia aural kongenital dianggap sebagai salah satu yang paling sulit dan membutuhkan penilaian pencalonan yang tepat untuk menentukan operasi. Sistem penilaian Jahrsdoerfer berdasarkan pemeriksaan tomografi komputer (CT scan) masih sering digunakan untuk menentukan kandidat yang tepat untuk operasi namun dirasa terdapat celah dan ketidakcocokan pada skor ini sehingga diperlukan pengukuran lebih detail untuk keperluan kandidasi pembedahan yang lebih baik.
Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang terhadap pasien mikrotia dengan atresia aural kongenital unilateral di RSUPN Cipto Mangunkusumo menggunakan CT scan. Parameter yang diukur meliputi volume mastoid, volume ruang telinga tengah, diameter tingkap bundar, diameter tingkap lonjong, diameter medial liang telinga, orientasi nervus fasialis, dimensi kompleks maleus inkus, koneksi inkus stapes serta kelengkapan struktur stapes.
Hasil: Rerata volume telinga tengah, jarak serta sudut orientasi nervus fasialis, diameter medial liang telinga, dimensi kompleks maleus inkus, volume mastoid, diameter tingkap bundar dan diameter tingkap longkong secara signifikan (p<0,05) berukuran lebih kecil pada telinga mikrotia dibandingkan sisi kontralateral.
Kesimpulan: Berdasarkan beberapa parameter telinga tengah mikrotia unilateral yang dilakukan pengukuran dengan CT scan diperoleh seluruh parameter telinga tengah sisi mikrotia memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan kontralateral.

Introduction: Congenital aural atresia with microtia is a developmental disorder of the auricle and is often associated with malformations of the external auditory canal as well as the middle ear. Surgery in congenital aural atresia is considered to be one of the most difficult and requires proper candidature assessment to determine surgery. The Jahrsdoerfer scoring system based on computed tomography (CT) scans is still often used to determine appropriate candidates for surgery, but there are gaps and discrepancies in this score. Detailed measurements requiered for better surgical candidacy.
Methods: This study is a cross-sectional study of microtia patients with unilateral ear canal atresia at Cipto Mangunkusumo Hospital using CT scan. Parameters measured included mastoid volume, middle ear space volume, round window diameter, oval window diameter, medial diameter of the ear canal, orientation of the fascial nerve, dimensions of the malleus incus complex, incus stapes connection and completeness of the stapes structure.
Results: The mean middle ear volume, distance and angle of orientation of the fascial nerve, medial diameter of the ear canal, dimensions of the malleus incus complex, mastoid volume, round window diameter and oval  window diameter were significantly (p<0.05) smaller in the microtia ear than the contralateral side.
Conclusion: Based on several parameters of the middle ear of unilateral microtia measured by CT scan, all parameters of the middle ear of the microtia side have a smaller size than the contralateral.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andita Dwiputeri Erwidodo
"Latar belakang: Microscopic Ear Surgery (MES) memiliki kelebihan berupa stereoskopis dan operator dapat menggunakan kedua tangan untuk memegang alat. Mikroskop memiliki karakteristik penglihatan sudut pandang lurus dan terbatas, sehingga mulai diperkenalkan Endoscopic Ear Surgery (EES) memiliki sudut pandang luas dan panoramik. Korda timpani berisiko mengalami cedera iatrogenik selama operasi yang mengakibatkan dysgeusia (sensasi logam, pahit, asin, perih, mulut kering atau lidah mati rasa). Penggunaan endoskop memungkinkan visualisasi nervus korda timpani lebih jelas, menghindari reseksi korda dan manipulasi. Tujuan: Mengetahui perbedaan prevalensi dysgeusia pasca-timpanoplasti pada kelompok endoskop dibandingkan dengan mikroskop, serta membuktikan bahwa tidak ada perbedaan antara keberhasilan tandur, perbaikan fungsi pendengaran dan durasi operasi pada kelompok mikroskop dibandingkan dengan endoskop. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif, melibatkan pasien yang merupakan pasien otitis media supuratif kronik dan sudah menjalani timpanoplasti transkanal, dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang teKelompok terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok 1 menggunakan alat mikroskop dan kelompok 2 menggunakan alat endoskop. Pengambilan data berdasarkan rekam medis. Data bersifat dysgeusia subjektif berdasarkan keluhan pasien, diambil pada minggu 1, 2, 4, dan 6. Hasil: Pada penelitian ini didaptkan total subjek penelitian 62 pasien, terdiri atas 35 pasien kelompok 1 dan 27 pasien kelompok 2. Rerata usia pada masing-masing kelompok yaitu, 31,26±9,43 tahun pada kelompok 1 dan 33,81±9,17 tahun pada kelompok 2. Tidak terdapat perbedaan bermakna prevalensi komplikasi dysgeusia pasca-timpanoplasti transkanal pada kelompok endoskop dibandingkan dengan kelompok mikroskop. Total 21 pasien mengalami dysgeusia pada minggu pertama, p=0,94 (RR=1; 95% CI=0,64-1,61). Terdapat penurunan pada minggu ke 2,4 dan 6. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara keberhasilan tandur, perbaikan fungsi pendengaran, dan durasi pada kelompok mikroskop dibandingkan dengan kelompok endoskop. Kesimpulan: Penggunaan alat operasi endoskop dapat menjadi alternatif mikroskop. Dysgeusia akibat cedera nervus korda timpani inta-operasi bukanlah suatu kejadian yang mengancam nyawa dan tidak bersifat permanen, namun hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Background: Microscopic Ear Surgery (MES) has the advantage of being stereoscopic, and the operator can use both hands to hold the instrument. However, microscopes have the characteristics of a straight and limited viewing angle. This limitation led to Endoscopic Ear Surgery (EES), which offers a comprehensive and panoramic viewing angle. An endoscope allows for more precise visualization of the chorda tympany nerve, potentially avoiding cord resection and manipulation. Objective: To determine the difference in the prevalence of post-tympanoplasty dysgeusia in the endoscope group compared with the microscope and to prove that there is no difference between graft completion, improvement in hearing function, and duration of surgery in the microscope group compared with the endoscope. Methods: This study is a retrospective cohort study involving chronic suppurative otitis media patients who have undergone transcanal tympanoplasty, inclusion and exclusion criteria divided into two groups: group 1 using a microscope and group 2 using an endoscope. Data collection is based on medical records. Data are subjective dysgeusia based on patient complaints taken at weeks 1, 2, 4, and 6. Results: Study, 62 research subjects were obtained, consisting of 35 patients in group 1 and 27 in group 2. The average age for each group was 31.26 ± 9.43 years in group 1 and 33.81 ± 9.17 years in group 2. The prevalence of dysgeusia of post-transcanal tympanoplasty in the endoscopy group was no different compared to the microscope group. A total of 21 patients experienced dysgeusia in the first week, p=0.94 (RR=1; 95% CI=0.64-1.61). There was a decrease at weeks 2, 4 and 6. There were no differences between graft success, improvement in hearing function, and duration in the microscope group compared to the endoscope group. Conclusion: Using an endoscope operating tool can be an alternative to a microscope, offering potential patient outcomes and quality of life benefits. Dysgeusia due to injury to the chorda tympanic nerve during surgery is not a life-threatening event and is not permanent, but it can affect the patient's quality of life."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arinda Putri Pitarini
"Latar belakang: Rinitis alergi (RA) merupakan suatu kelainan hidung yang sering memengaruhi kualitas hidup penderitanya. Perubahan kualitas hidup pasien RA secara subjektif dapat diukur dengan kuesioner mini RQLQ dan secara objektif dengan hitung jumlah eosinofil pada mukosa hidung dan kadar IL 5 serum. Tujuan: Mengetahui karakteristik subjek RA dan mengetahui perubahan kualitas hidup, jumlah eosinofil mukosa hidung dan kadar interleukin 5 pada pasien rinitis alergi persisten sedang berat sebelum dan setelah terapi medikamentosa. Metode: Pre eksperimental yang bersifat analitik sebelum dan setelah terapi dengan jumlah subjek RA persisten sedang berat sebanyak 33 orang. Subjek diminta untuk mengisi kuesioner Mini RQLQ, dilakukan kerokan mukosa hidung dan pengambilan darah sebelum dan 2 minggu setelah terapi. Hasil: Didapatkan 14 subjek berjenis kelamin laki-laki dan 19 subjek perempuan dari 33 subjek penelitian dengan rerata usia 32,55 ± 11,67. Sebanyak 31 dari 33 subjek mengalami perubahan bermakna dari kualitas hidup, seluruh subjek mengalami perubahan jumlah eosinofil yang bermakna dan 30 dari 33 subjek mengalami perubahan kadar IL 5 yang responsif setelah terapi selama 2 minggu. Kesimpulan: Kualitas hidup pasien RA persisten sedang berat dapat diukur dengan menggunakan kuesioner mini RQLQ dan jumlah eosinofil mukosa hidung dan kadar IL 5 dapat digunakan untuk evaluasi terapi RA namun tidak untuk pemeriksaan penunjang rutin.

Background: Allergic rhinitis (AR) is a nasal disorders that frequently affects the quality of life. Changes in quality of life AR patient can be measured subjectively using mini RQLQ and objectively by eosinophil count of nasal mucosa and IL 5 level. Objectives: To find the subject characteristic of AR and quality of life, eosinophil count of nasal mucosa and IL 5 level changes of moderate-severe AR patient before and after medicamentosa therapy. Methods: Pre experimental analytic study before and after therapy with 33 subjects of moderate-severe AR. All subjects were asked to fill out Mini RQLQ, collect nasal scrapping and blood specimens before and 2 weeks after therapy. Result: Fourteen subjects were male and 19 were women out of 33 subjects, with mean age 32,55 ± 11,67 years. Thirty one out of 33 subjects had significant quality of life changes, all subjects had significant changes of eosinophil nasal scrapping and 30 out of 33 subjects had significant changes of IL 5 level after 2 weeks of medicamentosa therapy. Conclusion: Allergic rhintis patient quality of life can be measured by mini RQLQ and eosinophil nasal scrapping and IL 5 level can be used for therapy evaluation but not for routine examination."
2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Nurdiana
"Latar belakang: Trakeostomi merupakan pembuatan lubang pada anterior trakea untuk memintas jalan napas. Pada prosedur trakeostomi dapat timbul komplikasi selama operasi dan pascaoperatif.
Tujuan: Mengetahui proporsi komplikasi trakeostomi, sebaran jenis komplikasi yang terjadi dan hubungan karakteristik subjek dengan komplikasi trakeostomi.
Metode: Disain penelitian ini adalah studi potong lintang pada 125 subjek yang menggunakan data sekunder berupa rekam medis.
Hasil: Indikasi sumbatan jalan napas atas merupakan indikasi trakeostomi terbanyak (45,6%). Penyakit primer terbanyak adalah tumor kepala leher (74,4%). Tindakan trakeostomi lebih banyak dilakukan di IGD (63,2%) dan lebih banyak dilakukan dalam keadaan tidak terintubasi (74,4%). Proporsi komplikasi trakeostomi sebesar 44,8%. Komplikasi terbanyak adalah komplikasi dini pascaoperatif (60,7%) berupa emfisema subkutis (82,4%). Dari hasil analisis bivariat, pasien usia dewasa tua bermakna meningkatkan terjadinya komplikasi trakeostomi (p=0,035). Indikasi sumbatan jalan napas juga bermakna meningkatkan terjadinya komplikasi (p=0,048) dan merupakan faktor yang paling kuat meningkatkan terjadinya komplikasi trakeostomi (p=0,025) setelah dilakukan analisis multivariat.
Kesimpulan: Proporsi komplikasi trakeostomi sebesar 44,8% dengan komplikasi terbanyak adalah emfisema subkutis. Indikasi sumbatan jalan napas atas adalah faktor yang paling kuat meningkatkan terjadinya komplikasi trakeostomi sehingga pada kasus tersebut harus dikerjakan secara hati-hati.

Background: Tracheostomy is making holes in the anterior trachea to bypass the airway. In the tracheostomy procedure can arise complications during and postoperative.
Objective: To determine the proportion of complications, the distribution of types of complications, the characteristics of the subject and its relationship with the complications.
Methods: The study design was cross-sectional study on 125 subjects using secondary data from medical records.
Results: The most tracheostomy's indication are upper airway obstruction (45,6%) and the most primary disease is head and neck tumors (74,4%). Tracheostomy performed most often in emergency room (63,2%) and more likely in unintubated patients (74,4%). The proportion of tracheostomy's complications is 44,8%. Most complication was subcutaneous emphysema (82,4%) from early postoperative complications (60,7%). From the results of bivariate analysis, old adults patient giving the incidence of tracheostomy's complications increasing significantly (p=0,035). Upper airway obstruction's indications is the most powerful factor increased the occurrence of tracheostomy's complications (p=0,025) with multivariate analysis.
Conclusions: The proportion of tracheostomy's complications is 44,8%. Most complication was subcutaneous emphysema from early postoperative complications. Upper airway obstruction is the most dominant factor in increasing the tracheostomy's complications, therefore in these cases the procedure should be done carefully.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>