Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
Keisya Tiara Satria
"Penelitian ini menggunakan Analisis Wacana Kritis (CDA) dari Norman Fairclough untuk mendalami pesan tekstual dan visual yang disampaikan dalam film Sing 2 (2021) karya Garth Jennings. Dengan berfokus pada tema keberagaman, ambisi, dan ketekunan, penelitian ini secara cermat menganalisis modalitas dan evaluasi dalam dialog serta visual film tersebut. Melalui pemeriksaan menyeluruh terhadap transkrip dialog dan elemen visual, penelitian ini mengidentifikasi bagaimana film ini secara strategis memanfaatkan bahasa dan citra untuk mempromosikan inklusivitas, menekankan pentingnya ketekunan, dan menyoroti potensi pencapaian individu dalam konteks kolaboratif. Temuan penelitian menunjukkan bahwa Sing 2 tidak hanya menghibur tetapi juga berfungsi sebagai media yang kuat untuk menyampaikan pesan sosial yang relevan. Penelitian ini berkontribusi pada bidang kajian film dengan menjelaskan potensi film animasi sebagai alat yang efektif untuk komentar sosial.
This study employs Norman Fairclough's Critical Discourse Analysis (CDA) to delve into the textual and visual messages conveyed in Garth Jennings' Sing 2 (2021). By focusing on the themes of diversity, ambition, and perseverance, the research meticulously analyzes modality and evaluation within the film's dialogue and visuals. Through a comprehensive examination of dialogue transcripts and visual elements, the study identifies how the film strategically utilizes language and imagery to promote inclusivity, emphasize the significance of perseverance, and highlight the potential for individual achievement within a collaborative context. The findings demonstrate that Sing 2 does not only entertains but also functions as a powerful medium for conveying socially relevant messages. This research contributes to the field of film studies by illuminating the potential of animated films to serve as potent tools for social commentary."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Hana Fadhila Isnaini
"Penggunaan visual dan lirik dapat memengaruhi kepopularitasan sebuah lagu dan membentuk persepsi masyarakat terhadap pesan yang disampaikan. Jenis lagu pop digunakan sebagai alat yang signifikan untuk mengekspresikan kekuatan dan identitas gender. Namun, representasi budaya populer dapat tidak sesuai dan mengarah ke ambiguitas. Penelitian ini mengkaji perbedaan antara pesan yang ingin disampaikan dan representasi dinamika kekuasaan gender pada hubungan sosial perempuan di lagu “Espresso” milik Sabrina Carpenter. Penelitian ini menggunakan analisis tekstual sebagai kerangka teori dengan menganalisis lirik lagu dan elemen sinematografi pada video klip untuk melihat multilayer representasi pada peran gender di lagu. Penelitian ini menemukan empat temuan utama yang berkontribusi pada kompleksitas gender dalam diskusi akademis: (1) musik populer sebagai alat untuk menyampaikan pesan pemberdayaan perempuan, (2) kompleksitas hubungan intraseksual perempuan, (3) struktur gender tradisional yang tetap melekat, dan (4) kerumitan karakteristik femme fatale. Penelitian ini menggarisbawahi perlunya evaluasi ulang terhadap representasi pemberdayaan perempuan dalam budaya populer dan perannya dalam pembentukan standar di masyarakat. Produk budaya populer harus mengkaji ulang struktur gender tradisional, khususnya dalam representasi perempuan di media agar tercipta representasi pemberdayaan perempuan yang sesuai.
The use of visuals and lyrics contributes to a song’s popularity and shapes society’s perception of its message. Popular songs are a powerful tool for expressing power and gender identity. However, the representation of contemporary songs may not always be fair and could lead to ambiguity. This study explores the conflict between the intended messages and the power dynamics that depict women’s relationships in Sabrina Carpenter’s "Espresso." This study employs textual analysis to examine the song lyrics and audio-visual elements of the music video to uncover the multifaceted representation of gender roles in popular songs. This research identifies four key findings that highlight the complexities of gender roles in academic discourses: (1) popular music as a tool to deliver women’s empowerment messages, (2) complexities of intrasexual female relationships, (3) adherence to traditional gender roles, and (4) intricacies of the femme fatale archetype. This study underscores the necessity for a critical reevaluation of female empowerment representation in popular culture and its role in shaping social standards. Popular culture products could disrupt traditional gender structures, particularly in the representation of women in media, to encourage the creation of equitable and empowering depictions of women. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Farida Zein
"Di era di mana media global memegang peran penting dalam membentuk persepsi budaya, penggambaran komunitas Tionghoa di Hollywood sering menjadi subjek penelitian dan perdebatan. Selama beberapa dekade, representasi komunitas Tionghoa sering kali bergantung pada stereotip tertentu atau interpretasi dangkal terhadap nilai-nilai budaya mereka. Prinsip Konfusianisme tentang kesalehan anak (filial piety), yang menjadi dasar hubungan keluarga orang Tionghoa serta menekankan penghormatan, merupakan salah satu tema yang sering diangkat dalam film-film Hollywood yang berfokus pada keluarga Tionghoa-Amerika. Akan tetapi, filosofi yang rumit di balik prinip kesalehan anak ini sering kali terlalu disederhanakan dalam beberapa film, yang kemudian memunculkan pertanyaan mengenai sejauh mana media populer mampu menggambarkan kedalaman dari nilai budaya tersebut. Penelitian ini mengeksplorasi penggambaran kesalehan anak Konfusianisme dalam film Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021), dengan meneliti apakah film ini selaras dengan ajaran inti Konfusianisme atau justru memperkuat stereotip yang biasa terlihat di media Barat. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini menekankan bahwa penggambaran kesalehan anak dalam film ini menunjukkan kompleksitas ajaran Konfusianisme, di mana penyimpangan yang dilakukan Shang-Chi bukanlah semata-mata penolakan terhadap ajaran Konfusianisme, tetapi justru mencerminkan fleksibilitas dari ajaran Konfusianisme serta sifatnya yang multifaset sebagai kerangka budaya. Meskipun beberapa stereotip masih terlihat dari narasi film ini, namun penelitian ini menemukan bahwa film Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021) tetap berperan penting atas kontribusinya dalam merepresentasikan budaya Tionghoa di media Barat.
In the age where global media holds a pivotal role in shaping perceptions of culture, the portrayal of Chinese community in Hollywood remains a subject of scrutiny and debate. For decades, depictions of Chinese have often relied on certain stereotypes or surface-level interpretations of their cultural values. Confucian principle of filial piety, a cornerstone of Chinese familial relationships emphasizing respect, is one of the theme that is often explored in Hollywood films that centered around Chinese-American families. However, the intricate philosophy behind filial piety is frequently diluted in some films, raising questions about how well popular media captures the depth of this cultural value. This paper explores the portrayal of Confucian filial piety in Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021), examining whether the film aligns with the core teachings of Confucianism or perpetuates stereotypes commonly seen in Western media. Using a qualitative approach, the study highlights the film's nuanced depiction of filial piety, suggesting that Shang-chi’s deviation in the film do not merely signify a rejection of Confucian teachings but rather reflect its flexibility and multifaceted nature as a cultural framework. While certain stereotypes persist in the narrative, this research finds that Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021) remains notable for its contribution to representing Chinese culture in Western media."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library