Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Telly Kamelia
"Latar belakang. Tuberkulosis (TB) ekstra paru merupakan penyakit yang banyak ditemukan di Indonesia, disamping TB paru. Belum banyak penelitian mengenai TB ekstra paru di Indonesia, khususnya keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS. Belum didapatkan laporan penelitian mengenai faktor prediktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui faktor prediktor keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru seperti usia, jenis kelamin, diabetes mellitus, HIV dan riwayat antituberkulosis. Mengetahui tingkat keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS, bila diberikan selama minimum 9 bulan.
Hasil. Penelitian kohort retrospektif dengan data register DOTS TB dan data rekam medis dari 1 Januari 2008 sampai 31 Desember 2012. Didapat 542 pasien TB ekstra paru, 279 pasien TB kombinasi ekstra paru dan TB paru, 70 pasien data tidak lengkap, dan hanya 193 pasien TB ekstra paru murni. Mayoritas pasien berjenis kelamin perempuan (52,3%). Umumnya usia muda (18-60 tahun (95.9%)), rerata 31,34 + 11,64 tahun. TB ekstra paru yang paling banyak didapat adalah limfadenitis TB. Keberhasilan terapi TB ekstra paru pada usia 18-60 tahun terjadi pada 49,7% pasien (OR 2,968, 95% CI 0,584-15,087, p 0,313). Keberhasilan terapi TB ekstra paru untuk jenis kelamin perempuan didapat 55,4% pasien (OR 1,768, 95% CI 0,999-3,131, p0,05). Keberhasilan terapi TB ekstra paru pada pasien diabetes mellitus 33,3% (OR 1.957, 95% CI 0.475-8.062, p 0,546) dan pada riwayat TB sebelumnya sekitar 55,6% (OR 0.738, 95% CI 0.278-1.959, p 0,717). Keberhasilan terapi TB ekstra paru pada pasien HIV 32,1% (OR 2.588, 95% CI 1.330-5.038, p 0,007). Pada analisis multivariate, keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan faktor koinfeksi HIV, OR 2.588, CI 95% 1.330-5.038, p 0,005. TB ekstra paru pada pasien HIV mempunyai keberhasilan terapi rendah dengan menggunakan strategi DOTS dan berhubungan dengan kegagalan terapi, serta prognosis buruk. Angka keberhasilan TB ekstra paru yang diterapi dengan menggunakan strategi DOTS selama < 9 bulan adalah 20,2%. Sebanyak 94,6% pasien TB ekstra paru berhasil diterapi dengan menggunakan strategi DOTS selama > 9 bulan.
Kesimpulan. HIV merupakan faktor prediktor yang dapat menurunkan keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS. Tingkat keberhasilan terapi TB ekstra paru yang menggunakan strategi DOTS selama minimum 9 bulan baik (94,6%).

Background. Extrapulmonary tuberculosis (EPTB) is common presentation found in Indonesia, besides Tuberculosis (TB). We found that no more research about EPTB in Indonesia, especially EPTB success treatment using the DOTS strategy and its predictor factors.
Aims. To determine predictors of TB treatment success factors such as age, sex, diabetes mellitus, HIV and anti-tuberculosis records. To acknowledge the success rate of EPTB treatment using DOTS strategy, when administered for a minimum of 9 months.
Result. A retrospective cohort study was conducted from 1 January 2008 through 31 December 2012. A total of 542 patients of EPTB were identified, 193 patients were pure EPTB while 279 were mixed ones and 70 were incomplete data. The majority of patients were female (52.3%). Generally young age (18-60 years old (95.9%), mean 31,34 + 11,64 years old. The most common type of EPTB were lymph node. Success treatment rate of EPTB among age of 18-60 years was 49.7% (OR 2.968, 95% CI 0.584 to 15.087, p 0.313). Success treatment rate of EPTB among female sex was 55.4% (OR 1.768, 95% CI 0.999 to 3.131, p0,05). Success treatment rate using DOTS strategy among diabetes mellitus was 33,3% (OR 1.957, 95% CI 0.475-8.062, p 0.546) and the one that had tuberculosis record previously was 55,6% (OR 0.738, 95% CI 0.278-1.959, p 0.717) Success treatment rate in extrapulmonary patient among HIV-seropositive was 32,1% (OR 2.588, 95% CI 1.330-5.038, p 0.007). In multivariate analysis, the success rate for EPTB with HIV co-infection factor, had OR 2.588, CI 95% 1.330-5.038, p 0.005. EPTB among HIV-seropositive patients had lower therapy success rate using DOTS strategy and were associated with unsuccessful therapy and poor prognosis. The success rate of EPTB treatment using DOTS strategy for < 9 months was 20.2%. There were 94.6% EPTB patients successfully treated with the DOTS strategy for > 9 months.
Conclusion. HIV was a predictor factor that may decrease therapy success rate of EPTB using DOTS strategy. Success rate of extrapulmonary TB treatment using DOTS strategy for minimum 9 months was good (94,6%).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Telly Kamelia
"ABSTRAK
Abses hepar merupakan lesi inflamasi pada hepar yang dapat menyebar ke ronga pleura sehingga mengakibatkan empiema maupun abses paru. Salah satu penyebab penyebaran ke rongga pleura adalah karena adanya fitsula hepatopleura. Dalam kasus ini, seorang laki-laki, 43 tahun, datang dengan keluhan sesak napas yang memberat sejak 1 minggu yang lalu, disertai nyeri perut bagian atas, batuk darah sebanyak satu kali, perut dirasakan membesar, serta terdapat riwayat merokok, promiskuitas, dan minum alkohol. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan paru kanan tertinggal saat inspirasi, vocal fremitus menurun, perkusi redup, dan suara vesikuler menurun pada lapang paru kanan dan hepatomegali. Hasil IDT amoeba adalah 1,92 dan pemeriksaan cairan pleura, didapatkan kesan eksudat. Didapatkan gambaran efusi pleura masif pada foto toraks. Hasil USG hepatologi didapat abses hepar, hepatomegali, dan efusi pleura kanan. Pada pemeriksaan USG Toraks didapat efusi pleura kanan dengan gambaran loculated. CT scan torak dengan kontras didapat gambaran kavitas dengan air-fluid level pada hemitoraks kanan dan lesi segmen 4,5 hepar. Hasil analisis cairan pungsi abses hepar didapatkan pemerikasaan mikrobiologi tidak ditemukan kuman, BTA negatif, kultur tidak ditemukan mikroorganisme maupun kuman anaerob, pemeriksaan patologi didapatkan cairan berwarna coklat kental, dan pemeriksaan mikroskopik didapatkan sediaan sitologi abses hepar yang mengandung massa nekrotik, serta serabut jaringan ikat."
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:3 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Telly Kamelia
"ABSTRAK
Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan salah satu gangguan napas saat tidur yang paling sering terjadi. OSA terjadi akibat kolaps saluran napas atas baik secara total maupun parsial. Pemeriksaan polisombografi level 3 tetap sering dilakukan karena dianggap sebagai pemeriksaan yang mudah dan tidak mahal. Penelitian ini bertujuan menilai akurasi diagnosis obstructive sleep apnea dengan level 3 portable monitor sleep test. Metode yang digunakan yaitu pencarian literatur dengan dilakukan menggunakan database PubMed dan Cochrane, didapatkan 37 artikel. Dilakukan seleksi artikel dan telaah kritis sistematik review berdasarkan validity, importance, dan applicability yang terstandardisasi oleh Centre of Evidence Medicine University of Oxford British serta telaah kritis artikel diagnosis yang terstandardisasi oleh British Medical Journal (BMJ). Hasil dari sistematik review dan meta-analisis oleh Shayeb, dkk (2014) didapatkan bahwa pemeriksaan level 3 portable monitor sleep test memiliki heterogenitas sedang hingga tinggi (nilai I2 53%-85%), sensitivitas dan spesifisitas (0,79-0,97 dan 0,60-0,93). Garg dkk, (2014) dengan studi kohort mendapatkan hasil bahwa pemeriksaan level 3 dirumah memiliki sensitivitas 0,96, spesifisitas 0,43, PPV 0,79, dan NPV 0,82. Kesimpulannya pemeriksaan level 3 dengan portable monitor dirumah memiliki tingkat akurasi yang baik dan lebih direkomendasikan untuk pasien dengan risiko tinggi OSA tanpa komorbid. "
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:3 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library