Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Martina Wiwie
Abstrak :
Hubungan antara disabilitas dengan kondisi psikik pasien nyeri punggung ba~ah kronik perlu diperhatikan pada dalam melakukan penatalaksanaan / program rehabilitasi, oleh permasalahan nyeri kronik erat kaitannya dengan hal - hal emosional. Pendekatan yang bersifat biopsikososial mengikutsertakan berbagai disiplin sangat bermanfaat mengatasi disabilitas. Penelitian ini bertujuan melihat sejauh mana korelasi kondisi psikik dengan derajat disabilitas, khususnya keadaan ansietas dan depresi pada pasien nyeri punggung bawah kronik. Disamping itu juga meninjau hubungan kondisi fisik serta intensitas nyeri terhadap disabilitas. Penelitian dilakukan terhadap 65 orang pasien NPBK yang berobat jalan di poliklinik Unit Rehabilitasi Medik RSCM selama bulan Agustus - Oktober 1994. Instrumen yang dipergunakan adalah DAS , PPDGJ II, HDRS, HARS, VAS dan tes Schober. Analisa hubungan antara variabel variabel tersebut dilakukan dengan tehnik korelasi matriks dan regresi bertahap. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang bernakna secara statistik antara disabilitas dengan kondisi psikik, dan tidak ada korelasi bermakna dengan intensitas nyeri maupun kondisi fisik Diperoleh hasil korelasi yang bermakna secara statistik antara derajat depresi dengan tingkat kinerja peran sosial ( r = 0,46 ) dan dengan tingkat disabilitas perilaku keseluruhan (r = 0,43). Kondisi psikik dspresi memberikan sumbangan sebanyak 21 % varians kinerja peran sosial. Penilaian psikopatologi dengan PPDGJ II mendapatkan 58,4 % pasien NPBK mengalami gangguan yang termasuk dalam kelompok Depresi. Keterbatasan fungsi pasien NPBK yang tampak menonjol disfungsinya adalah underactivity, slowness, marital afective, marital sexual, sexual relation, work'performance dan interest in job.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Mardiati Soemardi
Abstrak :
Gangguan skizofreniform masuk ke dalam kelompok psikosis seperti skizofrenia, dengan perbedaan bahwa lama penyakitnya, termasuk fase-fase prodromal, aktif dan residual, adalah kurang dari enam bulan akan tetapi lebih lama dari dua minggu (PPDGJ II). Manschrek dan Petri (1978) menyebutkan bahwa gangguan skizofreniform masuk dalam golongan psikosis akut, yakni suatu psikosis yang terjadinya akut dan pulih kembali dalam keadaan semula dalam waktu singkat. Yang membedakannya dari gangguan skizofrenia adalah lamanya gangguan yang kurang dari enam bulan serta lebih sering ditandai dengan gejala emosi, ketakutan, kebingungan dan halusinasi-halusinasi yang jelas, dan kemungkinan kembali kefungsi pramorbid besar, bahkan tanpa terapi sekalipun. Ciompi (1984) berpendapat fenomena psikosis berkembang dalam tiga fase, yakni fase pra-morbid, fase kedua dan fase ketiga. Fase pra-morbid merupakan kombinasi antara unsur biologik (genetik dan kelainan organik lain) dan pengaruh pengaruh psikososial yang membuat seseorang secara pramorbid peka terhadap psikosis. Ciri kepekaan tersebut berupa rendahnya toleransi kognisi dan emosi terhadap stres yang dihubungkan dengan tidak adekuatnya kemampuan mengolah informasi kompleks. Dalam fase kedua, kejadian-kejadian yang menimbulkan stres dalam kehidupan dapat menimbulkan episoda-episoda psikotik unik atau berulangnya episoda-episoda psikotik produktif akut. Fase ketiga merupakan evolusi jangka panjang yang lebih merupakan faktor psikososial daripada biologik. Jatuhnya seseorang ke dalam gangguan psikosis bila kepekaan sistema saraf pusatnya tersentuh sampai mencapai titik kritis oleh situasi-situasi interpersonal dan kejadian-kejadian didalam kehidupannya yang tidak menguntungkan. Kepekaan ini menurut Ciompi dapat dikenali dari kebanyakan orang karena rendahnya penyaluran kemampuan kognitifnya (Jaw channel capacity).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johannes Janto Thomarius
Abstrak :
ABSTRAK
Sejak dahulu kala infertilitas sudah merupakan masalah. Kisah-kisah tersebut juga bisa didapatkan dalam Al Qur'an dan Alkitab. Hippocrates (460 SM) sebagai bapak kedakteran telah menaruh minat dalam masalah infertilitas dan telah menulis "On Sterile". (IQ) Pada tahun-tahun akhir ini cukup banyak kepustakaan yang menuliskan timbulnya gangguan mental emosional dan ganngguan disfungsi psikoseksual pada pasangan infertil. Menurut Elstein (1975) pasangan infertil secara potensiil mudah mengalami abnormalitas dalam fungsi seksual mereka dan dapat digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu :
1. Infertilitas sebagai penyebab masalah psikoseksual.
2. Masalah psikoseksual yang mendasari infertilitas, seperti vaginismus, impotensi, ketidak sanggupan ejakulasi, ketakutan dan kecemasan.
3. Secara kebetulan sudah mengalami abnormalitas seksual, seperti ketidak mampuan orgasme (anorgasmia) dan ejakulasi prematur. (30)
Juga oleh Berger. (I976) dikatakan bahwa cara yang paling sederhana dan mudah dimengerti adalah adanya konflik psikologik yang dapat menyebabkan infertilitas dan kemudian berakibat pada penampilan seksual (sexual performance) (5). Masalah seksual sering diklasifikasi menurut gangguan penampilan. Pada laki-laki seringkali dijumpai adanya impotensi, ejakulasi prematur atau ejakulasi retarda, serta frekuensi hubungan seks yang berubah. Kekurangan atau kelebihan hubungan seks mungkin berpengaruh terhadap terjadinya infertilitas. Sedangkan pada wanita seringkali mengalami tidak adanya libido (frigiditas), hambatan orgasme dan vaginismus. Baik pada laki-laki maupun pada wanita maka gangguan psikoseksual dapat bersifat primer atau sekunder. (5)
Seibel dan Taymor (1982) menyatakan bahwa pengobatan dan evaluasi dari infertilitas membutuhkan sejumlah besar perhatian terhadap hubungan seks. (30) : Sedangkan Sandler (1959) menyatakan bahwa bukti jelas hubungan antara stres dan infertilitas dapat ditemukan pada pasien yang mengalami dispareunia, ketidak mampuan orgasme dan lain-lain gangguan seksual. (29) Kaplan (1982) menyatakan bahwa pasangan infertil memerlukan evaluasi psikiatrik. Disharmoni perkawinan atau konflik emosional bisa mempengaruhi keintiman hubungan seks, peran suami atau isteri dan dapat secara langsung mempengaruhi fungsi endokrin dan proses fisiologik seperti ereksi, eyakulasi dan ovulasi.(11)?
1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yongky
Abstrak :
Pendahuluan
Gejala depresi pada anak maupun dewasa mempunyai gambaran utama yang sama yaitu: Trias Depresi, yang terdiri dari perasaan yang tertekan atau sedih, Cara berpikir yang lamban atau terhambat dan terjadinya kelambanan psikomotor.(1.6) Walaupun demikian gambaran penyertanya dapat berbeda-beda sesuai dengan tahapan umur. Sering kali gambaran penyerta ini lebih dominan dari pada gambaran utamanya. Bayi dan anak-anak pra sekolah dapat tampak; spastis, cengeng, menarik diri, sukar tidur dan terhambat dalam perkembangannya. Pada anak-anak usia sekolah dan pra remaja dapat timbul cemas perpisahan yang akan menyebabkan anak itu menjadi lekat pada orang tuanya, menolak sekolah atau takut bahwa dirinya atau orang tuanya akan meninggal dunia. Pada anak remaja terutama yang laki-laki dapat timbul tingkah laku menentang atau anti sosial. Yang sering timbul juga adalah keinginan untuk meninggalkan rumah atau perasaan bahwa dirinya tidak dimengerti dan disayangi oleh orang tuanya, kegelisahan, cepat marah dan agresif. Juga sering terdapat rasa murung, keenganan dalam ikut serta pada kegiatan keluarga, penarikan diri dari keaktifan sosial, kadang-kadang mengunci diri dalam kamar. Kesukaran disekolah, kurangnya perhatian terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dilingkungannya dan penyalah gunaan obat dengan segala akibatnya sering kita dapatkan. Berhubung gambaran depresi pada

anak dan remaja itu bermacam-macam sehingga sukar untuk menegakkan diagnosis maka kita perlu mendeteksi keadaaan itu secara dini dan diperlukan alat untuk mengukur keadaan tersebut yang sesuai dengan keadaan di Indonesia.

11. Permasalahan

Sampai sekarang belum ada alat untuk mengukur keadaan depresi pada anak-anak umur 8-15 tahun. Bila ada alat untuk mengukur keadaan depresi tersebut, maka kita dapat melakukan deteksi dini adanya keadaan ini kemudian dapat dilakukan usaha-usaha untuk meringankan penderitaan tersebut dan membebaskan anak dari hambatan perkembangannya. Seringkali diagnosis depresi pada anak-anak sulit ditegakkan, karena gejala-gejalanya tidak seperti depresi pada orang dewasa. Pada anak-anak gejala-gejala depresi dapat bervariasi, antara lain hiperaktivitas, perilaku agresif dengan "acting out", kenakalan-kenakalan yang mirip delinkwensi dan gangguan-gangguan psikosomatik serta gangguan belajar. (15')

Ada beberapa pegangan untuk mendeteksi depresi sedini mungkin yaitu:

1. Perhatikan apakah anak memperlihatkan gejala-gejala adanya afek dan perilaku depresif.

2. Adakah sebelumnya terjadi hal-hal yang berhubungan dengan perpisahan dari orang yang bermakna dalam kehidupan anak itu, atau terjadinya perubahan dalam hubungan antara anak dengan orang yang dicintainya.

3. Keterangan salah seorang dalam keluarganya menderita depresi.

4. Mencoba mengerti proses pikir anak dengan mengadakan?
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Oerip Irawan
Abstrak :
ABSTRAK Peneliti tertarik untuk meneliti apakah ego strength yan kurang kuat serta hostilitas yang tinggi tersebut terdapat pada penderita-penderita penyakit kulit dimana faktor psikologik memainkan peranan yang menonjol. Dalam hal ini penulis tertarik untuk meneliti penderita-penderita neurodermatitis sirkumskripta (NDS) tersebut dapat ditangani secara tepat dan adekuat. Juga harapan peneliti, hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penelitian-penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan NDS khususnya dan penyakit kulit yang lain pada umumnya (dimana juga terdapat peranan faktor psikologik yang menonjol). Tujuan penelitian adalah memperkuat dan membenarkan teori-teori yang menjadi landasan pemikiran peneliti, dengan harapan hasil penelitian ini akan terpakai dan bermanfaat bagi pasien, teman sejawat bagian psikiatri dan bagian kulit. Jadi, pada penelitian ini peneliti ingin membuktikan bahwa ego strength yang rendah dan hostilitas yang tinggi terdapat pada pasien NDS.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hindrayanto Indarto
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan upaya untuk mencari kebenaran terdapatnya ciri-ciri kepribadian yang karakteristik pada pasien glaukoma primer, yang ditandai dengan ketegangan dan kecemasan yang berlebihan, kecenderungan hipokhondriakal serta terdapatnya ciri-ciri obsesif-kompulsif dalam perilakunya.

Penelitian ini termasuk penelitian komparatif. Data yang diteliti dikumpulkan secara prospektif yang dipersiapkan dengan baik. Dapat digolongkan pula dalam peneletian primer observasional dan transversal serta termasuk jenis survei laboratorium karena dilaksanakan di klinik.

Hasil penelitian menunjukkan terdapatnya aspek emosional yang khas yang menyertai glaukoma primer pasien. Kapan situasi emosional tersebut mulai timbul ataukah sebelum ataukah sesudah timbulnya glaukoma sukar ditentukan. Mungkin juga merupakan bagian dari sindrom lain yang berdiri sendiri, untuk dapat menerangkan dengan memuaskan dibutuhkan penelitian lebih lanjut yang lebih mendalam dan bersifat longitudinal.
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelin Saulinggi
Abstrak :
Latar belakang: Provinsi Maluku dilanda konflik berkekerasan sejak awal tahun 1999. Hal ini mendorong ribuan orang untuk mengungsi mencari tempat yang Iebih aman. Tinggal di tempat pengungsian sering menimbulkan ketidaknyamanan dan dapat menimbulkan trauma berkepanjangan. Menurut kepustakaan timbulnya gangguan mental pada pengungsi berhubungan dengan faktor risiko dan pengalaman traumatik yang pemah dialami, serta masalah psikososial yang dihadapi selama di pengungsian. Penelitian dilakukan untuk melihat prevalensi gangguan mental pada pengungsi yang tinggal di lokasi pengungsian di Kota Ambon. Metode: Penelitian merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan potong lintang dengan sampel sebanyak 214 pengungsi berusia 18 - 65 tahun yang tinggal di lokasi pengungsian di Kota Ambon selama bulan Februari - Maret 2006. Data sosiodemografik dan data pengalaman traumatik dan pengungsian diperoleh melalui kuesioner. Data mengenai gangguan mental diperoleh dengan menggunakan instrumen MINI-ICD-10. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program SPSS-13. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan 30,4% responden mengalami gangguan mental, dengan prevalensi terbanyak ialah gangguan yang berhubungan dengan penggunaan alkohol, diikuti gangguan depresi, gangguan cemas menyeluruh, gangguan distimia, episode manik, episode manik yang berkomorbid dengan ketergantungan alkohol, gangguan stres pascatrauma, dan gangguan depresi yang berkomorbid dengan gangguan lainnya. Saat dilakukan analisis bivariat dan multivariat, ditemukan hubungan yang bermakna antara usia dan jenis kelamin dengan terjadinya gangguan mental. Untuk analisis multivariat diperoleh p: 0,07 dan OR: 2,4 untuk variabel usia dan untuk variabel jenis kelamin p: 0,08 dan OR: 0,4. Kesimpulan: Prevalensi gangguan mental pada pengungsi yang tinggal di lokasi pengungsian di Kota Ambon sedikit lebih tinggi dari populasi normal, namun lebih rendah dari penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan pada pengungsi di tempat lain. Hal ini disebabkan keterbatasan instrumen yang digunakan, serta pelaksanaan penelitian jauh setelah kerusuhan terjadi.
Background: Maluku province had riot and conflict since early of 1999 which encouraged thousand of people to move and find a safer place. Living in refugee wards often cause uncomfortable feeling and extended trauma. According to literature source, mental disorders in refugees are related to risk factors, suffered traumatic experiences, and psychosocial problems during their daily live in refugee ward. This study was conducted to recognize the prevalence of mental disorder in adult refugees who lived in refugee wards of Ambon city. Methods: This study was a descriptive study with cross-sectional design. The sample were 214 refugees aged 18 - 65 years old who lived in refugees wards of Ambon city during February - March 2006 period. Sosiodemographic data and data of traumatic experiences and refugee were obtained from questioners. Data of mental disorder was obtained by using MINI-KO-10 instrument. Results were analyzed by using program of SP55-13. Results: The study results indicated there were 30.4% subjects with mental disorder. The most common prevalence was mental disorder related to alcohol abuse and followed by depression disorder, generalized anxiety disorder, dystimia disorder, manic episodes, manic episodes with co morbidity of alcohol dependence, post-traumatic stress disorder, and depression disorder with co morbidity of other disorders. By using bivariate and multivariate analysis, there was significant association between age and gender with mental disorder. For multivariate analysis, there were p: 0.07 and OR: 2.4 for the age variable and p: 0.08 and OR: 0.4 for gender variable. Conclusions: The prevalence of mental disorder in refugees who lived in refugee wards of Ambon city is slightly higher than normal population, but it is lower than previous studies in other refugee wards. This is caused by limitation of instrument utilized and timing of study, i.e. the study was conducted long after the riot and conflict occurred.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18154
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdi Trisnomihardja
Abstrak :
Peristiwa konflik di beberapa daerah di Indonesia dan meningkatnya kejadian bencana alam dalam skala yang besar menimbulkan hilangnya ratusan bahkan ribuan nyawa, belum lagi kerusakan harta benda secara luas, merupakan peristiwa yang traumatik bagi siapa saja. Adanya peristiwa yang sangat traumatik menyebabkan seseorang tidak mampu beradaptasi dengan mekanisme pertahanan yang dalam keadaan normal cukup adaptif, sehingga muncul gejala-gejala psikis akibat kejadian tersebut. Wanita dan anak-anak merupakan populasi yang rentan terhaap pengalaman traumatik tersebut. Perhatian terhadap anak-anak yang mengalami peristiwa traumatik perlu ditingkatkan karena anak dan remaja berada dalam fase perkembangan sehingga setiap gangguan yang terjadi akan mempengaruhi proses perkembangannya. Salah satu peristiwa traumatik yang terjadi di Indonesia adalah konflik antar desa yang kemudian meluas menjadi konflik SARA di Maluku Utara yang terjadi pads bulan September 1999 dan menyebabkan sekitar 35.000 jiwa terpaksa mengungsi ke Sulawesi Utara. Jumlah yang sangat besar ini tentu saja menimbulkan persoalan tersendiri bagi pemerintah daerah setempat maupun bagi para pengungsi tersebut. Sebagian dari mereka ditampung di kantor-kantor pemerintah, yang lain ditampung di lapangan terbuka, dan sebagian lagi ditampung di barak-barak yang kemudian dibangun. Seiring berjalannya waktu, sebagian dari para pengungsi ini mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi namun sebagian besar dari mereka tetap enggan untuk kembali ke daerah asalnya dengan alasan mereka tidak mungkin melupakan peristiwa yang telah mereka alami tersebut. Mereka memilih untuk memulai kehidupan yang baru di Sulawesi Utara. Meskipun demikian ada pula pengungsi ini yang kurang mampu beradaptasi dan mernilih untuk tetap tinggal di barak barak. Mereka yang kurang mampu beradaptasi dan memilih untuk tetap tinggal di barak ini akan membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi perkembangan mental emosional penghuninya terutama bagi anakanak dan remaja antara lain karena kondisi dan situasi lingkungan tempat tinggal di barak yang tidak memiliki "privacy", kondisi kesehatan yang kurang memadai, sarana yang kurang memadai, dan tidak ada pekerjaan yang tetap bagi orangtua, kurangnya sarana pendidikan. Meneg Pemberdayaan Perempuan dalam kunjungannya ke berbagai daerah yang dilanda konflik menyatakan bahwa banyak anak di daerah pengungsian yang bukan hanya menghadapi masalah kesehatan fisik dan mental tetapi juga masalah pendidikan termasuk pendidikan moral tidak tertanam kesan dalam diri anak bahwa kekerasan atau konflik adalah hal yang biasa dalam menyelesaikan suatu masalah. Salah satu tempat pengungsian yang ada di propinsi Sulawesi Utara terletak di Kamp Kitawaya, desa Kairagi, Kecamatan Mapanget, Kotamadya Manado. Para pengungsi yang tinggal di sini berasal dari Maluku Utara dan sudah menempati tempat ini sejak bulan Desember 1999. Semua menyatakan tidak berkeinginan untuk kembali ke tempat asal mereka meskipun kondisi kondisi mereka di Kamp ini kurang baik. Peristiwa yang mereka alami pada bulan Desember 1999 dirasakan masih membekas, mereka menyaksikan sendiri bagaimana sanak saudara, kerabat, tetangga mereka dibunuh, bahkan mereka dikejar-kejar hingga ke pelabuhan. Dari atas kapalpun mereka masih dapat menyaksikan para pengungsi yang terluka berebut naik ke atas kapal. Kondisi kehidupan di barak yang kurang baik ini tentu akan mempengaruhi fase-fase perkembangan seorang anak dan remaja, apalagi bila kondisi ini berlangsung bertahun-tahun. Hal ini menarik perhatian dan menimbulkan pertanyaan pada peneliti, bagaimana bila hal ini telah dialami selama 6 (enam) tahun? Adakah gangguan mental dari anak-anak dan remaja pengungsi Maluku yang tinggal di barak selama 6 tahun di Sulawesi Utara?
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18038
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mangaweang, Lina Regina
Abstrak :
Latar belakang : Saat ini, perceraian hidup hampir di semua negara cukup tinggi dan meningkat terus setiap tahunnya termasuk Indonesia besar pengaruhnya terhadap perceraian. Faktor yang sangat berperan adalah status ekonomi dan kehidupan seksual yang sering dalam bentuk perselingkuhan. Perceraian hidup dikhawatirkan masih sebagai fenomena gunung es. Akibat dari perceraian ini dapat berisiko berbagai psikopatologi pada orangtua dan terutama pada anak berisiko dua kali bila dibandingkan dengan anak yang orangtuanya utuh. Generasi penerus ini bisa menderita berkepanjangan bahkan sampai menikah serta berakibat fatal bila tidak segera diatasi. Penelitian ini meneliti problem emosi dan perilaku pada 96 remaja yang orangtuanya tunggal karena bercerai hidup. Metode : Survei cepat untuk menskrining problem emosi dan perilaku pada remaja dengan instrumen Child Behavior Checklist/4-18 (CBCL) dan Family Adaptibillity Cohesion and Evaluation Scale-III (FACES-III) yang digunakan untuk menilai tipe relasi pada keluarga ini. Hasil : Proporsi total problem emosi dan perilaku pada remaja sebesar 51%, proporsi profil keluhan somatik (p=0,0337) lebih besar pada remaja perempuan, proporsi profil cemas depresi (p=0,0058) dan profil perilaku agresif (p=0,0028) lebih besar pada kelompok umur 12-14 tahun. Sedangkan penilaian tipe relasi keluarga antara ibu dan remaja tidak ada perbedaan yaitu kohesi keluarga tipe ekstrim dan adaptasi keluarga tipe seimbang. Tipe dimensi keluarga ini adalah tipe rentang tengah dan tidak ada hubungan dengan problem emosi dan perilaku pada remaja. Simpulan : Problem emosi dan perilaku pada remaja sebesar 51% dan problem emosi dan perilaku pada remaja tidak berhubungan dengan tipe dimensi keluarga. Kata kunci : Perceraian orangtua - profil problem emosi dan perilaku remaja - relasi keluarga.
Background : Recently, alive divorce rates have been quit high in almost all countries. The rates keep increasing overtime, including in Indonesia where it has a significant influence on divorce. The leading factors are economic status, sexual life in the form of adultery alive divorce cases have been suspected as an iceberg phenomenon. The consequence of alive divorces can be a risk factor for the psychopathology of parents especially of their children whose risk is twice then in children with intact parent. This young generation can sustained to suffer until they get married and it could be fatal if not immediately overcome. This trial investigated two groups namely internalizing and externalizing groups in 96 teenagers who where brought up by single parent due to alive divorce. Method : a quick survey was performed to screen emotional and behavior problems in teenagers by using child behavior checklist/4-18 (CBCL). The other instruments used were FACES III that was used to evaluate the relation type in these families. Result: Proportion of total problem of emotional and behavior problems among the teenagers was 51%. The somatisation complaint proportion was higher in female teenagers (p=0 0337) whereas the proportions of anxiety/depression (p=0, 0058) and aggressive behavior (p= 0,0028) were higher in the group of 12-14 year old teenagers. The evaluation of relation type between mother and child revealed there was no difference namely the familial cohesion of the extreme type and adaptability of the balance type. Based on these relation/dimension types of these families was mid range this trial found that in the familial relation type there was no correlation between emotional and behavior problem in teenagers. Conclusion: The proportion of emotional and behavioral problems in teenagers was 51% and in this trial there is no correlation between emotional and behavior problems among teenagers of the familial relation type. Keywords: divorce parents - profile emotional and behavior problems in teenagers - relation type.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmi Handayani
Abstrak :
Latar belakang: Etiologi dari Gangguan Perkembangan Pervasif (GPP) masih belum diketahui dengan pasti. Berbagai penelitian terus dilakukan untuk menemukan etiologi sebenarnya dari GPP. Berbagai kemungkinan telah dipikirkan mengenai etiologi dari GPP, mulai dari faktor genetik sampai faktor-faktor risiko eksternal yang berperan untuk terjadinya GPP. Mengingat dampak buruk yang dapat terjadi apabila anak dengan GPP tidak diintervensi secara dini dan data mengenai faktor-faktor risiko eksternal sampai saat ini belum ada di Indonesia, maka penulis berminat untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor risiko yang terkait dengan GPP sehingga dapat dilakukan beberapa tindakan prevensi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan GPP pada saat kehamilan, proses kelahiran, keadaan saat anak lahir, riwayat medis anak dan riwayat keluarga dengan GPP. Metode: Penelitian ini adalah penelitian cross sectional terhadap anak dengan GPP dan anak NonGPP yang bcrobat jalan kc poliklinik psikiatri anak dan remaja RSUPNCM yang meincnuhi kriteria penelitian. Instrwnen yang digunakan adalah DSM IV untuk mendiagnosis GPP pada anak dan daftar isian dari faktor-faktor risiko selama kehamilan, kelahiran, riwayat medis anak dan riwayat keluarga dengan GPP. Hasil : Telah didapatkan 57 anak yang diteliti terdiri dari 41 anak dengan GPP dan 16 anak dengan NonGPP. Dan berbagai faktor risiko yang diteliti terdapat dua faktor yang signifikan secara statistik yaitu faktor ibu yang mengkonsumsi ikan sewaktu hamil (p 0,01 ; OR 4,54 ; 95%C11,33-15,48) dan faktor keluarga lain (kakak/sepupu) yang menderita GPP (p 0,04 ; OR 4,13 ; 95%CI 1,02-16,68). Simpulan: Hasil dari penelitian ini tidak seluruhnya mendukung penelitian penelitian sebelumnya. Interpretasi dari hasil penelitian ini cukup sulit mengingat adanya keterbatasan-keterbatasan penelitian yang muncul. Faktor-faktor risiko yang kemungkinan berperan adalah adanya hubungan antara riwayat keluarga lain (kakak/sepupu) yang menderita GPP dan faktor risiko makan ikan laut pada ibu hamil. Faktor risiko makan ikan laut pada ibu hamil mungkin berperan, namun penelitian selanjutnya diperlukan untuk meneliti waktu yang tepat saat makan ikan laut, dan jumlah makanan ikan laut yang dimakan untuk mendapatkan hubungan yang lebih bermakna.
Background: The exact etiology of Pervasive Developmental Disorder (PDD) is still unknown although genetics and external risk factors have been associated with it. There are ongoing studies investigating the etiology of PDD. Early intervention is necessary due to its enormous negative impact on the child. The researcher would like to investigate the external risk factors associated with PDD since there are potentially modifiable. The purpose of this study is to find risk factors associated with PDD that may be present during pregnancy, birth, development of the child and family history associated with PDD. Methods: This is a cross sectional study conducted at the child and adolescent psychiatric outpatient unit at RSUPN-CM. DSM IV criteria is used to establish the diagnosis of children with PDD and a questionnaire addressing parental characteristic during pregnancy, birth, child condition, development of the child and family history with PDD. Result: A total of 41 subjects with PDD and 16 subjects with NonPDD are involved. From a number risk factors that has been studied only two factors were significantly correlated with PDD: maternal consumption of ocean fish during pregnancy with p=0,01;OR 4,54 ; 95%C1 1,33-15,48 and family history associated with PDD with p-0,04; OR 4,13; 95%CI 1,02-16,68 . Conclusion: Our result do not support the findings of previous studies although' it is difficult to interpret present result due to many limitations. External risk factor such as maternal fish consumption during pregnancy may be a predisposing factor to the development of PDD. However, further studies are necessary to investigate the precise timing and amount of exposure to ocean fish that will cause eventual PDD in the child.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21268
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>